Dara memandang layar ponselnya dengan perasaan gelisah, itu adalah nama kontak Sagara yang terpampang nyata di sana. Ia langsung memblokir sang empunya nomor setelah pernyataan ketertarikan kemarin. Untuk sekarang, baginya menjauhi pria itu adalah solusi terbaik. Setelah Dara memulai satu-persatu wishlist hidupnya, kenapa Sagara harus datang dengan perasaan sialan itu? Dan apa alasan sang empunya memilih meletakkan ketertarikan padanya? Apa yang Sagara lihat dari seorang janda yang diselingkuhi suaminya dan anak yang pernah durhaka pada orang tuanya? Ini jelas aneh untuk dicerna pikiran kusutnya.Bunyi pintu kamarnya yang diketuk membuat Dara langsung sadar dari lamunannya. Mendengar suara ART yang memberitahu waktunya untuk sarapan, Dara praktis menuju ruang makan yang sudah ditempati seluruh anggota keluarga Wijayakusuma minus sang pria satu-satunya alias Hendra Yusman yang masih disibukkan dengan proyek barunya.“Kemarin ... kamu kenapa?” tanya Sukma begitu sang anak sampai di
sang menantu yang terpojok itu semakin kalang kabut dan hanya bisa memberikan cengir-cengir bodoh, menjadikan sang istri dan mertuanya semakin gemas ingin menonjok. “Mas! Jawab dong, Mas!” tambah sang istri sembari menarik-narik baju suaminya yang terlihat mematung dengan wajah memerah malu. Melihat ekspresi sang menantu, Rahmi akhirnya bisa mengonfirmasi sendiri. “Kamu bagaimana sih?! Punya hutang bukannya segera dibayar malah ke sini, kalau tetangga sampai dengar, saya yang malu tahu!” bentaknya pada sang menantu yang terlihat menunduk itu. Tangannya yang dihiasi gelang imitasi menunjuk-nunjuk wajah sang menantu. “Jadi bagaimana, Pak?” tanya sang debt collector meminta kepastian sekaligus sebagai penengah kegaduhan itu. Untuk menyelamatkan muka dari tetangga dan tamu rupawan penagih hutang itu, akhirnya Rahmi mengambil dompetnya yang ia jepit di ketiak. Jarinya menarik resleting dompet buluk itu. “Berapa Pak? Biar saya yang bayar,” tanyanya sembari mengeluarkan tiga lembar m
Dara menatap pantulan wajannya di cermin rias, ada sepasang lingkar hitam yang menghiasi matanya. Dua hari sudah berlalu, yang artinya hari ini ia akan bertemu dengan Delion selepas kontrol, dan dia ... belum juga menemukan cara agar pertemuan keduanya tak diketahui anggota keluarganya dan siapa pun yang mengenalnya.Lebih lagi, ia tak bisa berjalan dan mengandalkan kursi roda elektriknya untuk setiap mobilitasnya. Akan sangat mustahil jika keluarga Wijayakusuma membiarkannya kontrol sendiri, pasti akan ada yang mendampinginya.‘Dimana kita akan bertemu?’ Itu adalah pesan dari Delion yang dikirim baru saja.Dara sibuk mengetik. ‘Ada ..., suatu tempat,’ balasnya sedikit berbohong. Mana ada dia memikirkan solusi, dua hari belakangan ini ia disibukkan dengan berbagai makian-makian baru yang dilontarkan untuk Sagara. Cih! Kenapa pula laki-laki itu harus menaksir padanya? Untuk ukuran orang yang tak ingin membangun komitmen, jujur ini merepotkan.‘Jangan bilang kalau kamu belum menemu
Dara ternganga lebar saat melihat penampilan Delion Sunarija yang terlihat bak siang dan malam jika dibandingkan penampilan kesehariannya. Jaket leather hitam yang biasa membungkus tubuh maskulinnya hilang, digantikan dengan sebuah scraf yang membuat pria di depannya itu tampak alim dan jauh dari dunia-dunia gelap.Cambang halus yang membuat kesan galak itu bahkan juga hilang dari pandangan, membuat wajah Delion Sunarija terlihat seperti malaikat penolong. Orang-orang tak akan tahu jika perawakan malaikat ini tak lain dan tak bukan hanyalah seorang iblis yang menyamar.Delion mendekati Dara dengan langkah natural dan berhenti di samping Dara, pria itu berjongkok untuk mengikat sepatunya. “Jatuhkan satu barangmu sampai enam meter lurus ke depan dan jalankan kursi rodamu begitu aku mengambilnya. Lalu berhenti di tempat aku berdiri,” perintahnya membuat Dara mengernyitkan alisnya samar. Namun, Dara tahu jika Delion jelas memiliki pengalaman yang lebih mumpuni dibandingkan dirinya dal
Dara meneliti latar belakang Sagara yang kapan hari Delion berikan padanya. Sayangnya ia belum sempat membaca keseluruhannya, hingga sekarang, ia beranikan diri kembali membukanya untuk melihat hal yang mungkin saja pernah ia lewatkan atau informasi apa pun yang bersifat membantu dirinya dari keadaan ini. Benar saja kata Delion, Sagara bisa saja mendapatkan predikat pengusaha yang terkenal ramah, tapi itu jelas tak menghilangkan jati dirinya sebagai pengusaha sukses yang penuh siasat. Di dalam rekap latar belakang Sagara, tak ia temukan satu pun informasi yang menunjukkan jika Sagara pernah jatuh karena menaiki motor saat sedang balapan liar seperti yang sang empunya ceritakan kapan hari di rumah sakit. Dua kemungkinannya yaitu, Sagara memang benar-benar pernah jatuh seperti katanya, adapun alasan Delion tak menemukan rahasia itu karena Sagara sangat pandai melebihi private investigator terkenal seperti Delion. Yang kedua, jika data dari Delion ini memang benar akurat, maka Sag
Dara menatap pantulan tubuhnya di cermin. Kaki jenjang yang dulunya menjadi kebanggaannya itu sedang berusaha tegap berdiri dibantu dua kruk di kedua sisi tubuhnya. Untuk pertama kalinya, akhirnya Dara bisa terbebas dari nyeri lutut yang disebabkan karena terlalu lama beraktivitas menggunakan kursi roda. Meskipun sekarang ia harus berusaha lebih keras karena jalannya yang tertatih-tatih, tapi Dara tetap menikmatinya sebagai progres menuju kesembuhan.Bunyi notifikasi ponselnya membuat kegiatan menganalisis penampilan itu buyar seketika, mengambil ponselnya yang tergeletak mengenaskan, Dara akhirnya mendapati nama sang gebetan yang tertera di layar elektronik itu.Apakah bisa dianggap demikian? Pasalnya mereka berdua berinteraksi sama halnya seperti dua klien yang sedang dalam hubungan kerja.‘Minggu depan, saya akan mengusahakan ke rumahmu, maaf karena kedepannya saya akan sibuk,’Hanya itu, tak ada ucapan manis seperti selamat pagi, malam, atau siang sekalian apalagi 'kamu suda
Dara berbalik begitu mendengar suara sang nenek. Benar saja, ia langsung dihadapkan dengan wujud Laksmi Wardana yang tengah membaca buku di living room. Janda kembang itu berjalan mendekatinya.“Yah,” desahnya begitu duduk setelah berusaha keras. “Jujur itu memang relate. Tapi, bukan berarti aku menyetujui cara ekstrem Oma sampai berjalan sendiri tanpa didampingi orang,” sambung perempuan 29 tahun itu sembari merenggangkan kakinya. “Kamu tampak sangat bersemangat untuk sembuh, ya?” tanya Laksmi sambil memandangi sang cucu yang bahkan sampai berkeringat karena berusaha berjalan, padahal, rumah ini sejuk ber-AC . “Mau bagaimana lagi? Ada banyak tanggung jawab yang sekarang menungguku, jabatanku tidak boleh kosong terlalu lama, apalagi saat perusahaan sedang sibuk-sibuknya seperti ini. Meskipun memang bisa, tapi bagiku, bekerja dari rumah itu jelas memiliki kesan berbeda,” jawab Dara dengan tangan mengambil camilan dari meja di depannya. Itu adalah ubi bakar kesukaan Laksmi, entah
Dara menatap tulisan yang menghiasi kertas di tangannya itu dengan tangan bergetar hebat, wajahnya yang semula antusias langsung berubah pucat pasi ditambah gemeletuk gigi yang ikut menambah harmonisasi dengan suasana sepi di sekitarnya.Perempuan itu pikir ... ia baru saja menemukan informasi akan keluarga Adikara yang sekiranya bisa membantu sang informan, dia pikir ... ia baru saja mendapatkan harta karun begitu melihat amplop yang diberi cap oleh salah satu dari banyaknya klinik milik keluarga Adikara. Namun, ini jelas di luar ekspektasinya. Ia mendapati nama Sukma Wijayakusuma di sana. Sebagai ... seorang pasien.Sedang di sisi lain, seorang wanita paruh baya mematung di tempatnya begitu mendapati sang anak yang tetiba saja ada di ruang kerjanya. Sukma Wijayakusuma mengamati perubahan ekspresi Dara yang tampak syok.Wanita paruh baya itu mendekati sang putri semata wayang. “Dara ... kenapa kamu di sini?” tanyanya dengan nada lembut.Sedang si empunya nama yang di tanya, mal
“Apakah Bu Dara sudah menyelesaikan urusan? Kemarin Bu Sukma Wijayakusuma membuat izin atas nama Anda,” “Yah, memang ada sedikit urusan, dan syukurlah itu sudah selesai,” “Syukurlah,” “Ada jadwal apa saja untuk hari ini?” “Rapat kerja dengan tim finansial jam10.00 sampai 10.30.” Penganggaran dan perkiraan, Perilaku pelanggan dan tren pasar, Dampak pemasaran, Strategi pemasaran, Permasalahan produksi. “Ada gosip baru?” “A-ada, Bu,” “Tentang apa?” “Ada karyawan dari divisi produksi yang ketahuan main kuda-kudaan dengan OB di gudang kantor,” “M-maksud saya, mereka berlaku tidak senonoh di gudang kantor,” “Lalu?” “Dua-duanya langsung mendapat SP, kabarnya si pihak laki-laki alias tim IT itu sudah punya anak dan istri. Sedangkan si OB-nya sendiri juga sudah punya suami,” “Menurut kalian ... kenapa wanita itu rela menjadi orang ketiga dalam hubungan seseorang, di saat dia sendiri sudah punya pasangan?” “Bisa jadi karena lingkungan, Bu. Kita semua tahu bagaimana i
“Maaf, Mbak,” ucap seorang Wanita membuat sembari mengambil barang-barang Dara yang berjatuhan.Sedangkan Dara sendiri, perempuan itu malah terbengong di tempatnya ketika melihat wanita di depannya tersebut. Itu adalah tukang samu simpanan mantan mertuanya! Bukannya segerakan pergi dan menyelamatkan diri, Dara malah terpaku di tempatnya hingga wanita itu membalikan keranjangnya dengan isi yang sudah kembali ke tempat semula.Dara menerima sodoran dari wanita tersebut sembari menahan napas. “I-iya,” katanya setelah bersusah-payah menelan ludahnya gugup. “Mbaknya kok wajahnya terasa tidak asing, ya?” tanya tukang jamu itu sembari mengamati wajah Dara dan membuat si empunya segera mengalihkan pandangannya untuk menghindar. “E-eh?” Dara menyentuh wajahnya dengan gugup. “Benarkah? Mungkin kita pernah berjumpa,” kata Dara dengan senyum kakunya. Untung! Sepertinya wanita itu tak terlalu mengenali Dara meskipun Dara pernah berstatus sebagai menantu kekasih gelap si tukang jamu ini. Apakah
Dara menatap ponselnya yang sedang melakukan panggilan, dengan seribu siasat yang siap diluncurkan. Begitu terdengar sapaan dari seberang sana, Dara langsung mengambil ponselnya. “Halo, Pak,” ucap Dara membalas sapaan tersebut. “Bagaimana keadaanmu, Dara?” tanya suara pria itu dengan nada ramah khasnya.Dar tersenyum begitu mendapatkan respons positif dari si penerima panggilan itu. “Baik, syukurlah ada Pak Sagara yang membantu menyelesaikan masalah itu. Saya sangat berterima kasih kepada Pak Sagara,” katanya dengan nada lembut setulus hati.Orang di seberang sana berdeham sejenak. “Sama-sama, Dara, tapi saya hanya membantu sedikit, sisanya orang dari Bu Sukma itu yang melakukannya,” jelas Sagara mengklarifikasi.Tentu! Dara pun tahu fakta itu. Delion lah yang sangat berjasa pada Dara, di bantu dengan Sagara. Namun, karena kali ini ia dalam misi penting, Dara pun harus mengelak. “Apa pun itu, saya merasa sangat terbantu. Bagaimana kalau saya mentraktir Pak Sagara makanan yang ini di
Sinar keemasan sang surya menembus jendela kaca yang disampiri kelambu hingga menusuk kelopak mata sampai menembus retina. Seorang wanita yang tengah terlelap nyaman itu menutup wajahnya dengan selimut tebal untuk menghalau silau, tapi gerakan malas-malas itu sontak terhenti saat si empunya merasakan tarikan kuat yang menahan gerakannya. Siapa itu? Berani-beraninya mengganggu tidur khidmatnya? Sontak Dara membuka mata dan menemukan wajah Sukma Wijayakusuma yang terpampang di depannya, tengah mencengkram erat sisi selimutnya hingga membuat Dara kesulitan menariknya.“Ma?” panggil Dara sembari mengucek matanya yang masih tak mau lepas layaknya dua kutub magnet yang saling tarik-menarik.Sukma berjalan ke sisi nakas dan menuangkan air mineral untuk putrinya. “Minum dulu,” katanya sembari menyodorkan segelas cairan bening itu pada putrinya.Dara menerimanya sebelum mengucap terima kasih. Namun, sebelum bibir gelas itu bersentuhan dengan bibirnya , Dara tiba-tiba teringat sekelebat memori
“Sudah siap turun?” tanya Sagara begitu mobil yang mereka tumpangi sampai di depan kediaman Wijayakusuma. Di belakang mereka, ada mobil Sagara yang baru saja sampai. Karena Sagara menjemput Dara dengan mobil pribadinya, maka lelaki itu harus menyuruh sopir mobilnya sementara ia menemani Dara pulang. Dara duduk termenung, tak lama kemudian perempuan itu terlihat gusar. “Bagaimana ... bagaimana kalau dia melakukan apa yang dia ancamkan tadi?” bisiknya dengan suara sengau dan napas yang belum sepenuhnya stabil. Sagara menurunkan volume radio dan memandang Dara dengan pandangan meyakinkan. “Pada umumnya, pelaku pemerasan akan melakukan apa pun dengan tujuan keuntungan pribadi, sedangkan jika dia melakukannya, otomatis itu akan menghancurkan jalan rencananya sendiri,” jelasnya seakan-akan sangat berpengalaman dalam bidang ini. Meskipun sudah diyakinkan sedemikian rupa, nyatanya perempuan itu masih tampak gusar di tempatnya. “Tapi, mantan suami saya tipikal orang yang nekat, Pak,” ke
Dara menatap ponsel yang layarnya sudah retak terbanting lantai dengan wajah linglung, segala kata yang seharunya tersimpan rapi di perpustakaan otaknya tiba-tiba raib, menjadikannya manusia gagu seketika. Di sisi lain, benda yang layarnya sudah cacat itu kembali berdering, membuat sang pemilik langsung tersadar dari mimpi buruknya. Tidak-tidak! Dara menyadari itu bukanlah mimpi buruk semenjak ada nama William yang terpampang di sana. Dara membiarkan panggilan sang mantan suami yang beberapa saat lalu mengirim video tak senonoh mereka hingga akhirnya panggilan berakhir tanpa jawaban. Dara membiarkan benda itu tetep teronggok di tempatnya jatuh dengan hati gelisah. Seumur hidup, Dara bahkan belum pernah bertemu dengan orang gila seburuk mantan suaminya. Dengan tangan setengah bergetar, Dara segera mengambil ponsel yang hampir lebur karena terbanting di lantai marmernya. Ketika ponselnya kembali berdering, Dara merasakan ketakutan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setelah b
Dara duduk termenung begitu mendengar bunyi gemericik dari air terjun buatan di taman kediaman Wijayakusuma. Matanya yang semula terpejam menikmati suara alam itu tiba-tiba terbuka saat mendengar notifikasi ponsel yang menunjukkan adanya pesan dari seseorang. ‘Bagaimana? Apakah nyonya Sukma luang?’ Itu adalah pesan dari Sagara Adikara yang mengusulkan ide untuk mempertemukan nyonya Adikara dengan nyonya Wijayakusuma dalam acara memasak. Ternyata , candaan kapan hari bukanlah sekedar guyonan belaka, tapi tak ada salahnya juga, karena ini juga bertepatan dengan hari libur, dimana semua orang akan rehat sejenak dari pekerjaannya sebelum kembali bekerja bagai kuda. ‘Kebetulan iya, tapi bagaimana dengan nyonya Rissa?’ Dara kembali menyandarkan bahunya pada kursi santai dengan ekspresi lega. Semakin ia tambah berumur, semakin ia sadari pula bahwa self reward tidak melulu harus berkeliling mall sambil menguras saldo. Seperti dirinya, dengan hanya diam saja ditemani gemericik air serta
Perempuan yang sedang menggandeng suaminya itu tersenyum amat lebar seakan-akan sedang bertemu dengan pujaan hati. “Sudah lama tidak berjumpa, sejak kapan, ya? Lima bulan lalu, atau enam bulan lalu?” tanya wanita itu sembari mengelus-elus perut agak buncitnya sambil mendekati Dara, tak peduli sang empunya terlihat menatapnya dingin.Dara memundurkan langkahnya begitu sang mantan ipar berusaha menggapainya. Ia teringat akan nasihat Delion Sunarija yang menyuruhnya untuk menjauhi semua orang di keluarga mantan suaminya itu. Jadi, Dara pun berniat berbalik dan menjauh. Namun, sebuah celetukan dari mantan iparnya membuat Dara langsung mandek.“Owh! Maaf-maaf, aku lupa kalau sedang hamil dan tidak sedang mengejek. Mbak Dara sih, pakai muncul segala, kan aku jadi rindu dan lupa diri, tidak sadar kalau kehadiranku membuat Mbak Dara sedih, karena mengingat keadaan Mbak Dara," kata wanita yang tengah mengandung bayi dosen itu dengan raut iba.Dara tahu, cecunguk kecil ini pasti ingin membuat
Dara mematut diri di depan cermin. Hari ini adalah jadwalnya melepas gips yang sudah melekat di kakinya selama berbulan-bulan lamanya. Dan Dara sangat menanti kesempatan ini dengan penuh suka cita.Perempuan itu sengaja memakai kemeja berlengan panjang berwarna baby blue yang dipadukan dengan celana longgar selutut berwarna hitam. Ini akan memudahkan dokter untuk proses melepaskan gipsnya. Untuk sentuhan terakhir, Dara memilih selop longgar yang ia gunakan untuk kakinya yang tak cedera, satunya lagi ia akan membawanya mengingat nanti ia kan mulai berjalan seperti biasanya lagi.“Berangkat sekarang?” tanya Laksmi yang tengah duduk di kursi roda elektriknya sembari membaca majalah harian.Dara menganggukkan kepalanya. “Iya, Ma. Aku sudah membuat janji dengan dokter ortopediku,” katanya sambil mencangklong tas selempangnya.Laksmi Wardana menampilkan raut tak rela. “Sayang sekali oma tidak bisa mengantar, coba saja kalau oma bisa berjalan. Sekarang, kalau oma memaksakan ikut, nanti m