Hadi Kusuma termenung di ruang kerja, lelaki itu memikirkan kabar yang baru saja di sampaikan Tania. rasanya kepala lelaki tua itu akan pecah memikirkan anak lelaki satu-satunya ini. Harusnya Diaz memberikan kebanggaan padanya, ini malah memalukan. Hadi menghela napas berat, dia menyadari jika menasehati orang yang sedang jatuh cinta itu percuma tidak akan didengar. Dan sepertinya di sini Diaz lah yang tengah tergila-gila dengan perempuan itu, mungkin saja perempuan itu memakai guna-guna dalam menjerat putranya, jadi ... yang harus disemprot itu bukan putranya, tetapi perempuan itu. Siang itu Mutia menemani atasannya menemui direktur supermarket dibawah naungan Adiguna grup, dimana Rio Dewanto menjadi direkturnya. Dulu dia ke sini untuk membicarakan kontrak Sanjaya sejahtera, tetapi sekarang dia membicarakan kontrak dengan pabrik roti di mana dia bekerja sekarang. Sultan berjalan sampai ke tingkat paling atas, diikuti oleh Mutia, ketika sudah sampai ruangan Rio, lelaki itu me
Karlina menoleh ke arah orang di sebelah Mutia, dia dari tadi hanya fokus ke Mutia saja, sehingga tidak memperhatikan siapa orang yang disebelahnya, ketika tatapan mereka bertemu, Karlina menjadi terkejut setengah mati. "Sultan?!" Sultan sama sekali tidak menyahut panggilan Karlina yang tampaknya sangat terkejut, lelaki itu hanya tersenyum masam ke arahnya. Sultan tentu saja sudah terkejut lebih dulu mana kala Karlina datang dan langsung memeluk Mutia, apalagi mendengar jika adiknya Karlina, Diaz sudah melamar Mutia. Beberapa detik tidak ada yang membuka suara diantara mereka, hingga Karlina yang gugup itu berusaha menenangkan diri dengan menghembuskan napas berat. "Kak Karlina kenal sama Pak sultan?" tanya Mutia yang heran melihat interaksi kedua orang itu. "Mutia, kembali lah dulu ke kantor!" perintah Sultan dengan begitu jelas. "Oh, oke. Kak Karlina, aku kembali ke kantor dulu, ya. Sampai jumpa lagi, Kak," pamit Mutia. Karlina hanya mengangguk, sikapnya yang heboh tad
Hubungan Sultan dan Karlina kembali lagi seperti sepuluh tahun yang lalu, jika memang jodoh, dipisahkan seperti apapun akhirnya akan bersatu juga. Mereka berusaha menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing, biar bagaimanapun cinta di antara mereka masih utuh seperti sedia kala, walaupun masing-masing pernah menikah, rasa cinta tetap ditujukan pada mantan kekasih yang tak direstui ayah pihak perempuan yang kaya raya dan berkuasa. Mereka juga berjanji akan menerima anak bawaan masing-masing, saat itu mereka berjanji di sebuah restauran dan akan mengajak anak masing-masing untuk diperkenalkan. Minggu pagi, Karlina sudah mengajak Farel untuk memakai baju bagus, tadi malam dia sudah menceritakan semuanya pada Farel jika dia sudah bertemu pria tepat untuk menjadi suaminya. Karlina tidak menceritakan jika pria itu adalah mantan kekasihnya, agar tidak terlihat buruk di mata anak lelaki nya. "Terserah Mama, selagi mama bahagia, Farel juga bahagia. Tapi mama harus selidiki agar mama
Sementara itu, Siang itu ketika Mutia ingin istirahat makan siang, dia hari ini kebetulan tidak membawa bekal, jadi Mutia berjalan ke luar lingkungan pabrik, di sana banyak pedagang kaki lima yang berjualan aneka makanan. Tetapi belum kakinya melangkah keluar gerbang, sebuah mobil sedan berhenti di depannya. Seorang lelaki paruh baya keluar dari sana. "Ah, kebetulan sekali. Non Mutia, saya sedang mencari anda," ujar lelaki yang Mutia kenali sebagai supir keluarga Diaz, lelaki ini pernah mengantarnya dan Diaz beberapa kali "Ada apa, Pak?" "Em, anu ... tuan besar ingin bertemu dengan non Mutia. Saya bermaksud menjemput Nona." "Tuan besar? Maksud bapak tuan Hadi Kusuma?" "Benar, Non. Ayo, ikutlah dengan saya. Maksud saya, tolonglah saya, Non. Jika saya tidak berhasil membawa nona menemuinya, saya akan dipecat, Non. Kalau saya dipecat, maka bagaimana nasib anak dan istri saya? apalagi anak saya ada yang sudah kuliah lagi banyak-banyaknya butuh biaya." Mutia tercenung mendnega
Mutia kembali meremas cek itu, kini di hadapan Hadi langsung, membuat lelaki itu membelalakkan matanya. "Maaf, Pak Hadi. uang dua ratus juta ini tidak sebanding dengan besarnya rasa cinta diantara kami berdua, lagipula saya sudah bercerai, status saya sudah bebas untuk membina hubungan baru. Saya tidak akan meninggalkan mas Diaz dengan iming-iming apapun, kecuali mas Diaz sendiri yang berinisiatif meninggalkan saya duluan. Maaf saya tidak bisa mengabulkan permintaan anda." Setelah berkata seperti itu Mutia kembali meletakkan cek senilai dua ratus juta itu yang telah menggumpal karena diremas. Wanita itu segera berdiri dan keluar dari ruangan itu. Melihat perempuan yang teguh seperti itu Hadi hanya tertawa sinis, uang yang diberikan pada perempuan itu hanya senilai dua ratus juta, sementara mungkin Diaz sudah memberikan lebih dari itu, bagaimana dia mau lepaskan tangkapan besar seperti itu? tidak bisa dengan uang, dia harus memikirkan cara lain. Hadi dengan marah langsung menggeb
Setelah bertemu dengan tuan Hadi Kusuma, perasaan Mutia tidak baik-baik saja. Tubuhnya bahkan gemetar, dia tidak tahu apakah keputusan yang diambil olehnya itu tepat atau tidak. Tetapi jika hal itu diketahui oleh Diaz, pasti Diaz akan semakin membenci ayahnya. Jadi sebisa mungkin Mutia akan merahasiakan pertemuan hari ini dengan ayah lelaki itu. Ketika kembali lagi ke pabrik, dia terlambat masuk, untung saja atasannya Pak Sultan belum datang. Sebisa mungkin Mutia berkonsentrasi pada pekerjaan yang cukup banyak. sekarang adalah akhir bulan, jadi banyak sekali pekerjaan administrasi yang harus diselesaikannya. Dengan menenggelamkan diri pada pekerjaan membuatnya sedikit-dikit tidak lagi memikirkan perkataan ayahnya Diaz yang cukup menyakitkan buatnya. Tanpa terasa waktu pulang kerja sudah tiba, tetapi pekerjaannya belum juga selesai. Mutia bermaksud menambah waktu sekitar setengah jam lagi untuk menyelesaikan pekerjaannya setelah itu dia baru akan kembali. Tepat pukul setengah en
"Kemarin mas Diaz bertanya apa dia harus melamar aku ke keluarga kita, menurut nenek bagaimana? apa mas Diaz perlu melamarku sama om Hilman?" "Tidak perlu! Selama ini Hilman juga tidak menganggap kita sebagai keluarganya. lebih baik kita bicarakan berdua saja." "Tapi, nanti aku menikah kan butuh wali, hanya Om Hilman yang bisa menjadi wali nikahku, Nenek." "Tidak! tidak bisa! Hilman tidak bisa menjadi wali nikah kamu Mutia." Nenek menggeleng dengan tegas. Sikapnya yang terlihat begitu serius jelas membuat Mutia terkejut. "Kenapa nggak bisa, Nek? hanya Om Hilman adik laki-laki ayah, jadi hanya Om Hilman yang bisa menjadi wali nikah Mutia kan, Nek?!" "Mutia ... Ada yang perlu nenek katakan pada Mutia, semoga Mutia tidak marah. Nenek harusnya sudah mengatakan ini dari sejak ayahmu masih hidup atau jauh sebelum itu, yaitu ketika Darmawan masih kecil, tetapi nenek sangat takut kehilangan ayah kamu." Nenek menatap ke luar jendela. matanya tampak berkaca-kaca saat mengenang mas
"Sebelum kalian merencanakan bulan madu, rencanakan dulu kapan nikahnya? tidak baik berlama-lama pacaran," ujar nenek dengan tersenyum melihat interaksi cucunya dan calon cucu menantunya ini. Diaz yang mendengar desakan dari nenek berjalan mendekati nenek dan memegang tangan wanita tua itu, satu tangannya mengelus punggung tangan nenek. "Nenek, aku juga sudah ingin cepat-cepat menikahi Mutia. Siapa yang tidak mau cepat-cepat berbulan madu, nenek kan sudah berpengalaman, bagaimana rasanya menahan semua itu?" Nenek yang mendengar lelaki muda itu tanpa malu berterus terang tertawa terkekeh, bahkan tangannya sudah menjewer telinga Diaz yang menurutnya anak ini sangat nakal. "Em, nakal sekali kamu, ya ... kalau memang begitu, cepat kau urus surat-surat untuk kelengkapan pernikahan kalian. Yang penting akad nikah saja dulu, biar sah. Soal resepsi tidak dilaksanakan juga tidak apa-apa." "Baiklah, aku akan menuruti nasehat nenek. Tapi terlebih dahulu aku akan melamar Mutia pada paman