Untuk sesaat Dara dibuat bergeming akan kabar yang dibawa ayah satu anak itu sebelum kemudian menyalak, “Delion! Kamu jangan bercanda, ya!” Terdengar decak sebal dari pria di seberang sana. “Look! Kalau kamu tidak mempercayai fakta ini, maka lihatlah sendiri semua bukti-bukti yang kukirimkan, biar kutahu mulutmu yang ceriwis itu masih berani mempertanyakan kredibilitas kerjaku atau tidak!" suruh Delion dengan nada sewotnya. Bagaimana bisa orang pemarah sperti Delion ini bisa menjadi private investigator? Dara yakin Delion pasti membuat para kliennya kabur gara-gara sikapnya yang menyebalkan ini. Kadang Delion akan kelewatan bercanda tak tahu tempat, tapi di sisi lain Delion juga sering serius di waktu-waktu bercanda. “Kenapa malah kamu yang marah? Hei! Aku hanya memperingatkan dirimu yang kelewat sering bercanda itu," kata Dara dengan penuh penekanan. Berurusan dengan Delion itu sama saja seperti menggenggam udara. Sampai kapan pun Dara tak pernah bisa tahu isi hati Delion yang rum
Dara berjalan dengan lesu memasuki rumahnya yang sunyi meskipun langit belum terlalu gelap. Hari ini ia harus rela lembur habis-habisan karena divisi yang dipimpinnya sedang menjalankan proyek baru. Begitu kakinya menapaki lantai marmer kediaman Wijayakusuma, sedikit kelegaan akhirnya merasuki relung hatinya. Jika sudah seperti ini, maka tak akan ada hal lain yang ia lakukan selain tidur hingga esok pagi. Duar! Suara ledakan yang lumayan keras langsung membentur gendang telinga janda kembang yang semula berjalan lesu itu. Mata yang awalnya terkantuk-kantuk itu langsung melek seketika sembari celingak-celinguk mencari sumber suara. “Ahh!” Teriakan histeris dari arah dapur langsung mengambil alih rasa penasaran Dara. Perempuan itu segera menuju ke sumber suara dan mendapati pria paruh baya tengah memakai helm dan mantel sedang berperang dengan ledakan-ledakan yang diciptakan karena kombinasi wajan, minyak panas dan daging baru keluar kulkas. Dara segera mendatangi pamannya yang tam
“Kamu tak mau berbicara pada kita?” “Ampun!” Bugh! “Akan kupotong tanganmu jika tak beri tahu kami di mana letaknya barangnya,” “S-saya benar-benar tidak tahu. Saya bersumpah,” “Siapa di sana?!” “Sial,” “Pak!” “Nona Dara? Ada yang bisa dibantu?” “Ah ....” “Cincin saya jatuh di taman, saya sangat sedih, karena itu adalah hadiah dari ibu saya,” “Di bagian mana Nona menjatuhkannya?” “S-saya lupa, tapi saya tadi berputar-putar di seluruh taman, saya tidak bisa menduga-duga di bagian mana cincin saya jatuh,” “Baiklah, akan saya lihat,” “Tidak-tidak!” “Maaf?” “Maksud saya, kamu tidak bisa ke sana sendirian. Saya sangat berharap jika cincin itu ketemu sesegera mungkin. Jadi, kamu harus membawa temanmu. Paling tidak ....” “Lima orang! Bawa rekan paling tidak lima orang, dan dalam waktu lima menit, kembali saja meskipun belum ketemu. Ini sudah malam, akan saya cari tahu caranya besok, atau mungkin saya akan memilih mengikhlaskannya,” “Hati-hati, Pak,” “Dara? Kamu kenapa ke s
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Itu artinya, para budak korporat sudah diperbolehkan melepaskan diri dari penatnya kerajaan, dan mengisi perut mereka dengan maka siang. "Hari ini, Bu Dara ingin makan siang dengan menu apa?” tanya perempuan yang berprofesi sebagai sekretaris manager marketing PT Juita Betari itu dengan nada sungkan.Dara yang sedang memijat pangkal hidungnya untuk meredakan pusing yang menyerang, perlahan bangkit dari kursi kebesarannya. “Ayo, ke kantin saja,” ajaknya sembari melambaikan tangan dan berjalan mendahului sang sekretaris. “Akhir-akhir ini Bu Dara terlihat sangat sumringah, apakah saya salah menebak?” terka wanita berpakaian formal itu sembari mengikuti langkah atasannya.Dara kontan menghentikan langkahnya dan berbalik. “Benarkah?” tanyanya sambil memegangi wajahnya sendiri sebelum kemudian mengedikkan bahunya acuh tak acuh dan kembali berjalan. “Namanya juga hidup, akan ada masa senang dan sedihnya. Masa saya harus murung terus? Yang paling
‘Jangan lupa bayaran untukku,’ ‘Kamu sudah memberi tahuku sebanyak tujuh kali, Delion. Berhenti merecokku, tak akan kukirimkan jika kamu terus mengirimkan pesan-pesan ini.’ ‘Iya, ini yang terakhir kalinya. Lagi pun, hari ini kamu ada kencan dengan Sagara, kan? Aku tak akan mengganggumu lagi. Nikmatilah ke can manismu Nona.’ “Dasar gila,” “Kamu mau ke mana, Dara? Akhir-akhir ini, Oma lihat setiap libur, kamu selalu keluar. Kamu ... ada pacar di luar sana kah?” “Bukan pacar, Ma. Aku memang sedang ada urusan penting di luar,” “Kalau kamu punya pacar, bawalah kemari. Siapa orangnya, dan di mana rumahnya? Biar kami bisa saling mengenal.” “Memangnya Mama belum mengenalnya? Bukankah sebelum Dara, mama malah lebih mengenal pacar Dara?” “Maksudnya siapa, Ndra?” “Siapa lagi? Memangnya Dara dekat dengan pria lain selain Sagara?” “Oh, jadi benar-benar dia,” “Nah itu dia!” “Kamu kemari untuk meminta izin mengencani perempuan Wijayakusuma. Apakah aku salah?” “Benar, saya i
Chapter 1. Suamiku Berselingkuh“Suami, mertua, dan ipar-ipar Mbak Dara tidak jemput?” tanya seorang gadis sembari mengemasi beberapa pakaian.Wanita yang dipanggil Mbak Dara menatap ke arah gadis itu. “Mereka sibuk ... mungkin?” jawab Dara tak yakin. Netranya menatap nanar bangsalnya yang siap ditinggal dengan perasaan hampa.Lalu lalang manusia berpakaian khas pegawai rumah sakit yang tengah merawat pasien itu, tampak tak terusik dengan keberadaan keduanya.“Namanya keluarga, mau sesibuk apa pun, minimal usahakan, lah! Suami Mbak juga, memangnya pernah jenguk sekali saja? Bahkan Mbak saja ke sini naik taksi sendirian! Suami seperti itu baiknya dibuang jauh-jauh, Mbak!” Sang gadis yang sudah hampir dua tahun bekerja di butik Dara sebagai asisten tahu betul betapa tidak pedulinya suami dan keluarga dari bosnya tersebut. Sang suami sering bertindak kasar dan marah-marah semenjak di PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Belum lagi omelan dan ocehan para ipar. Hanya butik satu-sat
Sang mertua melotot tak terima. “Jika ingin pergi, kau saja yang pergi dasar mandul pembawa sial! Kaulah yang menumpang di sini!” hardik sang mertua membuat Dara menggeleng tak setuju.“Itu tidak mungkin! Rumah ini milikku apa hak kalian—” Dara berteriak lantang dan terpotong. “Meski kamu yang membangun rumah ini, tetap saja, tanah dan sertifikat rumah ini atas namaku. Dan kamu tidak ada hak!” sahut mama mertua dengan setitik senyum bangga.“Tak usah memperpanjang masalah, Ra. Kamu tinggal ikhlas, maka semuanya beres.” Indri, sang menantu baru mulai angkat bicara. “Lagipula, kita kan, berteman. Tidak akan sulit rasanya membagi suami pada temanmu.”Dara berdiri dengan pandangan mencemooh ke arah Indri. Andai saja ikhlas itu semudah membalikkan telapak tangan.“Indri benar. Tidak perlu berselisih lagi, intinya masalah ini selesai!”Mertua Dara memang kerap kali ikut campur dalam rumah tangganya. Namun, kali ini… Dara tidak akan membiarkan wanita tua itu kembali mencampuri ranahnya.“T
Dara membersihkan mulutnya yang masih menyisakan cairan asam yang tertolak oleh lambungnya. Terhitung sudah tiga kali ia memuntahkan cairan asam itu. Tubuhnya ambruk di lantai berlapis karpet tanpa bisa dicegah.“Mbak? Mau ke rumah sakit lagi?” tanya perempuan yang tengah memberesi sarapan atasannya yang tinggal seperdua.Dara menggeleng pelan. “Tidak perlu, keadaan butik sekarang sangat sibuk. Saya harus turun tangan langsung mengingat peran saya sangat dibutuhkan,” tolak Dara sembari merapikan rambutnya yang entah sudah berapa hari tak tersentuh sisir.Sang asisten diam-diam menyetujui ucapan Dara. Mau bagaimana lagi? Butik yang tidak seberapa besar ini kekurangan sumber daya manusia, dan sayangnya hanya memiliki satu desainer yang tak lain dan tak bukan adalah sang pemiliknya sendiri.Apa lagi, pendapatan butik selama beberapa hari terakhir, khususnya saat Dara menjalani rawat inap, mengalami penurunan yang signifikan.“Tolong ambilkan desain-desain saya sekalian bawakan catatan pe
‘Jangan lupa bayaran untukku,’ ‘Kamu sudah memberi tahuku sebanyak tujuh kali, Delion. Berhenti merecokku, tak akan kukirimkan jika kamu terus mengirimkan pesan-pesan ini.’ ‘Iya, ini yang terakhir kalinya. Lagi pun, hari ini kamu ada kencan dengan Sagara, kan? Aku tak akan mengganggumu lagi. Nikmatilah ke can manismu Nona.’ “Dasar gila,” “Kamu mau ke mana, Dara? Akhir-akhir ini, Oma lihat setiap libur, kamu selalu keluar. Kamu ... ada pacar di luar sana kah?” “Bukan pacar, Ma. Aku memang sedang ada urusan penting di luar,” “Kalau kamu punya pacar, bawalah kemari. Siapa orangnya, dan di mana rumahnya? Biar kami bisa saling mengenal.” “Memangnya Mama belum mengenalnya? Bukankah sebelum Dara, mama malah lebih mengenal pacar Dara?” “Maksudnya siapa, Ndra?” “Siapa lagi? Memangnya Dara dekat dengan pria lain selain Sagara?” “Oh, jadi benar-benar dia,” “Nah itu dia!” “Kamu kemari untuk meminta izin mengencani perempuan Wijayakusuma. Apakah aku salah?” “Benar, saya i
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Itu artinya, para budak korporat sudah diperbolehkan melepaskan diri dari penatnya kerajaan, dan mengisi perut mereka dengan maka siang. "Hari ini, Bu Dara ingin makan siang dengan menu apa?” tanya perempuan yang berprofesi sebagai sekretaris manager marketing PT Juita Betari itu dengan nada sungkan.Dara yang sedang memijat pangkal hidungnya untuk meredakan pusing yang menyerang, perlahan bangkit dari kursi kebesarannya. “Ayo, ke kantin saja,” ajaknya sembari melambaikan tangan dan berjalan mendahului sang sekretaris. “Akhir-akhir ini Bu Dara terlihat sangat sumringah, apakah saya salah menebak?” terka wanita berpakaian formal itu sembari mengikuti langkah atasannya.Dara kontan menghentikan langkahnya dan berbalik. “Benarkah?” tanyanya sambil memegangi wajahnya sendiri sebelum kemudian mengedikkan bahunya acuh tak acuh dan kembali berjalan. “Namanya juga hidup, akan ada masa senang dan sedihnya. Masa saya harus murung terus? Yang paling
“Kamu tak mau berbicara pada kita?” “Ampun!” Bugh! “Akan kupotong tanganmu jika tak beri tahu kami di mana letaknya barangnya,” “S-saya benar-benar tidak tahu. Saya bersumpah,” “Siapa di sana?!” “Sial,” “Pak!” “Nona Dara? Ada yang bisa dibantu?” “Ah ....” “Cincin saya jatuh di taman, saya sangat sedih, karena itu adalah hadiah dari ibu saya,” “Di bagian mana Nona menjatuhkannya?” “S-saya lupa, tapi saya tadi berputar-putar di seluruh taman, saya tidak bisa menduga-duga di bagian mana cincin saya jatuh,” “Baiklah, akan saya lihat,” “Tidak-tidak!” “Maaf?” “Maksud saya, kamu tidak bisa ke sana sendirian. Saya sangat berharap jika cincin itu ketemu sesegera mungkin. Jadi, kamu harus membawa temanmu. Paling tidak ....” “Lima orang! Bawa rekan paling tidak lima orang, dan dalam waktu lima menit, kembali saja meskipun belum ketemu. Ini sudah malam, akan saya cari tahu caranya besok, atau mungkin saya akan memilih mengikhlaskannya,” “Hati-hati, Pak,” “Dara? Kamu kenapa ke s
Dara berjalan dengan lesu memasuki rumahnya yang sunyi meskipun langit belum terlalu gelap. Hari ini ia harus rela lembur habis-habisan karena divisi yang dipimpinnya sedang menjalankan proyek baru. Begitu kakinya menapaki lantai marmer kediaman Wijayakusuma, sedikit kelegaan akhirnya merasuki relung hatinya. Jika sudah seperti ini, maka tak akan ada hal lain yang ia lakukan selain tidur hingga esok pagi. Duar! Suara ledakan yang lumayan keras langsung membentur gendang telinga janda kembang yang semula berjalan lesu itu. Mata yang awalnya terkantuk-kantuk itu langsung melek seketika sembari celingak-celinguk mencari sumber suara. “Ahh!” Teriakan histeris dari arah dapur langsung mengambil alih rasa penasaran Dara. Perempuan itu segera menuju ke sumber suara dan mendapati pria paruh baya tengah memakai helm dan mantel sedang berperang dengan ledakan-ledakan yang diciptakan karena kombinasi wajan, minyak panas dan daging baru keluar kulkas. Dara segera mendatangi pamannya yang tam
Untuk sesaat Dara dibuat bergeming akan kabar yang dibawa ayah satu anak itu sebelum kemudian menyalak, “Delion! Kamu jangan bercanda, ya!” Terdengar decak sebal dari pria di seberang sana. “Look! Kalau kamu tidak mempercayai fakta ini, maka lihatlah sendiri semua bukti-bukti yang kukirimkan, biar kutahu mulutmu yang ceriwis itu masih berani mempertanyakan kredibilitas kerjaku atau tidak!" suruh Delion dengan nada sewotnya. Bagaimana bisa orang pemarah sperti Delion ini bisa menjadi private investigator? Dara yakin Delion pasti membuat para kliennya kabur gara-gara sikapnya yang menyebalkan ini. Kadang Delion akan kelewatan bercanda tak tahu tempat, tapi di sisi lain Delion juga sering serius di waktu-waktu bercanda. “Kenapa malah kamu yang marah? Hei! Aku hanya memperingatkan dirimu yang kelewat sering bercanda itu," kata Dara dengan penuh penekanan. Berurusan dengan Delion itu sama saja seperti menggenggam udara. Sampai kapan pun Dara tak pernah bisa tahu isi hati Delion yang rum
Menyebalkan! Meskipun Dara berhasil membuat Namira Sana Soeroso, sang model catwalk, geram dan menjauh darinya dengan hati dongkol, itu tak serta-merta membuat Dara senang. Mungkin Namira akan menyenggolnya di media sosial seperti yang biasa perempuan itu lakukan pada orang-orang yang menyinggungnya. Apakah Dara takut? Jawabannya antara iya dan tidak. Karena ucapan Sagara kapan hari tentang sikap aneh Namira dalam memilih musuh, Dara jadi percaya diri Namira tak akan berani menyentuhnya. Namun, tak ada yang tahu pasti bagaimana masa depan berjalan. Bisa saja Namira akan melakukannya karena Dara terlampau menggores harga dirinya. “Kamu kenapa, Dara?” tanya Sukma begitu melihat wajah putri semata wayangnya yang kusut sejak menuruni mobil. Dara yang sedang berjalan itu menghentikan langkah. “Iya, Ma?” tanya Dara tak mendengar pertanyaan sang ibu. Sukma menatap putrinya penuh penilaian. “Kamu terlihat cemberut sejak pulang, apa yang terjadi? Apakah ada hal buruk yang menimpamu hari in
Namira mengulurkan tangannya pada Dara. Hal seperti itu biasannya identik dengan sambutan ramah. Namun, dari sorot matanya, tak ada setitik pun ekspresi ramah. Malah, ada ekspresi sengak ditambah sekelumit ekspresi menghina yang perempuan semampai itu layangkan kepada Dara.Karena ingin menghargai sikap Namira, Dara pun berdiri untuk menyambut perlakuan Namira terlepas niat sebenarnya sang model papan atas yang belum ia ketahui.Dara tersenyum ramah dan menyambut angsuran tangan itu. "Kita berjumpa lagi. Senang bertemu denganmu,” katanya berniat kembali duduk. Namun, cengkeraman erat dari Namira membuat Dara mengernyit bingung akan perlakuan yang semula ramah dan sekarang berubah layaknya monster.Dara berusaha mencari maksud Namira dengan menatap netra tajamnya. janda kembang itu sedikit mendongak karena perbedaan tinggi mereka yang signifikan, meskipun Dara sendiri memiliki tinggi 171 senti, tapi itu tak ada bandingannya dengan Namira Sana Soeroso yang tingginya mencapai 180 senti d
Dara berjalan keluar kantor bersama para karyawan lain mengingat ini adalah waktu penghujung bekerja. Raut lelah para karyawan menjadi satu-satunya yang menemani Dara dalam kesendiriannya. Saat Dara akan menaiki mobil yang sudah dipersilakan sopirnya, tiba-tiba benda pipih di sakunya bergetar. Dara membukanya, itu adalah panggilan telepon dari ibunya. Segeralah wanita itu menerimanya. “Kenapa, Ma?" tanya Dara sebagai pembuka obrolan sembari masuk ke mobil dan segera memakai. sabuk pengamannya. Terdengar kasak-kusuk dari seberang sana, menunjukkan jika Sukma Wijayakusuma masih berada di kantor pusat dengan berkas-berkas membosankan itu. Tak lama kemudian suara tersebut mulai hening. "Ada undangan dari salah satu kolega bisnis kita. Mama lupa memberi tahu. Kamu sudah di rumah?" tanya wanita paruh baya dengan suara lelahnya. "Belum, Ma. Aku baru saja keluar kantor ini mobilnya baru keluar dari area kantor," jawab Dara sambil melihat pemandangan mobil-mobil yang berjejer macet. "Bag
“Apa, Pak? Bapak tadi bilang apa, coba ulangi!” suruh seorang wanita paruh baya sembari melipat tangannya di kedua sisi tubuh. Matanya menatap nyalang sang suami yang tampak lesu. Pria paruh baya yang merupakan suami si wanita itu, mengangkat kepala yang awalnya menunduk lemas seakan-akan tidak diberi makan sebulan. “Kita coba adopsi anak-anaknya Surti, Buk," lirihnya hampir-hampir tak terdengar. Namun, karena ketajaman telinga sang istri, kalimat lirih itu pun terdengar begitu vokal dan berhasil menabrak keras gendang telinganya, membuat perempuan baya itu langsung meremas gamis ungu jandanya dengan napas yang makin lama makin tak terkendali. Didekati lah sang suami yang tampak pucat penuh keputusasaan itu dengan amarah yang bercokol di benaknya. “Bapak melantur? Bapak sadar apa yang bapak omongkan?” tanya Rahmi dengan suara gigi-gigi yang bergesekan, membuat irama mengerikan bagi siapa saja yang mendengarnya, terkecuali seorang pria paruh baya yang saat ini sudah bertekad kuat ak