"Oh?" Nayla baru tersadar dari lamunan panjangnya, dan pastinya Nayla langsung melirik ke arah sekitar saat dirinya sudah sampai di sebuah gedung, gedung yang akan memulai semua aktivitasnya di sana.
"Silakan, Nona." Asistennya Nayla begitu cekatan dengan mengulurkan tangan padanya, tapi Nayla menolaknya."Gak perlu seperti itu," ucap Nayla saat menolak halus pada asistennya."Baik." Sang asisten menganggukkan kepalanya dengan paham.Nayla dan Luna selaku asistennya Nayla, kini mereka sudah melangkah bersama-sama untuk memasuki gedung dan sebuah ruangan, ruangan di mana Nayla akan meeting mendadak sekaligus pemotretan untuk hari ini, hari ini Nayla juga akan banyak membuang tenaganya demi pekerjaannya, pekerjaannya yang sudah pasti sangat membutuhkan dirinya.'Semoga malam ini aku pulang cepat, karena sudah ada janji sama suami,' batin Nayla yang masih mengingat jelas jika dirinya dan sang suami akan pergi bersama.Setelah Nayla dan Luna masuk di sebuah ruangan, ruangan yang sudah di penuhi dengan beberapa orang di sana. Luna langsung menuntun dan mengarahkan Nayla untuk duduk di kursi yang sudah di sediakan, dan Nayla langsung duduk di kursi itu dengan tenang.'Fokus kerja, Nayla,' batin Nayla yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja semenjak kejadian sarapan tadi, sarapan yang sudah pasti membuat hatinya semakin kacau saat akan bekerja.Namun, ini bukan pertama kalinya bagi Nayla jika saat dirinya akan bekerja selalu di usik dengan semua perkataan pahit dari ibu mertuanya, dan pastinya Nayla sudah terbiasa dengan perkataan jahat dari ibu mertuanya. Akan tetapi, Nayla selalu berusaha menguatkan hatinya sendiri.'Aku harus mencari cara agar ibu mertua tidak terus membahas cucu,' batin Nayla yang sepertinya sudah pusing jika membahas ibu mertuanya yang selalu menyakiti hatinya.Di saat meeting akan di mulai, tiba-tiba saja ponselnya Luna bergetar hebat di dalam saku blazer.'Pasti dia lagi,' batin Luna dengan wajah yang sudah sangat pucat dan sedikit ketakutan.Nayla melirik ke arah asistennya yang saat ini wajahnya sedikit pucat, lalu keningnya susah berkerut."Kau kenapa? Sakit?" Nayla bertanya pada asistennya dengan tangan yang sudah menyentuh pundak sang asisten."Ti ... Tidak, Nona." Luna membalas pertanyaannya dengan sedikit gugup."Tapi wajah kamu pucat sekali," kekeh Nayla yang terus saja memikirkan wajah asistennya.Di saat Nayla sedang mengkhawatirkan asistennya, di situlah ada sosok yang menatap ke arah mereka, sosok pria yang pastinya bertanggung jawab penuh atas meeting hari ini."Nayla, bisa kita mulai meeting nya?" Pria itu langsung melontarkan perkataan itu pada Nayla yang masih sibuk dengan Luna.Nayla langsung menoleh ke arah sosok itu dan berkata. "Bisa, Pak," ucap Nayla yang pastinya akan mematuhi pria itu.Setelah beberapa saat kemudian, akhirnya meeting di dalam ruangan itu di mulai, Nayla dan Luna fokus pada meeting itu, meeting yang begitu penting untuk pekerjaan Nayla saat ini, pekerjaan yang sudah membawa karirnya begitu bagus dalam dunia hiburan. ***Hari berganti begitu cepat, dan hari ini Nayla pulang lebih cepat dari biasanya, karena setelah Nayla bekerja, Nayla mampir ke rumah sakit terlebih dahulu untuk mengecek sesuatu, sesuatu yang masih menjadi rahasia untuk keluarga besarnya. Nayla juga masuk ke dalam rumah dengan mengendap-endap, apa lagi Nayla tidak mau jika ada orang yang melihat dirinya, karena saat ini dirinya sedang bingung setelah pulang dari rumah sakit.'Jangan begitu, Nayla, jika kamu seperti itu, orang-orang akan mencurigai dirimu,' batin Nayla yang mencoba menenangkan dirinya sendiri.Nayla juga terus melangkahkan kakinya menuju kamar, dan akhirnya Nayla sudah berada di dalam kamar."Nayla? Sudah pulang?"Nayla tersentak, ia tidak mengira jika sang suami telah berada di kamar lebih dulu. Perlahan, senyuman hangat pun terbit di wajah Nayla berusaha menyamarkan perasaan takut saat Nayla menyembunyikan fakta dan akan terbongkar di hadapan sang suami."Hei? Kamu baik-baik aja kan? Apa ada sesuatu yang mengganggu kamu? Kalau ada apa-apa cerita aja ke aku. Aku ini suami kamu. Jangan anggap aku seperti orang asing. Mengerti?" Agus pastinya bisa melihat ekspresi wajah istrinya yang terlihat begitu bingung dan gugup.Nayla pun mengangguk seakan mengatakan jika dirinya baik-baik saja dan tidak ada masalah yang serius, lalu Nayla berkata. "Gak ada yang perlu dicemaskan. Kamu mandi duluan aja, habis itu gantian aku yang mandi. Sekarang cepat mandi sana!" Saat ini Nayla terdengar seperti memerintah sang suami agar cepat pergi dari hadapannya.Dengan senyuman jahilnya Agus sengaja menggoda istri tercintanya itu, lalu Agus mengatakan. "Gak mau mandi bareng aja, Sayang?" goda Agus sebelum beranjak cepat dari hadapan istrinya yang saat ini pipinya sudah merona."Gak, mandi sendiri sana," kekeh Nayla yang tidak mau jika dirinya mandi berdua dengan sang suami."Baiklah." Agus hanya bisa pasrah dengan langkah kaki yang mulai pergi menuju kamar mandi.Setelah memastikan Agus telah masuk ke kamar mandi, kini Nayla pun buru-buru membuka lemari pakaiannya, mulai mencari kertas hasil tesnya yang sengaja di sembunyikan dari beberapa tahun yang lalu."Maaf, Mas, udah sejak lama banget, aku menyembunyikan fakta ini. Maaf karena aku memilih hidup berumah tangga bersamamu dalam kebohongan, harusnya aku tidak melakukan ini tapi ini yang terbaik untuk kita, aku harus menyembunyikan kertas ini di tempat yang aman," gumam Nayla merasa sesak saat harus berbohong terus-menerus pada suaminya. Namun, jika Nayla tidak menyembunyikan semua ini, pasti keluarganya sang suami akan bertindak semakin kejam terhadap dirinya.Nayla juga ingin mencocokkan hasil tes beberapa tahun yang lalu dan tes hari ini, tapi sepertinya Nayla tidak bisa membaca situasi yang ada jika saat ini dirinya masih berada di ruangan yang sama dengan suaminya."Apa ada perubahan dengan semuanya?" Nayla bermonolog sendiri dengan tangan yang sedang menggenggam sebuah kertas.Namun, saat Nayla baru saja menggenggam kertas itu, tiba-tiba saja Nayla di kejutkan dengan suara bariton yang begitu di kenali olehnya."Nayla? Kamu sedang apa?" tanya Agus yang saat ini merasa bingung saat pandangannya menatap ke arah istrinya yang terdiam di depan lemari.Ke dua bola matanya Nayla melotot saat mendengar pertanyaan itu dari suaminya, lalu tangannya langsung memasukkan kertas itu ke tempat semula di dalam lemari.Nayla menoleh ke arah suaminya dan berkata. "Aku lagi memilih pakaian tidur untukmu," jawab Nayla yang mulai berbohong lagi pada suaminya demi menutupi kertas yang ada di dalam lemarinya saat ini."Pakaian aku?" Suaranya Agus terdengar bingung dan kembali berkata. "Tapi itu lemari pakaian kamu, Sayang, bukan lemari pakaian aku," ucap Agus yang sangat paham jika lemari itu adalah lemari istrinya, bukan lemari miliknya.Nayla langsung kembali menatap ke arah lemari yang ternyata itu memang lemari miliknya, dan Nayla sudah merapihkan kertas tadi."Oh iya, aku lupa." Nayla tertawa saat mengetahui dirinya salah berbohong dengan suami yang begitu teliti.Tanpa di sadari Agus sudah berada di belakang tubuh istrinya dengan memeluk tubuh sang istri dari belakang."Kenapa keluar lagi? Mandi sana!" titah Nayla pada suaminya, bahkan saat ini tangannya sedikit memukul lengan suaminya yang sudah melingkar pada perut ratanya."Aku lupa kalau sabun cair ku sudah habis," bisik Agus di telinganya sang istri."Oh, aku lupa belum memeriksa kebutuhan kamar mandi kita," ungkap Nayla dengan tangan yang sudah menepuk pelan jidatnya sendiri.Agus melepaskan pelukannya dan mengusap-usap jidat istrinya yang terdengar oleh telinganya jika sang istri menyakiti jidatnya sendiri."Hehe, aku siapkan kebutuhan mandi dulu," ucap Nayla yang mulai berpamitan pada suaminya, untuk mengisi sabun dan lain-lainnya di dalam kamar mandi, da
"Permisi, Nyonya dan Tuan." Suara itu berasal dari luar kamar Nayla dan Agus, dan pastinya suara itu adalah suara dari asisten rumah tangga keluarga Setiawan."Ada apa, bi Nani?" tanya Nayla pada suara yang sudah mengetuk pintu kamarnya.Nani adalah asisten rumah tangga di sini, Nani sudah lama menjadi pembantu di sini dengan keluarga Setiawan."Maaf, di luar sudah ada Pak Andi," jawab Nani dengan suara pelan.Andi adalah asistennya Agus yang merangkap seperti sekertaris juga di kantornya, dan entah kenapa Andi ke rumahnya Agus."Runggu di ruang tamu saja!" titah Agus pada sang bibi."Baik, Tuan." Nani langsung pergi begitu saja dari pintu kamar ke dua majikannya, walaupun pintu itu tidak tertutup rapat, tapi Nani tidak berani langsung masuk ke dalam kamar majikannya.Setelah Nani pergi, Agus dan Nayla saling menatap satu sama lain, dan pastinya Agus masih penasaran dengan kertas yang saat ini sudah di genggam oleh Nayla."Nanti malam, aku membutuhkan penjelasan dari kamu!" tegas Agus
"Iya, Mas," jawab Nayla. "Kamu lama-lama mirip detektif deh," sambung Nayla saat suaminya terus saja bertanya padanya membuatnya sedikit kesal. Namun, Nayla tidak boleh kesal dengan suaminya karena sang suami masih bisa menerima dirinya bahwa saat ini dirinya masih menyembunyikan fakta yang sebenarnya.Pagi hari ini Agus dan Nayla hanya sarapan berdua saja, dan pastinya ini menjadi momen yang begitu bahagia bagi Nayla, apa lagi Nayla tidak perlu mendapatkan sindiran dari ke dua mertuanya. Namun, Nayla sudah mendapatkan sakit hati lebih dulu dari ibu mertuanya sejak beberapa saat yang lalu.**Pukul 9 pagi, Nayla dan Agus sudah kembali beraktivitas masing-masing, dan saat ini Nayla sedang melakukan pemotretan untuk kontrak."Kak Nayla? Halo, Kak? Bisa beralih ke pose berikutnya?" Seorang photografer yang sedari tadi memotret Nayla itu pun sontak berusaha menarik perhatian dari wanita itu.Pasalnya, tidak seperti di hari-hari sebelumnya. Wanita itu sepertinya tampak sangat berbeda hari
"Selamat pagi, Ma! Kita akan masak apa untuk sarapan pagi ini? Biar Nayla bantu ya, Ma."Seperti biasanya, Nayla pun akan menawarkan bantuannya kepada sang mertua. Ia akan melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri yang baik dengan senantiasa memberikan jasanya untuk keluarga Setiawan.Namun, bukannya mendapatkan respon yang baik atas niatnya. Nayla justru sama sekali tidak ditanggapi oleh mertuanya. Ayu sedari tadi tetap saja diam dengan tangan yang masih terus berkutat dengan peralatan dapur dan sayur-sayuran di dekatnya.Hati Nayla terasa sakit saat harus menghadapi sikap dingin sang mertua yang padahal di awal pernikahannya dengan sang suami tidak pernah seperti ini."Mau membantu? Sampai sekarang saja kamu masih belum memberikan saya keturunan lalu bagaimana mungkin kamu bisa memberikan bantuanmu kepada saya. Jika menjadi seorang istri yang sempurna saja kau belum bisa, bagaimana kau bisa memasak? Cih! Sungguh lawak sekali tingkahmu. Gadis yang aneh," tutur Ayu ta
Setelah ritual pagi keluarga Setiawan itu dilaksanakan yakni sarapan pagi bersama. Semua orang tak lagi saling menyapa, seakan tidak ada sedikit saja keinginan di dalam diri mereka untuk berinteraksi antara satu sama lain.Nayla menghela nafasnya cukup panjang, ia tau mungkin suaminya tidak akan setuju dan pastinya tidak akan pernah setuju dengan keputusan yang telah ia ambil.Bagaimana pun juga, Agus bukanlah tipikal pria yang akan mengkhianati pernikahan mereka. Agus telah berjanji seumur hidupnya akan terus bersama dengan Nayla, menjaga keutuhan pernikahan mereka dan menghadapi segala permasalahan di rumah tangga mereka secara bersama-sama bukan malah memilih jalur yang salah seperti sekarang. Agus bukannya marah dengan Nayla, ia hanya merasa sangat kecewa kepada wanita itu karena keputusan bodoh yang diambilnya.Agus tidak suka dengan Nayla yang mengiyakan begitu saja permintaan konyol dari Ibu kandungnya. Ia benar-benar tidak bisa menerima semuanya sampai kapanpun juga. Ide k
Luna yang ternyata selama kedatangan dua preman di rumahnya itu tengah bersembunyi di dalam kamarnya pun bergegas keluar ketika ia tak sengaja mendengar samar-samar suara bos-nya."Nona Nayla? Kau? Ada disini?" tanya Luna dengan nada suara yang terbata-bata.Nayla lalu melepaskan pelukannya dari tubuh gadis yang masih terlalu syok dan takut akan dua pria bertubuh besar yang membentaknya beberapa menit lalu itu. Tatapan Nayla sontak berubah menjadi sedikit lebih tajam, ia benar-benar tak habis pikir dengan sikap Luna yang terkesan seperti menumbalkan adiknya sendiri. "Apa-apaan ini, Luna? Kenapa kau membiarkan gadis ini sendirian menghadapi dua preman tadi? Apa kau susah kehilangan akal sehatmu? Apa kau tidak mencemaskan bagaimana keadaannya? Dia tengah ketakutan sekali saat ini. Kau justru malah bersembunyi di dalam kamar. Tanpa ada perasaan empati pada adikmu sendiri," tegas Nayla yang mengutarakan rasa tidak sukanya dengan sikap Luna.Luna pun
Plak! Suara tamparan yang cukup keras terdengar menggema di seluruh sudut rumah yang bisa dibilang sederhana itu.Tatapan mata Luna pun seketika menajam. Ada siluit penuh api yang terlihat di kedua bola matanya."Apa yang kau katakan? Hm? Beraninya kau mencoba untuk menolak keputusanku. Apa selama ini yang membeli beras saat habis adalah dirimu? Apakah yang membeli token listrik ketika lampu padam adalah dirimu? Selama ini, aku tidak pernah meminta hal besar kepadamu. Baiklah begini saja. Ikuti keputusanku untuk menikah dengan Tuan Agus atau kau akan ku jual kepada bos rentenir penagih hutang itu?" ancam Luna kepada sang adik agar mau mengikuti segala perintah yang keluar dari mulutnya.Lagi dan lagi, Citra dibuat tak percaya dengan segala ucapan yang terlontarkan dari mulut sang kakak. Hanya demi sebuah harta, kakaknya sampai rela melakukan semua ini.Bulir-bulir air yang sedari tadi sudah menggenang di pelupuk matanya pun seketika jatuh tak bisa membendungnya lagi.Hatinya teras
Citra bergeming. Ia seolah kehabisan kata-kata dan tindakan untuk memberikan respon pada wanita yang telah menangis tersedu-sedu memohon di depan wajahnya saat ini.Citra juga merasa bingung harus mengambil keputusan yang bagaimana sekarang. Di satu sisi, Citra merasa ia tidak bisa menolak permohonan dari seorang wanita di mana ia sendiri juga wanita. Citra sontak memposisikan dirinya bagaimana dikala berada di posisi Nayla saat ini.Pasti akan sangat menyedihkan jika terus ditanya perihal kapan memiliki keturunan sementara dirinya sendiri bukanlah yang mengendalikan segala kehidupan dan adegannya. Akan tetapi, di lain sisi Citra juga memikirkan tentang masa depannya. Ia tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana jika harus menjadi seorang istri kedua yang tepatnya seperti istri yang hanya dijadikan sebagai tempat pemberi keturunan.Mungkin masa depan Citra akan lebih terjamin karena Nayla pasti akan memberikan bayaran yang tidak murah untuknya. Namun, bagaimana jika nanti akan ad
"Mama! Mama! Baju spiderman Mahes ada di mana, ya? Mahes mau pake baju itu, Ma!" teriakkan yang begitu lantang itu pun terdengar mengisi seluruh sudut di rumah itu. Suara anak kecil itu tampak memenuhi dan mendominasi segala suara yang ada. "Ya ampun, Mahesa. Pelan-pelan sayang kalau ngomong. Enggak boleh berteriak begitu, kasihan Oma jadi kebisingan." Bocah laki-laki itu pun hanya menampilkan cengiran andalannya, seakan tidak merasakan rasa bersalah barang sedikit pun. "Aku kira Mama jauh tadi. Makanya aku teriak deh. Aku udah coba nyari sendiri tapi enggak ketemu-ketemu, Ma." Mahesa menarik lembut tangan sang Mama membawa wanita itu dan berhenti tepat di hadapan lemari khusus miliknya. "Mahesa? Semua ini?" Nayla terbelalak tak tau harus mengekspresikan dirinya bagaimana lagi. Hatinya terasa runtuh saat itu juga. Keadaan lemari bocah itu yang semula tersusun begitu rapi, kini justru telah berubah sepert
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, sudah 1 tahun semenjak dari kelahiran anak pertamanya, Mahesa. Berbagai macam kehidupan dijalani oleh Citra mulai menjadi seorang Ibu sampai merangkap sebagai istri dalam satu waktu. "Bagaimana perasaan kamu sekarang, Nak? Ibu berharap kamu akan terus baik-baik saja seperti saat Ibu ada di samping kamu." Citra meneteskan air matanya. Saat ini, ia tengah berdua dengan sang anak di ayunan yang ada di kolam renang. Tak ada satu pun wanita di muka bumi ini yang rela berpisah dengan anaknya. 9 bulan lamanya wanita itu mengandung hingga bertarung nyawa untuk melahirkan bayi itu. Setelah semua perjuangan yang ia lewati, sekarang Citra dengan terpaksa harus mengikhlaskan segalanya. Wanita itu harus belajar melupakan bayi yang sudah ia kandung dan lahirkan sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat serta disepakati bersama. "Kalau nanti Ibu sudah enggak di samping kamu. Kamu harus te
"Ibu benar-benar minta maaf dengan semua yang Ibu lakukan selama ini ya, Nak. Seharusnya Ibu tidak bertingkah seperti itu. Ibu sudah menjadi mertua paling buruk untuk kamu." Nayla menggelengkan kepalanya. Ia kemudian menyentuh kedua tangan milik mertuanya itu cukup lama. Wanita itu lantas mencium begitu lama tangan milik wanita paruh baya itu. "Udah Ibu .. aku paham kok sama posisi Ibu. Semua orang tua pasti menginginkan anaknya memiliki keturunan. Aku juga sama sekali tidak melupakan standar hidup itu." Nayla menyunggingkan senyuman tipis di wajahnya. Berharap air mata yang terus mengalir dari pelupuk mata wanita itu akan reda. Saat ini, usai Agus yang menemukan surat medis milik Nayla. Semua anggota keluarga tampak berkumpul di sofa yang ada di kamar Nayla dan Agus itu, termasuk juga Citra dengan bayi mungil di dalam gendongannya. "Ibu benar-benar minta maaf untuk semuanya ya, Nak." Nayla menganggukkan kepalanya tampak antara menantu dan mertua itu saling berpelukan cukup lam
Usai pintu persalinan itu telah dibuka lebar, Citra pun dibawa ke ruangan rawat inap kelas VIP bersama bayinya yang dimasukkan ke dalam troli. Dari kelahiran bayi itu, Nayla sama sekali belum ada menyentuh bayi mungil itu. Wanita itu hanya bisa menyaksikan semuanya dari jauh dengan senyuman pahit di wajahnya. Sang suami terlihat begitu bahagia dengan kelahiran anak yang berasal dari darah dagingnya itu. Nyut! Terasa, denyut sesak yang muncul di dalam hati Nayla. Bagaimana tidak, melihat sang suami merasa begitu bahagia dengan tatapan penuh terima kasih kepada Citra membuat Nayla tentu berpikiran yang tidak-tidak. Hampir 1 tahun sang suami menjalani kedekatan yang intens dengan wanita itu. Ada sedikit rasa ketakutan di dalam diri Nayla, takut jika suaminya itu akan berubah pikiran. Nayla sadar, ia memang istri pertama dan cinta pertama dari pria itu. Hanya saja, bukan tidak mungkin bagi pria itu akan memilih Citra yang jelas-jelas bisa memberikan segalanya untuk Agus. Terlebih,
Hari demi hari kian berlalu membuat kandungan wanita itu kian bertambah besar. Tak terasa, kini Citra sudah memasuki bulan di mana dirinya diperkirakan akan melahirkan. Dengan susah payah, Citra tampak berjalan merangkak hendak naik menuju ranjang tempat tidurnya. "Sayang! Kenapa enggak bilang aku dulu sih. Kamu ini kebiasaan banget apa-apa selalu milih lakuinnya sendirian." Tak lama setelah itu, Agus datang dengan raut wajah penuh memperhatikan sang istri. Ia tentunya merasa takut dengan keadaan Citra yang sekarang sudah sangat rawan. Sebisa mungkin Agus terus berada di sisi wanita itu, tidak pernah membiarkan untuk wanita itu melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan dirinya. Bahkan untuk ke kamar mandi pun, pria itu juga ikut ke dalam. Awalnya Citra menolak karena malu namun setelah mendapatkan wejangan dari Agus mengenai rasa khawatir pria itu membuat wanita itu mau tak mau mengiyakan saja. "Aku enggak apa-apa, Mas. Aku itu cuman hamil bukan sakit keras," canda Citra saat menemu
Nayla membuka tirai di kamarnya dengan helaan nafas panjang yang mengiringi gerakan tangannya itu. Sejenak, matanya tampak menatap ke arah ranjang yang sudah lama tidak pernah didiami oleh suaminya."Aku kangen kamu tidur di samping aku, Mas." Nayla tak munafik, hatinya terluka setelah beberapa bulan ini ia terus saja tidur di kamar sendirian. Hampa. Tak ada lagi suara candaan yang dilontarkan oleh sang suami sesaat sebelum waktu tidur Nayla. Tok! Tok! Suara ketukan pada pintu kamarnya pun seketika membuat lamunan Nayla buyar saat itu juga. Entah mengapa, senyuman kini mengembang begitu lebar di wajahnya. Ia yakin, pasti suaminya lah yang mengetuk pintu kamarnya itu. "Aku tau, dia pasti akan cemas dengan keadaan aku. Maafkan kejahilan istri kamu ini ya, Mas. Pengen diperhatiin sama kamu aja harus pake acara lama-lama in ke ruang makannya." Nayla terkekeh geli sendirian. Wajahnya tampak begitu sumringah tak sabar ingin melepas rasa rindunya pada sang suami. "Aku tau kamu pasti
"Aku pulang!" Seperti biasa, Agus pulang dan langsung meletakkan sepatu yang ia gunakan di rak yang tersusun rapi dekat pintu masuk utama itu. Hari ini, Agus tampak pulang lebih cepat. Sekitar 30 menit lagi adzan magrib akan berkumandang, biasanya pria itu selalu datang kisaran orang-orang sedang shalat isya. "Mas Agus!" Pria itu menoleh mendapati istri pertamanya datang dengan wajah sumringah. Keningnya berkerut tak tau apa arti dari senyuman di wajah istrinya itu. "Iya, Sayang? Tumben sekali kamu datang dan langsung menyambut aku." Wanita itu tampak senyum-senyum kecil saat mendapati pernyataan yang demikian dari sang suami. Senyuman itu lantas menjadi teka-teki besar bagi Agus, ia merasa penasaran apa yang sudah membuat istri pertamanya itu menjadi begitu bahagia. "Aku punya kejutan buat kamu. Tutup mata kamu dulu." Diam-diam, wanita itu tampak melambaikan tangannya ke arah Citra tepat ketika Agus tengah menutup matanya. "Ulur in tangan kamu," perintahnya pada sang suami.
Setelah malam panjang yang membuat Citra kehilangan mahkota yang selama ini telah ia jaga, wanita itu tampak merasa canggung dengan Agus.Pasalnya, pria itu sama sekali tidak mengatakan apapun padanya. Citra terpikir, dengan kondisi pria itu yang setengah sadar mungkinkah Agus mengingat malam pertama yang mereka lakukan? Ingin rasanya Citra menanyakan semua itu. Namun, ia sama sekali tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengatakan semua itu. Citra lalu berjalan menuju ke arah dapur rumahnya dengan membawa gelas bekas minumnya tadi malam.Terlihat, sosok pria yang selama beberapa waktu ini terus mendiami kepalanya pun, menoleh ke kanan dan kirinya seperti mencari sesuatu hal. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada di dalam dirinya, Citra mencoba mendekati pria itu. Agus tampak membelakangi wanita itu. "Mas, kamu butuh sesuatu? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Citra lembut. "Ah syukur lah kamu datang. Tolong carikan di mana stok gula kita ya. Aku masih nunggu air ini, soalnya udah
Agus masuk ke dalam kamar sang istri dengan wajah penuh sumringah. Tak lupa, sebuah nampan berisikan segelas susu dan satu piring cemilan ringan pun, ia siapkan khusus untuk sang istri. "Halo, Sayang. Aku membawakan makanan ringan untuk kamu." Pria itu lalu menghampiri Nayla, meletakkan nampan bawaannya tepat di lemari kecil yang ada di samping ranjang tempat tidurnya dan Agus itu. Tidak seperti biasanya, Nayla justru tak memberikan respon apapun kepada sang suami. Wanita itu hanya fokus pada layar ponsel miliknya yang tampak jauh lebih menarik daripada kehadiran sang suami. Helaan nafas yang cukup panjang keluar dari mulut Agus, wanita itu memang selalu saja bertingkah demikian saat sedang merajuk pada sang suami. "Sayang? Kamu enggak perduli sama kehadiran, Mas?" tanya Agus turut duduk di tepi ranjang itu. Saat ini tampaknya wanita itu belum waktunya untuk bekerja, terlihat bagaimana pakaian yang melekat pada tubuh Nayla yang begitu santai sekali. "Sayang? Kamu marah sama aku