Kabar duka atas kehilangan bayinya terdengar sampai di telinga keluarga Alesha. Dan kedua orang tuanya datang berkunjung pagi ini. Meskipun di sana terlihat Fredrick dengan raut wajah yang tidak baik-baik saja. Alesha sedikit takut dengan ekspresi sang Ayah. "Bagaimana ini bisa terjadi nak? Apa yang membuat Alesha sampai seperti ini?" Rena memeluk Alesha yang diam tidak menjawabnya. Oliver berada di antara mereka semua, baru saja dia menggendong sang istri dan memintanya duduk di sofa menemui orang tuanya yang datang. "Semuanya bisa saja terjadi bila Tuhan sudah berkehendak, Ibu," jawab Alesha dengan tenang. "Harusnya Alesha kemarin-kemarin tidak pulang. Tinggal bersama Ibu, mungkin hal ini tidak terjadi, Sayang!" seru wanita itu tak henti-hentinya mencemaskan Alesha. "Tapi Alesha sudah kenyang dengan tamparan Ayah." Alesha berucap dingin menatap Laksamana Fredrick. "Alesha tidak tahu, kenapa Ayah sebenci ini padaku." "Alesha, dengar-""Tidak Yah, aku tidak mau mendengarkan apa
Dua Minggu Berlalu...Hari-hari berjalan dengan damai saat Oliver berada di sampingnya. Alesha Alister sudah pulih dan dia tetap menjadi wanita yang selalu Oliver perhatikan dengan penuh. Seperti sore ini, saat Oliver kembali dari pangkalan, Alesha menunggunya di teras seperti biasa. Gadis itu dengan penuh senyuman menunggu Oliver pulang. "Apa artinya senyumanmu barusan, hem?" tanya Oliver mendekati Alesha, dia menarik lembut dagunya dan memberikan kecupan di bibir tipis gadis itu. "Apa... Jangan-jangan kau sedang merayuku?" "Iya!" Alesha menjawabnya dengan tegas. "Aku ingin jalan-jalan, bukankah hari ini ada perayaan di kota? Kau tidak ingin mengajakku jalan-jalan denganmu, ya?" Oliver memicingkan matanya seraya berjalan masuk mendahului gadis itu tanpa.Dia tidak memberikan respon apapun pada pertanyaan yang Alesha lontarkan. Membuat kesal saja!Namun menyadari istrinya yang bergeming, Oliver langsung membalikkan badannya menoleh ke belakang di mana Alesha berdiri. "Kalau kau i
"Apa kau senang sekarang? Semua tempat di sini sudah kau kunjungi. Sekarang kita pulang!" Oliver menarik lengan Alesha, namun gadis itu langsung menoleh cepat dan malah menarik balik tangan sang suami dengan tatapan meminta. "Aku masih belum ingin pulang, lagipula tempatnya belum tutup." "Oh ayolah Alesha, semalam suntuk tempat ini juga tidak akan tutup!" pekik Oliver kesal. "Oh ya! Waahhh, bagus kalau begitu. Kita pulang besok pagi saj-""Pulang sekarang!" tegas Oliver dengan tatapan mematikan. "Tapi-""Pu-lang!" tegas Oliver sekarang. Seketika Alesha menyergah napasnya panjang dan menyerah, memang menghadapi Oliver bukanlah sesuatu hal yang mudah. Seperti anak kecil yang merajuk, Alesha berjalan lemas menuju pintu keluar. Gadis itu berhenti di ambang pintu masuk pasar malam tersebut dan menoleh ke belakang. 'Setidaknya aku sudah pernah merasakan bagaimana serunya bermain di tempat ini. Karena seur hidupku, baru Oliver orang yang mengusahakan kebahagiaan untukku. Maka dari i
'Apa yang dia pikirkan tentang dirinya semalam?' Oliver mengusap lembut pipi Alesha yang ditangkup lembut. Pagi ini Oliver bangun lebih awal dan asik menikmati kecantikan wajah sang istri, sesekali Oliver mengecupnya. Wanita sekecil ini, secantik ini, disia-siakan dan disakiti keluarganya sendiri. Oliver marah mengingat hal itu. "Sayang, kau tidak bangun?" Oliver berbisik-bisik kecil di pipi Alesha. "Hem, ini masih sangat pagi. Aku mengantuk," jawab gadis itu kembali menarik selimutnya dan mendusal seperti anak kecil dalam dekapan Oliver. Oliver tidak punya pilihan lain, di hari libur memang Alesha selalu menahannya di atas ranjang. "Kau bilang kau sudah membuat janji dengan Teodora," ujar Oliver, kali ini dia menyibakkan selimutnya. Kedua mata Alesha terbuka, ia baru teringat akan hal itu. Gadis itu pun segera beranjak bangun dan diam menatap Oliver yang kini melepaskan kimononya, membiarkan tubuh atasnya terekspos. Oliver berjalan membuka jendela kamar dan berdiri di sana de
Setibanya di atas ranjang, Oliver memeluk erat tubuh Alesha dan mengecup bibir wanitanya itu dengan lembut dan menuntut. Rupanya dia tidak main-main dengan Alesha, Oliver mengatakan yang sesungguhnya. Bahkan laki-laki itu kini melepaskan kimononya dan hanya menyisakan celana piyama panjang yang dia pakai. "Ka-kau serius? I-ini siang hari, Oliver..." Alesha memejamkan kedua matanya saat dirasa bibir tipis Oliver sempurna mendarat di leher Alesha. "Kau pikir aku bercanda, hem?" "Tapi... Tapi Oliver, je-jendelanya belum ditutup, pintunya belum dikunci!" Alesha menatap Oliver yang kini melepaskan bibirnya di leher Alesha. Laki-laki itu menegakkan tubuhnya dengan kepala miring dan tersenyum manis. "Pintunya sudah aku kunci, Bibi Ruitz juga tidak mungkin berani ke sini kalau aku akan membuat suara merdumu saat bercinta terdengar hingga di depan sana," canda Oliver menggoda Alesha. "Astaga, kau ini!" Gadis itu meraih bantal dan dilemparkannya di wajah sang suami. Oliver tertawa, dia
"Apa malam ini kau tidak lupa dengan janjimu?" Suara berat Oliver bersamaan dengannya melingkarkan kedua lengan di pinggang dan perut Alesha yang ramping. Napas hangatnya membuat sekujur tubuh Alesha merinding tak terkira. Apalagi saat ujung hidung mancung suaminya, menyentuh kulit lehernya yang putih dan harum. "Tapi aku mengantuk," balas Alesha, mereka masih menatap pantulan diri masing-masing di cermin. "Emm, mengantuk ya," bisik Oliver terkekeh. "Kau pintar saat menghindariku." Gadis itu membalikkan badannya, dia mendongak menatap wajah tampan Oliver yang kini terpampang di hadapannya dengan sempurna.Senyuman di bibir Alesha membuat Oliver menaikkan kedua alisnya. Gadis itu mengulurkan kedua tangannya memeluk tubuh Oliver. Dia mendongak seperti anak kecil. "Kau tidak bosan kita setiap hari bermesraan terus?" tanya Alesha. "Apa kau bosan bersamaku?" Oliver menunduk, dia memeluk tubuh Alesha dan mengusap kening gadis itu. Alesha menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Tida
Oliver sudah pergi bertugas setelah Alesha terbangun. Gadis itu berjalan ke lantai satu dan menemukan sebuah undangan dia tas meja kayu di ruang tamu. "Undangan pesta," gumam Alesha meraih undangan tersebut. Ia membacanya dengan teliti dan ternyata undangan itu dari Ayahnya. "Jadi, tamu tidak penting yang Oliver katakan pagi tadi adalah Ayah?" gumam lirih Alesha masih membawa kertas berwarna merah tersebut. Alesha berjalan membuka pintu samping rumahnya, banyak sekali orang-orang datang yang membeli bunga-bunga hasil tanaman Alesha yang masih berkembang hingga sekarang, dan semuanya dikelola oleh Paman Kasim, tukang kebun di rumah Oliver. Perasaan Alesha mulai tidak nyaman, undangan itu hanya tertulis acara pesta tahunan biasa, namun Alesha tahu kalau sebenarnya pesta itu adalah undangan ulang tahun Ibunya. "Aku harus pergi membelikan sesuatu untuk Ibu," gumam Alesha menatap lagi undangannya. "Bagaimanapun juga, Ibu tetap menjadi orang yang baik untukku." Gadis itu kembali masu
Oliver menarik lengan Alesha masuk ke dalam rumah dengan perasaan penuh amarah yang tak tertahan. Melihat istrinya berduaan dengan laki-laki lain, mengobrol dengan asiknya dan Alesha juga terlihat sangat akrab dengan laki-laki tersebut. Panas hati Oliver meskipun hanya dengan melihatnya saja. "Aduh, Oliver... Dengarkan aku dulu!" pekik Alesha menarik tangan sang suami. Oliver menyentak pelan lengan Alesha di ruang keluarga di lantai dua. "Apa! Ayo, sekarang aku dengarkan! Siapa laki-laki tadi dan kenapa kau pergi tidak berpamitan padaku! Jelaskan semuanya!" amuk laki-laki itu membuat tubuh Alesha gemetar seperti tidak bertulang. "Dia Bryan, teman kuliahku dulu. Dia seorang guru di salah satu sekolah dasar di kota, dia tidak sengaja bertemu denganku karena aku menunggu Bibi Ruitz. Aku baru saja membelikan hadiah untuk ulang tahun Ibu dan kemeja untukmu." Alesha menjelaskan sedetail-detailnya. Mata tajam iris biru itu seperti akan menerkam Alesha hidup-hidup. "Kau tidak berbohong