Aku menatap langit-langit kamar hotel tempat kami menginap, mata ini masih juga belum mengantuk, sedangkan Mas Raffi sudar terlelap, sejak tadi, terdengar dengkuran halus dalam lelapnya.Aku menggeser tubuh untuk ke kamar mandi, lebih baik aku berwudhu sebelum tidur agar sejenak bisa melupakan semua masalahku, dan bisa tidur dengan nyenyak malam ini.Pelan aku menggeser tubuhku, menyingkirkan lengan kekar suamiku yang memeluk erat perutku. Setelah berhasil terlepas baru aku beringsut turun dari ranjang.Aku pun mencuci muka kemudian berwudhu. setelah itu kembali ke kamar, merebahkan tubuhku di samping Mas Raffi.Namun baru saja aku merebahkan punggungku di bantal, Mas Raffi menggeliat. Pelan ia mengerjap dan menatapku beberapa saat."Sayang kamu belum tidur?" Aku hanya menggeleng."Ini aku baru tidur Mas. Dari tadi nggak bisa tidur," sahutku. Mungkin karena tadi di mobil aku sempat tertidur walaupun sebentar."Owh, sini." Mas Raffi merentangkan kedua tangannya, memintaku untuk masuk d
"Oke, kalau kamu nggak mau ke rumah sakit, ayo ikut aku pulang!""Nggak.""Kenapa? Lalu maumu bagaimana?" Aku merasa putus asa.Beberapa saat kami berdua sama-sama diam."Sebenarnya siapa laki-laki itu Vi? Kenapa memanggilmu Vini?" "Dia ... Dia pacarku.""Apa pacarmu? Kenapa dia kasar sekali padamu? Apa yang dia minta saat di pinggir jalan itu? Aku lihat kalian berdebat cukup alot. Dia terlihat ... Seperti meminta sesuatu padamu," cecarku.Vivi terdiam yang terlihat hanyalah linangan air mata. Aku membuang pandangan, muak. Semuanya seperti tanggung, setengah-setengah dan penuh teka-teki. Vivi masih belum mau cerita semuanya secara gamblang. Sedangkan aku sendiri tak sabar karena rasa penasaran yang memuncak."Setiap malam aku harus memberinya jatah lima ratus ribu."Degh!Pacar model apa begitu? Yang tega memeras kekasihnya sendiri. Sebagai perempuan tentu inginnya di hargai, di hormati, di manjakan oleh pacarnya bukan? Bukan justru mau dimanfaatkan seperti ini. Bodoh atau gimana ka
"Vivi! Alhamdulillah Sayang, kamu pulang Nak," pekik Tante Ranti saat melihat kami diambang pintu rumah. Ia langsung berlari dan memeluk tubuh Vivi.Vivi hanya tersenyum tipis, dengan menatap nanar wajah ibunya, juga melihat penuh haru wajah mungil Arka. Arka berdiri menyaksikan neneknya yang sedang memeluk Vivi.Mungkin bocah kecil itu tak tahu kalau wanita yang ada di hadapannya ini adalah ibunya. Wanita yang melahirkannya ke dunia ini.Tante Ranti memeluk Vivi dengan bahu bergetar, ia pasti sangat rindu, dan juga khawatir dengan Vivi, seperti apapun buruknya kelakuan sang anak, di hati seorang ibu, tentu akan tetap menjadi permata hatinya."Vivi, Alhamdulillah, ya Allah, kamu kembali Nak," ucap Tante Ranti dengan suara parau.Vivi mengangguk."Maafin aku Ma. Maafin Vivi, Ma." Vivi berusaha melepaskan pelukan ibunya dan hendak bersujud memeluk kaki Tante Ranti, namun Tante Ranti langsung mencegahnya, dan meminta Vivi untuk tetap berdiri dan kembali memeluk putrinya. Suasana hati men
"Lebih baik nggak usah pulang sekalian, daripada hanya membuat Papa teringat semua kelakuan kamu Vi," ucap Om Edwin terdengar dingin tanpa ekspresi.Om Edwin melangkah menjauhi kami, sampai membuat Vivi terjengkang karena tadi memeluk lutut papanya."Papa! Sudahlah Pa! Kita sebagai orang tua, sudah sepatutnya memaafkan kesalahan anak, apalagi Vivi sudah minta maaf," seru Tante Vivi."Terus saja kamu bela anakmu itu Ma. Dia jadi begini itu karena kamu, kamu terlalu memanjakan dia!" sentak Om Edwin. Terlihat jelas raut kecewa tergambar di wajahnya."Papa! Mama!" panggil Vivi yang kini tertududuk di sofa, wajahnya yang pucat serta kedua matanya sembab. "Maafin Vivi Ma, Pa. Maaf." Vivi terlihat sangat lemah, lamat-lamat ia terpejam dan kehilangan kesadaran."Ya Allah Vi! Om, Tante, Vivi pingsan! Ayo cepat kita bawa dia ke rumah sakit." Om Edwin yang tadinya hendak melangkah keluar rumah pun langsung menoleh ke arah Vivi." Hanya helaan napasnya yang terdengar, sebelum akhirnya ia mela
Pov Vivi.Aku terkejut bukan main, ketika tiba-tiba aku hampir keserempet mobil, dan saat seorang laki-laki keluar dari mobil, aku seperti mengenalnya, tapi di mana. Aku baru menyadari saat Mbak Nisa keluar dari mobil yang sama. Ya, aku ingat sekarang dia adalah Raffi laki-laki yang menolong Mbak Nisa saat dulu pernah kecelakaan. Kini mereka telah bersatu dalam ikatan pernikahan.Ya, Mbak Nisa berhak mendapatkan laki-laki sebaik Raffi.Aku kembali harus sembunyi dari Arya, aku sudah muak dengannya.Flashback empat tahun lalu..."Ren, kamu nggak bisa gitu dong! Kamu nggak bisa tinggalin aku gitu aja setelah semua yang sudah kita lakukan sama-sama, aku bahkan sudah berjuang sejauh ini lho untuk bisa sama-sama dengan kamu, bahkan aku rela nikah sama Mas Adrian untuk menyelamatkan anak ini agar dia tak lahir sebagai anak haram!" sentakku pada Rendi hari itu, ketika ia menyampaikan akan pindah ke Bandung."Aku mengerti Vi, terimakasih sudah menjaga anakku. Terimakasih, tapi maaf, kita tak
Pov Vivi 2Sejak aku berada dalam kehidupan gelap ini, aku lebih dikenal sebagai Vini, bukan lagi nama Vivi.Hubunganku dengan Arya makin dekat meski sudah kukatakan aku mulai bekerja sambilan open BO, ia tetap tak peduli, tetao perhatian dan sangat mengerti aku. Hingga akhirnya ia mengajakku untuk berpacaran dengannya.Tentu gaya pacaran kami sudah seperti suami istri, tinggal satu rumah, berhubungan layaknya suami istri. Aku tak peduli itu, asalkan dia mau menerimaku apa adanya. Jatah untuknya setiap malam lima ratus ribu tetap berjalan, bagaimanapun dia sudah banyak membantuku, dan yang paling utama, dia sayang padaku.Hingga tiba-tiba aku merasa tubuhku tidak baik-baik saja. Aku kerap kali demam dan sering diare. Berat badanku pun turun drastis dalam waktu beberapa bulan saja. Melihat pekerjaanku yang seperti ini tentu aku khawatir, aku beranikan diri untuk periksa ke dokter.. ternyata benar penyakit sialan itu menghampiriku. Memang menjadi seorang pekerja Se*s komersial harus di
"Pa, sudah Pa, sudah, ini rumah sakit, malu teriak-teriak," ucap Tante Ranti mengusap lengan Om Edwin."Malu Ma, Papa malu, punya anak perempuan satu, begini kelakuannya, nggak cukup bikin malu keluarga dengan semua kelakuanya!""Iya Pa, iya, Mama paham, tapi Papa harus sabar." Tante Ranti masih berusaha menenangkan Om Edwin."Astaghfirullah, Astaghfirullah.""Duduk dulu Pa, duduk dulu, minum Pa." Tante Ranti mengangsurkan segelas air putih untuk Om Edwin.Beliau meneguknya hingga habis."Ya Allah Ma, dosa apa kita, sampai di uji begini berat," tukas Om Edwin."Maaf Pa, Vivi menyesal Pa," ucap Vivi dengan begitu pilu.Om Edwin langsung membuang muka."Muak Papa lihat wajah kamu Vi, menjijikkan!" sergah Om Edwin kemudian langsung bangkit dan pergi keluar ruangan."Pa! Mau kemana lagi, Pa!"Om Edwin tak menjawabnya."Papa!" panggil Vivi sambil menangis."Ya Allah Papa," ucap Tante Ranti sambil menatap anak dan suaminya, terlihat bingung. "Biar Nisa yang kejar Om Edwin Tante, Tante tena
"Assalamualaikum," ucap Mas Raffi begitu memasuki pintu rumah, setelah tiga hari di Bandung. Sore ini aku sengaja menunggunya di rumah, karena siang tadi ia mengabari akan pulang sore ini, jadi aku putuskan untuk pulang cepat dari kantor."Wa'alaikumusalam, Mas. Alhamdulillah kamu sudah pulang?" Aku menyambutnya dengan senyuman, bergegas aku menarik koper yang di bawanya."Iya, lumayan macet tadi di jalan. Kamu baik-baik saja?" Ia merangkul pundakku dan kami berjalan bersama memasuki rumah.Aku mengangguk."Ya aku baik-baik saja, hanya saja ... Hatiku tak baik-baik saja." Ia langsung menatap lekat wajahku penuh tanya."Ada masalah?""Ada.""Apa?" "Masalahnya ... Di tinggal tiga hari sama kamu, membuatku sangat rindu," ucapku. Seketika membuatnya tersenyum lebar.Lalu sedetik kemudian ia menarikku ke dalam pelukannya, dan mencium gemas kedua pipiku."Siapa suruh pulang cepat-cepat, hem? Siapa suruh? Kalau saja kemarin kamu masih di sana kan kita bisa sambil jalan-jalan, Hem." Mas Raff