Nayla langsung kembali menatap ke arah lemari yang ternyata itu memang lemari miliknya, dan Nayla sudah merapihkan kertas tadi.
"Oh iya, aku lupa." Nayla tertawa saat mengetahui dirinya salah berbohong dengan suami yang begitu teliti.Tanpa di sadari Agus sudah berada di belakang tubuh istrinya dengan memeluk tubuh sang istri dari belakang."Kenapa keluar lagi? Mandi sana!" titah Nayla pada suaminya, bahkan saat ini tangannya sedikit memukul lengan suaminya yang sudah melingkar pada perut ratanya."Aku lupa kalau sabun cair ku sudah habis," bisik Agus di telinganya sang istri."Oh, aku lupa belum memeriksa kebutuhan kamar mandi kita," ungkap Nayla dengan tangan yang sudah menepuk pelan jidatnya sendiri.Agus melepaskan pelukannya dan mengusap-usap jidat istrinya yang terdengar oleh telinganya jika sang istri menyakiti jidatnya sendiri."Hehe, aku siapkan kebutuhan mandi dulu," ucap Nayla yang mulai berpamitan pada suaminya, untuk mengisi sabun dan lain-lainnya di dalam kamar mandi, dan sang suami pastinya mengizinkan dirinya.Nayla juga sudah pergi dari hadapan Agus, dan Nayla juga sudah masuk ke dal kamar mandi setelah membawa beberapa paper bag dari sebuah lemari yang ada di dekat kamar mandi."Apa yang sedang dia sembunyikan?" Agus bermonolog sendiri dengan melirik ke arah lemari istrinya, dan di dalam lemari itu ada sebuah kotak yang ternyata di dalam kotak itu sedikit mengeluarkan kertas putih membuat Agus semakin penasaran dengan kertas itu."Apa ini?" Agus ingin melihat kertas itu, tapi kotak yang ada di dalam lemari istrinya menggunakan kunci untuk membukanya.Agus benar-benar penasaran dengan kertas itu dan Agus berniat untuk membuka kotak itu, tapi sebelum Agus membuka kotak itu, Agus lebih dulu melihat kertas yang sudah menonjol keluar dari kotak itu, di kertas itu ada sebuah logo rumah sakit membuat keningnya berkerut."Rumah sakit? Siapa yang sakit?" Agus pastinya penasaran sekali dengan isi kertas itu. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara istrinya."Sayang, sudah silakan mandi," ucap Nayla yang sudah keluar dari kamar mandi."Iya." Agus langsung menutup lemari istrinya dan membalikkan tubuhnya untuk segera pergi menuju kamar mandi.Agus sudah masuk kembali ke dalam kamar mandi dan Nayla kembali membuat lemari pakaiannya, dan di sana Nayla mengernyitkan dahinya saat melihat jika kotak itu sedikit mengeluarkan kertas, kertas yang sudah pasti kertas hasil lab di rumah sakit."A ... Apa tadi suamiku melihat ini?" Nayla mulai bermonolog sendiri dengan mata yang langsung melirik ke arah kamar mandi.Nayla mencoba mengatur napasnya dalam-dalam agar tidak memikirkan hal-hal negatif tentang kertas itu, dan Nayla juga berharap jika suaminya tidak mengetahui semua ini.***Ke esokan harinya, setelah sarapan pagi antara Nayla dan Agus. Agus mulai berpamitan terlebih dahulu pada istrinya, dan hari ini Agus dan Nayla hanya sarapan berdua saja karena orang tuanya Agus sudah pergi sebelum sarapan pagi di mulai, entah ada keperluan apa dari orang tuanya Agus membuat Agus malas memikirkan orang tuanya."Aku berangkat ke kantor duluan ya, Sayang. Kamu juga jangan lupa untuk segera bersiap dan pergi ke tempat pekerjaanmu. Jangan sampai terlambat nanti agensi yang mengontrakmu menjadi berpikir dua kali untuk mempekerjakanmu jika kamu tidak tepat waktu." Agus menyampaikan pesan sekaligus berpamitan kepada sang istri.Nayla pun mengangguk tanda patuh. Tentu saja, Nayla pasti akan selalu mengingat pesan yang telah diingatkan oleh sang suami, karena bagaimana pun juga, suami adalah panutan baginya. Apapun yang suaminya katakan harus dituruti olehnya.Seperti baru tersadar jika ada yang kurang, Agus pun meraba lehernya dan baru ingat jika dasinya terlupakan."Ada apa, Mas?" tanya Nayla saat mendapati wajah lupa sang suami terhadap barangnya. Nayla ingin membantu, tapi gelengan kuat dari sang suami membuat Nayla mengurungkan langkahnya."Udah, kamu kerjakan tugas kamu aja dulu. Biar aku cari dasi aku sendiri aja di kamar, ada di lemari, kan?" balas Agus yang langsung diangguki oleh sang istri.Agus pun lantas bergegas menuju kamar mereka kembali. Namun, tiba-tiba saja Nayla seakan teringat tentang kejadian kemarin, kertas yang sudah setengah keluar dari tempat yang di sembunyikannya itu pun membuat Nayla teringat kepada Agus."Aduh, apa Mas Agus mau mengambil itu lagi?" Nayla pastinya panik dan sepertinya Nayla tidak akan membereskan peralatan makan yang ada di atas meja makan.Buru-buru Nayla pun bergegas naik ke atas untuk menemui sang suami sebelum terlambat."Tuhan, lindungi kertasku," gumam Nayla yang saat ini sudah berada di dalam kamarnya.Benar saja, sesuai dengan dugaan Nayla. Tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang, terlihat Agus yang mulai memegang kertas itu dan siap untuk membacanya dengan teliti. Namun, sebelum semua itu terjadi, Nayla buru-buru berlari cepat, merampas kertas itu dari Agus."Nayla! Apa-apaan kamu?" Agus yang merasa tak terima karena kertas itu di tarik paksa dari genggamannya oleh sang istri.Dengan memasang mimik wajah yang sebisa mungkin tidak akan sampai di curigai oleh sang suami, Nayla terlihat berusaha menyamarkan kedoknya dengan seuntai senyuman hangatnya."Ini, bukan apa-apa, akan lebih baik jika kamu sekarang fokus mencari dasi kamu. Sebentar lagi sudah mau jam 8 pagi, kamu harus segera pergi sebelum terlambat ke kantornya," balas Nayla tampak jelas mengalihkan pembicaraan di antara mereka.Agus pun seketika memicingkan kedua matanya, merasa ada yang aneh dengan istrinya."Kembalikan! Aku masih belum membaca semuanya, Nayla. Cepat kembalikan," titah Agus seraya menyodorkan tangannya.Nayla sontak menggeleng cepat menandakan jika ia tidak ingin memberikan kertas itu."Nayla! Kita bukan lagi anak kecil. Jika itu milikmu, maka cepat berikan kepadaku. Aku benar-benar tidak tau kalau selama ini kamu sering ke dokter. Cepat berikan kertas itu padaku!" tegas Agus seakan tidak terbantahkan.Nayla bergeming, bagaimana pun juga ia tentu akan mempertahankan kertas itu dan tidak membiarkan suaminya membacanya. Sudah bertahun-tahun rahasia itu disembunyikan, ia masih belum siap untuk menceritakan segalanya pada sang suami."Sudah aku bilang, ini bukan apa-apa. Kamu harus segera bersiap. Jangan hanya karena kertas ini kamu sampai terlambat ke kantor," balas Nayla berusaha tenang.Agus yang semakin merasa jelas ada sesuatu dari kertas itu sontak mencoba merebutnya kembali dari Nayla. Namun dengan cepat, Nayla terus mencoba menghalanginya."Cepat berikan kertas itu, Nayla! Jika itu tidak penting cepat berikan saja padaku! Jangan membuatku emosional, Nayla!" bentak Agus membuat Nayla sempat terperanjat.Nayla lalu memundurkan langkahnya guna menjauhi suaminya, dan Nayla tidak akan memberikan kertas itu sampai kapanpun."Nayla! Cepat berikan kertas itu atau aku akan me..."Belum usai Agus berbicara, tiba-tiba saja pintu kamarnya telah di ketuk lebih dulu oleh seseorang."Permisi, Nyonya dan Tuan." Suara itu berasal dari luar kamar Nayla dan Agus, dan pastinya suara itu adalah suara dari asisten rumah tangga keluarga Setiawan."Ada apa, bi Nani?" tanya Nayla pada suara yang sudah mengetuk pintu kamarnya.Nani adalah asisten rumah tangga di sini, Nani sudah lama menjadi pembantu di sini dengan keluarga Setiawan."Maaf, di luar sudah ada Pak Andi," jawab Nani dengan suara pelan.Andi adalah asistennya Agus yang merangkap seperti sekertaris juga di kantornya, dan entah kenapa Andi ke rumahnya Agus."Runggu di ruang tamu saja!" titah Agus pada sang bibi."Baik, Tuan." Nani langsung pergi begitu saja dari pintu kamar ke dua majikannya, walaupun pintu itu tidak tertutup rapat, tapi Nani tidak berani langsung masuk ke dalam kamar majikannya.Setelah Nani pergi, Agus dan Nayla saling menatap satu sama lain, dan pastinya Agus masih penasaran dengan kertas yang saat ini sudah di genggam oleh Nayla."Nanti malam, aku membutuhkan penjelasan dari kamu!" tegas Agus
"Iya, Mas," jawab Nayla. "Kamu lama-lama mirip detektif deh," sambung Nayla saat suaminya terus saja bertanya padanya membuatnya sedikit kesal. Namun, Nayla tidak boleh kesal dengan suaminya karena sang suami masih bisa menerima dirinya bahwa saat ini dirinya masih menyembunyikan fakta yang sebenarnya.Pagi hari ini Agus dan Nayla hanya sarapan berdua saja, dan pastinya ini menjadi momen yang begitu bahagia bagi Nayla, apa lagi Nayla tidak perlu mendapatkan sindiran dari ke dua mertuanya. Namun, Nayla sudah mendapatkan sakit hati lebih dulu dari ibu mertuanya sejak beberapa saat yang lalu.**Pukul 9 pagi, Nayla dan Agus sudah kembali beraktivitas masing-masing, dan saat ini Nayla sedang melakukan pemotretan untuk kontrak."Kak Nayla? Halo, Kak? Bisa beralih ke pose berikutnya?" Seorang photografer yang sedari tadi memotret Nayla itu pun sontak berusaha menarik perhatian dari wanita itu.Pasalnya, tidak seperti di hari-hari sebelumnya. Wanita itu sepertinya tampak sangat berbeda hari
"Selamat pagi, Ma! Kita akan masak apa untuk sarapan pagi ini? Biar Nayla bantu ya, Ma."Seperti biasanya, Nayla pun akan menawarkan bantuannya kepada sang mertua. Ia akan melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri yang baik dengan senantiasa memberikan jasanya untuk keluarga Setiawan.Namun, bukannya mendapatkan respon yang baik atas niatnya. Nayla justru sama sekali tidak ditanggapi oleh mertuanya. Ayu sedari tadi tetap saja diam dengan tangan yang masih terus berkutat dengan peralatan dapur dan sayur-sayuran di dekatnya.Hati Nayla terasa sakit saat harus menghadapi sikap dingin sang mertua yang padahal di awal pernikahannya dengan sang suami tidak pernah seperti ini."Mau membantu? Sampai sekarang saja kamu masih belum memberikan saya keturunan lalu bagaimana mungkin kamu bisa memberikan bantuanmu kepada saya. Jika menjadi seorang istri yang sempurna saja kau belum bisa, bagaimana kau bisa memasak? Cih! Sungguh lawak sekali tingkahmu. Gadis yang aneh," tutur Ayu ta
Setelah ritual pagi keluarga Setiawan itu dilaksanakan yakni sarapan pagi bersama. Semua orang tak lagi saling menyapa, seakan tidak ada sedikit saja keinginan di dalam diri mereka untuk berinteraksi antara satu sama lain.Nayla menghela nafasnya cukup panjang, ia tau mungkin suaminya tidak akan setuju dan pastinya tidak akan pernah setuju dengan keputusan yang telah ia ambil.Bagaimana pun juga, Agus bukanlah tipikal pria yang akan mengkhianati pernikahan mereka. Agus telah berjanji seumur hidupnya akan terus bersama dengan Nayla, menjaga keutuhan pernikahan mereka dan menghadapi segala permasalahan di rumah tangga mereka secara bersama-sama bukan malah memilih jalur yang salah seperti sekarang. Agus bukannya marah dengan Nayla, ia hanya merasa sangat kecewa kepada wanita itu karena keputusan bodoh yang diambilnya.Agus tidak suka dengan Nayla yang mengiyakan begitu saja permintaan konyol dari Ibu kandungnya. Ia benar-benar tidak bisa menerima semuanya sampai kapanpun juga. Ide k
Luna yang ternyata selama kedatangan dua preman di rumahnya itu tengah bersembunyi di dalam kamarnya pun bergegas keluar ketika ia tak sengaja mendengar samar-samar suara bos-nya."Nona Nayla? Kau? Ada disini?" tanya Luna dengan nada suara yang terbata-bata.Nayla lalu melepaskan pelukannya dari tubuh gadis yang masih terlalu syok dan takut akan dua pria bertubuh besar yang membentaknya beberapa menit lalu itu. Tatapan Nayla sontak berubah menjadi sedikit lebih tajam, ia benar-benar tak habis pikir dengan sikap Luna yang terkesan seperti menumbalkan adiknya sendiri. "Apa-apaan ini, Luna? Kenapa kau membiarkan gadis ini sendirian menghadapi dua preman tadi? Apa kau susah kehilangan akal sehatmu? Apa kau tidak mencemaskan bagaimana keadaannya? Dia tengah ketakutan sekali saat ini. Kau justru malah bersembunyi di dalam kamar. Tanpa ada perasaan empati pada adikmu sendiri," tegas Nayla yang mengutarakan rasa tidak sukanya dengan sikap Luna.Luna pun
Plak! Suara tamparan yang cukup keras terdengar menggema di seluruh sudut rumah yang bisa dibilang sederhana itu.Tatapan mata Luna pun seketika menajam. Ada siluit penuh api yang terlihat di kedua bola matanya."Apa yang kau katakan? Hm? Beraninya kau mencoba untuk menolak keputusanku. Apa selama ini yang membeli beras saat habis adalah dirimu? Apakah yang membeli token listrik ketika lampu padam adalah dirimu? Selama ini, aku tidak pernah meminta hal besar kepadamu. Baiklah begini saja. Ikuti keputusanku untuk menikah dengan Tuan Agus atau kau akan ku jual kepada bos rentenir penagih hutang itu?" ancam Luna kepada sang adik agar mau mengikuti segala perintah yang keluar dari mulutnya.Lagi dan lagi, Citra dibuat tak percaya dengan segala ucapan yang terlontarkan dari mulut sang kakak. Hanya demi sebuah harta, kakaknya sampai rela melakukan semua ini.Bulir-bulir air yang sedari tadi sudah menggenang di pelupuk matanya pun seketika jatuh tak bisa membendungnya lagi.Hatinya teras
Citra bergeming. Ia seolah kehabisan kata-kata dan tindakan untuk memberikan respon pada wanita yang telah menangis tersedu-sedu memohon di depan wajahnya saat ini.Citra juga merasa bingung harus mengambil keputusan yang bagaimana sekarang. Di satu sisi, Citra merasa ia tidak bisa menolak permohonan dari seorang wanita di mana ia sendiri juga wanita. Citra sontak memposisikan dirinya bagaimana dikala berada di posisi Nayla saat ini.Pasti akan sangat menyedihkan jika terus ditanya perihal kapan memiliki keturunan sementara dirinya sendiri bukanlah yang mengendalikan segala kehidupan dan adegannya. Akan tetapi, di lain sisi Citra juga memikirkan tentang masa depannya. Ia tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana jika harus menjadi seorang istri kedua yang tepatnya seperti istri yang hanya dijadikan sebagai tempat pemberi keturunan.Mungkin masa depan Citra akan lebih terjamin karena Nayla pasti akan memberikan bayaran yang tidak murah untuknya. Namun, bagaimana jika nanti akan ad
Luna kini tampak pulang ke rumahnya dengan raut wajah yang terlihat begitu kusut. Aliran darahnya terasa mendidih panas setiap kali benaknya menampilkan wajah adik tirinya itu.Sumpah demi apapun, Luna ingin sekali rasanya menghabisi nyawa adik tirinya itu. Ingin sekali ia melenyapkan Citra jika saja hal itu tidak akan membuatnya masuk ke dalam bui bernamakan lain penjara itu."Sial! Kenapa sih anak itu sama sekali tidak ingin menuruti apa yang aku katakan. Jika saja dia mau mendengarkan apa yang aku perintahkan. Aku pasti sudah bisa hidup dengan bergelimangan harta sekarang. Aku pasti bisa dengan bebas kembali bermain judi tanpa khawatir dengan para rentenir gila yang selalu saja menagih hal yang tidak-tidak padaku!" geram Luna kesal yang langsung membanting vas foto di mana ada wajah Citra yang tengah tersenyum bahagia di sana.Persetan dengan foto itu, yang pasti saat ini Luna hanya ingin menyalurkan dan melampiaskan segala amarah yang sudah menguasai dirinya itu.Emosinya terus sa
"Mama! Mama! Baju spiderman Mahes ada di mana, ya? Mahes mau pake baju itu, Ma!" teriakkan yang begitu lantang itu pun terdengar mengisi seluruh sudut di rumah itu. Suara anak kecil itu tampak memenuhi dan mendominasi segala suara yang ada. "Ya ampun, Mahesa. Pelan-pelan sayang kalau ngomong. Enggak boleh berteriak begitu, kasihan Oma jadi kebisingan." Bocah laki-laki itu pun hanya menampilkan cengiran andalannya, seakan tidak merasakan rasa bersalah barang sedikit pun. "Aku kira Mama jauh tadi. Makanya aku teriak deh. Aku udah coba nyari sendiri tapi enggak ketemu-ketemu, Ma." Mahesa menarik lembut tangan sang Mama membawa wanita itu dan berhenti tepat di hadapan lemari khusus miliknya. "Mahesa? Semua ini?" Nayla terbelalak tak tau harus mengekspresikan dirinya bagaimana lagi. Hatinya terasa runtuh saat itu juga. Keadaan lemari bocah itu yang semula tersusun begitu rapi, kini justru telah berubah sepert
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, sudah 1 tahun semenjak dari kelahiran anak pertamanya, Mahesa. Berbagai macam kehidupan dijalani oleh Citra mulai menjadi seorang Ibu sampai merangkap sebagai istri dalam satu waktu. "Bagaimana perasaan kamu sekarang, Nak? Ibu berharap kamu akan terus baik-baik saja seperti saat Ibu ada di samping kamu." Citra meneteskan air matanya. Saat ini, ia tengah berdua dengan sang anak di ayunan yang ada di kolam renang. Tak ada satu pun wanita di muka bumi ini yang rela berpisah dengan anaknya. 9 bulan lamanya wanita itu mengandung hingga bertarung nyawa untuk melahirkan bayi itu. Setelah semua perjuangan yang ia lewati, sekarang Citra dengan terpaksa harus mengikhlaskan segalanya. Wanita itu harus belajar melupakan bayi yang sudah ia kandung dan lahirkan sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat serta disepakati bersama. "Kalau nanti Ibu sudah enggak di samping kamu. Kamu harus te
"Ibu benar-benar minta maaf dengan semua yang Ibu lakukan selama ini ya, Nak. Seharusnya Ibu tidak bertingkah seperti itu. Ibu sudah menjadi mertua paling buruk untuk kamu." Nayla menggelengkan kepalanya. Ia kemudian menyentuh kedua tangan milik mertuanya itu cukup lama. Wanita itu lantas mencium begitu lama tangan milik wanita paruh baya itu. "Udah Ibu .. aku paham kok sama posisi Ibu. Semua orang tua pasti menginginkan anaknya memiliki keturunan. Aku juga sama sekali tidak melupakan standar hidup itu." Nayla menyunggingkan senyuman tipis di wajahnya. Berharap air mata yang terus mengalir dari pelupuk mata wanita itu akan reda. Saat ini, usai Agus yang menemukan surat medis milik Nayla. Semua anggota keluarga tampak berkumpul di sofa yang ada di kamar Nayla dan Agus itu, termasuk juga Citra dengan bayi mungil di dalam gendongannya. "Ibu benar-benar minta maaf untuk semuanya ya, Nak." Nayla menganggukkan kepalanya tampak antara menantu dan mertua itu saling berpelukan cukup lam
Usai pintu persalinan itu telah dibuka lebar, Citra pun dibawa ke ruangan rawat inap kelas VIP bersama bayinya yang dimasukkan ke dalam troli. Dari kelahiran bayi itu, Nayla sama sekali belum ada menyentuh bayi mungil itu. Wanita itu hanya bisa menyaksikan semuanya dari jauh dengan senyuman pahit di wajahnya. Sang suami terlihat begitu bahagia dengan kelahiran anak yang berasal dari darah dagingnya itu. Nyut! Terasa, denyut sesak yang muncul di dalam hati Nayla. Bagaimana tidak, melihat sang suami merasa begitu bahagia dengan tatapan penuh terima kasih kepada Citra membuat Nayla tentu berpikiran yang tidak-tidak. Hampir 1 tahun sang suami menjalani kedekatan yang intens dengan wanita itu. Ada sedikit rasa ketakutan di dalam diri Nayla, takut jika suaminya itu akan berubah pikiran. Nayla sadar, ia memang istri pertama dan cinta pertama dari pria itu. Hanya saja, bukan tidak mungkin bagi pria itu akan memilih Citra yang jelas-jelas bisa memberikan segalanya untuk Agus. Terlebih,
Hari demi hari kian berlalu membuat kandungan wanita itu kian bertambah besar. Tak terasa, kini Citra sudah memasuki bulan di mana dirinya diperkirakan akan melahirkan. Dengan susah payah, Citra tampak berjalan merangkak hendak naik menuju ranjang tempat tidurnya. "Sayang! Kenapa enggak bilang aku dulu sih. Kamu ini kebiasaan banget apa-apa selalu milih lakuinnya sendirian." Tak lama setelah itu, Agus datang dengan raut wajah penuh memperhatikan sang istri. Ia tentunya merasa takut dengan keadaan Citra yang sekarang sudah sangat rawan. Sebisa mungkin Agus terus berada di sisi wanita itu, tidak pernah membiarkan untuk wanita itu melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan dirinya. Bahkan untuk ke kamar mandi pun, pria itu juga ikut ke dalam. Awalnya Citra menolak karena malu namun setelah mendapatkan wejangan dari Agus mengenai rasa khawatir pria itu membuat wanita itu mau tak mau mengiyakan saja. "Aku enggak apa-apa, Mas. Aku itu cuman hamil bukan sakit keras," canda Citra saat menemu
Nayla membuka tirai di kamarnya dengan helaan nafas panjang yang mengiringi gerakan tangannya itu. Sejenak, matanya tampak menatap ke arah ranjang yang sudah lama tidak pernah didiami oleh suaminya."Aku kangen kamu tidur di samping aku, Mas." Nayla tak munafik, hatinya terluka setelah beberapa bulan ini ia terus saja tidur di kamar sendirian. Hampa. Tak ada lagi suara candaan yang dilontarkan oleh sang suami sesaat sebelum waktu tidur Nayla. Tok! Tok! Suara ketukan pada pintu kamarnya pun seketika membuat lamunan Nayla buyar saat itu juga. Entah mengapa, senyuman kini mengembang begitu lebar di wajahnya. Ia yakin, pasti suaminya lah yang mengetuk pintu kamarnya itu. "Aku tau, dia pasti akan cemas dengan keadaan aku. Maafkan kejahilan istri kamu ini ya, Mas. Pengen diperhatiin sama kamu aja harus pake acara lama-lama in ke ruang makannya." Nayla terkekeh geli sendirian. Wajahnya tampak begitu sumringah tak sabar ingin melepas rasa rindunya pada sang suami. "Aku tau kamu pasti
"Aku pulang!" Seperti biasa, Agus pulang dan langsung meletakkan sepatu yang ia gunakan di rak yang tersusun rapi dekat pintu masuk utama itu. Hari ini, Agus tampak pulang lebih cepat. Sekitar 30 menit lagi adzan magrib akan berkumandang, biasanya pria itu selalu datang kisaran orang-orang sedang shalat isya. "Mas Agus!" Pria itu menoleh mendapati istri pertamanya datang dengan wajah sumringah. Keningnya berkerut tak tau apa arti dari senyuman di wajah istrinya itu. "Iya, Sayang? Tumben sekali kamu datang dan langsung menyambut aku." Wanita itu tampak senyum-senyum kecil saat mendapati pernyataan yang demikian dari sang suami. Senyuman itu lantas menjadi teka-teki besar bagi Agus, ia merasa penasaran apa yang sudah membuat istri pertamanya itu menjadi begitu bahagia. "Aku punya kejutan buat kamu. Tutup mata kamu dulu." Diam-diam, wanita itu tampak melambaikan tangannya ke arah Citra tepat ketika Agus tengah menutup matanya. "Ulur in tangan kamu," perintahnya pada sang suami.
Setelah malam panjang yang membuat Citra kehilangan mahkota yang selama ini telah ia jaga, wanita itu tampak merasa canggung dengan Agus.Pasalnya, pria itu sama sekali tidak mengatakan apapun padanya. Citra terpikir, dengan kondisi pria itu yang setengah sadar mungkinkah Agus mengingat malam pertama yang mereka lakukan? Ingin rasanya Citra menanyakan semua itu. Namun, ia sama sekali tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengatakan semua itu. Citra lalu berjalan menuju ke arah dapur rumahnya dengan membawa gelas bekas minumnya tadi malam.Terlihat, sosok pria yang selama beberapa waktu ini terus mendiami kepalanya pun, menoleh ke kanan dan kirinya seperti mencari sesuatu hal. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada di dalam dirinya, Citra mencoba mendekati pria itu. Agus tampak membelakangi wanita itu. "Mas, kamu butuh sesuatu? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Citra lembut. "Ah syukur lah kamu datang. Tolong carikan di mana stok gula kita ya. Aku masih nunggu air ini, soalnya udah
Agus masuk ke dalam kamar sang istri dengan wajah penuh sumringah. Tak lupa, sebuah nampan berisikan segelas susu dan satu piring cemilan ringan pun, ia siapkan khusus untuk sang istri. "Halo, Sayang. Aku membawakan makanan ringan untuk kamu." Pria itu lalu menghampiri Nayla, meletakkan nampan bawaannya tepat di lemari kecil yang ada di samping ranjang tempat tidurnya dan Agus itu. Tidak seperti biasanya, Nayla justru tak memberikan respon apapun kepada sang suami. Wanita itu hanya fokus pada layar ponsel miliknya yang tampak jauh lebih menarik daripada kehadiran sang suami. Helaan nafas yang cukup panjang keluar dari mulut Agus, wanita itu memang selalu saja bertingkah demikian saat sedang merajuk pada sang suami. "Sayang? Kamu enggak perduli sama kehadiran, Mas?" tanya Agus turut duduk di tepi ranjang itu. Saat ini tampaknya wanita itu belum waktunya untuk bekerja, terlihat bagaimana pakaian yang melekat pada tubuh Nayla yang begitu santai sekali. "Sayang? Kamu marah sama aku