Malam ini Negan tak menemukan Damaira di ruang tengah seperti biasanya. Dia pun langsung menuju ke kamarnya.
Mendapati Damaira sedang tiduran di ranjang.
"Kamu ini, suami pulang bukan di sambut. Malah enak-enakan tidur," oceh Negan sembari meletakkan tas kerjanya.
Bukan tanpa alasan Damaira berbaring di tempat tidur. Perutnya sangat nyeri karena tamu bulanannya sedang datang.
"Maaf mas, perutku sakit sekali…"
"Alasan saja kamu!" hardik Negan.
"Sana buat makan, malah enak-enakan tidur. Benar kata ibu…"
Mendengar kalimat terakhir suaminya, Damaira langsung beranjak duduk, membuat Negan menjeda kalimatnya.
"Kamu itu tidak becus mengurus suami, pemalas, kerjaannya tidur di kamar …” Belum selesai Negan berucap, Damaira sudah memotongnya.
“Terus mas, terus. Ibu, ibu, selalu ibu. Kalau kamu mau sepenuhnya bersama ibumu, jika ibu adalah prioritasmu, silahkan. Mari kita berpisah,” sela Damaira, membuat Negan membulatkan mata tak percaya dengan ucapan istrinya.
“Damaira! pamali bicara seperti itu,” bentak Negan.
“Kamu yang mulai, kamu tidak pernah sedikitpun memberi aku ruang untuk berkeluh kesah, di matamu aku ini pemalas, jelek, tidak berpendidikan, hanya bisa menghabiskan uangmu, seperti yang selalu ibumu katakan.” Jika Damaira mulai marah, dia akan mengganti kata mas menjadi kamu.
“Damaira! Lancang kamu pada suami,” bentak Negan, Negan mulai tersulut emosi.
Netra mereka saling bertatap penuh emosi. Damaira yang biasanya mengalah dan pasrah, kini menyalak bagai anjing.
Dengan malas Damaira beranjak dari tempat tidur, membuka tas kesayangannya kemudian mengambil dompet, dan menuju pintu. Lebih baik dia mendinginkan kepala sembari mencari angin, setelah itu membeli bahan makanan.
“Heh, mau kemana? Suami belum selesai bicara main tinggal,” tanya Negan yang masih berapi-api.
“Katanya mau makan, di rumah bahan makanan sudah habis, aku mau beli dulu,” jawab Damaira.
Tanpa memperdulikan Negan, Damaira keluar dari kamar. Negan paham jika Damaira sebenarnya menghindarinya dari pertengkaran yang berkepanjangan.
“Ra, tunggu, Ra,” teriak Negan dengan nada bicara yang lebih lembut.
“Apa lagi?” kesal Damaira.
“Pakai ini.” Negan memberinya tiga lembar uang seratus ribuan.
Dengan berat hati Negan memberikan uang itu, dia hanya tidak istrinya berlama-lama di luar karena menghindarinya. Dia tahu, pemuda di sekitar sini suka mencuri-curi pandang pada Damaira. Dia tidak rela.
Damaira sempat membulatkan mata sempurna, sebelum akhirnya mengambil uang itu. Damaira pergi dengan menggunakan sepeda motor kesayangannya.
Sampai di warung langganan, Damaira langsung menyebutkan apa saja yang dia perlukan.
“Bawang merah 1kg, bawang putih 1kg, garam 2 bungkus, masako 1 renteng, kecap manis refil sedang 1, gula pasir 1kg, gula merah 1kg, tepung terigu 1kg, telur 1kg, mie Instan 10 bungkus ya bu. Tambah berasnya 10kg bu.”
“Sebentar neng Ira, pelan-pelan ibu teh lupaan. Tumben malam-malam belanjanya?”
“Iya bu, baru sempat.”
Ibu pemilik warung dengan cepat mengambil dan memasukkan belanjaan ke dalam kantong belanja sembari menghitung total harga belanjaan Damaira.
“Tong, angkat beras ke motor neng Damaira ya, 10 kg.”
“Ya mak,” jawab anak ibu pemilik warung.
“Total 370.000, neng.”
‘Yah masih tombok,’ batin Damaira.
Tapi dia merasa bersyukur suaminya mau memberinya uang belanja lebih. Semoga itu bukan uang belanja bulanan yang sengaja Negan berikan lebih awal.
“Ini bu.” Damaira memberikan empat lembar uang seratus ribuan.
“Terima kasih, neng Ira.” Ibu pemilik warung memberikan kembalian pada Damaira.
“Sama-sama bu, permisi."
"Makasih a',” ucap Damaira pada anak ibu pemilik warung. Anak pemilik warung adalah salah satu pemuda yang suka curi-curi pandang pada Damaira.
“Ok, neng,” balas pemuda itu.
Sesampai di rumah, Negan sudah menunggu di meja makan.
“Lama sekali aku sudah lapar, ini belanjaan kok banyak sekali?” cecar Negan.
“Sudahlah mas, tolong ambilkan beras di motor.” Mau tak mau Negan mengambil beras yang Damaita maksud.
Saat Negan mengambil beras, Damaira sengaja menaruh nota belanjanya di atas meja makan, di tempat biasa Negan duduk, dengan maksud agar Negan tahu berapa pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan harian.
“Ra, beli berasnya banyak banget, kan kita cuma berdua, lagi pula siang aku makan di luar!” ucap Negan polos.
“Ya memang segitu setiap bulannya kadang lebih. Memangnya aku dewi Nawangwulan yang bisa masak nasi hanya dari sebiji beras” jawab Damaira.
Negan langsung diam dan membawa beras itu ke dapur.
‘Kamu nggak tahu saja, mas, ibu sering datang mengambil beras di rumah ini, 30 kg sebulan nggak cukup,’ sayangnya, kata-kata itu hanya terbesit dalam benaknya, dia hanya tak mau kembali ribut.
Setelah membawa beras ke dapur Negan duduk di kursi biasanya, tepat seperti dugaan Damaira.
“Eh apa ini?” Negan melihat nota belanja Damaira.
“Ini belanja barusan habis hampir 400 ribu! Mahal sekali,” seru Negan setengah tak percaya.
“Ya memang apa-apa mahal mas, itu baru beberapa, belum sayur dan lauk pauk setiap hari, mas bisa hitung sendiri, tujuh puluh ribu seminggu cukup atau nggak.”
Negan menelan salivanya dengan susah payah dan hanya diam seribu bahasa. Selama ini dia terlalu cuek dengan hal-hal seperti itu.
‘Pantas saja Andi mengatakan bahwa nafkah yang aku berikan pada Damaira tidak layak,’ batin Negan.
Pikirannya mulai menerawang entah kemana. Hingga tepukan di bahu menyadarkannya, senyuman Damaira membuat damai hatinya.
“Dimakan mas, sudah matang.”
“Terima kasih, Ra.”
"Mas tolong cuci perabotan ya, aku sudah tidak kuat perutku sakit," ucap Damaira setelah menyelesaikan makan malamnya.
Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Damaira langsung kembali ke kamarnya setelah minum obat pereda rasa nyeri.
Ini kali pertama dalam sejarah hidup Negan, dia mencuci perabotan.
Pagi ini, Damaira lupa mengunci pintu. Laras kembali menyambangi rumahnya. Seperti biasa, langsung menuju ke ruang tengah dan melipir ke dapur.
“Mana berasmu? Bawang?”
“Sudah habis bu, Damaira belum belanja,” bohong Nia. Damaira sengaja menyimpan beras dan bawang di lemari yang berada di ruang laundry.
“Bohong! Kamu kan baru saja dapat uang belanja. Tadi ibu tanya warung depan katanya kamu sudah belanja semalam. Pelit sekali kamu jadi menantu, pasti kamu sembunyikan.” Laras mulai membuka satu persatu lemari dan rak yang ada di dapur.
Damaira tersenyum tipis melihat kelakuan mertuanya.
‘Cari saja terus, nggak bakal ketemu!’ seru Damaira dalam hati.
“Damaira belum belanja bu,” ulang Nia.
“Bohong kamu, pasti kamu sembunyikan.”
“Ibu sudah cari sendiri, tidak ada kan? Buat apa Ira sembunyikan, setiap bulan kalau Ira sudah belanja pasti Ira taruh di tempat biasa.”
“Dasar pelit kamu, belanja pakai uang anakku saja pelitnya minta ampun. Pelit, tidak berpendidikan, kere lagi.” Setelah mengucap kata-kata itu Laras berlalu dari rumah Damaira.
“Andai kalian tahu, aku yang kalian hina ini adalah juragan sukses, apa kalian akan tetap memandang rendah diriku?” gumam Damaira.
“Ya, Allah, beri hamba kewarasan untuk menghadapi cobaan ini.” Damaira berdoa sembari mengelus dada.Damaira segera berangkat ke toko dengan mengendarai motor matic bututnya. Pikirannya menerawang entah kemana hingga tanpa sadar dia menabrak sebuah mobil mewah yang tiba-tiba berhenti di depannya.Suara tabrakan itu cukup kencang, Damaira terpental tak jauh dari motornya, dia sempat mengalami pingsan sesaat, saat dia tersadar, dirinya sudah berada di trotoar dan orang-orang sudah berkumpul di sekelilingnya.“Apa kamu baik-baik saja, mbak?” Damaira melihat ke arah sumber suara, pria tampan dengan pakaian rapi dan mewah. Damaira yakin bahwa pria tersebut adalah pemilik mobil yang dia tabrak.Damaira baru tersadar bahwa tangan kiri dan keningnya berdenyut, sepertinya dia terluka.“Sudah mas bawa mbaknya ke klinik atau rumah sakit terdekat saja, saya temani. Urusan lain-lainnya nanti diurus di sana. Takutnya si mbak kenapa-kenapa,” ucap bapak-bapak itu pada si pria tampan.Damaira digirin
Tak berselang lama, Damaira keluar dari mobil itu. Terdengar wanita itu mengucapkan terima kasih pada rekannya. Lalu mobil kembali melaju.Negan sedikit kecewa melihat mobil Honda CR-V itu pergi. Padahal dia berharap itu adalah mobil Damaira. Dia bisa memanfaatkannya.Mimpimu terlalu muluk Negan, istrimu itu kere, hanya seorang penjaga toko kue, begitulah isi kepala Negan saling bersahutan."Dari mana saja kamu?" tanya Negan dengan ketus.Damaira menatap bingung pada sang suami. Bukankah dia sudah mengirim pesan, untuk apa bertanya? Damaira tak kuasa mengatakan hal itu dan memilih untuk menjawab."Aku baru pulang kerja mas, karena tadi aku kecelakaan jadi masuk dan pulangnya harus mundur," ucap Damaira, lalu berjalan hendak memasuki rumah.Negan memberi jalan agar istrinya itu bisa masuk dengan leluasa."Memangnya juraganmu tidak memberi libur? Aku lihat lukamu cukup parah." Negan cukup prihatin dengan keadaan istrinya dengan tangan tergantung dan menggunakan gips."Ya mau bagaimana l
Dua bulan kemudian.Pasca pertengkaran yang terjadi di antara Damaira dan Negan malam itu, sikap Negan sedikit melunak dan lebih perhatian. Pria itu nampak bersungguh-sungguh ingin memperbaiki hubungan dengan Damaira.Negan lebih sering meluangkan waktu untuk Damaira walau hanya sekedar untuk berbincang hal yang tidak penting.Selama dua bulan ini, Dina hanya pernah sekali menemui Damaira di toko dan merengek meminta uang, adik iparnya itu sungguh tebal muka. Karena asas belas kasih, Damaira memberinya uang sebesar lima ratu ribu rupiah.Sedangkan ibu mertuanya masih sama, datang ke rumahnya untuk mengambil sembako seperti biasanya.Untuk soal keuangan, Negan lebih manusiawi ketimbang bulan-bulan sebelumnya. Terkadang Negan mau berbelanja ke warung untuk menggantikan Damaira yang masih menggunakan gips, walau terkadang kesal karena harga sembako yang mahal dan uangnya harus berkurang cukup banyak.“Hari ini pengumuman hasil seleksi district manager, Ra. Doakan, semoga suamimu ini ya
Damaira dan Negan saling pandang. “Siapa yang datang?” tanya Negan. Damaira hanya mengedikkan bahu tanda dia juga tidak tahu.Damaira menduga pasti salah satu keluarga Negan. Negan mencuci tangan kemudian menuju ruang tamu untuk membuka pintu.Sedangkan Damaira mengambil kerudung instannya yang berada di gantungan depan kamar mandi. Dia hanya ingin menutupi kalung yang baru saja dibelikan oleh suaminya. Damaira tak ingin karena kalung itu akan timbul masalah baru.Benar saja dugaan Damaira, namun bukan ibu mertua ataupun Dina, melainkan Naya–adik pertama Negan."Masuk, Nay. Tumben kamu datang ke sini malam-malam."“Mas Negan sedang apa?” tanya Naya sedikit tidak enak.Naya memang berbeda dengan ibu dan adiknya, pembawaannya kalem dan ramah.“Masuk Nay, mas baru makan malam, kamu sudah makan?” Naya mengekor di belakang Negan.“Belum mas, aku baru pulang kerja, langsung kemari.”“Halo, Mbak,” sapa Naya pada Damaira.“Hai Nay, baru pulang ke
Laras melayangkan tangannya pada Damaira. Dengan tangkas Damaira menangkap tangan Laras lalu menghempaskannya dengan kasar. Baik Negan, Naya, maupun Laras sendiri terperangah. "Maaf, Bu, untuk kali ini aku tidak bisa menerima perlakuan Ibu yang semena-mena padaku," ucap Damaira tenang. "Kamu…" Laras menjeda kalimatnya. "Kamu berani pada orang tua, hah?" ucap Laras lantang. Naya segera menarik sang ibu, "Sudahlah, Bu, ayo kita pulang." "Lepas, Naya!" "Lihat itu kelakuan istrimu. Dia berani pada Ibu…" "Benar kata Naya, Bu. Ini sudah larut, Ibu sebaiknya pulang dan beristirahat," ucap Negan. Mendengar ucapan itu, hati Laras begitu nelangsa. "Kamu berani mengusir ibu? Durhaka kamu, Negan." Naya mencoba menenangkan sang ibu, Negan pun mendekati sang ibu hendak memeluknya dan berbicara sesuatu, namun Laras menepis begitu saja. "Jangan mendekat. Sekarang kamu pilih ibu atau wanita itu?" "Sudah, Bu, ayo kita pulang. Ibu tidak boleh marah-marah. Nanti darah tingginya naik," ucap Na
“Apa ini?” tanya Negan.“Ini tagihan, Pak. Mohon dilunasi," ucap Putra.“Tagihan? Tagihan apa?”Negan terkejut, sebab dia sudah berpesan pada Damaira untuk membayar kekurangannya lebih dulu. Walau niat aslinya dia tidak akan mengganti uang tersebut. Negan mencari Damaira, namun wanita itu tak ada di mana-mana.“Mbak Ira sedang menerima telepon, Pak. Saya diminta menggantikan,” ujar Putra."Kamu yakin tidak salah tagihan?" Negan berusaha berkelit."Tidak, Pak. Ini jelas tertera nama pak Negan." Negan memeriksa, benar itu adalah nama dan nomor teleponnya, serta tertulis jumlah uang DP dan kekurangannya.'Sialan kamu, Ra. Aku akan buat perhitungan. Malu-maluin,' batin Negan kesal.Berhubung banyak orang yang melihatnya mau tidak mau, Negan melakukan pembayaran via m-banking.Dalam hatinya dia terus merutuki sang istri yang tidak mau membayar kekurangan dari pesanannya. Setelah menunjukkan bukti transfer, barulah Negan menandatangani surat penerima d
Negan terus memandangi jam dinding yang ada di ruang tengah, sejak tadi dia menunggu kepulangan istrinya.Hingga lepas isya' Damaira baru sampai di rumah. Wajahnya terlihat sangat lelah, tapi Negan tak peduli."Kemana saja kamu jam segini baru pulang?" hardik Negan.Negan berdiri di pintu antara ruang tamu dan ruang tengah dengan menyilangkan tangan di dada serta menatap tajam pada istrinya."Maaf, Mas. Aku sibuk sekali hari ini. Banyak pesanan di toko, jadi mau tidak mau aku lembur Memangnya kenapa?" Merasa tak memiliki salah, Damaira menanggapi suaminya dengan santai."Kamu memang nggak tahu atau hanya pura-pura? Tidak melihat pesanku?" Nada bicara Negan mulai meninggi. Damaira mengerutkan keningnya.
"Ah, ternyata benar mbak Ira." Negan terperangah melihat siapa yang menyapa istrinya. 'Dari mana dia mengenal Ira?' batin Negan. "Lho, ada pak Negan juga!" seru orang itu. "Iya, bu Idah," balas Negan. Wanita yang dipanggil Idah itu adalah Jubaidah kepala sebuah rumah sakit yang memberi kontribusi besar untuk Negan dan perusahaan tempatnya bekerja. "Mbak Ira ini istri Pak Negan?" tanya Jubaidah pada Damaira. Damaira hanya mengangguk dan tersenyum. "Pak Negan pintar ya cari istri, juragan roti." Negan justru tertawa mengejek. "Hanya kuli biasa, Bu. Juragan apanya," ucap Negan meremehkan. Tapi berbeda dengan penangkapan Jubaidah, wanita itu berpikir jika Negan hanya merendah. "Pak Negan sukanya merendah. Pas. Manajer sama juragan." Belum sempat Negan menanggapi, dari kejauhan terdengar remaja yang memanggil Jubaidah. Nampaknya dia sudah ditunggu oleh keluarga. Jubaidah segera berpamitan pada Damaira dan Negan. Sepeninggalan Jubaidah, jiwa penasaran Negan kembalikan terusik.
Empat bulan kemudian Isa dan Dina akhirnya menikah, setelah si kembar lahir kedunia dua bulan yang lalu.Keduanya memang sengaja mengambil waktu lebih lama, agar keluarga Damaira fokus lebih dulu pada si kecil Narendra dan Naela. Kembar yang begitu menggemaskan, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, sama seperti Damaira dan Damaisa.Saat ini Isa sedang berada di depan penghulu dan juga Negan sebagai wali dalam pernikahannya dengan Dina. Dina sendiri masih menunggu di ruang rias yang tersedia tak jauh dari tempatnya berada.Deg-degan itu sudah pasti, entah sudah berapa kali pria datar itu menghela nafas untuk menetralkan kegugupan.Penghulu mulai melakukan serangkaian prosesi. Negan dan Isa berjabat tangan, prosesi ijab qabul di mulai.Dengan satu tarikan nafas akhirnya Damaisa Kurniawan telah menjadikan Findina Langit Senja binti Surya Cakrawala sebagai istrinya.Suasana haru tercipta, apalagi ketika pengantin wanita di bawa ke ruangan tersebut. Ucapan selamat dan doa terbaik diuc
“Ibu benar mau aku menikah? Dengan siapapun wanita pilihanku?” tanya Isa dengan wajah serius.Lestari diam sejenak sebelum menjawab.“Kamu masih ingin menikah dengan Dina?” tanya Lestari.“Iya, kalau Ibu memberi restu.”Lestari menghembuskan nafas pelan.“Kamu tidak ada wanita lain?”“Belum ada, Bu. Kalau Ibu menginginkan wanita lain, mungkin butuh waktu lebih lama.”“Kamu sungguh-sungguh menyukai wanita itu?”Dalam guratan wajah Isa masih tersirat sedikit keraguan.“Mintalah dulu petunjuk pada sang Pemilik Hati, Sa. Ibu tidak mau kalau kamu memiliki maksud tertentu menikahi Dina, seperti balas dendam.”Isa masih diam, mencoba membuka lembar demi lembar memori mengapa dia ingin menikahi Dina.“Kalau kamu sudah mendapatkan kemantapan hati ingin menikahi Dina karena untuk beribadah dan mencintainya, Ibu akan restui,” ujar Lestari.Isa justru bergelung dengan hatinya sendiri, antara maju atau mundur.“Baik, Bu. Isa akan pikirkan baik-baik dan juga minta petunjuk sama Tuhan.” Benar itu ad
Satu tahun kemudian.Kebahagiaan demi kebahagiaan semakin terlimpah di keluarga Mahesa dan Damaira. Sakit dan luka di masa lalu perlahan hanya menjadi sebuah butiran yang terhempas karena tiupan angin.Setelah beberapa bulan lalu Mahesa dan Damaira pergi ke Jerman untuk bulan madu, tak lupa mengajak anak-anak untuk turut serta. Sekarang Wanita itu telah berbadan dua.Bukan, tapi tiga. Ya, Damaira hamil anak kembar. Karena faktor keturunan, hamil anak kembar sangat mungkin terjadi.Di sisi lain, di kota Makassar, Nindi dan Dion juga tengah merasakan kebahagiaan yang sama. Nindi akhirnya hamil, bahkan beberapa bulan lebih dulu dari Damaira.Kabar itu diberikan langsung oleh Nindi pada Damaira. Rezeki memang unik, Tuhan akan memberikan di waktu yang tepat. Di saat semua permasalahan hati di masa lalu selesai, akan tubuh cinta yang baru.Tak kalah membahagiakan Isa juga telah resmi membuka kantor perusahaan sendiri di Jakarta. Karyawannya masih terdiri dari beberapa orang. Pria itu semaki
Beberapa minggu berlalu pernikahan Nindi dan Dion pun sudah terlaksana. Meski hanya sederhana keduanya terlihat bagaimana.Di hari Minggu yang cerah itu, Nindi dan Dion berkunjung ke rumah Mahesa, dengan harapan keluarga itu berada di rumah Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah Keysha. Nindi benar-benar bertekad ingin berbaikan dengan anak itu. Dia ingin sekali mendapatkan maaf dari bocah berusia 12 tahun itu.Ya, kurang lebih 12 tahun Nindi meninggal Keysha. Nindi pikir semuanya akan baik-baik saja, ternyata Tuhan memiliki takdir yang sudah ditetapkan untuk mereka.“Oh, Mbak Nindi dan Mas Dion, apa kabar kalian? Selamat ya atas pernikahannya. Kami senang mendengar kabar tersebut.”Damaira dan Mahesa menyambut kedatangan sepasang pengantin yang baru saja rujuk itu.“Kabar baik, Ira. Terima kasih. Maaf kami tidak mengadakan acara apapun.”“Jadi–” Nindi menjeda kalimatnya dan melihat ke arah suaminya, Dion pun mengangguk dan tersenyum.“Jadi, kedatangan kami kemari untuk bertemu deng
Pertanyaan yang seperti memojokkan Citra, membuat dia sejenak berpikir untuk mencari kalimat yang tepat dan mematahkan tuduhan pria itu.“Apa aku ada hak menolak perjodohan ini?”Citra justru bertanya, bukan menjawab pertanyaan Ardi.“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Ardi seraya menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.“Kamu mau jawaban jujur atau jawaban yang menyenangkan hatimu?” tanya Citra.Sepasang anak manusia itu terus saling melempar pertanyaan tanpa ada yang mau menjawab.“Jujur.”“Baiklah kalau begitu aku tidak akan sungkan,” kata Citra. Ardi pun mempersilakan Citra untuk mengatakan segala unek-uneknya.“Aku justru beranggapan Kak Ardi-lah yang menolak perjodohan ini. Kenapa? Seperti yang sudah sedikit aku singgung tadi, kamu tak pernah bersikap baik kepadaku, menyapaku pun hampir tidak pernah, ketika kita berpapasan lebih banyak kamu seperti menganggapku orang asing, kita tidak saling kenal, padahal aku selalu tersenyum padamu sebagaimana junior kepada seniornya.”
“Mbak, apa di depan atau di sekitar sini ada Pak Negan?” tanya seorang dokter kepada perawat.“Sebentar saya lihat dulu, dok.”“Kalau misal ada bilang, suruh ke ruangan, dokter Maulana mencari,” kata dokter Maulana.“Baik, dok.”Perawat itu keluar dari ruangan kemudian mengedarkan pandangan mencari Negan.Negan cukup cukup terkenal di karangan dokter, perawat, orang-orang penting di rumah sakit, dan juga marketing yang lainnya. Apalagi setelah pria itu mengalami kecelakaan namanya making disebut-sebut.“Nah itu dia si duda keren,” monolog perawat itu setelah melihat keberadaan Negan.“Selamat siang menjelang sore Mas Negan,” sapa perawat itu.“Eh, Iya, Mbak. Ini masih siang bolong,” balas Negan. Wanita itu terkekeh pelan.“Mas Negan dicari sama dokter Maulana, ditunggu di ruangannya.”Negan mengernyitkan keningnya, kemudian bertanya, “ada apa ya, Mbak?”“Kurang tahu Mas, Mas datang saja ke ruangan beliau.”“Terima kasih Mbak informasinya.”“Sama-sama Mas, mari.” Negan mengangguk horma
Pagi ini Mahesa disibukan dengan serangkaian pekerjaan, padahal saat ini waktu subuh baru saja berlalu dan matahari belum terbit. Beberapa hari ini pria itu sedikit kurang tidur. Setelah menikah entah mengapa rezeki terus mengalir tiada henti. Proyek sana-sini.“Ini, Mas.” Damaira memberi secangkir kopi sebagai penyemangat lagi.“Terima kasih, Sayang.” Mahesa menarik tangan istrinya, kemudian memberi kecupan hangat sebagai doping.Damaira selalu saja diberi kejutan dengan sikap manis Mahesa. Pria itu benar-benar membuatnya seperti ratu yang spesial.Tak ingin kalah, Damaira pun membalas serangan Mahesa. Sebulan bersama pria itu membuat hidupnya semakin berwarna.“Kalau begitu aku keluar dulu, masak.” Mahesa mengangguk.Damaira menyerah beberapa hal tentang kerumahtanggaan seperti bersih-bersih, laundry, dan lain sebagainya, kecuali masak.Memasak baginya harus dilakukan sendiri, agar kelak anak-anak dan suaminya selalu merindukan masakannya.Meski tinggal bersama mertua, sudah pasti
Tak hanya Indra yang meluapkan emosi pada Nindi tapi juga Linda. Nindi terpojok sebagai tersangka. Janda itu menangis tersedu. Indra seakan belum puas dan terus memarahi anaknya.Ketegangan itu masih terus terjadi hingga bel rumah itu berbunyi mengalihkan perhatian semua orang yang ada di dalam rumah itu.Dengan kesal Indrawan membuka pintu, melihat siapa yang datang sontak membuat pria paruh baya itu kembali naik darah.“Ini biang keroknya datang, dasar pria tak bertanggung jawab, brengsek!” Indra langsung memaki Dion yang tak tahu apa-apa.Pria itu hanya mengerutkan kedua alisnya, mencoba menelaah apa yang sebenarnya terjadi.“Ada apa, Yah? Siapa biang kerok.” Linda dan Nindi datang menyusul Indra ke ruang tamu.“Ngapain kamu datang ke sini? Bosan hidup, hah?” Sama halnya dengan suaminya, Linda pun langsung menghardik Dion.Nindi sendiri masih berusaha menenangkan diri setelah mendapat amarah dari kedua orang tuanya.Dion menatap iba pada mantan istrinya, entah apa yang baru saja te
Isa tak juga menjabat tangan Dina dan hanya terus menatapnya.“Kenapa hanya menatapku seperti itu?” Dina kembali angkat suara.“Ayo kita berjabat tangan dan kita kembali seperti dulu.” Dengan segenap jiwa dan hatinya Dina menahan sakit. Wanita itu terus memberi sugesti positif pada dirinya sendiri bahwa pasti rasa sakit itu hanya akan menyelimuti berlangsung untuk beberapa waktu saja. Asalkan mengalihkan semuanya pada pekerjaan dan hal lainnya pasti akan segera sirna dengan sendirinya.Dina tersenyum samar dan mulai menarik tangannya. Dia sungguh tidak mengerti kemauan pria yang ada di depannya.Dina menarik nafas dengan maksud menarik ingusnya agar tidak keluar. Dia menahan tangis sekuat tenaga.“Ya sudah ayo kita pulang. Orang-orang pasti menganggapku orang gila karena duduk di sini berjam-jam.Dina meraih tangan Isa dan menarik pria itu agar segera beranjak dari duduknya. Tapi Isa justru menahan tangan Dina.“Ayo kita menikah!” seru Isa.Ucapan Isa sontak membuat Dina membulatkan