Beberapa saat yang lalu.Feli masuk ke walk in closet setelah membersihkan tubuhnya di kamar mandi. Dia membuka lemari dan menarik piyama yang terlipat rapi di antara tumpukan baju. Tanpa sengaja, sebuah kain berbahan seperti jaring warna merah ikut tertarik, lalu terjatuh ke lantai.Feli memungutnya. Ia tertegun ketika ingat ini adalah lingerie kado pernikahan dari Binar, yang tak pernah ia gunakan barang satu kalipun.Ya, ia memang tak pernah menggunakan pakaian seperti ini setiap kali berhubungan badan dengan Archer. Saat itu hanya ada amarah dan kebencian yang meliputi mereka berdua.Setelah berpikir cukup lama, Feli akhirnya menaruh kembali piyama ke dalam lemari. Kemudian ia memberanikan diri memakai lingerie tersebut.Dia menyisir rambut panjangnya, mengoleskan liptint, lalu menyemprotkan parfum.Malam ini… ia siap menyerahkan diri pada suaminya.Jantungnya berpacu dengan cepat, hatinya tiba-tiba diselimuti keraguan. Namun, bayangan wajah Archer yang frustrasi setiap kali merek
Feli tertegun.Ia berusaha mencari kebohongan dalam sorot mata Archer, tapi ia tak menemukannya.“Berpacaran selama kurang lebih tujuh tahun, sering tinggal satu atap, kurasa mustahil nggak melakukan apa-apa,” ujar Feli, ia seperti tengah menggali lubang kekecewaannya sendiri.Archer menghela napas panjang lalu menatap langit-langit kamar. “Aku tahu kamu nggak akan mempercayaiku. Tapi kamu harus ingat hal ini, Fel.” Ia melirik sang istri, sejenak. “Nggak semua yang terjadi di dunia ini masuk akal. Akan ada—atau mungkin banyak, hal-hal yang menurutmu mustahil terjadi, tapi kenyataannya memang terjadi seperti itu.”Feli terdiam.“Dan sesuatu yang nggak masuk akal itu cuma bisa diterima dan diyakini oleh hati, di sini,” lanjut Archer sembari menempelkan telapak tangan pada dada kiri Feli. “Karena sekarang kamu belum mempercayaiku, jadi menurutmu aku nggak ‘tidur’ bersama dia itu sangat mustahil.”Feli masih terdiam, lidahnya mendadak terasa kelu. Sungguh, ia sedang berusaha mempercayai ap
“Gue nggak nyangka lo ngambil keputusan yang sangat beresiko, Fel.”Feli tersenyum kecut sembari melajukan mobilnya keluar dari café, setelah dua jam lamanya menghabiskan waktu di sana bersama Binar.“Gue tahu.” Feli menghela napas berat. “Tapi gue udah diskusi sama Mbak Cecilia, kemungkinan besar penyidik akan membebaskan Belvina karena penyakit kanker yang dia alami.”“Bokap lo kan sultan, Fel. Bisa kali bikin wanita itu di penjara seumur hidup,” gerutu Binar, ia sedikit kurang setuju dengan ide Feli yang sudah membebaskan Belvina dari tuntutan.Mendengarnya, Feli terkekeh kecil. “Papa pengusaha, Nar. Bukan mafia. Dia nggak suka melakukan suap menyuap untuk urusan yang begitu. Lagipula….” Feli menyugar rambutnya dengan kasar. “….menurut gue hukuman yang pantas dia terima itu bukan hukuman penjara. Walaupun di penjara, tapi belum tentu dia menyesali perbuatannya. Malah di penjara jauh lebih enak, dia bisa makan tiga kali sehari dan melakukan aktifitas sehari-hari. Cuma berbeda tempat
“Oke. Aku paham.” Archer mengangguk. “Jangan salahkan aku kalau besok lusa perusahaan dia jadi bangkrut.”Feli terperangah.Ia lantas mengeluarkan suara setengah mendengus dan setengah tertawa. Ancaman Archer terdengar tak masuk akal. “Kamu cemburu?”“Ya, aku cemburu,” timpal Archer dengan raut muka serius. “Bukankah sudah aku bilang kalau kamu milikku? Aku tidak suka milikku didekati pria lain.”Seulas senyum kecil terukir di bibir Feli. Ia menghabiskan jus lemonnya lebih dulu, kemudian menaruh gelas kosong ke meja kitcher bar. Sebelum kemudian berkata dengan suara pelan, “Archer… dulu, saat kamu sedang menghabiskan waktu bersama Belvina, apa pernah kamu memikirkan perasaanku? Yang saat itu ditinggalkan di rumah berdua dengan anakmu, tanpa memberi kepastian kapan kamu akan pulang.”Kalimat Feli tersebut membuat Archer merasa tertampar. Pria itu seketika membeku. Meski diucapkan dengan suara lembut sembari tersenyum, tapi Archer bisa melihat sorot mata Feli tampak sedikit sendu.Arche
“Fel, bangun. Kita pindah dari sini.”Bisikan lembut yang diiringi dengan sentuhan lembut di pipi, membuat Feli terpaksa membuka kelopak matanya.Saat matanya sudah terbuka lebar, ia mendapati ruang kamar Kimberly sudah gelap, hanya diterangi lampu tidur di nakas.“Aku ketiduran, ya?” Suara Feli terdengar serak sembari bangkit duduk.“Iya, cuma satu jam kok. Sekarang masih jam sembilan.”Feli tidak menolak ketika Archer menggenggam tangannya dan menariknya agar keluar dari kamar tersebut. Sesekali Feli menguap, lalu mengucek mata yang terasa lengket. Jalannya sedikit sempoyongan dan nyaris terjatuh. Lalu dengan sigap Archer mengangkat tubuh Feli ke pangkuannya ala bridal style. Feli sempat memekik terkejut.“Turunin, Archer. Aku bukan anak kecil,” protes Feli sembari melingkarkan kedua lengan di leher Archer.Archer tertawa geli. “Lagi-lagi ucapanmu bertolak belakang dengan sikapmu, Sunshine.”“Hm? Benarkah?”Archer hanya menanggapi dengan lirikan mata pada lengan Feli, yang membuat F
Feli sempat ingin merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang pertama.Archer sama sekali tidak tahu akan hal itu. Lalu setelah ia mendengarnya dari Feli barusan, dada Archer terasa semakin nyeri. Semakin banyak ia tahu luka yang dirasakan Feli, semakin sakit pula hatinya.Dulu Archer pikir, melihat Feli terluka dan tersiksa akan membuatnya puas dan bahagia. Namun pikirannya salah. Karena pada kenyataannya, saat Feli terluka, ia pun terluka.Archer menghela napas panjang, matanya memandangi Feli yang tengah melahap hidangan di atas meja. Ia masih bisa melihat sisa kesedihan dalam sorot mata wanita itu. Archer semakin merasa bersalah, ia mengulurkan tangan, ibu jarinya mengelus-elus pipi Feli dengan lembut.Barulah saat itu Feli tersentak dan keluar dari keterdiamannya.“Cobain pastanya. Ini pasta kesukaanmu dan aku sendiri yang masak.” Archer menggulung pasta menggunakan garpu, lalu menjulurkannya ke depan mulut Feli. “Aaaa….”Feli terkekeh. Ia berpaling muka sejenak, lalu mendengus
“Bagaimana denganmu, Fel? Apa kamu pernah menyukaiku saat itu?”Feli terhenyak. Ia menaikkan pandangannya dari bunga mawar di atas meja, ke arah Archer. Mulutnya terbuka untuk menjawab, tapi kemudian mengatup lagi. Ia kembali kehabisan kata-kata dan lidahnya terasa kelu.“Aku… aku….”Feli sedikit tertunduk untuk menyembunyikan pipinya yang terasa memanas. Ia malu kalau Archer tahu perasaannya yang sesungguhnya di masa lalu. Beruntung, pencahayaan remang-remang di taman itu membuat rona merah di pipi Feli tidak terlihat.“Oke. Aku paham.” Archer menghela napas berat, suaranya terdengar kecewa. “Aku lupa, kalau sejak dulu kamu nggak pernah menyukaiku. Dan aku juga lupa, kalau ternyata… kamu menganggapku hanya sebagai benalu dan pecundang, kehadiranku hanya mengganggu hidupmu, bukan? Kamu pura-pura tulus menjadi temanku, hanya karena kamu nggak berani mengusirku pergi.”“Apa yang kamu katakan, Archer?” tukas Feli dengan cepat. Tampak kerutan di keningnya seraya menatap Archer penuh tanya
“Maaf, Tuan. Bu Feli-nya belum selesai meeting,” ucap seorang resepsionis ketika Archer datang dan menanyakan keberadaan Feli sore ini.“Oke. Tidak apa-apa. Saya akan menunggu di ruangannya.”“Baik.”Archer melenggang menuju lift. Hari ini ia tidak lembur dan sengaja pulang lebih cepat untuk menjemput istrinya. Satu-satunya hal yang ingin ia lakukan setelah pulang adalah bertemu Feli. Kimberly sudah ia jemput tadi siang dan ia antarkan ke rumah mertuanya.Archer menekan tombol angka tiga, tepat saat pintu lift akan tertutup, seseorang menahannya dari luar. Satu alis Archer terangkat ketika melihat orang itu adalah Belvina, yang nampak terkejut melihatnya.“A-aku… mau ke lantai tiga.” Belvina salah tingkah, ia pun masuk dan berdiri di samping Archer.Archer bergeming, mulutnya mengatup rapat dan tak memberikan respons apapun, seolah-olah ia tak menganggap kehadiran Belvina.Belvina meremas-remas map di tangannya dengan jemari bergetar. Sesekali ia mengintip Archer. Sosoknya yang tinggi
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”