Chika menyerbu Omanya. Wajahnya imutnya yang sebelas dua belas dengan Murni, tersenyum bahagia. Sikap Chika ini berbanding terbalik dengan Murni. Ia tampak gugup dan gelisah. Murni juga tidak menyapa baik Bu Ajeng ataupun Savitri. Apalagi Suri. "Saya hanya mengantarkan Chika. Saya kembali ke kantor ya, Bu, Vitri? Saya masih banyak pekerjaan." Murni membalikkan tubuh. Ia tidak tahan berada dalam ruangan, di mana tatapan semua orang seolah-olah siap menghakiminya. "Tunggu dulu, Murni. Ada hal yang ingin Ibu bicarakan denganmu. Kita duduk dulu di sofa itu," Bu Ajeng beranjak dari sofa untuk pegunjung. Bu Ajeng mengajak Murni berbicara di sofa pribadinya yang terletak di sudut butik. Walau letaknya sedikit lebih jauh, namun tetap saja seluruh pembicaraan pasti akan terdengar. Karena lokasinya masih dalam satu ruangan. Namun apa mau dikata. Bu Ajeng sudah bertitah. Mau tidak mau Murni pun mengekori langkah mantan ibu mertuanya. Bagaimana pun Bu Ajeng adalah sahabat lama almarhumah ibun
"Saya percaya dengan Pras tentu saja. Begitu Pras juga dengan saya. Tidak ada rahasia di antara kami. Kami itu saling mempercayai satu sama lain," seru Murni sengit."Selamat. Kalian berdua uwu-uwu sekali," cetus Suri acuh. Di samping Suri, Savitri membuat ekspresi antara ingin tertawa sekaligus ingin muntah.Lain Savitri, lain pula Bu Ajeng. Bu Ajeng duduk santai namun mengamati, lebih tepatnya menikmati perseteruan Suri dengan Murni. Bu Ajeng bersikap layaknya seorang permaisuri, yang tengah mengamati perseteruan dua anak nakal di istananya dari atas singgasana.Sementara Ninik buru-buru mengamankan Chika. Ia segera membawa Chika ke lantai atas butik. Tidak baik bagi seorang anak kecil menyaksikan perseteruan ala-ala sinetron seperti ini."Jangan pura-pura tidak peduli padahal hatimu perih, Suri. Saya juga perempuan. Saya tahu tahu apa yang kamu rasakan." Murni mengangkat dagu bangga. Ia senang sekali bisa menjejalkan kenyataan di depan mata perempuan sombong ini."Benar, Bu Murni i
"Kamu! Istri macam apa kamu yang berniat memenjarakan suami sendiri? Katanya kamu perempuan baik. Perempuan baik apa yang mengumbar air rumah tangganya sendiri? Main lapor-lapor polisi lagi. Katanya sudah tidak mau. Sudah ikhlas. Ikhlas apaan? Kamu saja masih dendam begini!" Murni memelototi Suri."Istri yang diperlakukan kasar oleh suami tentu saja. Oh ya, menurut Bu Murni perempuan yang baik itu bagaimana sih? Yang diam saja kalau digamparin? Yang selalu patuh walaupun harga dirinya diinjak-injak? Yang selalu ngeh-ngeh berusaha menyenangkan suami, tidak peduli jika kesehatan mentalnya sendiri terganggu? Maaf-maaf saja ya, Bu. Walau pendidikan saya jauh di bawah Ibu, tapi saya masih punya otak," tandas Suri galak. Suri gemas melihat perempuan semodern Murni cara berpikirnya masih feodal. Yang tingkat pendidikannya rendah siapa sebenarnya di sini?"Wadududuh... Suri Teguh sedang menyampaikan motivasi." Murni merasa lama-lama ia bisa terkena darah tinggi apabila berbicara lebih lama l
Suri menggigiti kukunya. Beginilah keadaannya jikalau sedang nervous. Saat ini ia tengah berada di sebuah kafe. Ia sedang menunggu kedatangan Wanti beserta Abdi Negara. Pengacara sekaligus teman SMA Wanti. Suri ingin memakai jasa Abdi sebagai pengacaranya. Sudah hampir satu jam Suri menunggu. Namun bayangan Wanti dan Abdi belum juga muncul. Jus kedondongnya sampai tinggal es kristalnya saja. Demi membunuh waktu Suri memeriksa lagi dokumen-dokumen yang dibawanya. Abdi memang meminta semua dokumen-dokumen itu guna untuk mendaftarkan gugatan perceraiannya. Suri membuka map coklat. Di sana ada surat nikah asli. Kemudian photocopy surat nikah, Kartu Tanda Penduduk, Surat Keterangan dari Kelurahan, Kartu Keluarga serta akte kelahiran anak. Berarti semua yang diminta oleh Abdi telah lengkap. Suri memindai jam di pergelangan tangannya. Sepuluh menit kembali berlalu. Namun bayangan Wanti dan Abdi belum terlihat sama sekali. Setiap kali pintu kaca berayun, Suri refleks menoleh. Berharap Want
Abdi tidak langsung menjawab pertanyaan Suri. Sebagai gantinya ia mengamati air muka Suri. Mengamati dengan sungguh-sungguh niat clientnya. Apakah benar calon clientnya ini ingin bercerai atau emosi sesaat saja. Bukan apa-apa, selama ini banyak juga clientnya yang mengajukan gugatan perceraian hanya karena emosi sesaat. Istilahnya panas-panas tahi ayam. Menggebu-gebu diawal, namun melempem menuju persidangan. Bahkan ada yang lebih lucu. Mereka yang mengajukan gugatan. Namun ketika pasangannya setuju untuk bercerai, mereka juga yang memohon-mohon agar gugatan dibatalkan. Alasannya gugatan itu ia layangkan hanya untuk menggertak pasangannya saja. Bayangkan, betapa absurdnya bukan?Bukannya ia senang membuat orang bercerai, atau menghalang-halangi niat clientnya untuk rujuk. Ia senang-senang saja bahkan ia wajib untuk menjembatani mediasi bagi kedua belah pasangan. Masalahnya ini soal kode etik. Untuk apa mengajukan gugatan apabila masih saling cinta bukan? Lebih parahnya lagi mengajukan
Suri berjalan menjauhi Murni dan Pras. Ia tidak mau membuat tontonan di khalayak umum, yang pada akhirnya akan mempermalukan diri mereka sendiri. Walau hatinya panas, tapi Suri menjaga agar kepalanya tetap dingin. Damar juga mengikuti langkah-langkah panjang Suri dalam diam. Damar sepemikiran dengan Suri. Ia tidak mau kehidupan pribadinya menjadi viral di dunia maya. Banyak hati yang harus ia jaga. Damar sangat mengenal karakter mantan istrinya ini. Murni bisa mengamuk seperti orang gila jikalau ia tengah berakting sebagai orang yang tersakiti. Watak dan penghayatannya juara."Jangan lari kamu perempuan kampung! Sudah tertangkap basah seperti ini masih mau menghindar kamu ya?" Murni tidak mau kalah set. Ia berlari di belakang Suri dan Damar yang berjalan cepat ke arah kasir. Sepertinya Suri dan Damar berniat meninggalkan kafe.Murni tidak mempedulikan apapun lagi. Kadung semua rencananya gagal, akan ia gagalkan juga orang-orang yang akan berbahagia dibalik kegagalannya. Ya, sebenarn
"Iya, saya memang maling. Saya akui itu. Tapi dia juga maling. Bedanya saya malingnya terang-terangan. Tidak seperti dia yang pura-pura polos tapi terus menempeli Mas seperti lintah!" Murni menunjuk wajah Suri dengan ekspresi jijik.Suri melirik kanan dan kiri. Orang-orang yang tadinya sedang menikmati hidangan, atau yang bercengkrama sebelum pesanan mereka datang, menghentikan aktivitas mereka sebelumnya. Sebagian yang tadinya memotret hidangan atau pun selfie, sekarang mengarahkan ponsel mereka pada keributan yang Murni sulut. "Sudah, Murni. Jangan membuat tontonan gratis di sini. Jangan mempermalukan dirimu sendiri!" Pras menarik lengan kanan Murni. Mencoba membuat Murni menjauh. Namun Murni menepis tangan Pras. Ganjalan di dalam dadanya belum semua ia keluarkan. "Suri bukanlah orang yang seperti itu. Buktinya suami sahnya kamu gandeng-gandeng ke mana-mana saja, ia tetap bungkam bukan?" Damar menunjuk Pras yang wajahnya seketika memerah. Pras malu karena pandangan pengunjung di
Hari berganti seperti berlari. Berkejaran mengganti siang dan malam. Mengubah hari menjadi minggu, dan minggu menjadi bulan. Tidak terasa tiga bulan pun telah berlalu. Dan hari ini tibalah di mana sidang putusan perceraiannya dengan Pras akan digelar.Putusan perceraian mereka memang termasuk lumayan cepat, karena mereka berdua sudah sepakat untuk bercerai. Sehingga tidak ada drama-drama di mana salah satu pihak keberatan untuk berpisah. Mereka telah melewati proses mediasi, sidang jawaban, replik, duplik, sidang pembuktian surat pengugat dan tergugat, hingga kesimpulan dengan damai. Selama melalui fase-fase itu, mereka berdua juga tidak pernah menghadirinya. Terkecuali saat mediasi. Saat itu dirinya dan Pras hadir didampingi oleh pengacara masing-masing. Namun setelahnya mereka berdua mempercayakan semuanya pada pengacara masing-masung. Tapi khusus hari ini, Suri memutuskan untuk hadir. Karena ia ingin melihat dan mendengar dengan mata dan kepalanya sendiri, bahwa dirinya telah sah