Bab 36B Hal tak terduga "Baiklah, sekali lagi selamat datang di tempat kami yang terpencil ini, semoga Bu Anggi betah." Gita tersenyum simpul mendengarnya. Dimanapun tempat yang di pijak, Gita merasa senang bisa memberikan manfaat untuk banyak orang. Harapan untuk mengalihkan kesedihannya sangat terbuka. Dia akan berjuang memberikan yang terbaik di tempat ini. Sepulang mengajar, Gita merasa sedikit lelah dengan tubuhnya. Dia merebahkan badannya di ranjang. Menghela napas panjang, Gita memikirkan banyak hal yang akan dikerjakan untuk pengabdiannya di sekolah yang menghadirkan wajah-wajah haus akan ilmu. "Mbak Anggi, ayo makan siang dulu!" ajak Hana dari ambang pintu. "Kamu sudah pulang sekolah, Na? Katanya ada les tambahan?" "Nggak jadi, Mbak. Gurunya ada rapat persiapan ujian akhir." "Oh, ya. Kalau begitu ayo kita makan siang trus bikin kue!" "Mbak Anggi bisa? Mau bikin kue apa?" "Brownis aja simple, Na. Tadi di sekolah ada karyawan yang menawarkan tepung lengkap untuk brownis.
🌻🌻🌻🌻🌻Bab 37A Terdampar "Bu Anggi, awas!" teriakan salah satu siswa memang didengar Gita. Namun dia tidak sempat menghindar hingga badan mobil sebelah kiri menyenggol tubuhnya."Astaghfirullah." Gita jatuh tersungkur ke tanah diikuti siswanya yang berdatangan menolong.Beruntung di jalan kampung, mobil tidak begitu kencang melaju. Namun tetap saja Gita tersungkur karena tersenggol bagian samping mobil."Bu Anggi nggak apa-apa?"Gita mengangguk pada beberapa siswanya untuk tidak kawatir dengannya. Takutnya mereka menghakimi pemilik mobil dengan melempari batu. Terlihat mobil itu bukanlah mobil biasa. Dia jadi teringat mobil suaminya hampir mirip dengan mobil yang menabraknya kini.Tampak sopir mobil itu turun dan mendekati Gita yang sudah dikerumuni siswanya."Nona tidak apa-apa?""Bu guru kami terluka, Bapak harus tanggung jawab!" seru salah satu siswa laki-laki berperawakan gendut."Iya, kamu pasti orang kaya mobilnya saja bagus. Ayo ganti rugi!" seru satu siswa lainnya yang be
Lima belas menit dari lokasi tabrakan tadi, mobil mereka sudah sampai di sebuah rumah berukuran sedang. Rumah yang berdiri di atas tanah lapang dikelilingi banyak pepohonan terutama pohon jati.Jarak antara rumah yang satu dengan lainnya pun cukup jauh, tidak seperti di kota tempat tinggal Ardi, rumah yang satu dengan lainnya saling berdempetan."Tuan mau pakai kursi roda atau tongkat?" tawar Rahmat pada tuannya yang sedang memasangkan sandal."Tongkat saja, Mat. Kursinya kamu bawa masuk!""Baik, Tuan."Ardi barjalan menapaki tanah yang berwarna coklat kemerahan, sebagian tanah di daerah ini memang berupa tanah liat. Terlihat sedikit gersang, karena hampir memasuki musim kemarau. Daun-daun jati pun mulai banyak yang berguguran. Namun Ardi masih sempat menikmati pemandangan hijau dedaunan selain pohon jati. Bahkan ada sepetak tanah yang sengaja ditanami bunga amarilis, terlihat indah dipandang. Ardi menghirup udara banyak hingga memenuhi rongga dadanya. Dia hembuskan dengan mata terpej
"Maaf Tuan, di sini adanya pasar." "Ya, tidak apa-apa." Dua jam berlalu, Ardi memilih merebahkan badannya di ranjang kayu yang beralaskan kasur tipis. Sangat jauh dari kata nyaman untuknya dibandingkan dengan ranjang kingsize miliknya di rumah. Namun Ardi tetap mencobanya. Sungguh terasa nikmat bisa meliukkan tubuhnya yang kaku karena perjalanan panjangnya dengan kondisi tubuh tidak sempurna. Baru beberapa menit memejamkan mata, terdengar suara salam anak laki-laki. "Mbok, simbok pulang?" "Aargh, siapa kamu? Apa kamu maling?" "Ckk, siapa juga yang mau maling rumahmu nggak ada barang berharganya," teriak Ardi kesal disangka maling." "Benar juga, masak maling tiduran di kamar." "Maafkan saya, Tuan siapa?" Lintang melihat penampilan Ardi yang rapi membuatnya memanggil dengan sebutan yang biasa neneknya ucapkan. "Saya Bintang Lazuardi, panggil saja Tuan Ardi," ucap Ardi dengan ekspresi datar ingin mengerjai cucu Bi Irah. Wajahnya tertunduk saat ditatap Ardi. "Boleh saya panggi
Bab 38A Tersanjung Esok hari Lintang berangkat sekolah dengan sepeda bututnya dengan penuh semangat. Pasalnya, dia membawakan hadiah untuk pertama kalinya yang akan diberikan pada guru barunya. Namun sayang, sampai di sekolah benar saja Bu Anggi izin tidak masuk karena tidak enak badan. Lintang bermaksud memberikan hadiahnya langsung ke rumah Bu Anggi setelah pulang sekolah, tetapi dia belum tahu rumahnya."Pak, Bu Anggi tinggalnya di mana, ya?" tanya Lintang kepada salah satu guru yang menggantikan."Oh, saya juga kurang tahu dik. Coba tanya Pak satpam mungkin lebih paham!""Baik, terima kasih, Pak.""Sama-sama.""Pak satpam tahu rumahnya Bu Anggi?""Oh guru baru yang magang di sini?""Iya, Pak.""Dekat kok dari sini. Itu lho rumahnya Pak Raihan dosen di kampus kota Yogya.""Oh yang rumah bagus itu ya, Pak?" "Ya, betul. Ada apa?""Enggak, Pak. Cuma pengin tahu aja. Makasih banyak."Lintang segera berlari bergabung bersama teman-temannya selagi waktu istirahat masih ada. Dia senang
"Ini kamu bawakan Mas Bintang kue brownis ya! Sampaikan terima kasih dari saya coklatnya pasti lezat. Saya tidak apa-apa, tidak perlu merasa bersalah mobilnya sudah menabrak. Saya yang salah berdiri ke tengah jalan." "Baik, Bu. Mas Bintang pasti suka kue buatan Bu Anggi. Saya pamit dulu ya, Bu. Nanti sore mau anter Mas Bintang ke pesantren." "Eh pesantren sekolah?" Gita mengernyitkan keningnya heran. "Bukan, Bu. Pesantren tempat pakde saya." "Oh, Mas Bintang Ustadz, ya?" "Stt, bukan, Bu. Mas Bintang mau belajar mengaji." "Hah, memang usianya berapa?" "Nah itu, Mas Bintang sudah tua, Bu. Jadi dia malu kalau mengaji bareng anak-anak sekolah seusia saya." "Oh, bilang aja, yang namanya belajar itu tidak perlu memikirkan rasa malu. Ingat pepatah malu bertanya sesat di jalan, bukan?" Lintang mengangguk patuh mendengarkan cerocosan nasehat dari gurunya untuk disampaikan Ardi. "Nah, belajar ilmu agama sangat penting untuk kebahagaian tidak hanya dunia tapi juga akhirat." "Saya sudah
Bab 39A Butuh Proses Sudah seminggu dari sejak pertama kali Ardi menyambangi pesantren diantar Lintang. Dia bertemu Pakde Arham panggilan yang biasa Lintang sebut. Semangat Ardi kian berkobar kala setiap hari mendapat kiriman pesan dari guru Lintang untuk bersemangat menimba ilmu dan tidak mudah putus asa. Entah angin datang dari mana seseorang yang belum pernah berjumpa hingga tertarik memberikan semangat pada orang lain untuk menjemput hidayah. Apa memang begitulah perangai orang baik. Ardi tidak terlalu menjadikannya sebagai beban. Dia ingat betul kata-kata terakhir perpisahannya dengan Laras yang intinya, jangan berubah karena manusia. Berubahlah karena alasan ada Allah yang selalu melihat kita. "Apakah dosa yang saya lakukan selama ini bisa termaafkan, Pakde?" tanya Ardi dengan wajah sendu. "Saya suka mabuk-mabukan, main perempuan yang bukan mahram, bahkan saya menyia-nyiakan istri yang begitu baik hingga mengusirnya dari rumah." Ucapan yang keluar dengan susah payah bagaika
"Van, kita harus bagaimana lagi ini? Robert dan Jessy semakin gencar mengambil alih kepemilikan perusahaan Ardi." "Tenang, Mel! Kita harus menghadapi masalah ini dengan kepala dingin. Mereka sudah berbuat licik, kita juga harus membalasnya dengan taktik. Kalau hanya sekedar menyerang balik, kita pasti tumbang." "Apa tidak sebaiknya kita minta Ardi ikut mengurus masalah ini, Van?" "Jangan dulu, Mel! Aku pikir belum tepat waktunya. Dia masih fokus mencari Laras. Nanti kalau urusan memberi perhitungan pada Robert dan Jessy tinggal selangkah, kita hubungi Ardi. Sebisa mungkin kita harus menemukan Laras untuk mengambil alih perusahaan. Dia masih tercatat istri Ardi, karena surat cerainya belum diurus. Aku harap mereka tidak akan berpisah." Revan benar-benar serius mengurus masalah perusahaan Ardi. Dia ingat betul, Ardi sahabat yang mengulurkan tangan pertama kali saat dia dalam kondisi kesusahan. Terlepas dari perangai buruk Ardi yang suka mabuk dan main wanita, Ardi sangat baik pada set