Sukma sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur ketika Yudi muncul dari kamar mandi dengan langkah berat. Wajah pria itu masih terlihat pucat, sisa demam semalam belum sepenuhnya hilang. Namun, aroma masakan yang memenuhi udara membuat perutnya keroncongan. Dia mendekati Sukma perlahan, lalu melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu.
"Maaf, Sayang," bisiknya pelan. Sukma berhenti mengaduk nasi goreng yang hampir matang. Meski hatinya melunak sedikit, dia tidak langsung menjawab. Semalaman dia tid-ur membelakangi suaminya. Bahkan, saat pria itu mencoba memeluk dia menepis. Yudi mempererat pelukannya, kepalanya bersandar di bahu Sukma. "Aku tahu aku salah. Aku terlalu sering menaruh beban keluargaku di atas pundak kita. Aku tahu itu menyakitimu." Sukma menarik napas dalam. "Mas, aku nggak keberatan membantu keluargamu, tapi mereka udah kelewatan. Ibumu terlalu memanjakan adik-adikmu. Aku ini istrimu, jangan sampai aku merasa hanya sebagai tamu dalam hidupmu." "Aku cuma nggak tega melihat Ibu dan adik-adikku kesulitan. Cuma aku tempat mereka bergantung Sukma," sahut Yudi. Mendengar Yudi masih keras kepala membela keluarganya, Sukma menoleh, menatap suaminya dengan mata tajam. "Mas, kesulitan apa? Mereka nggak kesulitan! Ibu masih sehat dan punya pemasukan dari tambak dan sawah yang dikelola orang. Adikmu, Rani, suaminya pegawai eselon di BUMN. Kamu dengar sendiri kan, suaminya baru beli motor. Liat story w******p Rani, motor yang dibeli Moge, harganya ratusan juta. Kalau mereka bisa hidup hedon, kenapa kamu yang harus nanggung semuanya? Kamu nggak merasa itu nggak adil?" "Aku nggak punya pilihan, Sukma. Sejak dulu aku terbiasa mengambil tanggung jawab keluarga. Jadi aku merasa itu kewajibanku kepada mereka." "Mas, jangan bilang nggak ada pilihan. Kamu selalu punya pilihan. Masalahnya, kamu nggak berani bilang 'tidak.' Kamu nggak berani mengecewakan mereka, tapi kamu malah tega membiarkan aku kecewa berkali-kali!" Yudi terdiam. Kata-kata Sukma seperti cambuk yang melecut dadanya. Dia tahu istrinya benar, tapi setiap kali melihat air mata ibunya, setiap kali Rani memohon, hatinya selalu luluh. "Aku nggak mau jadi anak durhaka, Sukma," ucap Yudi lirih. Sukma mendengus pelan, selalu alasan yang sama. Yudi menelan mentah-mentah doktrin sesat dari ibu mertuanya. "Mas, membantu keluarga itu mulia, tapi kalau sampai mengorbankan keluargamu sendiri, itu namanya egois. Apa pernah mereka bilang terima kasih atas semua yang kamu lakukan? Yang ada setiap ada masalah, kamu yang mereka salahkan!" Yudi tertunduk, dia tahu Sukma benar. Tidak ada ucapan terima kasih dari ibunya atau Rani. Bahkan ketika dia terlambat memberi u4ng, yang dia dapat hanyalah keluhan dan tuntutan. "Mas ...." Sukma menatap suaminya lekat. "Aku nggak mau kita hidup seperti ini terus. Aku ingin kita punya masa depan yang lebih baik. Selagi kita belum punya anak, kita bisa meerencanakan masa depan lebih baik, tapi kalau kamu terus seperti ini, aku nggak yakin kita bisa sampai ke sana. Mas harus berubah. Kalau nggak, siap-siap aja kamu kehilangan aku." Yudi terkejut mendengar kata-kata itu. "Sukma, jangan bicara begitu." "Aku serius, Mas." Sukma mengangguk mantap. "Aku nggak mau terus hidup di bawah bayang-bayang keluargamu. Kalau kamu nggak bisa memilih, aku yang akan memilih pergi." * Pagi itu, setelah sarapan, Yudi pergi ke bank seperti yang diminta ibunya. Dia membawa berkas-berkas yang kemarin diserahkan debt kolektor. Selama perjalanan, pikirannya penuh. Kata-kata Sukma terus terngiang di telinganya. Perasaan bersalah menyusup ke dadanya. Sejak menikah dia tidak pernah memberi nafkah yang layak. Sebagian besar gajinya habis untuk keperluan keluarga. Mereka sangat hapal hari dan jam dia gajian. Setelah tiba di bank, seorang petugas menjelaskan dengan detail tentang pinjaman yang ingin ia ajukan. "Jadi, untuk pinjaman sebesar enam puluh juta juta rupiah selama dua tahun, cicilan bulanannya tiga juta seratus ribu rupiah," jelas petugas itu ramah. "Tiga jutaan?" Yudi mengulang pelan, memastikan dia tidak salah dengar. Petugas itu mengangguk. "Benar, Pak. Itu belum termasuk bunga." Yudi merasa kepalanya semakin berat. Gajinya hanya lima juta per bulan. Setiap bulan ia memberi 1 juta 500 ribu untuk ibunya. Kalau dia membayar cicilan 3 jutaan, maka yang tersisa hanya 500 ribu. "Bagaimana, Pak? Setidaknya harus masuk minimal dua angsuran, kalau tidak saya tidak bisa bantu," ucap petugas itu. Yudi tersenyum tipis, mencoba menutupi kepanikannya. "Iya, saya akan usahakan." Dalam perjalanan pulang, Yudi lebih sering melamun. Bagaimana mungkin dia bisa bertahan dengan sisa uang 500 ribu per bulan? Lalu bagaimana dengan nafkah Sukma? Harusnya dia menzalimi istrinya lagi? Kepalanya benar-benar mau pec4h. Di sisi lain, di tahu ibunya akan sedih kalau rumah mereka di sita. Sesampainya di rumah, dia menemukan Sukma sedang menyusun paket-paket jualannya. Wajah istrinya terlihat serius, meski ada kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. "Mas," Sukma memanggil tanpa menoleh. "Kamu sudah ke bank?" "Sudah." "Dan?" Sukma menghentikan kegiatannya, menatap Yudi dengan penuh harap. Yudi menghela napas panjang. "Cicilannya terlalu besar, Sukma. Aku nggak tahu bisa bayar atau nggak." "Mas ...." Sukma mendekat, menatap suaminya dengan tatapan memohon. "Apa kamu masih mau mengambil tanggung jawab pinjaman itu?" Yudi terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. "Kalau Mas tetap mau mengambil pinjaman itu, aku nggak tahu lagi harus berkata apa. Aku sudah bilang, Mas, cukup sampai di sini. Kalau Mas tetap memprioritaskan mereka, aku anggap kamu sudah nggak peduli sama aku." Yudi merasa dinding yang mengelilinginya semakin sempit. Dia tahu Sukma benar. Dia tahu harus mengambil keputusan, tapi bayangan wajah ibunya membuatnya bimbang. "Aku nggak mau lihat Ibu menderita. Rumah itu peninggalan Ayah, aku lahir dan besar di sana," ucap Yudi akhirnya. "Dan kamu rela aku yang menderita, Mas?" Sukma bertanya, suaranya bergetar. Pertanyaan itu seperti pukulan telah bagi Yudi, dia tidak tahu harus menjawab apa. Sukma menghela napas panjang, dia tersenyum getir, terlihat jelas dia kecewa dengan keputusan Yudi. "Mas, kalau kamu memang nggak bisa tegas, aku nggak tahu mesti ngomong apa lagi. Terserah!" Sukma kembali sibuk dengan pekerjaannya. Yudi hanya bisa menatap Sukma dengan tatapan nanar dan kosong. Hatinya hancur, tapi dia juga tidak bisa menyalahkan istrinya." Ponsel Yudi bergetar, dia memandangi ponselnya. Di layar, ada pesan dari Rani. "Mas, gimana u4ng untuk studi tour keponakanmu? Aku butuh uangnya tiga hari lagi." Yudi menutup matanya, kepalanya semakin berdenyut nyeri.Sukma merapikan tudung saji dan memeriksa dapur sebelum berangkat ke rumah ibunya. Pagi ini suasana hatinya tidak baik-baik saja. Saat tahu angsuran yang harus dibayar sekitar tiga juga, kepalanya seketika terasa berat. Dulu saat Yudi membayar utang bank keliling Romi yang jumlahnya 800 ribu sebulan, dia hanya diberi nafkah satu juta per bulan. Dia pastikan ke depan mungkin Yudi akan kesulitan memberinya uang. Sukma berusaha menenangkan diri, walau dia punya penghasilan sendiri, bukan berarti tidak butuh nafkah dari Yudi. Dia memasukkan gamis, jilbab dan bahan makanan ke dalam tas kain untuk diberikan ke ibunya.Rumah yang ditempati ibunya sekarang bekas kontrakan mereka dulu. Dari usahanya berjualan online, Sukma mampu membeli rumah itu saat dia masih menimba ilmu di salah satu universitas. Rumahnya tidak terlalu besar, tetapi sangat nyaman. Bukannya tak pernah mengajak sang ibu tinggal bersama di kontrakannya, tetapi wanita itu selalu menolak untuk pindah. "Ibu di sini saja, Nak. Te
Dua hari terakhir, Sukma merasa ada yang janggal. Yudi pulang larut malam hampir setiap hari. Ketika ditanya, jawabannya selalu sama. "Aku ambil pekerjaan tambahan. Kita harus segera melunasi utang bank."Mendengar itu, Sukma tidak bisa memprotes. Dia tahu Yudi melakukannya demi keluarga, tetapi dalam hati, dia sedih dan muak. Lagi-lagi, suaminya harus berkorban untuk menanggung beban yang sebagian besar adalah ulah adik-adiknya. Sukma berusaha mengendalikan dirinya, mengingat nasihat ibunya tentang kesabaran.'Aku ingin lihat sampai di mana dia bisa bertahan jadi budak keluarganya,' Sukma membatin sembari menahan kekesalan yang sudah menumpuk. Dia tidak ingin berdebat lagi, apalagi menambah beban pikiran Yudi. Masalah dengan ibu mertua di warung juga mengendap sendiri. Sejak hari itu Sukma tak pernah datang lagi mengunjungi mertuanya. Dia tahu apa pun yang dia lakukan, di mata wanita itu tetap salah.Siang itu, setelah mengantar barang dagangannya ke ekspedisi, Sukma pulang dengan pi
Pagi itu, Sukma bangun lebih awal seperti biasa. Setelah menyiapkan sarapan sederhana-nasi putih, ayam goreng, dan sayur lodeh favorit Yudi-dia berniat membangunkan suaminya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Rani keluar dari kamar tamu dengan mata masih setengah tertutup. Tanpa basa-basi, Rani langsung duduk di meja makan lalu meraih piring dan mulai menyendok nasi dengan lahap. Tidak cukup sampai di situ, tangannya dengan santai mengambil ayam goreng yang Sukma siapkan khusus untuk suaminya. Sukma mematung, nyaris tak percaya dengan kelakuan adik iparnya itu. Dia gegas menghampiri meja makan. "Rani, itu ayam buat Masmu," katanya dengan suara tertahan. Rani mendongak, mengunyah pelan, lalu menjawab dengan nada datar, "Kan masih ada telur ceplok. Mas Yudi juga nggak bakal keberatan." "Ini bukan soal keberatan atau nggak," balas Sukma dengan nada mulai meninggi. "Kamu tamu di sini. Seharusnya kamu tahu sopan santun. Kalau kamu mau makan, bilang dulu. Jangan asal ambil makana
"Tanya adik kesayanganmu apa yang dia ambil dari rumahku?" balas Sukma dengan suara bergetar. Rasanya dar4hnya mendidih menahan amar4h. "Maksudmu apa? Kamu kenapa sih nggak suka adikku tinggal di sini? Padahal dia berkunjung sesekali, tapi sikapmu selalu ketus padanya." "Karena adikmu tidak tahu diri!" seru Sukma keras. Sepertinya Yudi sudah buta hingga tak melihat prilaku adiknya yang tidak tahu adap. Yudi menggeleng pelan. Dia tidak mengerti kenapa Sukma sangat membenci adik-adiknya. Dia tahu mereka kelewatan, tapi keluarga tetaplah keluarga. "Di mana Rani sekarang?" tanya Sukma lagi dengan wajah garang. "Sikapmu yang seperti ini bikin Rani nggak hormat. Aku antar ke terminal. Dia bilang anak-anak nggak betah di sini, jadi dia pulang ke rumahnya sore tadi. Emangnya kenapa sih?" Sukma tertawa sinis.. " Rani pulang bukan karena nggak betah, tapi untuk menghilangkan jejak!" Dahi Yudi berkerut. Dia semakin tidak mengerti arah pembicaraan Sukma. "Cincin kawin kita hilang, Mas! Ua
Sukma berdiri membelakangi Yudi sembari memegangi pipinya yang terasa kebas. Sejak menikah ini pertama kalinya Yudi melukai fisiknya dan untuk Sukma tindakan tadi adalah puncak dari segala luka yang selama ini dia pendam. Cukup sudah kesabarannya, selama ini dia bertahan berharap Yudi sadar telah bersikap tidak adil padanya. Tak jemu merajut doa di setiap sujud agar pria itu melihat pengabdiannya. Namun, semua sia-sia, ternyata berjuang sendiri itu melelahkan. Sementara itu Yudi masih berdiri di ambang pintu kamar, dia berusaha mendinginkan hati Sukma yang membara. “Sukma, aku minta maaf,” ucap Yudi dengan suara bergetar. Dia menyesali perbuatannya, melihat pipi Sukma bekas tangannya di pipi bersih Sukma menyakiti hatinya juga. Dia merasa gagal sebagai suami. “Aku khilaf. Aku nggak sengaja. Aku—” “Pergi!” Sukma menjawab tegas, suaranya meninggi. “Kamu pikir maaf bisa memperbaiki semuanya? Kamu pikir aku akan melupakan begitu saja apa yang baru saja kamu lakukan?” Yudi terdiam, mat
Di rumah ibunya, Sukma terduduk di sofa kecil ruang tamu, wajahnya sembab karena tangis yang belum juga reda. Sang ibu duduk di sebelahnya, memegang tangan putrinya dengan lembut. “Sudahlah, Nak. Kamu di sini dulu. Tenangkan pikiranmu. Jangan ambil keputusan apa-apa saat hati masih panas,” ucap ibunya dengan lembut. Sukma mengangguk walau hatinya masih gelisah. “Tapi, Bu, apa gunanya bertahan? Aku mencintai Yudi, tapi dia tidak pernah berpihak padaku. Kalau begini terus, aku capek. Aku nggak sanggup.” Ibunya mengusap punggung Sukma dengan penuh kasih. “Ibu tahu kamu cinta sama dia, tapi pernikahan itu bukan cuma soal cinta, Nak. Kalau kamu terus terluka, itu bukan cinta lagi namanya. Kamu istirahat dulu, ya. Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang meny4kitkan.” Sukma lagi-lagi mengangguk pelan. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena beban emosional yang tak kunjung hilang. Belakangan ini dia juga sering merasa mual dan pusing, mungkin efek masala
Telinga Sukma berdenging ketika mendengar suara nyaring ibu mertuanya. Wanita paruh baya itu melangkah masuk ke rumah tanpa permisi, langsung duduk di kursi ruang tamu seolah rumah ini miliknya. Wajahnya yang penuh kerutan tampak masam, pandangannya tajam dan sinis ke arah Sukma."Oh, baru ingat pulang. Dasar wanita nggak benar!" suara ketus itu keluar dari mulut ibu Yudi, membuat Sukma yang duduk di kursi seberang hanya mampu menghela napas panjang.Sukma diam, mencoba menahan emosi yang meluap-luap dalam dadanya. Dia tahu, berdebat dengan ibu Yudi hanya akan memperpanjang masalah. Dia melirik Yudi yang berjalan ke kamar mandi."Seharusnya kamu bersyukur, Sukma. Anakku itu terlalu baik sama kamu. Kalau aku jadi dia, sudah lama kamu aku tinggalkan! Mana ada laki-laki yang mau bertahan sama istri kayak kamu?" lanjut ibu mertuanya, kali ini dengan senyum sinis meremehkan Sukma.Sukma tersenyum tipis, dalam kondisi normal mungkin balasannya akan frontal. Sekarang kondisi badannya sangat
Sukma sedang memeriksa pesanan online yang masuk di ponselnya di ruang tamu, ketika suara pintu depan berderit keras tanpa aba-aba. Dia langsung memasang kerudungnya yang tergeletak di kursi lalu menoleh siapa yang datang."Juno?" serunya, adik bungsu Yudi itu masuk tanpa mengetuk, seolah rumah ini miliknya."Hehe, kaget ya, Mbak?" Juno tersenyum lebar, tatapannya menyapu ruangan sebelum mendarat pada Sukma. Ada sesuatu di matanya yang membuat Sukma tidak nyaman, tatapan Juno terlalu berani, terlalu menilai, membuatnya bergidik."Kenapa masuk nggak izin dulu?" Sukma menegur, berusaha tetap tenang meski hatinya sudah ketar-ketir."Ah, ini kan rumah Kakakku sendiri. Apa salahnya?" jawab Juno santai sambil menutup pintu dengan kaki."Mas Yudi nggak ada di rumah, sebaiknya kamu pulang," ucap Sukma tegas. Dia mulai curiga melihat Juno menutup pintu, dia takut akan terjadi fitn4h. Dia berjalan ke arah pintu."Tunggu dulu, Mbak," Juno menghalangi langkah Sukma, dia mendekat dengan langkah pe
"Dia kenapa?" tanya Juno melihat Yudi uring-uringan masuk ke dalam rumah. Sella yang ditanya mengangkat bahu acuh tak acuh, dia duduk di sebelah Juno dengan raut cemberut. "Masmu dari rumah Sukma. Dia kesal karena wanita itu ada laki-laki lain.""Laki-laki lain?" Dahi Juno berkerut, dia menggeser duduk lebih dekat dengan Sella. "Maksudnya gimana?"Sella tersenyum tipis. "Sukma itu tampilannya aja alim, muslimah taat, aslinya dia doyan selingkuh." "Nggak mungkin dia begitu, kamu pasti salah."Sella berdecak. "Kalau begitu dia juga berhasil menipu kamu. Emang, ya, sekarang nggak bisa menilai orang dari penampilan." Suaranya terdengar sinis."Memangnya ada bukti kalau Mbak Sukma selingkuh?"Sella menatap Juno tajam. "Kamu masih ngebela dia? Jelas-jelas tadi saat aku dan Yudi ke rumahnya, si Sukma itu baru pulang jalan sama laki-laki lain. Bukan hanya itu, laki-laki itu mengatakan akan menikahi Sukma setelah melahirkan nanti. Aku jadi curiga, jangan-jangan an4k yang dia kandung bukan an
Arman berlari menghampiri Sukma yang mencoba bangkit, sementara sepeda motornya dibiarkan begitu saja."Kamu nggak apa-apa?" Arman memapah Sukma membawanya duduk di trotoar."Aku nggak apa-apa, tapi perutku ...." Sukma meringis sambil memegangi perutnya.Wajah Arman pias, dia tahu Sukma sedang mengandung. "Tunggu di sini, aku ambil mobil dulu. Kita ke rumah sakit."Sukma mengangguk. Dia melihat beberapa orang lelaki membawa sepeda motornya ke pinggir. Dia juga melihat Arman berbicara dengan pemilik warung lalu memberikan sesuatu. Sukma terpaksa membanting stang sepeda motor ke kiri untuk menghindari anak kecil yang tiba-tiba berlari ke tengah jalan. Sayangnya, dari belakang sepeda motor langsung menabraknya. Beruntung keduanya tidak terlalu kencang hingga tidak ada luka serius."Ayo, apa kau kuat berjalan?" Arman membantu Sukma bangkit.Sukma mengangguk, tapi baru beberapa langkah dia mengaduh. Arman tak mau berpikir panjang dia membopong si wanita lalu mendudukkan di kursi depan di
"Sarapan dulu, Nak." Narti, Ibu Sukma meletakkan secangkir susu hangat untuk wanita ham1l di atas meja. Dia menatap putri semata wayangnya dengan sorot khawatir. Ibu mana yang tidak cemas memikirkan nasib anaknya? Putri yang dia besarkan seorang diri, berpayah-payah menahan tudingan miring orang-orang yang mengatakan kalau dia istri simpan, sebab suami yang baru menikahinya beberapa bulan menghilang tanpa jejak. Bukan tak pernah dia mencari, tetapi bingung harus ke mana? Narti yang terlalu polos percaya begitu saja saat si lelaki berkata hidup sebatang kara. Saat Sukma berdiri di depan pintu rumah tadi malam, dia tidak bertanya apa pun. Dari sorot mata sang putri dia tahu kalau pernikahannya tidak baik-baik saja. Sakit hati, pasti! Dia tidak akan membiarkan Sukma menghadapi getir seorang diri sepertinya dulu."Nggak usah, Bu. Nanti aja sekalian makan siang," balas Sukma tanpa mengalihkan pandangan dari barang jualan yang siap dikirim ke ekspedisi.Narti menghela napas, dia duduk di s
"Lepaskan!" Sukma menepis tangan Juno yang menahan pinggangnya. Dia berdiri menjauh dari lelaki itu.Juno tersenyum miring. "Kenapa sih Mbak, setiap melihatku seperti jijik?"Sukma mendengkus, dia menatap adik iparnya dengan raut tidak suka. "Syukurlah kalau kamu sadar aku jijik sama kamu. Jangan pikir aku udah lupa apa yang kamu lakukan beberapa hari yang lalu di rumahku!"Alih-alih merasa malu, Juno malah tertawa. Dia bertolak pinggang di depan Sukma. "Hallah, Mbak, masalah itu nggak usah dibesar-besarkan. Lagian nggak ada yang percaya kalau aku ngerayu Mbak."Ingin rasanya Sukma menampar wajah adik iparnya yang kurang ajar itu, tapi dia menahan diri. Percuma meladeni manusia tidak tahu malu seperti dia. Sukma memilih menghindar, dia berjalan melewati Juno, tapi langkahnya mati karena lelaki itu menghalangi jalannya."Minggir!" bentak Sukma dengan wajah garang.Juno justru tertawa. Di matanya raut marah Sukma semakin membuat hatinya terpikat. "Mbak sangat cantik kalau marah. Aku he
"Sa, sayang?" Yudi melepaskan tangan Sella dari lengannya, tetapi wanita itu tak peduli, dia kembali merangkul, malah kepalanya disandarkan ke bahu si pria.Tatapan Sukma menajam, dia mendekat perlahan sembari menahan amukan badai amarah di dada. Siapa yang tidak sakit hati melihat suami dempet-dempetan sama perempuan lain?Apalagi melihat Yudi sibuk melepaskan diri dari pelukan Sella. "Bisa kamu jelaskan maksud perkataan dia tadi, Mas?" Suaranya terdengar datar.Yudi bangkit menghampiri Sukma, melihat raut dingin sang istri membuat Yudi ketar-ketir. Dia takut Sukma mengamuk di ruang perawatan sang ibu."Sayang, ini nggak seperti yang kamu kira. Aku ....""Kamu pikir aku bod0h?" sambar Sukma, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. "Mataku masih awas untuk melihat apa yang kalian lakukan, telingaku sangat tajam mendengar apa yang wanita itu katakan!" Meski ada bara yang mengunggun di dadanya, tapi Sukma tetap menjaga intonasi suaranya. Dia sangat tahu diri untuk tidak membuat
Tengah malam Sukma terbangun, dia menatap sisi pembaringan di sebelahnya. Empat hari sejak ibu mertuanya keserempet mobil, Yudi selalu menemani di rumah sakit. Beberapa kali Sukma ingin menjenguk, tapi selalu dilarang suaminya dengan alasan tak mau sang istri tertular penyakit. Alasan yang masuk akal. Akan tetapi, bukan hal itu yang menjadi menyita pikirannya. Sukma meraih ponsel di atas meja di sebelah tempat tid-urnya. Dia melihat lagi foto yang dikirimkan Mirna, tetangga sebelah rumahnya. Di foto itu tampak Yudi sedang duduk berdampingan dengan Sella di bawah pohon lansano yang rindang. Pria itu sedang menikmati makanan yang ada di dalam kotak bekal. Bukan hanya itu, di foto yang lainnya tampak Sella sedang mengulurkan botol minum ke suaminya itu. Tentu saja foto-foto itu menggiring asumsi tak baik ke kepala Sukma. Apakah Yudi mulai bermain api? Inikah alasan pria itu melarangnya ke rumah sakit? Sukma memijit dahinya yang berdenyut. Sejak kehamilannya masuk bulan ketiga rasa mual s
Napas Yudi memburu menahan godaan Sella. Pria mana yang tidak akan tergoda bila disodori wanita cantik dan seksi setiap malam. Sekuat apa pun iman pasti akan tergoda juga."Mas, kamu nggak perlu mikir lama-lama. Kamu kepala rumah tangga, masak takut sama istri? Kalau Sukma nggak setuju ceraikan saja. Aku lebih bisa membahagiakan kamu."Sella berbisik lirih di telinga Yudi, bahkan bibir wanita itu meny3ntuh daun telinga si pria. "Coba kamu pikir, Mas. Aku anak satu-satunya, otomatis kekayaan Ayah bakal jatuh ke tanganku. Artinya, siapa saja yang jadi suamiku nanti pasti akan beruntung. Banyak lho Mas pria yang mau jadi pendampingku, tapi aku cintanya sama kamu.""Nggak Sel, aku nggak bisa berbuat curang Sukma. Dia istri yang baik. Dia nggak pernah mengecewakanku selama ini. Justru aku yang belum mampu membahgiakan dia."Mendengar Yudi terus memuji Sukma, kesabaran Sella pun terkikis. Dia semakin berani memeluk Yudi erat-erat. Gerakannya begitu tiba-tiba hingga pria itu tidak sempat be
Yudi berdiri di depan pintu gudang yang remang-remang, tangannya memutar kunci gembok. Setelah membujuk Sukma, istrinya memberi izin meski setengah hati. Yudi tak peduli karena dengan menerima pekerjaan yang ditawarkan Sella bisa meringankan bebannya. Dia juga tidak perlu lagi mengojek. Lagipula niatnya murni bekerja bukan aneh-aneh. Gudang beras milik juragan Marjuki itu luas, dengan rak-rak tinggi yang dipenuhi karung beras tertata rapi. Tempat itu sunyi saat malam hari meski terletak di pinggir jalan desa. Yudi menghela napas panjang. Ini hari ke lima dia bekerja. Dia merenggangkan badan mencoba mengusir rasa lelah setelah seharian bekerja di pabrik.Yudi baru saja menutup pintu gudang ketika suara langkah mendekat. Dia menoleh dan mendapati Sella datang dengan membawa kotak makanan. Wanita itu mengenakan kaos ketat dan celana pendek yang bahkan tidak menutupi setengah pah4nya. Bau parfum menusuk hidung Yudi, membuatnya mengerutkan kening."Mas Yudi, aku bawain makanan buat kamu."
"Gimana jalan-jalannya Mas?" tanya Sukma melihat sekilas ke arah Yudi masuk ke rumah saat azan Isya berkumandang. "Iya, tadi macet di jalan. Maklum lagi musim liburan." Yudi duduk di sebelah Sukma lalu memberikan kantong kresek yang dia bawa. "Tadi aku beli nasi bebek kesukaanmu? Kamu belum makan kan?"Dahi Sukma berkerut, rautnya terlihat heran. "Kamu sehat kan?" Dia menempelkan punggung tangannya ke dahi Yudi."Sehat? Kenapa sih?"Sukma mengangkat bahu, dia lalu mengendus nasi bebek yang masih di dalam bungkusnya. "Nasinya kamu kasih jampi-jampi, ya?"Yudi sampai menganga mendengar pertanyaan Sukma. "Ya, Allah, sayang! Kamu mikirnya kejauhan!" Yudi berjalan ke dapur lalu kembali lagi membawa satu piring dan sebotol air mineral. "Tadi saat pulang aku lewat depan jualan nasi bebek. Akhir-akhir ini aku perhatiin kamu doyan, mungkin bawaan hamil, ya."Sukma melengos, dia memperhatikan tangan Yudi cekatan membuka bungkus nasi lalu diletakkan di atas piring. Aroma gurih khas nasi bebek