Negan berdiri dengan terus memegang tangan mantan istrinya.
"Aku belum selesai, tidak bisakah kamu memberiku waktu sebentar lagi?"Sebenarnya Negan hanya ingin mengulur waktu untuk bisa lebih lama bersama dengan wanita yang sangat dia rindukan.Damaira mencoba melepas tangan Negan, namun sia-sia tangan pria itu justru semakin kencang mencengkram tangannya."Tolong jangan seperti ini, Mas. Lepaskan!""Aku tidak akan melepaskan sebelum kamu memberiku waktu lebih untuk berbicara, Ra."Tatapan mata Negan begitu sendu dan penuh harap.Tiba-tiba saja sebuah tangan mencengkram tangan Negan. Kedua pasang mata itu saling bersitatap, bersitegang satu sama lain."Lepaskan, Pak Negan. Kamu sudah menyakiti Damaira," kata Mahesa."Apa hak Anda memerintah saya?"Mahesa berjalan satu langkah kedepan."Tentu saja saya berhak melakukan itu, karena Damaira adalah calon istri saya," ucap Mahesa dengan spontan.Mendengar jawaban Mahesa hati Negan bagai diMelihat kemacetan yang tak kunjung usai, Mahesa memutuskan untuk menepikan mobilnya lalu menyusul Damaira.Mahesa juga menyaksikan pria yang baru saja dievakuasi. Mahesa memegang tubuh Damaira yang sedikit oleng, terhuyung. Mahesa yakin Damaira saat ini sangat syok melihat kondisi Negan yang keadaannya cukup parah."Ira. Sadarlah." Mahesa menyadarkan Damaira yang pandangannya kosong.Damaira memandang ke arah Mahesa setelah mendengar ucapan pria itu."Mas Negan, Mas!" Damaira mulai panik.Mahesa memegang kedua bahu Damaira."Hei, hei. Tenang. Kamu harus tenang. Tarik nafas."Damaira mengikuti interuksi dari Mahesa untuk menarik dan membuang nafas."Ada aku di sini, kamu jangan khawatir." Damaira mengangguk.Mahesa tahu Damaira pasti akan sedih melihat kondisi mantan suaminya seperti itu, lantas apakah dia cemburu?Tidak. Hal seperti ini wajar terjadi apalagi mereka pernah hidup bersama, meski berpisah dengan keadaan yang tidak baik.
Damaira menoleh ke arah sumber suara."Ya ampun. Ini Ira?" tanya orang tersebut.Damaira tersenyum, "Iya, Mbak. Ini aku.""Kemana saja selama ini?" Damaira memilih tak menjawab dan hanya tersenyum.Mengerti Damaira tak ingin membahas apapun, wanita itu memilih mengganti topik pembicaraan."Ada perlu apa? Biasanya di rumah hanya ada Celine, tadi aku dengar Negan sudah mengantarnya. Mungkin dia tidur.""Aku ingin mencari Celine, Mbak. Oh iya, Mbak. Ada nomor Dina? Boleh aku minta?"Wanita itu menelisik karena melihat gelagat raut wajah gelisah dari Damaira. "Ada, ayo mampir dulu. Memangnya ada apa? Kamu sepertinya gelisah."Terlalu lama jika harus berbasa-basi dengan tetangga mantan suaminya itu, akhirnya Damaira mengatakan apa yang sedang dialami oleh Negan."Mas Negan kecelakaan, Mbak. Tolong cepat ya, penting.""Ya Tuhan. Sebentar ya, Ra. Aku ambil handphoneku dulu."Wanita itu segera berlari menuju rumahnya. Tak berapa lama keluar dengan membawa benda pipih, lalu menyebutkan nomor D
"Din, coba kamu hubungi Naya, posisi dia di mana sekarang. Aku akan menghubungi Mas Mahesa."Belum sempat Damaira mengambil ponselnya, benda pipih itu sudah berbunyi. Panggilan dari Mahesa."Halo, Mas.""Ra, apakah ada pihak keluarga yang golongan darahnya sama dengan Negan?"Deg!Perasaan Damaira kembali tak karuan, jantungnya berdetak lebih cepat."Apa kondisinya parah, Mas?" tanya Damaira sedikit bergetar."Iya, Ra. Negan butuh banyak transfusi darah. Saat ini ada dua kantong, sedang ditanyakan juga ke PMI. Untuk berjaga-jaga jika ada pihak keluarga yang sama."Melihat wajah Damaira yang panik, Dina pun menyela, "Ada apa, Mbak?"Damaira menoleh ke arah gadis itu, "Kalau tidak salah golongan darahmu sama dengan Mas Negan, kan?""Iya, Mbak.""Mas Negan butuh cadangan darah—""Apa? Apa separah itu? Kalau begitu aku akan segera ke sana, Mbak. Aku akan naik motor, agar cepat sampai." Dina memotong kalimat Damaira.Gadis itu segera be
Setelah mendapat kabar dari Andi bahwa Negan mengalami kecelakaan, Naya meminta izin pada suaminya dan bergegas menuju rumah sakit."Sayang, kamu jangan panik. Dan jangan naik kendaraan sendiri, gunakan taksi, demi keselamatanmu dan calon anak kita," ucapan suami Naya kala di telepon tadi.Tak lupa Naya memberi kabar pada adiknya–Dina, tentang kabar buruk itu.Saat ini Naya sedang berada di dalam taksi menuju rumah sakit. Gelisah, tubuhnya bahkan masih gemetar karena mendapat kabar tersebut.Menurut informasi terakhir, kakaknya masih di dalam ruang operasi. Naya pun segera mencari letak ruang tersebut setelah berhasil menginjakkan kaki di rumah sakit.Di depan ruang operasi, Naya melihat sosok yang cukup familiar, Mahesa."Pak Mahesa," sapa Naya."Oh, Naya. Kamu sudah sampai rupanya.""Bagaimana keadaan kakak saya?""Buruk, Nay. Duduklah dulu. Adikmu sedang menuju kemari."Naya, sudah tak tahan lagi, dia akhirnya mengeluarkan air mata yang sud
Mendengar pertanyaan dari wanita yang dia sayangi, Mahesa mengangguk mantap sebagai jawaban. Walau sebenarnya hati berkata lain, tak dapat dipungkiri dirinya memiliki ketakutan Damaira akan berpaling ke lain hati."Semua ini demi kemanusian, Ra. Tanpa kamu meminta izin pun aku akan mengizinkan." Mahesa tersenyum tulus."Jangan terbebani dengan hubungan ini.""Terima kasih, Mas." Hanya kata itu yang bisa Damaira ucapkan saat ini.Keduanya menikmati makan malam dengan bersenda gurau, mencoba mengalihkan cerita sedih hari ini. "Kamu akan menginap malam ini?""Iya, Mas. Kasihan Dina jika sendiri, anak-anak sudah aku titipkan pada Dinda, Isa besok akan kembali ke Jakarta, kamu tak perlu khawatir. Di antara kalian semua aku yang paling pengangguran," kata Damaira diiringi dengan kekehan. Keduanya pun segera mengakhiri makan malam mereka."Ayo aku antar masuk, setelah itu aku akan pulang." Damaira mengangguk.Sampai di depan ICU hanya ada Dina."Naya su
Melihat kondisi Negan yang memburuk, tak dapat dipungkiri ada keresahan di hati Damaira, dia menggenggam erat tangan Negan sembari menunggu tenaga medis datang."Kamu kuat, Mas. Aku sudah memaafkanmu. Jangan membuatku cemas," kata Damaira yang kalut dalam kepanikan.Jika Damaira bisa mengulang waktu, dia akan berkata hal yang lebih baik."Maafkan aku, Mas. Bertahanlah, Celine dan Ezra menunggumu," racau Damaira.Dua orang perawat masuk ke dalam ruangan Negan memeriksa keadaan.Mahesa yang duduk di depan ruang ICU dikejutkan dengan seorang dokter yang berlari menuju ke ruang ICU. Sontak membuat Mahesa berdiri.Entah mengapa hatinya menjadi resah."Siapa yang urgent?" monolog Mahesa.Dokter itu masuk ke ruang perawatan Negan, Damaira segera keluar dari ruangan tersebut.Dengan wajah cemas Damaira menatap mantan suaminya dari balik jendela kaca. Air matanya luruh tanpa permisi Dan tubuhnya bergetar.Mahesa mengintip dari balik pintu yang sebagian
Damaira berdiri, dengan perasaan was-was, khawatir ada sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuannya. Tapi perawat itu justru tersenyum."Apa yang terjadi, Sus?""Pasien ada sedikit pergerakan, mungkin Mbak mau berkomunikasi dengannya," tutur perawat tersebut.Tanpa sadar Damaira menghembuskan nafas lega, detak jantung yang tak karuan mulai teratur."Terima kasih, Sus."Ibu anak satu itu mengikuti langkah perawat, lalu membersihkan diri dan menggunakan pakaian khusus ICU.Seperti biasa Damaira duduk di samping Negan."Hai, Mas. Apa kabar?""Apa kamu tak merindukan anak-anak? Mereka merindukanmu, terutama Celine. Setiap hari dia merengek ingin bertemu denganmu, sayangnya anak kecil tak boleh datang ke mari. Oleh sebab itu, kamu harus segera sadar dan sehat kembali, agar anak-anak bisa segera bertemu denganmu." Oceh Damaira.Damaira menyatukan tangannya dengan tangan Negan, lalu meletakkan tangan itu di pipinya, setelah sebelumnya memberi satu kecupan
Damaira mendapati satu pesan dari Naya.[Ra, Mas Negan tadi sempat membuka mata, tapi tak merespon. Apa kamu bisa segera ke mari, mungkin dia mencarimu?]Pesan itu dikirim beberapa menit yang lalu."Ada apa?" tanya Isa."Kata Naya, Mas Negan tadi sempat sadarkan diri, tapi tak ada respon. Dia memintaku untuk segera datang ke rumah sakit.""Lalu, kamu akan buru-buru ke sana?"Damaira menghembuskan nafas pelan. "Aku akan hubungi Dina lebih dulu. Aku juga harus membersihkan diri, mengucapkan salam pada anak-anak," ucap Damaira."Aku akan mengantar kalau begitu, anak-anak titip pada si bebek."Damaira melotot, "Bebek?""Dinda maksudku. Salah sendiri dia cerewet sekali membuatku pusing."Damaira tertawa mendengar saudara mengeluhkan tentang sahabatnya.Damaira hendak meletakkan ponselnya, tapi sebuah panggilan masuk ke dalam nomornya.Mahesa."Halo, Mas.""Dasar pria bucin," oceh Isa mengejek Mahesa, lalu keluar dari kamar Dama