"Belum, Mbak. Paling juga sebentar lagi. Oh ya, saya mau bilang, tas-tas rajutnya habis semua lho, Mbak. Sisa delapan pieces yang model clucth itu, kemarin sore sudah terjual semua," lapor Ninik gembira. "Sweater dan syal, sisa beberapa piece saja. Itu juga sudah ada pemiliknya semua. Nanti sore atau besok akan diambil pemiliknya," lanjut Ninik lagi. "Alhamdullilah. Saya ada sisa dua lusin dengan warna berbeda di rumah beberapa perajut. Nanti sore atau besok pagi saya antar ya, Nik? Model-model lainnya insyallah lusa sudah selesai semua." Suri ikut gembira. Usaha rajutnya sekarang semakim laris. Begitu juga dengan online shopnya. Suri craft and Creations sekarang bisa mencapai omzet tujuh puluh juta dalam waktu dua minggu. Profitnya adalah setengah dari omzetnya tersebut. Setelah dipotong dengan biaya produksi, ia masih mengantongi sepersekian rupiah. Alhamdullilah."Selera customer di butik ini sudah bergeser ya, Nik? Dari yang tadinya menengah ke atas, jadi menengah ke bawah. Say
Suri tengah memilih-milih kain, ketika sebuah suara bariton menyapanya. Familiar dengan suara si penyapa, Suri menoleh. Damar Adhyatna."Lho Pak Damar? Sepertinya semesta sering sekali mempertemukan kita ya, Pak?" Demi menenangkan perasaannya yang bergolak, Suri mencoba berkelakar. Perseteruannya dengan Murni di depan Damar tadi membuatnya canggung. "Pertemuan kita ini bukan atas campur tangan semesta. Tetapi karena keinginan saya sendiri. Kalimat singkatnya, saya menguntitmu." Damar tertawa kecil. Diberi jawaban seterusterang ini membuat Suri salah tingkah. Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban sejujur ini. "Saya... saya... tidak tahu harus menjawab apa. Karena saya tidak menduga akan mendapat jawaban seperti itu dari Bapak," ucap Suri jujur."Hahaha. Santai saja Suri. Saya tidak mengharapkan jawaban darimu kok. Saya hanya memberitahumu saja. Oh ya, agar hatimu tenang, saya akan mengatakan dengan runut soal dasar saya menguntitmu." Damar memutuskan akan menjelaskan s
Seiring uang yang dikirim, bulir air mata Suri berderaian. Pras bersedia menjual perannya sebagai istri seharga dua puluh juta rupiah demi ketentraman hati selingkuhannya. Suri tersedak air matanya sendiri. Baiklah. Air mata ini adalah air mata terakhirnya menangisi laki-laki tidak berhati seperti Pras. Sekarang tugasnya adalah bermain drama. Untuk itu ia dibayar bukan? Tidak apa-apa. Jikalau dirinya dibayar untuk bermain drama, ia akan membuat dramanya mempunyai rating tinggi. Minimal Murni dan Pras akan melihat akting terbaiknya. Lihat saja!***"Tumben kamu meminta nomor ponsel make up artis, Ri? Kamu mau ngapain? Kawin lagi? Perasaan cerai saja kamu belum?"Suri tertawa kecil. Tebakannya tepat. Wanti pasti penasaran tingkat propinsi melihatnya menghambur-hamburkan uang untuk tampil cantik sehari. "Aku akan menghadiri ulang tahan boss besarmu, Ti. Mas Pras bilang, Pak Bondan meminta semua staffnya datang beserta keluarga. Makanya Mas Pras bersikeras memintaku datang. Ia bahkan me
"Kamu pernah menghadiri acara di hotel-hotel bintang lima sebelumnya tidak, Ri?" tanya Pras gelisah.Suri melirik Pras yang berjalan tidak tenang di sampingnya. Saat ini mereka telah memasuki hotel Griya Adiwangsa. Tempat acara ulang tahun Pak Bondan digelar. "Belum, Mas. Mas 'kan tidak pernah mengajakku kalau kantor atau rekan-rekan Mas mengadakan acara di gedung-gedung mewah seperti ini," sahut Suri datar. Suri mengerti bahwa Pras takut kalau ia bertingkah norak di tempat yang prestisius seperti ini. Makanya Pras ingin memastikannya terlebih dulu."Oh. Ya sudah kalau begitu. Perhatikan caraku membawa diri. Kalau kamu tidak mengetahui akan sesuatu, lebih baik diam daripada membuat segala sesuatunya berantakan. Ingat, jangan mempermalukanku."Pras memperingati Suri sekali lagi. Kalau dihitung-hitung sudah dua belas kali Pras mengulangi kalimatnya sejak dari rumah tadi."Jangan khawatir, Mas. Aku telah mengenakan outfit dan aksesoris seharga dua puluh juta. Itu artinya attitudeku juga
Suri mengangkat bahu. Kesalahan teknis memang bisa terjadi di mana pun dan kapan pun bukan? "Wah... wah... wah... dunia sudah terbalik ya, Ri? Di mana-mana biasanya istri sah yang mengamuk apabila memergoki suaminya bermesraan dengan selingkuhan. Pada kasusmu ini berbeda ya?" Terdengar suara separuh berbisik di belakangnya. Tanpa memandang ke belakang pun Suri mengenal suara jahil yang disertai kekehan tawa ini. Wanti, sahabat sejatinya. "Beda dong, Ti. Aku 'kan istri sah yang istimewa. Biarkan saja mereka dengan urusannya. Mari kita bersenang-senang menikmati suasana pesta horang-horang kayah," cengir Suri kalem. Tebakannya benar. Memang Wanti yang berada di belakangnya. Di sudut lain Suri memindai wajah-wajah teman lamanya sesama buruh jahit dulu. Uci, Titik dan Nila."Hallo teman-teman lama. Tidakkah kalian ingin menyapaku?" seru Suri kenes.Suri bergegas menghampiri ketiga teman lamanya. Waktu telah mengubah segalanya. Uci yang dulu tomboy dengan rambut nyaris gundul, kini tam
"I--ya, Pak Bondan," ujar Pras gagap. Ia sama sekali tidak menyangka akan ditembak tiba-tiba seperti ini. "Semoga kamu dan Suri mampu mengarungi bahtera rumah tangga hingga akhir. Tidak seperti lady bossmu ini. Karirnya maju pesat. Namun rumah tangganya jalan di tempat yang akhirnya bubar."Suasana mendadak tegang. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam kalimat Pak Bondan. Hanya saja, karena hubungan cinta terlarang Pras dan Murni terlanjur diketahui orang banyak, membuat suasana menjadi canggung. Terutama Pras dan Murni. Keduanya jelas terlihat mati kutu. Ibarat kata mereka berdua back street alias berpacaran di belakang punggung orang tua. Padahal semua orang sudah tahu kalau mereka bersama. Antara malu dan takut ketahuan menjadikan mereka serba salah dalam bersikap. Istimewa meja sebelah yang diduduki oleh keluarga besar Adhyatna ikut mendengarnya juga. Pak Bambang memang tidak bereaksi berlebihan. Ia bersikap olah-olah tidak mendengar pembicaraan meja sebelah. Tapi Bu Ajeng, ia t
Suri baru tahu kalau sikap makan yang benar itu posisi tubuh harus tegak. Tidak boleh membungkuk apalagi bersandar. Siku juga tidak boleh diletakkan di atas meja. Banyak hal yang Suri pelajari di internet. Termasuk setelah selesai makan, wajib meletakkan peralatan makan dalam posisi terbalik, serta sendok dan garpu dibuat membentuk huruf X.Dirinya memang tidak pernah menghadiri pesta di tempat yang semegah ini. Makanya ia belajar semuanya melalui internet agar tidak mempermalukan Pras. Teknologi zaman sekarang ternyata sangat membantunya. Ia bisa mempelajari itu semua secara otodidak."Belum selesai. Temani aku duduk bersama Pak Bondan dan Murni sampai acara selesai. Aku tidak tahan sendirian di sana. Kamu 'kan tidak buta tuli. Pasti kamu Kalau Pak Bondan itu terus menyerangku," keluh Pras kesal. Ia memang tidak betah diancam-ancam dengan sindiran terus-terusan oleh Pak Bondan. Istimewa Pak Bondan terang-terangan mengatakan bahwa ia menginginkan calon suami yang setara dengan Murni.
Suri tengah memeriksa stok barang-barang titipannya yang habis di butik, tatkala pintu kaca berayun. Bu Ajeng terlihat memasuki butik bersama dengan Savitri, putri bungsunya.Suri menarik napas panjang dua kali. Mempersiapkan mentalnya saat Bu Ajeng dan Savitri langsung menghampirinya. Dugaan Suri, Bu Ajeng dan Savitri pasti ingin menginterogasinya perihal Pras. Di perhelatan ulang tahun Pak Bondan semalam, Bu Ajeng sudah terlihat penasaran. Hanya saja Bu Ajeng tidak menemukan moment yang tepat untuk mengorek keterangan darinya."Level sabar Mbak Suri ini pasti masuk dalam sepuluh orang tersabar versi on the spot. Sabarnya poll." Savitri mengacungkan dua jempolnya. Tidak perlu orang jenius untuk menebak mengapa Savitri menyapanya dengan kalimat pembuka selugas ini. Kalimat sarkas Savitri mengacu pada hubungannya dan Pras."Bener, Ri. Ibu juga salut melihat kesabaranmu," timpal Bu Ajeng. Kini ibu dan anak itu masing-masing berdiri di sisi kanan dan kirinya. Keduanya melontarkan kalimat