"Ini kamu bawakan Mas Bintang kue brownis ya! Sampaikan terima kasih dari saya coklatnya pasti lezat. Saya tidak apa-apa, tidak perlu merasa bersalah mobilnya sudah menabrak. Saya yang salah berdiri ke tengah jalan." "Baik, Bu. Mas Bintang pasti suka kue buatan Bu Anggi. Saya pamit dulu ya, Bu. Nanti sore mau anter Mas Bintang ke pesantren." "Eh pesantren sekolah?" Gita mengernyitkan keningnya heran. "Bukan, Bu. Pesantren tempat pakde saya." "Oh, Mas Bintang Ustadz, ya?" "Stt, bukan, Bu. Mas Bintang mau belajar mengaji." "Hah, memang usianya berapa?" "Nah itu, Mas Bintang sudah tua, Bu. Jadi dia malu kalau mengaji bareng anak-anak sekolah seusia saya." "Oh, bilang aja, yang namanya belajar itu tidak perlu memikirkan rasa malu. Ingat pepatah malu bertanya sesat di jalan, bukan?" Lintang mengangguk patuh mendengarkan cerocosan nasehat dari gurunya untuk disampaikan Ardi. "Nah, belajar ilmu agama sangat penting untuk kebahagaian tidak hanya dunia tapi juga akhirat." "Saya sudah
Bab 39A Butuh Proses Sudah seminggu dari sejak pertama kali Ardi menyambangi pesantren diantar Lintang. Dia bertemu Pakde Arham panggilan yang biasa Lintang sebut. Semangat Ardi kian berkobar kala setiap hari mendapat kiriman pesan dari guru Lintang untuk bersemangat menimba ilmu dan tidak mudah putus asa. Entah angin datang dari mana seseorang yang belum pernah berjumpa hingga tertarik memberikan semangat pada orang lain untuk menjemput hidayah. Apa memang begitulah perangai orang baik. Ardi tidak terlalu menjadikannya sebagai beban. Dia ingat betul kata-kata terakhir perpisahannya dengan Laras yang intinya, jangan berubah karena manusia. Berubahlah karena alasan ada Allah yang selalu melihat kita. "Apakah dosa yang saya lakukan selama ini bisa termaafkan, Pakde?" tanya Ardi dengan wajah sendu. "Saya suka mabuk-mabukan, main perempuan yang bukan mahram, bahkan saya menyia-nyiakan istri yang begitu baik hingga mengusirnya dari rumah." Ucapan yang keluar dengan susah payah bagaika
"Van, kita harus bagaimana lagi ini? Robert dan Jessy semakin gencar mengambil alih kepemilikan perusahaan Ardi." "Tenang, Mel! Kita harus menghadapi masalah ini dengan kepala dingin. Mereka sudah berbuat licik, kita juga harus membalasnya dengan taktik. Kalau hanya sekedar menyerang balik, kita pasti tumbang." "Apa tidak sebaiknya kita minta Ardi ikut mengurus masalah ini, Van?" "Jangan dulu, Mel! Aku pikir belum tepat waktunya. Dia masih fokus mencari Laras. Nanti kalau urusan memberi perhitungan pada Robert dan Jessy tinggal selangkah, kita hubungi Ardi. Sebisa mungkin kita harus menemukan Laras untuk mengambil alih perusahaan. Dia masih tercatat istri Ardi, karena surat cerainya belum diurus. Aku harap mereka tidak akan berpisah." Revan benar-benar serius mengurus masalah perusahaan Ardi. Dia ingat betul, Ardi sahabat yang mengulurkan tangan pertama kali saat dia dalam kondisi kesusahan. Terlepas dari perangai buruk Ardi yang suka mabuk dan main wanita, Ardi sangat baik pada set
Bab 40A Sebuah MimpiLintang mengetuk pintu dan meneriakkan salam. Terdengar jawaban dari dalam.Begitu pintu dibuka, menampakkan sosok gadis berjilbab. Ardi berdiri mematung melihatnya."Maaf, Bu Anggi ada nggak Mbak?""Oh, kamu yang namanya Lintang?" Anak laki-laki yang wajahnya dipenuhi peluh di dahi akibat memboncengkan Ardi pun mengangguk."Ayo masuk! Ini siapa?""Itu Mas Bintang, Mbak.""Bintang." Ardi mengulurkan tangan menyalami Hana."Farhana, Mas. Biasa dipanggil Hana." Ardi mengangguk disertai seulas senyum."Hmm, mari masuk, Mas!""Bu Anggi mana, Mbak?""Bu Anggi mendadak harus ke kampus ada urusan terkait beasiswa gitu, Lin.""Wah Bu Anggi pinter ya kuliah dapat beasiswa," seru Lintang dengan ekspresi takjub, sementara Ardi melihatnya hanya mengulum senyum."Tentu, Lin. Kamu juga harus belajar rajin biar bisa sekolah tinggi, biar ayah ibumu ban
Bab 40B Sebuah Mimpi"Ya baju itu milik Laras. Dia benar-benar Laras. Ya Rabb, apa yang harus aku lakukan."Lagi, Ardi segera mengusap matanya yang mengembun."Lin, sudah beres? Ayo kita pulang! Mas lupa ada janji dengan Pakde Arham." Ardi buru-buru mengajak Lintang pulang. Walau sebenarnya itu hanya sebuah alasan untuk menghindari bertemu istrinya. Ardi belum siap dengan kondisi dirinya yang tak sempurna bertemu dengan Gita."Mbak Hana, kami pulang dulu, ya!""Ya, hati-hati, Lin, Mas!"Hana menatap heran dengan perubahan sikap Ardi. Namun dia baru saja bertemu sekali belum bisa mengenali lebih jauh tentang Ardi.*****Gita memilih duduk di selasar gedung pusat kampus setelah berjam-jam mengurus administrasi beasiswanya. Beruntung dia masih bisa mengejar waktu sebelum deadline yang diberikan. Semua berkat info dari sahabatnya Ela dan Toni. Keduanya selalu mengirimkan informasi yang ada di ka
Bab 41A Bertemu Denganmu "Mas, Mas Bintang. Kenapa Mas murung sepulang dari rumah Bu Anggi? Apa karena nggak jadi ketemu Bu Anggi?"Ardi bergeming, tak menghiraukan cerocosan Lintang. Anak laki-laki itu sudah mulai kesal karena ucapannya tidak digubris Ardi. "Lin, Mas mau ke rumah Pakde Arham dulu. Tolong pamitkan Simbok sama Pak Uwo," pinta Ardi pada Lintang yang wajahnya melongo melihat tingkah pria di depannya itu."Aneh, katanya libur ngajinya. Kok sekarang berubah, Mas Bintang mau ke rumah Pakde." Lintang hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memilih pergi ke kamarnya, Lintang mau mengerjakan PR supaya bisa jadi anak pintar dan mendapat beasiswa seperti gurunya."Assalamu'alaikum, Pakde.""Wa'alaikumsalam. Mas Bintang kenapa kemari, hari ini libur, bukan?" tanya Pakde Arham heran. Ardi menghela napas panjang untuk menetralkan hatinya yang sedang dilanda kegundahan."Pakde, saya mohon sarannya. Ternyata istri yang sedang saya cari keberadaannya sudah ketemu.""Benarkah? A
Bab 41B Bertemu Denganmu"Anggita," pekik Pak Raihan."Mbak Anggi kenapa, Mas." Hana terkejut mendapati kakaknya menggendong Gita yang tak sadarkan diri."Telpon Bu Bidan, Na!" Hana melihat kakaknya sangat panik pun turut gemetar."Baik, Mas."Gegas Hana ambil ponsel di kamarnya dan menelpon bu bidan untuk datang memeriksa."Anggita sakit apa, Bu?" Bu bidan yang ditanya tidak menampakkan wajah kawatir justru memberikan senyum sumringah."Selamat Pak Raihan sudah menjadi calon ayah. Tolong istrinya dijaga kesehatannya. Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Ini saya berikan vitamin untuk satu bulan. Setiap bulan silakan dibawa periksa bidan atau dokter kandungan.Pak Raihan dan Hana hanya melongo dibuatnya."Kalau sudah tidak ada yang ditanyakan lagi, saya permisi.""Dia, kapan sadarnya, Bu?" celetuk Pak Raihan setelah buyar dari lamunannya."Beberapa menit
Esok harinya, Lintang berlari dari arah memarkir sepeda usangnya bersandar di pagar. "Mas Bintang, Mas. Kamu dimana?" "Ada apa, Lin?" "Mas Bintang mana Mbok?" Bi Irah yang sedang memasak ketela rebus diguncang-guncangkan lengannya. "Itu di kebun sama Pak Uwo." "Mas Bintang." Ardi melihat Lintang berhenti berlari dengan napas ngos-ngosan. Beberapa kali menarik napas panjang. "Kamu kenapa lari kayak dikejar setan gitu, Lin?" seru Ardi. "Bu Anggi, Mas." "Bu Anggi kenapa?" Jantung Ardi berdebar tak karuan, wajah Lintang menyiratkan kondisi istrinya sedang tidak baik-baik saja. "Hari ini bu Anggi nggak masuk ngajar, Mas. Denger-denger Bu Anggi kemarin sore pingsan di rumahnya." "Apa?" Bagai petir menyambar, Ardi tercengang mendengarnya. Pikiran buruk pun menghantuinya. Langit yang mulai menggelap seakan menjadi pertanda hal buruk yang akan dihadapinya. "Ayo, Lin, kita ke rumah Bu Anggi sekarang!" "Tapi, Mas. Ini sudah mendung gelap." "Hujan belum turun, Lin. Tidak ada hala