Setibanya di atas ranjang, Oliver memeluk erat tubuh Alesha dan mengecup bibir wanitanya itu dengan lembut dan menuntut. Rupanya dia tidak main-main dengan Alesha, Oliver mengatakan yang sesungguhnya. Bahkan laki-laki itu kini melepaskan kimononya dan hanya menyisakan celana piyama panjang yang dia pakai. "Ka-kau serius? I-ini siang hari, Oliver..." Alesha memejamkan kedua matanya saat dirasa bibir tipis Oliver sempurna mendarat di leher Alesha. "Kau pikir aku bercanda, hem?" "Tapi... Tapi Oliver, je-jendelanya belum ditutup, pintunya belum dikunci!" Alesha menatap Oliver yang kini melepaskan bibirnya di leher Alesha. Laki-laki itu menegakkan tubuhnya dengan kepala miring dan tersenyum manis. "Pintunya sudah aku kunci, Bibi Ruitz juga tidak mungkin berani ke sini kalau aku akan membuat suara merdumu saat bercinta terdengar hingga di depan sana," canda Oliver menggoda Alesha. "Astaga, kau ini!" Gadis itu meraih bantal dan dilemparkannya di wajah sang suami. Oliver tertawa, dia
"Apa malam ini kau tidak lupa dengan janjimu?" Suara berat Oliver bersamaan dengannya melingkarkan kedua lengan di pinggang dan perut Alesha yang ramping. Napas hangatnya membuat sekujur tubuh Alesha merinding tak terkira. Apalagi saat ujung hidung mancung suaminya, menyentuh kulit lehernya yang putih dan harum. "Tapi aku mengantuk," balas Alesha, mereka masih menatap pantulan diri masing-masing di cermin. "Emm, mengantuk ya," bisik Oliver terkekeh. "Kau pintar saat menghindariku." Gadis itu membalikkan badannya, dia mendongak menatap wajah tampan Oliver yang kini terpampang di hadapannya dengan sempurna.Senyuman di bibir Alesha membuat Oliver menaikkan kedua alisnya. Gadis itu mengulurkan kedua tangannya memeluk tubuh Oliver. Dia mendongak seperti anak kecil. "Kau tidak bosan kita setiap hari bermesraan terus?" tanya Alesha. "Apa kau bosan bersamaku?" Oliver menunduk, dia memeluk tubuh Alesha dan mengusap kening gadis itu. Alesha menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Tida
Oliver sudah pergi bertugas setelah Alesha terbangun. Gadis itu berjalan ke lantai satu dan menemukan sebuah undangan dia tas meja kayu di ruang tamu. "Undangan pesta," gumam Alesha meraih undangan tersebut. Ia membacanya dengan teliti dan ternyata undangan itu dari Ayahnya. "Jadi, tamu tidak penting yang Oliver katakan pagi tadi adalah Ayah?" gumam lirih Alesha masih membawa kertas berwarna merah tersebut. Alesha berjalan membuka pintu samping rumahnya, banyak sekali orang-orang datang yang membeli bunga-bunga hasil tanaman Alesha yang masih berkembang hingga sekarang, dan semuanya dikelola oleh Paman Kasim, tukang kebun di rumah Oliver. Perasaan Alesha mulai tidak nyaman, undangan itu hanya tertulis acara pesta tahunan biasa, namun Alesha tahu kalau sebenarnya pesta itu adalah undangan ulang tahun Ibunya. "Aku harus pergi membelikan sesuatu untuk Ibu," gumam Alesha menatap lagi undangannya. "Bagaimanapun juga, Ibu tetap menjadi orang yang baik untukku." Gadis itu kembali masu
Oliver menarik lengan Alesha masuk ke dalam rumah dengan perasaan penuh amarah yang tak tertahan. Melihat istrinya berduaan dengan laki-laki lain, mengobrol dengan asiknya dan Alesha juga terlihat sangat akrab dengan laki-laki tersebut. Panas hati Oliver meskipun hanya dengan melihatnya saja. "Aduh, Oliver... Dengarkan aku dulu!" pekik Alesha menarik tangan sang suami. Oliver menyentak pelan lengan Alesha di ruang keluarga di lantai dua. "Apa! Ayo, sekarang aku dengarkan! Siapa laki-laki tadi dan kenapa kau pergi tidak berpamitan padaku! Jelaskan semuanya!" amuk laki-laki itu membuat tubuh Alesha gemetar seperti tidak bertulang. "Dia Bryan, teman kuliahku dulu. Dia seorang guru di salah satu sekolah dasar di kota, dia tidak sengaja bertemu denganku karena aku menunggu Bibi Ruitz. Aku baru saja membelikan hadiah untuk ulang tahun Ibu dan kemeja untukmu." Alesha menjelaskan sedetail-detailnya. Mata tajam iris biru itu seperti akan menerkam Alesha hidup-hidup. "Kau tidak berbohong
Saat pagi tiba, Alesha sudah bersiap-siap untuk pergi ke pesta yang diadakan di kediaman orang tuanya. Ulang tahun Ibunya bersamaan dengan hari pernikahan Rena dan Fredrick. Biasanya, kedua orang tua Alesha, akan mengundang banyak sekali orang. Lebih lagi mereka adalah petinggi kota, maka banyak yang datang sebagai tamu. Alesha berdiri di depan cermin dengan gaun panjangnya berwarna biru awan, rambut panjangnya digerai indah. "Alesha..." Oliver membuka pintu kamarnya, dia terkejut menatap Alesha yang kini begitu anggun dan cantik dengan dandannya. "Oliver lihat, apa aku cocok dengan gaun ini? Gaun hadiah dari Ibuku saat pernikahan kita," ujar Alesha tersenyum cantik. Laki-laki itu berjalan mendekatinya, ia menatap wajah Alesha yang berbunga-bunga. Haruskah ia berteriak dan mengatakan kalau Alesha sangat-sangat cantik sekarang ini?"Kenapa kau malah diam? Kau tidak suka dengan dandananku, ya?" tanya Alesha menundukkan kepalanya. "Sangat suka," jawab Oliver, dia mendekat sebelum
"Ayo kita mengambil foto, berdua saja. Sebelum kita ambil gambar bersama anak kita suatu saat nanti." Alesha mendongak menatap Oliver seraya memeluk lengan sang suami. Gadis cantik itu tersenyum begitu cerah ceria. Meskipun omongan-omongan orang terus terdengar di tengah pesta itu, mengatakan tentang Alesha yang begini dan begitu, namun sekuat mungkin dia menekan rasa tak enaknya. "Ayo Sayang," balas Oliver. Mereka mendekati tukang foto, di sana Alesha berdiri di samping Oliver yang duduk di sebuah kursi kayu ukiran. "Tersenyum lebih lebar lagi, Nyonya," pinta tukang potret itu memberikan instruksi. Alesha tersenyum manis, hingga cahaya flash bersinar dan tukang foto memberikan isyarat sudah selesai. Bersama Oliver yang memeluk lengannya, mereka berdua berjalan menikmati pesta itu. Semua orang melihat betapa romantisnya Oliver memperlakukan Alesha dengan baik dan romantis. "Apa kau mau menginap di sini?" tanya Alesha pada suaminya. "Tidak. Kita pulang saja, masih banyak peker
"Kumohon, datanglah ke rumah. Ayah sakit dan dia terus mencarimu, Oliver..." Seorang wanita dengan dress hijau muda menangis-nangis memegangi tangan Oliver dengan sudi. Dia biasanya menjadi wanita angkuh dan sombong, tapi kini dia seperti pengemis yang memohon. Sungguh mengganggu pagi hari yang cerah di kehidupan Oliver. Oliver menarik tangannya dan membiarkan Livia menangis sepuasnya."Untuk apa pula dia mencariku? Apa dia akan pura-pura mati lalu memintaku untuk mengembalikan kekuasaan atas Bank Mileno padanya?" Oliver tertawa lirih dan menggelengkan kepalanya. "Bukannya sampah ini sudah dibuang? Kau juga yang mengatakan kalau aku hanya anak haram yang tak beradab!"Livia mengeraskan suara tangisannya. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Brukk...Wanita menjatuhkan kedua lututnya dan memohon di hadapan Oliver. "Aku mohon, ini permintaan terakhir Ayah. Maafkan dia atas semua yang telah dia katakan padamu, kita saudara, kita satu Ibu meskipun kita berbeda Ayah, Oliver... Kumoho
"Makan malamnya sudah siap, sekarang aku tinggal menunggu Oliver pulang." Alesha tersenyum tipis menatap beberapa menu masakan yang sudah ia siapkan di atas meja makan. Gadis itu menggosok kedua telapak tangannya pelan dan melangkah ke depan. Seperti biasa kalau Alesha berdiri di ambang pintu menunggu suaminya sampai di rumah."Kenapa lama sekali?" cicit Alesha menatap jam dinding di ruang tamu. Alesha melangkah ke teras, dia duduk di kursi kayu dan menatap ke arah gerbang dengan bosan penuh penantian. Sampai akhirnya senyumannya mengembang saat mobil milik Oliver muncul dan masuk ke dalam pekarangan rumah. "Itu dia!" seru Alesha kesenangan. Oliver turun dari dalam mobilnya, dia tersenyum manis pada Alesha yang kini menyambutnya. "Kau terlambat," seru gadis itu cemberut. "Ada sesuatu yang harus aku urusi tadi..." Oliver mengusap pipi putih Alesha dan mengecup singkat bibirnya. Seragam berwarna navy yang Oliver bawa direbut oleh Alesha, gadis itu membawanya masuk ke dalam ruma