Suri tengah memeriksa stok barang-barang titipannya yang habis di butik, tatkala pintu kaca berayun. Bu Ajeng terlihat memasuki butik bersama dengan Savitri, putri bungsunya.Suri menarik napas panjang dua kali. Mempersiapkan mentalnya saat Bu Ajeng dan Savitri langsung menghampirinya. Dugaan Suri, Bu Ajeng dan Savitri pasti ingin menginterogasinya perihal Pras. Di perhelatan ulang tahun Pak Bondan semalam, Bu Ajeng sudah terlihat penasaran. Hanya saja Bu Ajeng tidak menemukan moment yang tepat untuk mengorek keterangan darinya."Level sabar Mbak Suri ini pasti masuk dalam sepuluh orang tersabar versi on the spot. Sabarnya poll." Savitri mengacungkan dua jempolnya. Tidak perlu orang jenius untuk menebak mengapa Savitri menyapanya dengan kalimat pembuka selugas ini. Kalimat sarkas Savitri mengacu pada hubungannya dan Pras."Bener, Ri. Ibu juga salut melihat kesabaranmu," timpal Bu Ajeng. Kini ibu dan anak itu masing-masing berdiri di sisi kanan dan kirinya. Keduanya melontarkan kalimat
Chika menyerbu Omanya. Wajahnya imutnya yang sebelas dua belas dengan Murni, tersenyum bahagia. Sikap Chika ini berbanding terbalik dengan Murni. Ia tampak gugup dan gelisah. Murni juga tidak menyapa baik Bu Ajeng ataupun Savitri. Apalagi Suri. "Saya hanya mengantarkan Chika. Saya kembali ke kantor ya, Bu, Vitri? Saya masih banyak pekerjaan." Murni membalikkan tubuh. Ia tidak tahan berada dalam ruangan, di mana tatapan semua orang seolah-olah siap menghakiminya. "Tunggu dulu, Murni. Ada hal yang ingin Ibu bicarakan denganmu. Kita duduk dulu di sofa itu," Bu Ajeng beranjak dari sofa untuk pegunjung. Bu Ajeng mengajak Murni berbicara di sofa pribadinya yang terletak di sudut butik. Walau letaknya sedikit lebih jauh, namun tetap saja seluruh pembicaraan pasti akan terdengar. Karena lokasinya masih dalam satu ruangan. Namun apa mau dikata. Bu Ajeng sudah bertitah. Mau tidak mau Murni pun mengekori langkah mantan ibu mertuanya. Bagaimana pun Bu Ajeng adalah sahabat lama almarhumah ibun
"Saya percaya dengan Pras tentu saja. Begitu Pras juga dengan saya. Tidak ada rahasia di antara kami. Kami itu saling mempercayai satu sama lain," seru Murni sengit."Selamat. Kalian berdua uwu-uwu sekali," cetus Suri acuh. Di samping Suri, Savitri membuat ekspresi antara ingin tertawa sekaligus ingin muntah.Lain Savitri, lain pula Bu Ajeng. Bu Ajeng duduk santai namun mengamati, lebih tepatnya menikmati perseteruan Suri dengan Murni. Bu Ajeng bersikap layaknya seorang permaisuri, yang tengah mengamati perseteruan dua anak nakal di istananya dari atas singgasana.Sementara Ninik buru-buru mengamankan Chika. Ia segera membawa Chika ke lantai atas butik. Tidak baik bagi seorang anak kecil menyaksikan perseteruan ala-ala sinetron seperti ini."Jangan pura-pura tidak peduli padahal hatimu perih, Suri. Saya juga perempuan. Saya tahu tahu apa yang kamu rasakan." Murni mengangkat dagu bangga. Ia senang sekali bisa menjejalkan kenyataan di depan mata perempuan sombong ini."Benar, Bu Murni i
"Kamu! Istri macam apa kamu yang berniat memenjarakan suami sendiri? Katanya kamu perempuan baik. Perempuan baik apa yang mengumbar air rumah tangganya sendiri? Main lapor-lapor polisi lagi. Katanya sudah tidak mau. Sudah ikhlas. Ikhlas apaan? Kamu saja masih dendam begini!" Murni memelototi Suri."Istri yang diperlakukan kasar oleh suami tentu saja. Oh ya, menurut Bu Murni perempuan yang baik itu bagaimana sih? Yang diam saja kalau digamparin? Yang selalu patuh walaupun harga dirinya diinjak-injak? Yang selalu ngeh-ngeh berusaha menyenangkan suami, tidak peduli jika kesehatan mentalnya sendiri terganggu? Maaf-maaf saja ya, Bu. Walau pendidikan saya jauh di bawah Ibu, tapi saya masih punya otak," tandas Suri galak. Suri gemas melihat perempuan semodern Murni cara berpikirnya masih feodal. Yang tingkat pendidikannya rendah siapa sebenarnya di sini?"Wadududuh... Suri Teguh sedang menyampaikan motivasi." Murni merasa lama-lama ia bisa terkena darah tinggi apabila berbicara lebih lama l
Suri menggigiti kukunya. Beginilah keadaannya jikalau sedang nervous. Saat ini ia tengah berada di sebuah kafe. Ia sedang menunggu kedatangan Wanti beserta Abdi Negara. Pengacara sekaligus teman SMA Wanti. Suri ingin memakai jasa Abdi sebagai pengacaranya. Sudah hampir satu jam Suri menunggu. Namun bayangan Wanti dan Abdi belum juga muncul. Jus kedondongnya sampai tinggal es kristalnya saja. Demi membunuh waktu Suri memeriksa lagi dokumen-dokumen yang dibawanya. Abdi memang meminta semua dokumen-dokumen itu guna untuk mendaftarkan gugatan perceraiannya. Suri membuka map coklat. Di sana ada surat nikah asli. Kemudian photocopy surat nikah, Kartu Tanda Penduduk, Surat Keterangan dari Kelurahan, Kartu Keluarga serta akte kelahiran anak. Berarti semua yang diminta oleh Abdi telah lengkap. Suri memindai jam di pergelangan tangannya. Sepuluh menit kembali berlalu. Namun bayangan Wanti dan Abdi belum terlihat sama sekali. Setiap kali pintu kaca berayun, Suri refleks menoleh. Berharap Want
Abdi tidak langsung menjawab pertanyaan Suri. Sebagai gantinya ia mengamati air muka Suri. Mengamati dengan sungguh-sungguh niat clientnya. Apakah benar calon clientnya ini ingin bercerai atau emosi sesaat saja. Bukan apa-apa, selama ini banyak juga clientnya yang mengajukan gugatan perceraian hanya karena emosi sesaat. Istilahnya panas-panas tahi ayam. Menggebu-gebu diawal, namun melempem menuju persidangan. Bahkan ada yang lebih lucu. Mereka yang mengajukan gugatan. Namun ketika pasangannya setuju untuk bercerai, mereka juga yang memohon-mohon agar gugatan dibatalkan. Alasannya gugatan itu ia layangkan hanya untuk menggertak pasangannya saja. Bayangkan, betapa absurdnya bukan?Bukannya ia senang membuat orang bercerai, atau menghalang-halangi niat clientnya untuk rujuk. Ia senang-senang saja bahkan ia wajib untuk menjembatani mediasi bagi kedua belah pasangan. Masalahnya ini soal kode etik. Untuk apa mengajukan gugatan apabila masih saling cinta bukan? Lebih parahnya lagi mengajukan
Suri berjalan menjauhi Murni dan Pras. Ia tidak mau membuat tontonan di khalayak umum, yang pada akhirnya akan mempermalukan diri mereka sendiri. Walau hatinya panas, tapi Suri menjaga agar kepalanya tetap dingin. Damar juga mengikuti langkah-langkah panjang Suri dalam diam. Damar sepemikiran dengan Suri. Ia tidak mau kehidupan pribadinya menjadi viral di dunia maya. Banyak hati yang harus ia jaga. Damar sangat mengenal karakter mantan istrinya ini. Murni bisa mengamuk seperti orang gila jikalau ia tengah berakting sebagai orang yang tersakiti. Watak dan penghayatannya juara."Jangan lari kamu perempuan kampung! Sudah tertangkap basah seperti ini masih mau menghindar kamu ya?" Murni tidak mau kalah set. Ia berlari di belakang Suri dan Damar yang berjalan cepat ke arah kasir. Sepertinya Suri dan Damar berniat meninggalkan kafe.Murni tidak mempedulikan apapun lagi. Kadung semua rencananya gagal, akan ia gagalkan juga orang-orang yang akan berbahagia dibalik kegagalannya. Ya, sebenarn
"Iya, saya memang maling. Saya akui itu. Tapi dia juga maling. Bedanya saya malingnya terang-terangan. Tidak seperti dia yang pura-pura polos tapi terus menempeli Mas seperti lintah!" Murni menunjuk wajah Suri dengan ekspresi jijik.Suri melirik kanan dan kiri. Orang-orang yang tadinya sedang menikmati hidangan, atau yang bercengkrama sebelum pesanan mereka datang, menghentikan aktivitas mereka sebelumnya. Sebagian yang tadinya memotret hidangan atau pun selfie, sekarang mengarahkan ponsel mereka pada keributan yang Murni sulut. "Sudah, Murni. Jangan membuat tontonan gratis di sini. Jangan mempermalukan dirimu sendiri!" Pras menarik lengan kanan Murni. Mencoba membuat Murni menjauh. Namun Murni menepis tangan Pras. Ganjalan di dalam dadanya belum semua ia keluarkan. "Suri bukanlah orang yang seperti itu. Buktinya suami sahnya kamu gandeng-gandeng ke mana-mana saja, ia tetap bungkam bukan?" Damar menunjuk Pras yang wajahnya seketika memerah. Pras malu karena pandangan pengunjung di
"Bagaimana keadaan Ibu?" Suri menghampiri sang ibu yang terbaring di ranjang." Dirinya memang langsung pulang kampung setelah kakaknya mengabari kalau ibu mereka sedang sakit. "Lho kamu kok tiba-tiba ada di sini, Ri? Kamu datang dengan siapa? Damar?""Dengan Pak Min, Bu. Mas Damar besok baru menyusul. Ada rapat tahunan perusahaan. Keadaan Ibu bagaimana?" Suri menggenggam tangan sang ibu. "Seperti yang kamu lihat. Ibu baik-baik saja. Pasti kamu ya yang mengadu pada Suri, Las? Ibu tidak apa-apa kok?" Bu Niken memelototi Sulastri. Putri sulungnya ini sedikit-sedikit selalu mengadu pada Suri."Tidak apa-apa bagaimana? Orang Ibu nyaris stroke kemarin?" bantah Sulastri."Itu 'kan kemarin. Sekarang Ibu toh baik-baik saja. Lain kali jangan sedikit-sedikit mengadu pada Suri. Suri baru beberapa bulan melahirkan. Repot ke mana-mana membawa bayi." "Tidak repot kok, Bu. Kan ada Mbok Inah. Lagi pula sekalian Wira ingin bertemu dengan Pras. Rindu katanya. Kebetulan sekolahnya libur dua hari karen
Suri merapikan gaun hamil babydollnya karena tegang. Saat ini MC tengah membacakan nama-nama pengusaha yang masuk dalam nominasi Anugerah Wirausaha Indonesia atau AWI. Anugerah Wirausaha Indonesia itu sendiri adalah satu acara penghargaan yang diberikan kepada para pengusaha di Indonesia. Kompetisi dan penghargaan AWI ini biasanya dilaksanakan setiap tahunnya. Dan malam ini adalah acara AWI yang ke-22. Yang mana acara diselenggarakan pada ballroom Adi Daya Graha Hotel. Dalam acara AWI tahun ini, Damar yang mewakili PT Karya Tekstil Adhyatna masuk dalam 26 nominasi AWI yang terpilih. "Santai saja, Sayang. Jangan tegang. Nanti anak kita ikutan tegang di dalam sana." Damar menggenggam tangan Suri yang saling terjalin di pangkuan. Astaga, tangan Suri dingin sekali."Saya tidak tegang, Mas. Saya cuma tidak tenang. Masa nama Mas tidak disebut-sebut sih!" Suri mendecakkan lidah. MC dari tadi hanya membacakan nama-nama nominasi pengusaha yang lain."Sabar dong, Sayang. Nominasi yang harus
Dokter Aslan tersenyum tipis. Ia teringat pada Murni Eka Cipta. Sang pendonor yang juga mantan teman sekolahnya. Pada mulanya dokter Aslan tidak mengetahui kalau pendonor kornea mata Pras adalah Murni, teman SMP-nya dulu. Sampai sosok tubuh kaku Murni didorong masuk ke ruang operasi. Berdampingan dengan Pras. "Sudah lama meniatkan kornea matanya untuk saya? Siapa orangnya, Pak Dokter? Pras mengerutkan dahi. Ia penasaran. Siapa orang ini sampai-sampai meniatkan mendonor mata padanya? "Nanti Pak Pras akan tahu sendiri." Dokter Aslan menepuk ringan bahu Pras."Baiklah. Karena operasi ini telah berhasil dengan baik, saya akan memeriksa pasien lain lagi. Nanti siang, Pak Pras sudah bisa keluar dari rumah sakit. Saya ingatkan, besok pagi Bapak harus kembali kontrol ke poli mata untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Gunakan obat tetes mata sesuai dengan anjuran. Hindari menekan atau mengusap bagian mata, dan jangan mengendarai kendaraan bermotor. Tambahannya makanlah makanan yang bergizi s
Pras duduk di sisi ranjang seraya membuka mata perlahan. Ia mengikuti instruksi dokter Aslan. Perban yang membungkus matanya selama dua hari ini akhirnya dibuka juga. Sehari setelah operasi keratoplasti alias cangkok kornea mata, dirinya hanya mengganti perban dan mengecek kondisi mata. Setelah dinyatakan kalau hasil operasinya bagus, baru pada hari kedua inilah ia akan membuka mata hasil keratoplasti. Ia sungguh berterima kasih kepada siapa pun orang yang telah mendonorkan kornea mata padanya.Pras mencoba mengikuti instruksi dokter Aslan. Matanya masih terasa sedikit lengket. Padahal tadi dokter Aslan telah mengusapkan semacam cairan sejuk yang melembabkan matanya. Setelah matanya terbuka, Pras mengedip-ngedipkannya sebentar. Samar-samar ia mulai melihat cahaya terang. Sebuah tirai jendela berwarna hijau muda. Pras terbata-bata mengucap syukur. Akhirnya ia mampu melihat cahaya setelah tiga tahun bergelut dalam kegelapan."Ayah? Ayah sekarang sudah bisa melihat belum?"Suara Wira, p
"Ya sudah, Wira baik-baik di sana ya? Jangan nakal." Suri mengelus puncak kepala Wira. Sang putra mengangguk patuh. "Wira masuk ke dalam mobil dulu sana. Papa ingin berbicara pada bunda." "Siap, Pa." Wira bergegas masuk ke dalam mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menunjukkan bingkisan pada sang ayah. Karena konon katanya ayahnya sudah bisa melihat sekarang."Mas pergi dulu ya, Ri? Kamu dan Dimas baik-baik di rumah. Mas tidak lama. Setelah semua urusan selesai, Mas dan Wira akan langsung pulang ke rumah." Damar mengecup kening Suri mesra. Setelahnya ia mencium sayang pipi anak laki-lakinya.Damar kemudian berjongkok sembari mengelus perut Suri yang sedikit membukit. Ya, Suri tengah mengandung muda. Dirinya dan Suri memang kejar setoran. Usia mereka berdua sudah tidak muda lagi. Untuk mereka berusaha secepat mungkin memiliki keturunan."Adek bayi juga baik-baik di dalam sana ya? Jangan buat Bunda susah ya, Nak ya?" Damar mencium perut Suri. Mengelus-elusnya sebentar. "Ri, jangan kela
Tiga tahun kemudian.Seorang lelaki tua mengecup kening putri kesayangannya untuk yang terakhir kalinya. Setelahnya ia menatap nanar ketika jenazah sang putri didorong masuk ke ruang operasi. Sejurus kemudian satu brankar juga didorong masuk. Pintu kemudian ditutup, bersamaan dengan air matanya yang menetes perlahan. "Selamat jalan, putriku. Ayah bangga padamu karena telah berjuang hingga kamu tidak mampu lagi bertahan. Ayah juga akan melaksanakan pesan terakhirmu. Doakan agar Ayah kuat kehilanganmu. Karena masih ada satu pesanmu lagi yang harus Ayah emban hingga Ayah tutup usia."Air mata sang lelaki tua terus menetes, tanpa sang lelaki tua itu sadar. Ia menangis tanpa suara tanpa emosi. Selama tiga tahun menemani putri tunggalnya ini berjuang melawan penyakit-penyakitnya, tidak sekalipun ia menangis. Ia tidak mau putrinya melihatnya patah semangat.Namun hari ini, semua emosi yang selama ini ditahan-tahannya sendiri luruh. Ia telah kehilangan istrinya bertahun lalu. Dan kini ia ju
Dengan besar hati Murni meminta maaf atas semua kesalahannya. Dua minggu belakangan ini ia sudah menyadari semua kesalahannya. Ia juga sudah meminta maaf pada Pras, walau yang bersangkutan tidak bersedia menerima teleponnya. Menurut orang tua Pras, sekarang Pras kerap mengurung diri di kamar. Pras sedang menjalani fase-fase terburuk dalam hidupnya. "Saya maafkan, Bu. Saya juga minta maaf kalau selama ini tanpa sengaja saya telah menyakiti hati Ibu. Kita akhiri saja semua perseteruan tiada guna ini ya, Bu?" "Iya, Ri." Murni mengangguk mengiyakan. Ia setuju dengan rekonsiliasi Suri ini. Sudah cukup semua pertikaian yang pada mulanya ia picu."Sebaiknya kita memang menghentikan segala pertikaian dan menjalin hubungan silaturahmi demi tumbuh kembang anak-anak kita. Mas Damar sudah berjanji bahwa ia akan tetap menjadi ayah Chika sampai kapan pun, walau ayah kandungnya ada. Martin telah memiliki istri dan juga anak-anak. Saya harus mempertimbangkan perasaan Lidya, istri Martin."Suri ters
"Boleh saya berbicara berdua denganmu, Ri?" Murni memajukan kursi roda. Menghampiri Suri dan Damar yang sedianya akan ke lokasi perhelatan."Tidak bisa, Murni. Kami akan segera ke ballroom. Lagi pula, saya tidak mengizinkan kamu hanya berdua saja dengan Suri. Terlalu riskan soalnya." Damar dengan cepat menghalangi laju kursi roda Murni. "Saya hanya ingin berbicara sebentar saja dengan Suri sebagai sesama perempuan. Sepuluh menit saja, Mas. Lagi pula keadaan saya sekarang seperti ini. Bagaimana mungkin saya bisa menyakiti Suri?" Murni memandang Damar kecut, seraya menunjuk kursi roda dengan tatapan mata. Di mana dirinya terduduk lemah dengan hanya satu kaki normal. Kaki lainnya tinggal sebatas lutut yang ditutupi oleh kain menyerupai rok batik panjang."Menyakiti tidak hanya selalu dalam bentuk fisik, Murni." Damar menggeleng. Ia tetap tidak mengizinkan Suri berduaan dengan Murni. Istimewa di resepsi pernikahan mereka. Damar tidak mau sampai Murni melukai perasaan Suri di hari bahagi
"Oh iya. Saya akan membawa tas kecil berisi ponsel saja. Mbak Husna bisa tolong ambilkan tas tangan saya?" pinta Suri pada Mbak Husna. Suri tidak berani memandang wajah Damar yang tengah tersenyum lebar. Ia malu."Bisa dong, Ri. Ini." Mbak Husna meraih tas tangan mewah bertabur swarovski milik Suri di atas meja. Ia kemudian mengulurkan tas tangan berkilauan itu pada sang empunya tas."Mbak Husna tidak ikut keluar sekalian?" Suri yang masih grogi ingin agak Mbak Husna ikut berjalan bersama. Sebagai seorang perias pengantin, sudah menjadi kewajiban Mbak Husna untuk mendampinginya."Kamu keluar bersama Pak Damar dulu. Mbak akan mempersiapkan tas kecil untukmu touch up nanti, kalau diperlukan. Kamu duluan saja, Mbak akan segera menyusul." Mbak Husna memberi kesempatan pada Damar untuk membimbing Suri. Sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan lebih lama, Mbak Husna tahu bahwa Suri belum seratus persen percaya diri menyandang status sebagai istri Damar. Oleh karenanya Mbak Husna