"Apa Anda benar-benar ingin menemuinya sekarang? Anda masih dalam keadaan belum sehat sepenuhnya, bagaimana jika nanti saja," saran Adrian.Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju kediaman keluarga Besar Brian. Rumah sang kakek yang menjadi tempat tinggal Bibi Megan, juga beberapa keluarga besarnya yang masih berada di sana. Ini kali pertama Brian menginjakkan kakinya kembali di rumah ini, setelah sang Ayah meninggal."Lihat, siapa yang datang!" "Aku tidak salah lihat 'kan? Sepertinya aku harus memeriksa kesehatan mataku.""Hei, Bro. Kau tidak sedang bermimpi 'kan? Keajaiban apa yang telah terjadi hingga membawamu sampai di sini?""Lihatlah, Apakah ini adalah CEO kita? Aku pikir dia sudah tidak ingat dengan keluarganya, dia bahkan memasukkan pamannya sendiri ke dalam jeruji besi hanya karena kesalahan sepele."Brian tidak mempedulikan ocehan dari para sepupu serta bibinya yang ternyata sedang bersantai di taman depan rumah. Brian melaluinya begitu saja, karena tujuan Brian buka
"Maaf, karena Bibi kau harus merasakan semua ini," ujar Bibi MeganBrian berjalan menuruni tangga sendirian, kata-kata Bibi Megan seakan masih terputar di kepalanya. Brian merasa itu sudah cukup. Brian sudah menemukan jawabannya, tapi entah mengapa ia jadi merasa tak enak hati. Seolah ada sesuatu yang mengganjal di hatinya."Apa kau kemari untuk membuat Bibi Megan berhenti bekerja? Kau benar-benar ingin melihat kami mati kelaparan?"Salah satu sepupunya menghalangi langkah kaki Brian. Mendengar apa yang dikatakan Brian sebelum menemui Bibi Megan, membuat ia berpikir kalau Brian akan membuat Bibi Megan berhenti bekerja."Ck, mengganggu saja!" decak Brian yang kini merasa kesal. Rasa mengganjal yang tadi dirasakannya menguap begitu saja setelah melihat wajah tengik sepupunya itu. Belum lagi sepupu serta bibinya yang lain memandangi mereka dari jarak cukup jauh, mereka seolah menunggu apa yang akan dikatakan Brian."Berapa usiamu sekarang?"
Di lain tempat, seorang perempuan tampak menyeka keringatnya karena sudah terlalu lama duduk. Meski begitu, ia tidak juga beranjak dari tempatnya. Ia menunggu kedatangan seseorang."Nak, lebih baik kau istirahat dulu. Suamimu masih belum pulang, tunggulah di rumah," seorang wanita paruh baya menegur perempuan tersebut yang sekarang duduk di halte, menunggu kedatangan sang suami."Aku akan menunggu di sini saja, Mak. Lagipula, di sini juga terasa lebih sejuk," jawabnya sembari mengusap permukaan perutnya yang sudah besar. "Kau ini, sangat sulit diberitahu," decaknya. Wanita paruh baya itu lalu menghampiri Luna, menemaninya sembari mengusap-usap perut Luna. Iya, perempuan itu adalah Luna."Sebentar lagi kau akan melahirkan, dan suamimu masih berada di kota. Seharusnya dia mengambil cuti dulu dan menemanimu," ucapnya."ini baru masuk delapan bulan Mak, masih ada satu bulan lebih," jelas Luna."Tetap saja, kita tidak bisa
"Papa! Papa mau kemana?" Bintang terus mengikuti langkah kaki Brian yang berjalan ke sana-kemari."Bintang, apakah Bintang sudah memberitahu Ayah dokter kalau hari ini Bintang tidak ke sekolah?" tanya Brian yang justru balik bertanya pada Bintang, tanpa menjawab pertanyaan Bintang.Ini masih sangat pagi, dan seharusnya Bintang sudah berangkat ke sekolah. Namun, yang ada adalah Bintang yang datang ke rumah Brian dan terus mengikutinya.Brian dan Dokter Rio memang sudah menjadi tetangga saat Bintang tidak ingin jauh dari Brian, jadi satu-satunya cara yang bisa dilakukan Dokter Rio saat itu adalah, membeli rumah yang ada di dekat rumah Brian. Meskipun harganya jadi tiga kali lipat lebih mahal, namun itu demi Bintang yang juga tidak mau jauh dari Papanya.Karena itulah, Adrian terkadang merasa kesal saat mendengar Brian menyebut-nyebut mengenai jadwal untuk dia bertemu Bintang. Padahal mereka bisa bertemu setiap harinya, Brian hanya perlu membuka paga
Hari sudah berganti, dan Luna masih melakukan hal yang setiap harinya ia lakukan. Duduk di halte, menunggu. "Luna, bukankah Baim tidak akan datang dalam waktu dekat? Mengapa masih menunggunya, lebih baik pulanglah ke rumah, sebentar lagi akan turun hujan." Seorang perempuan yang baru pulang dari ladang datang menghampiri Luna."Kamu terus duduk di sini setiap hari, apa kamu tidak capek? Lebih baik istirahat di rumah saja, kalau kamu merasa bosan karena tidak ada teman ngobrol, kamu datang saja ke warung, adik perempuan aku selalu ada di sana.."Sumber mata pencaharian utama penduduk di desa ini adalah dari hasil berkebun dan juga menanam tanaman jangka pendek di ladang. Sehingga, mereka lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di kebun atau di ladang dari pada di rumah."Tidak apa-apa Lis, aku lebih suka di sini saja, lebih sejuk," jawab Luna."Yasudah, aku pulang dulu. Ingat, cepat balik ke rumah. Sebentar lagi akan turun hujan, langit u
Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, meski terlihat sederhana, namun di sini benar-benar nyaman. Akan tetapi, bukan itu yang sekarang mengganggu pikiran Brian. Kemana saja Brian selama ini, membiarkan istrinya tinggal sendirian, merasakan kesulitan sendirian, di saat Luna tengah mengandung anaknya. Brian benar-benar dipenuhi rasa bersalah.Seandainya Brian tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan sempat menaruh rasa benci pada Luna, semua ini pasti tidak akan terjadi. Luna tidak akan menderita sendirian, karena Brian pasti akan menemukannya saat itu juga. 'Semua ini, salahku!' pikir Brian."Brian!""Brian!"Brian terkejut, sontak ia menoleh ke arah Luna yang duduk di dekatnya. Padahal mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, mengapa Luna harus berteriak segala."Aku bicara padamu! Mengapa hanya diam saja." Luna melotot, kesal saat ia bercerita panjang lebar tapi Brian hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri."Maaf, sayang. Aku tidak menden
Suasana di rumah pemangku adat sedang ramai-ramainya, para warga berkumpul untuk memastikan berita burung yang sudah menyebar.Luna, perempuan yang baru pindah ke kampung mereka, diberitakan melakukan pelanggaran adat. Tantu saja hal ini menjadi buah bibir yang mengantarkan banyak warga menuju rumah pemangku adat, untuk memastikan bagaimana kebenarannya.Luna memang sudah dikenal oleh beberapa orang, termasuk orang tuanya, mengingat Luna dan orang tuanya pernah tinggal di kampung ini sewaktu Luna masih kecil. Dan Luna baru kembali lagi menampakkan diri selama beberapa bulan ini, dengan Luna yang berstatus sebagai istri dari Baim yang bekerja di kota."Jadi, Nak Luna bisa jelaskan dulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya sang pemangku adat, "apakah berita itu benar, bahwa kamu selingkuh disaat suami kamu sedang bekerja di kota?""Kami tidak selingkuh, dia istri saya!" tegas Brian.Brian tidak suka mendengar nama Luna disertakan sebagai istri dari pria lain, karena Luna hanyalah istrin
Brian duduk termenung, memandangi permukaan jari manisnya, dimana sebuah cincin mengikat di sana. Cincin pernikahannya dengan Luna."Aku begitu mencintaimu Luna, hingga melupakan satu hal. Bahwa aku akan melepaskanmu setelah kamu menemukan sosok pria yang bisa kamu jadikan rumah yang nyaman, yang akan melindungimu setiap saat," gumam Brian."Apakah sekarang sudah waktunya?""Apakah, dia orang yang akhirnya kamu pilih?"Brian menghela napas, perasaannya tak menentu. Apakah Brian bisa melepaskan Luna untuk orang lain? Bagaimana dengan anak yang dikandung Luna, bukankah itu anak Brian?"Anda hanya membuang-buang waktu di sini, saat istri Anda sedang kesakitan karena merasa keram pada perutnya."Adrian yang sedari tadi menatap Brian dari jarak yang cukup jauh, memutuskan untuk langsung menghampiri Brian. Adrian ingin merasa kasihan, namun disisi lain Adrian juga merasa kesal dengan sikap tidak sabaran Brian. Hingga ia terus menerus s