Damaira menggeleng, lalu menahan Negan agar tidak berjalan ke arahnya.“Tidak ada apa-apa, Mas. Memang akan lebih baik jika aku beristirahat di rumah saja.”Damaira memegang lengan mantan suaminya, membantu pria itu untuk kembali duduk, namun pandangan entah kemana.“Ayo, Ez. Rapikan barang-barangmu,” titah Damaira pada anaknya.Melihat Damaira sama sekali tak memandangnya, Negan semakin yakin ada sesuatu yang terjadi.“Celine tolong panggilkan Tante Naya,” perintah Negan pada anak perempuannya.“Iya, Ayah.”gadis cilik itu langsung berlari menuju kamar Naya.“Tante di panggil Ayah,” kata Celine setelah Naya membuka pintu kamarnya.Naya keluar dari kamar, menuju ke ruang tengah.“Ada apa, Mas?” tanya Naya.“Tolong ajak anak-anak bermain di luar sebentar ya, Nay.”Tangan Negan menggenggam erat tangan Damaira, tak ingin wanita itu pergi dari sisinya.“Iya, Mas.”Sesuai instruksi dari kakaknya, Naya mengajak kedua keponakannya bermain
Negan tersenyum melihat Damaira yang mengkhawatirkan.“Kamu khawatir padaku?” Negan justru menggoda Damaira.“Siapa yang khawatir? Aku hanya merasa bersalah karena membuatmu kesakitan.”Negan tersenyum.“Kalau seperti ini terus, aku pasti akan cepat sembuh, karena perhatian mu. Terima kasih telah memaafkanku, Ra.”“Kamu suka sekali membual, Mas.” Negan terkekeh.Damaira tersenyum tipis, ada rasa lega di hatinya, setelah bisa melepas satu beban dan berdamai dengan masa lalu.Kini ibu satu anak itu telah benar-benar memaafkan mantan suaminya.Damaira sedikit menggeser tubuhnya karena gugup.“Aku tidak membual, Ra. Aku serius, bukankah banyak yang bilang, kalau obat penyakit itu adalah hati yang gembira?”“Ya, ya. Terserah kamu saja, Mas.” Damaira terdengar pasrah, malas berdebat.“Kamu sudah banyak berubah, Ra.” Negan memandang wajah ayu mantan istrinya.“Ya, aku memang sudah banyak berubah, Mas. Kamu saja yang masih sama seperti lima tahun yang lalu.”Negan menghembuskan nafas berat. B
Weekend belum berakhir, hari ini adalah hari Minggu, Damaira masih dalam mode bermalas-malasan di dalam kamarnya. Wanita itu belum keluar kamar sejak semalam.Damaira seperti tak mempunyai semangat hidup, dia sengaja mengganti nada dering ponselnya agar tidak ada orang mengganggu. Beberapa kali dia mendengar ponselnya berbunyi, tapi enggan untuk melihat.Hari yang cukup cerah, Damaira memilih untuk ke balkon, menghirup udara yang masih segar. Pikirannya menerawang jauh.“Mom! Mom!”“Ya ampun, memangnya dalam lamunan suara itu bisa begitu nyata? Bisa-bisanya aku sampai mendengar suara Keysha,” gumam Damaira.Pikirannya masih belum kembali, tapi dia seperti mendengar suara Keysha.“Mommy Ira!” teriak Keysha lagi dari depan rumah, Damaira.“Key, jangan teriak-teriak masih pagi!” Mahesa memperingatkan anaknya.Pria itu kemudian menekan bel.“Itu Mommy sepertinya melamun deh, Dad. Nanti kesambet.”“Tapi jangan teriak-teriak, nggak enak sama tetangg
“Cie, Daddy perhatian sekali sama Mommy.” Keysha menggoda Damaira dan ayahnya.“Sudah, Key. Jangan menggoda terus, kasihan Mommy Ira sudah seperti kepiting rebus,” kata Mahesa.“Cie, Daddy ikut-ikutan panggil Mommy.”Bocah berumur sepuluh tahun itu masih saja menggoda sang ayah.Suasana saat ini menjadi lebih hangat.Isa kembali berdehem, lalu mengulang pertanyaannya yang belum terjawab.“Jadi apa yang akan kalian lakukan setelah ini? Tapi, sepertinya ada hal yang harus kalian selesaikan, aku bisa membawa anak-anak jika kalian ingin membicarakan hal penting.”Damaira dan Mahesa saling melirik.“Ide yang bagus, Sa,” balas Mahesa.“Ok. Anak-anak setelah ini, kalian ingin pergi ke mana?”Dua anak kecil itu mulai berdiskusi menentukan ingin pergi ke mana pagi ini.Tiba-tiba suara bel kembali berbunyi, memecah konsentrasi dua anak itu.“Kalian lanjutkan saja, Biar aku yang membukakan pintu,” ujar Isa.Pria itu berjalan menuju pintu utam
Damaira turun dengan wajah yang lebih cantik karena memberi sedikit make up di wajahnya.“Anak-anak, ayo cuci tangan dan bersihkan wajah kalian, Kita akan segera berangkat.” Perintah Damaira pada ketiga anak kecil itu.Keysha dengan senang hati membantu Celine untuk mencuci muka, tangan, kaki di kamar mandi. Tak lupa memakai lotion khusus anak-anak yang sudah Damaira siapkan.“Bagaimana, anak-anak sudah siap?” tanya Isa. Damaira mengangguk.“Aku akan berganti pakaian lebih dulu, kamu temani dua pria yang sedang bersitegang di depan,” bohong Isa.Damaira melotot tak percaya, tapi juga mengikuti ucapan saudara kembarnya itu Dan berjalan menuju ruang tamu.Dia pria yang sama-sama berstatus duda itu sedang asik membicarakan tentang klien mereka.Negan mengalihkan padanya setelah melihat Damaira keluar, Mahesa pun mengikuti arah pandang Negan.Dua pria itu sama-sama terpesona dengan janda anak satu itu hingga tak berkedip. Damaira berdehem untuk menyadarka
Tiga bocah itu bernyanyi dan bersorak disepanjang perjalanan menuju ke taman bermain. Ezra yang biasa cool, ikut terbawa suasana.Namanya anak-anak pasti akan kembali pada fitrah mereka, bertingkah sesuai umurnya. Keysha memang pandai membawa suasana, anak itu juga memperlakukan dua adiknya dengan adil dan tidak pilih kasih.“Kak Key, ajari lagi lagu yang tadi. Aku tidak pandai bahasa Inggris.”Keysha mengajak Ezra dan Celine untuk kembali menyanyikan lagu “Wheels on the bus” bersama-sama. Hingga akhirnya mobil terparkir di sebuah pusat perbelanjaan yang memiliki zona permainan lengkap.Sesuai janjinya, Keysha benar-benar menjaga dan mengawasi Celine, karena gadis cilik itu memang lebih butuh pengawasan ketimbang Ezra yang anteng.Isa dengan setia menemani anak-anak itu bermain di wahana satu wahana lainnya.Isa sudah seperti duda keren beranak tiga, seperti bisik-bisik para wanita dan ibu-ibu yang melihat ke arahnya sejak tadi. Ditambah lagi, anak-anak itu memanggil dirinya Papi, ter
Semilir angin dan deburan ombak menyamarkan debaran jantung dan gejolak hati dua insan yang sedang berdiri di tepi pantai.Mahesa merutuki dirinya sendiri, yang tadi dia lakukam benar-benar memalukan, bisa-bisanya melamar wanita dengan cara yang sama sekali tidak romantis."Maafkan aku, ini sangat tidak romantis." Kata Mahesa seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.Damaira menggeleng dan tersenyum tipis.Wanita itu menghadap ke arah Mahesa. Memegang kedua tangan pria itu, tangan itu terasa begitu dingin.Damaira telah memutuskan jawaban yang ingin dia sampaikan pada Mahesa. Netra coklatnya memandang lekat netra Mahesa. Jantungnya sungguh tak kuasa menahan gejolak dalam jiwa."Mas, aku hanya wanita yang penuh kekurangan dan keterbatasan. Aku juga pernah mengalami sakit dalam mahligai pernikahan. Aku sangat senang kamu mengajakku untuk menikah, senang sekali. Tolong bimbing aku agar menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak-anak kita."Mahesa membulatkan mata sempurna, dia masih
Damaira dan Mahesa masih menikmati pantai dengan berjalan menyusurinya.Mahesa memasukkan tangannya ke dalam kantong celananya."Astaga, kenapa aku bisa lupa." Gumam Mahesa setengah merutuki dirinya sendiri."Ra!""Ya, Mas?"Mahesa menghentikan langkah, menghadap ke arah Damaira yang juga ikut berhenti.Pria itu tampak salah tingkah dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Sebenarnya ada sesuatu yang terlupakan." Damaira memasang wajah bingung. Mahesa mengambil sebuah kotak kecil berlapis beludru berwarna merah.Damaira menutup mulutnya."Apalagi ini, Mas?"Mahesa membuka kotak itu, ada cincin emas putih dengan manik berlian berwarna biru, berada di dalamnya. "Ra, maaf tadi aku spontan, dan benar-benar lupa akan hal yang sudah ku persiapkan." Damaira tersenyum dan menggeleng.Bisa-bisanya seorang Mahesa yang perfeksionis sampai lupa memberikan sesuatu yang sangat penting saat melamar seorang wanita."Tidak apa-apa, Mas." Balas Damaira lalu tersenyum."Berikan tanganmu."Damaira d