"Malam ini adalah malam pertamaku, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana ini..."
Alesha Alister, gadis cantik puluh dua tahun yang kini duduk menekuk kedua lututnya di atas ranjang kamar dan memeluknya dengan wajah frustrasi, juga perasaan was-was tak menentu.Baru beberapa jam yang lalu ia menyelesaikan acara pernikahan dengan laki-laki pilihan sang Ayah. Lebih tepatnya bawahan Ayahnya, seorang pahlawan kelautan, perwira hebat yang digandrungi banyak wanita karena kehebatannya, dia adalah seorang Kapten Oliver Vorgath."Tidak, aku tidak boleh takut. Jangan..."Alesha menepuk dadanya berusaha tenang. Bersamaan dengan itu, seorang laki-laki berpakaian stelan seragam putih khas perwira laut lengkap dengan lencana dan dan sarung tangan yang masih terpakai, dia membuka pintu kamar.Perlahan Alesha turun dari atas ranjang, mendekati suaminya."A-apa semua tamunya sudah pulang?"Alesha mendekati sang suami barunya, laki-laki berkulit putih, pemilik wajah aristokrat, dengan rambut pirangnya dan mata sebiru lautan. Sosok Kapten Oliver adalah bentuk kesempurnaan.Namun laki-laki itu tidak menjawab, dia melanjutkan melepas sarung tangan putih dan menset kemeja putihnya."Biar aku bantu," pinta Alesha.Begitu dia mendekat dan hendak membantunya, pergerakan Alesha langsung terhenti saat Oliver menatapnya tajam dengan iris birunya."Apa kau belum puas dengan pernikahan ini, Alesha Alister?" Oliver menatap dingin wajah gugup Alesha.Alesha menelan ludah dengan tubuhnya yang menggigil mendengar suara dingin Oliver. Tangan Alesha berhenti di udara ketika dia ingin menyentuh suaminya."Ma-maafkan aku, Kapten Oliver.""Menikahimu atas nama perintah dan sebuah tugas, kau pikir aku kesenangan dengan hal konyol ini," desis Oliver dengan tatapan intimidasi.Kepala Alesha menggeleng cepat."Kapten Oliver, a-aku tidak bisa mengelak keinginan Ayahku. Maaf membuatmu merasa terpaksa menerimanya, tapi aku sungguh tidak bisa menghindari semua ini."Alesha dan keluarganya akan mendapat masalah besar jika Alesha tidak segera menikah.Hingga sang Ayah memerintahkan Oliver untuk menikahi Alesha, keduanya tidak ada yang bisa mengelak atau menolak. Apalagi Ayah Alesha, sekaligus atasan Oliver memberikan ancaman keras pada bawahannya tersebut bahwa dia akan memutasi Oliver kalau dia menolak menikah dengan Alesha, hingga Oliver tak punya jalan lain.Bertahun-tahun lamanya ia berjuang keras untuk kariernya dan menjadi bawahan yang patuh pada Ayah Alesha, tapi kini ia diberikan perintah yang tidak masuk akal dan begitu menjebaknya.Dengan kedua tangan gemetar, Alesha meraih satu telapak tangan Oliver."Aku hanya ingin memenuhi keinginan Ayahku, aku berjanji padamu aku akan menjadi istri yang baik dan pasangan yang setia. Apapun yang kau inginkan, aku akan berusaha mengabulkannya. Kumohon...""Kau tidak akan tahu apa yang aku korbankan untuk menikahimu, Alesha!" desis Oliver. Alesha yang menangis, perasaan takut dan merasa bersalah menyeruak dalam hatinya.Sampai tiba Oliver mendekati ranjang, dia menyahut selimut putih di atas ranjang kamar yang bertabur kelopak mawar merah menjadi berantakan dan berserakan bagai sampah.Nyeri ulu hati Alesha, dia merasa takut melihat Oliver yang kesal dan begitu menunjukkan akan ketidaksukaannya pada pernikahan mereka."Lalu kenapa kau menerima tawaran pernikahan ini?" Alesha berdiri menatap punggung laki-laki itu.Oliver yang kesal, dia melemparkan selimut di hadapan Alesha. mata birunya menyorot tajam."Karena Ayahmu menggancamku, jabatan dan kedudukanku akan menjadi taruhannya kalau aku tidak menikah denganmu! Kau tahu betapa liciknya Ayahmu!" sinis Oliver melangkah mendekat."Aku tidak tahu apapun soal itu, Kapten Oliver. Aku... Aku akan pergi ke tempat Ayah besok pagi dan-"Ucapan Alesha terhenti saat Oliver mendekat dan menarik lengan Alesha, wajah mereka menjadi semakin dekat.Amarah membalut keduanya, tidak ada malam pengantin seperti ini. Malam ini lebih tepatnya seperti sebuah pertempuran yang Alesha rasakan."Dengar... Karenamu, aku harus meninggalkan kekasihku yang sangat aku cintai.""A-Aku sungguh minta maaf untuk itu, Oliver. Aku tidak bermaksud memisahkan kalian," cicit Alesha terisak.Air mata berdesakan di pelupuk mata Alesha, ia mengepalkan kedua tangannya di depan dada Oliver dan wanita itu menggelengkan kepalanya memberi tatapan sedih."Kau bisa meminta apapun padaku, Ayahku juga akan memberikan apapun untukmu dengan pernikahan ini. Tolong jangan begini..." Alesha memohon dengan sangat."Tak ada yang aku inginkan. Dengan pernikahan ini, kau tidak akan bahagia!" seru Oliver menekan ucapannya."Aku tidak peduli kalau memang itu akan terjadi." Alesha menggeleng-gelengkan kepalanya kuekeh. "Aku hanya ingin kau mematuhi perintah Ayahku saja. Tapi tolong, setidaknya anggap aku sebagai istrimu."Oliver tersenyum miring, satu langkah pelan mendekati istrinya. Dia mendorong tubuh Alesha ke atas hamparan ranjang. Menatapnya tajam seolah ingin menerkam, dengan posisi mengurung tubuh gadis itu.Detak jantung Alesha berpacu cepat, dia takut dengan posisi ini. Apapun yang akan Oliver lakukan, Alesha tidak akan sanggup melawannya."Kau memang istriku, tapi istri yang tidak akan pernah aku cintai.""Tak apa," lirih Alesha menatapnya berani. Kedua tangannya dicekal erat oleh suaminya ini."Hanya status, anggap aku istrimu setidaknya di hadapan orang tuaku dan semua orang, aku tidak meminta banyak hal. Cukup biarkan aku sekedar berdiri di sampingmu. Dan aku tidak akan melarangmu berhubungan dengan kekasihmu."Alesha bagai tercekik mengatakannya, ia menunggu-nunggu apakah jawaban yang Oliver berikan.Terasa sesak dada Alesha saat melihat laki-laki di atasnya ini tersenyum licik dipenuhi amarah."Kau akan menyesali ucapanmu, sekaligus pernikahan ini, Alesha." Oliver berucap lirih."Tidak, aku tahu Ayahku memilihkan orang yang tepat untukki. Aku tidak akan menyesal menjadi pasanganmu," ujar Alesha berusaha meyakinkan laki-laki ini.Napas hangat laki-laki itu membuat Alesha gemetar, wajah tampan dipenuhi kekesalan, Alesha merasa berdosa dan bersalah atas semua ini.Dengan posisi mengurung tubuh Alesha di atas ranjang, Gadis itu menatapnya antara takut dan memohon, dengan wajah cantik yang dulu sempat Oliver kagumi sebelum akhirnya berubah menjadi benci."Aku berjanji untuk selalu menjadi istri yang terbaik untukmu. Aku berjanji untuk hal itu! Kumohon..."Mulut Alesha bergetar, wajah Oliver begitu dekat. Rambut pirangnya begitu lembut jatuh menyentuh kening Alesha.Tatapan mata birunya yang berubah sayu. Ibu jarinya bergerak mengusap pipi Alesha dengan ekspresi mengejek."Bahkan dengan kau menangis dan memohon, aku tidak akan pernah bisa menerimamu," desis Oliver berbisik tajam."Tidak masalah kau tidak menerimaku, tapi tolong jangan kecewakan Ayahku...""Ya, setidaknya demi jabatanku."Detik itu juga Oliver melepaskan tangan Alesha. Dia beranjak dari atas ranjang dan kembali menegakkan tubuhnya.Tatapan mata Alesha menjadi buram karena air matanya. Wanita itu meringkuk meremas sprai. Seumur hidup, Alesha tidak pernah direndahkan oleh siapapun. Tapi kini Oliver Vorgath sungguh menyakitinya.'Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku bertahan dengan pernikahan seperti ini?' Alesha berputus asa atas amanat mengerikan dari mendiang suaminya.Samar-samar Alesha menatap Oliver yang kini membawa mantel tebalnya berjalan menuju pintu kamar, dia memegang gagang pintu dan hendak pergi.Sudah Alesha duga, tak akan ada malam pertama di antara mereka.Dan Oliver kini berhenti di ambang pintu, ekor matanya melirik Alesha dengan tatapan tajam."Kita memang menikah, tapi kau tidak bisa mengharapkan apapun dariku, termasuk rasa cinta!"Satu Minggu Kemudian...Tak terasa pernikahan Alesha dan Oliver berjalan beberapa hari tanpa adanya kebahagiaan sedikitpun di dalamnya.Namun sudah dua hari ini Alesha merepotkan pembantu di rumah Oliver. Seperti pagi ini dia mual-mual dan selalu merasa perutnya bergejolak setiap memakan sesuatu. Alesha mengusap perutnya dan menatap pantulan wajahnya di cermin. "Aku mual lagi dan lagi, Ya Tuhan... Bagaimana ini?" Alesha yang berbaring di atas ranjang, meremas perutnya dengan pelan. Hatinya begitu gelisah dan rasa takutnya semakin besar. "Nyonya, apa Nyonya masih mual?" Suara Bibi, pembantu di rumah Oliver yang begitu perhatian pada Alesha selama dia berada di sini, wanita itu mendekati Alesha yang sudah pucat seperti seorang pasien. "Aku tidak papa Bi," jawab Alesha menyeka keringat dingin di wajahnya. "Tidak perlu menghubungi dokter, aku baik-baik saja." "Tapi Nyonya sangat pucat," ujar Bibi, wanita itu sangat cemas. Pintu kamar tiba-tiba terbuka, nampak Oliver berdiri di amb
"Kasihan Nyonya, setiap malam tidak pernah ditemani oleh Tuan." "Kalau aku menjadi Nyonya, aku akan pulang. Di sini juga tidak dihargai, kan?!" Langkah kaki Oliver terhenti begitu mendengar gunjingan keras dari dua wanita tukang kebun di rumahnya yang tidak sadar dengan keberadaan Oliver yang berdiri hendak masuk ke dalam rumah.Seperti biasa, dia selalu pulang beberapa hari sekali dan memang tidak pernah ada waktu untuk Alesha, apalagi setelah terjadi keributan dengan Alesha dua hari yang lalu. "Oliver," sapa Alesha, wanita itu berdiri menyambutnya, seperti tak ada masalah apapun. Alesha memberikan senyuman sembari menyambut kepulangannya, dia sungguh berharap Oliver tak lagi marah-marah lagi. Begitu pula dengan Alesha yang berusaha melupakan kemarahan Oliver kemarin dan kembali menjalani perannya sebagai seorang istri. "Kau pasti lelah ya, aku sudah siapkan sa-""Ayo masuk," ajak Oliver, dia menyela ucapan istrinya.Alesha terpaku saat telapak tangan Oliver melingkar di pingga
'Aku tidak akan menerima lamaranmu untuk putriku. Kalau kau sudah kaya raya, aku bisa mempertimbangkanmu!' Oliver terdiam merenung teringat akan kata-kata Laksamana Fredrick, Ayah Alesha satu tahun yang lalu. Tepat saat Oliver pertama kali melihat Alesha dan jatuh hati padanya. Laki-laki itu tersenyum miring dan miris. Lamarannya ditolak oleh Fredrick Alister, tapi kini seperti karma yang berputar balik. "Lihatlah sekarang, putrinya bahkan tertidur di atas ranjangku dan mengemis meminta aku mengasihinya." Oliver berucap dingin. Ekor mata birunya melirik Alesha yang tertidur di atas ranjang kamarnya. Wanita itu terlihat sangat lemah, karena dia hamil muda dan tubuhnya yang tak terlalu sehat. Oliver mengulurkan tangannya hendak menyentuh pipi Alesha, namun gerakkannya terhenti di udara. "Kau kah itu? Oliver," lirih Alesha dengan mata sedikit terbuka.Dia terbangun saat merasa ada yang mengawasinya. "Tidurlah," ucap Oliver singkat dan memerintah. "Apa kau sejak tadi menemaniku?"
Sepanjang perjalanan menuju kota, Alesha menundukkan kepalanya tanpa ada air mata yang menetes sedikitpun. Dia menekan dirinya untuk tidak menangis. Alesha juga tidak mengatakan sepatah kata pada Oliver hingga mereka sampai di tempat tujuan. "Ayo turun," ajak Oliver turun lebih dulu. Wanita itu mengangguk patuh. Alesha melihat gedung markas yang megah dengan beberapa patung di depannya dan bendera angkatan laut yang berkibar. Oliver mengulurkan tangannya pada Alesha. Ditatapnya dingin telapak tangan Oliver, air matanya ingin menetes tiba-tiba. "Ck! Kau ingin aku tinggal di sini?!" Oliver memperhatikan Alesha. "Tahu begini aku tak akan ikut," ucap Alesha dengan penuh kekecewaan.Sudut bibir Oliver terangkat, dia melirik Alesha yang menggenggam tangannya. "Bukankah kau sendiri yang bilang tak masalah bagiku melanjutkan hubungan dengan Susan?"Alesha kembali menyeka air matanya. Di depan gedung markas, dia bisa melihat sang Ayah yang tengah berdiri di sana menatapnya. Saat mendek
"Istri yang baik untuk Oliver, dia ingin tahu sejauh mana aku bertahan." Alesha tersenyum tipis mengucapkannya. Gadis itu tak kunjung bisa tidur, Alesha terus kepikiran dengan kata-kata Oliver yang membuatnya tak tenang. "Aku harus mulai dari mana? Dia membenciku," lirih Alesha lagi, dia menggigit jemarinya cemas. Kembali Alesha terbangun, dia berjalan keluar dari dalam kamar. Langkahnya mengantarkan Alesha ke lantai satu, ia melihat Oliver yang berbaring di sofa seorang diri. Alesha terdiam menatapnya, dia berjalan tanpa suara mendekat dan sedikit membungkukkan badannya ingin menyentuh kening Oliver. 'Aku pikir dia akan tidur di tempat kekasihnya, tapi mungkin malam ini Oliver akan tidur di rumah.' Senyuman Alesha mengambang, wanita itu melangkah masuk ke dalam kamar di lantai satu. Dengan sengaja Oliver kembali membuka mata dan menatap punggung gadis itu, dia berpikir apakah yang akan Alesha lakukan. Sampai akhirnya Alesha kembali, dan Oliver kembali menutup mata. Ternyata g
"Malam ini musim dingin pertama tahun ini, aku ingin membelikan hadiah untuk istriku. Bagaimana denganmu, Kapten Oliver?" Seruan itu terucap dari bibir rekan Oliver, dia adalah Laverd. Yang kini berjalan berjajar di samping Oliver begitu mereka keluar dari dalam markas. "Heem, salju bahkan sudah turun." Oliver menengadahkan satu tangannya. "Dan kau ingin membelikan Nona Alesha hadiah apa?" tanya sang sahabat. "Kalian pengantin baru, kan? harus serba romantis." Wajah Oliver menjadi datar, dia mengingat wanita yang kini menjadi istrinya itu sedang hamil anak laki-laki lain. Namun mengetahui kalau Alesha hanyalah seorang korban, Oliver merasa sedikit kasihan pada Alesha. "Hoi... Kenapa kau malah diam, Kapten," seru laki-laki di sampingnya itu. Oliver menatapnya dan berjalan menuju mobil berwarna hitam miliknya. "Entahlah, aku tidak memikirkan itu." "Bagaimana bisa? Kau tidak mencintainya?!" seru Laverd dengan nada bersungut. "Tentu saja aku mencintainya, dia milikku, dia wanita
"Tidur denganku?" Oliver mengerutkan keningnya dengan kepala sedikit miring menatap Alesha yang terdiam seperti anak kecil menanti jawaban. "Kalau kau tidak mau juga tidak papa, aku tidak memaksamu. Dengan kau bermalam di rumah, aku sudah senang," ujar Alesha tersenyum. Helaan napas terdengar dari bibir Oliver, dia mengangguk pelan dan melangkah mendekati ranjang dengan sprai merah muda, warna kesukaan Alesha. Oliver melepaskan manset lengan seragamnya, ia melepaskan dengan santai atasannya di depan Alesha. "Aku akan tidur di sini," ujar Oliver melangkah masuk ke dalam kamar mandi."Iya, kalau begitu aku siapkan pakaian gantimu sebentar." Alesha melanggang keluar dari dalam kamar. Gadis itu melangkah ke lantai satu menuju kamar Oliver. Di sana, Alesha mengambil satu stelan piyama hitam milik Oliver, namun sesuatu terjatuh saat Alesha menarik pakaian itu dan selembar kertas kecil membuat perhatian Alesha teralihkan. "Kertas apa ini?" gumam Alesha meraihnya. Kedua mata gadis it
"Nyonya Alesha butuh banyak istirahat, kondisi kehamilannya sangat lemah, Tuan." Seorang dokter menjelaskan kondisi keadaan Alesha pada Oliver. Sedangkan gadis itu masih terbaring lemah di atas ranjang. Oliver menganggukkan kepalanya, dokter pun segera berpamitan pergi setelah memeriksanya. "Oliver, apa aku sudah boleh pulang?" tanya Alesha saat Oliver mendekat. "Kondisimu masih lemah, jangan bersikeras meminta pulang. Diam di sini dan berisitirahat," ujar Oliver, dia menarik kursi dan duduk di samping sang istri. Alesha menatap seisi ruangan itu, ia mengusap-usap perutnya."Terima kasih ya, sudah mengantarkanku ke sini," ucap Alesha tersenyum tipis. "Aku hanya peduli padamu, bukan anak itu!" jawab Oliver. Tatapan iris birunya membuat nyali Alesha menciut. Oliver duduk bersandar dan bersedekap memperhatikan wajah Alesha dengan tatapan yang sulit diartikan. Keheningan terjadi di antara mereka untuk beberapa saat. Oliver tetap memperhatikan wajah Alesha, menelisik dalam-dalam hi
Cuaca pagi yang sangat cerah, Alesha berada di taman luas rumahnya bersama Baby Noah dan Leah. Setiap pagi ia selalu menghangatkan dua malaikat kecilnya. Udara sejuk yang tak terlalu dingin, aroma pepohonan pinus di sekitar sana masih khas dengan kesejukan di tempat itu, juga bunga-bunga bermekaran di musim ini. "Tak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat," ucap wanita itu menunduk menatap bayi-bayi mungil yang kini terlelap. Dua bayi itu berada di dalam keranjang rajut dari rotan, dengan selimut tebal dan lembut sebagai alasnya. "Hai Sayang... Bangun juga akhirnya," bisik Alesha mengusap ujung jari telunjuknya di pipi Noah. Sedangkan Leah, bayi itu masih tertidur dan merasa nyaman dengan hangatnya sinar matahari. "Bangun Leah, kau tidur terus sepanjang hari, Cantik."Pipi gembil Leah yang memerah, persis seperti pipi milik Kakaknya, Louis. Alesha sangat yakin kedua anak ini akan tumbuh lucu dan menggemaskan. "Mami...!" Suara teriakan Louis membuat Alesha menoleh ke belakan
"Aiko... Aku punya dua adik sekarang! Adikku nangisnya lebih keras dari adikmu!" Louis menatap teman perempuannya yang kini duduk di sampingnya. Padahal sudah berbulan-bulan lamanya mereka membahas tentang adik, dan baru sekarang Louis menunjukkan adiknya, tepatnya setelah dua adik kembarnya lahir. Teman perempuannya itu menoleh dengan mata mengerjap. "Terus, mereka laki-laki atau perempuan, Louis?" tanya Aiko. "Laki-laki dan perempuan. Yang satu Noah dan yang satu Leah. Kau harus kenalan dengan adik-adikku!" Louis mengatakan dengan bangga. Aiko pun menganggukkan kepalanya. Mereka berdua tengah menunggu jemputan, Louis mengatakan pada semua teman-temannya hari ini kalau dia punya adik bayi. Ia sangat bangga dan senang, dirinya menjadi seorang Kakak. Selang beberapa menit, mobil putih berhenti di depan Louis dan Aiko. "Woii, Big Boss! Ayo masuk!" Suara Ares membuka kaca jendela mobil. Louis pun turun dari duduknya. "Aku duluan, Aiko!" "Iya Louis, hati-hati ya..." Anak peremp
Beberapa hari Alesha berada di rumah sakit. Hari ini ia sudah diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, ia disambut dengan hangat oleh putranya. Louis meminta Ares untuk menghias kamar adik bayinya, itu semua juga pemerintah Oliver pada mulanya. "Horee... Adik pulang! Akhirnya kita sampai rumah, Leah dan Noah harus lihat kamar barunya, Kakak kerja keras buat menghias kamar kalian!" seru Louis berjalan mengekori Rena yang kini menggendong satu bayi milik Alesha. "Benarkah Kakak yang menghias kamar adik?" tanya Alesha pada si kecil. Louis dengan antusias menganggukkan kepalanya. "Iya Mami, tanya saja pada Papi! Louis yang menghias kamar adik, sekarang jadi bagus sekali!" seru anak itu mengacungkan jempolnya. "Wahh, terima kasih banyak, Kakak Louis." Mereka masuk ke dalam kamar, Alesha dibantu oleh Oliver duduk di tepi ranjang. Dua bayinya berada di sampingnya dan Louis juga mendusal pada Alesha terus-menerus. Oliver sibuk sendiri, dia menjadi super aktif menangani ini dan itu. Bahk
Louis datang ke rumah sakit bersama dengan Ares, di sana ia bertemu dengan Papinya yang kini melambaikan tangan ke arah anak itu. "Papi...! Mana adikku?!" pekik Louis mengulurkan kedua tangannya. "Adik masih di dalam," jawab Oliver tersenyum mengecup pipi Louis. "Wahhh, mereka seperti apa Pi? Lucu mana sama Louis?" tanya anak itu terus tak sabaran. Oliver terkekeh. "Sama-sama lucu!" jawab Laki-laki itu. Ares dan Lilith tersenyum manis mendengar ocehan Louis. Anak itu sangat penasaran dengan adik kembarnya. "Laksamana Fredrick tidak ke sini, Tuan?" tanya Ares pada Oliver. "Ke sini, tapi mereka sudah pulang. Sebentar lagi ke sini lagi membawa peralatan bayi, aku tidak bisa meninggalkan Alesha." Oliver menoleh dan menatap Ares. Akhirnya, pintu di depan mereka terbuka. Dan muncul seorang suster menatap Oliver yang berdiri paling depan. "Tuan, silakan masuk," ucap suster itu mempersilakan Oliver masuk ke dalam sana. Oliver pun langsung bergegas masuk ke dalam ruangan tersebut. Lo
"Mami... Mami kenapa?!" Louis membuka pintu kamar orang tuanya dan anak itu mendapati Maminya yang kini nampak kesakitan di atas ranjang. Dia berlari mendekati Alesha dengan wajah panik dan ketakutan. "Mami... Huwaa Mami kenapa sih, Mi?!" pekik Louis berteriak. "Louis, tolong panggilkan Papi ya," pinta Alesha kesakitan. "Iya Mi." Anak laki-laki itu berlari keluar secepatnya. Papinya yang kini tengah berada di dalam ruangan kerja bersama dengan Ares. "Papi! Huwaa Papi ihhh ke mana sih..!" Louis berteriak sekeras-kerasnya. Oliver dan Ares berjalan keluar dan melihat Louis berdiri di depan pintu kamar Alesha dengan wajah setengah menangis. Bocah manis itu menunjuk ke dalam kamar. "Mami nangis, perut Mami sakit!" teriaknya sambil menangis. "Ya Tuhan, Alesha!" Oliver bergegas masuk ke dalam kamar. Sementara Louis digendong oleh Ares. Anak itu menangis ketakutan, baru kali ini Louis melihat Maminya kesakitan sampai menangis. "Res, aku titip Louis padamu. Aku akan membawa Alesha
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Pagi ini Alesha duduk di kursi kayu ukiran yang berada di teras samping rumahnya. Wanita cantik dengan perut besar itu memperhatikan suami dan putranya yang tengah bermain di taman. Louis mengamuk ingin bermain bersama Oliver, hingga mau tidak mau waktu kerja pun tersita. "Huhhh, Papi curang! Louis kalah!" teriak anak itu marah saat bola yang ia lemparkan tertangkap oleh Oliver."Ya sudah kalau tidak mau kalah jangan main!" balas Oliver mengusap rambut pirang Louis. Bibir anak itu langsung cemberut seketika. Alesha yang melihat mereka berdua pun hanya tersenyum saja. Lucu sekali Papa dan anak itu. Louis berlari ke arahnya, ia mengambil botol minum di pangkuan Alesha. "Kalau kalah tidak boleh marah, Sayang..." "Emmm, tidak mau pokoknya!" serunya memeluk perut besar sang Mami. "Nanti kalau adik sudah lahir, kalau Louis masih nakal seperti ini, bagaimana?" Alesha mengusap pipi basah Louis karena keringat. Oliver terkekeh mendekati mereka, lak
Oliver melangkah santai masuk ke dalam rumah. Sudut bibirnya terangkat begitu senang melihat kepulangannya kali ini disambut oleh istrinya tercinta yang tengah berdiri di ambang pintu. "Hemm, tumben menyambutku di depan pintu langsung seperti ini, hem?" Alesha masih bergeming, ia mendorong pipi suaminya saat Oliver hendak mengecupnya hingga laki-laki itu langsung mengerutkan keningnya. "Kenapa lagi, Sayang?" tanya Oliver bernada lelah. "Mau mau tanya dulu, kau sering menghukum anak kita, ya?! Menjewernya? Memintanya angkat tangan, berapa jam?!" pekik Alesha berkacak pinggang. Wanita cantik ini menunjukkan sisi garang dan galaknya sebagai seorang istri sekaligus Ibu. Alesha yang sedang hamil memang sangat sensitif dan agresif, bahkan dia tidak sungkan mendorong dan memukul Oliver sekuat tenaganya. "Hooohh ayolah! Jangan bilang si bocah itu mengadu, heh?" Oliver menantang. Alesha berdecak kesal dan ia memukul dada bidang Oliver dengan kuat. "Astaga Alesha..." "Aku kan sudah bil
Hari sudah gelap, Alesha berjalan keluar dari dalam kamarnya. Wanita itu melangkah menuju ke kamar milik Louis. Alesha membuka pintu kamar putranya pelan-pelan dan ia melihat putranya yang tertidur sendirian di atas ranjang. Perasaan tak tega menyelimuti Alesha, baginya Louis terlalu kecil untuk punya adik, namun bagi Oliver anak itu bisa dilatih untuk lebih bertanggung jawab sejak dini. "Louis," lirih Alesha mendekati ranjang. Jemari tangan Alesha mengusap rambut pirang Louis dan mengecup lembut pipi putranya. "Maafkan Mami ya Sayang, Mami tidak bisa mengurus Louis sepenuh hati seperti dulu," ujar Alesha sedih. "Mami akan tetap menjadi sandaran terbaik buat Louis, jangan khawatir." Kecupan lembut Alesha berikan di pipi Louis. Ia tidak ingin beranjak pergi saat ini, Alesha memutuskan untuk berbaring di sana, di samping Louis. Alesha memeluk tubuh mungil putranya hingga gerakan lembutnya membuat Louis terbangun. "Mami..." "Iya Sayang, Mami di sini." Kedua mata indah Louis terb
"Mami mau diambilkan air minum?" Louis mendekati Alesha yang duduk di sofa ruang keluarga di lantai dua. Wanita itu tersenyum dengan kebaikan hati putranya. "Tidak usah Sayang, nanti Mami ambil sendiri saja." "Emm, Mami jangan jalan-jalan, nanti adikku sakit!" seru Louis berlari lebih dulu mengambil botol minum. Alesha merasa tersentuh, setiap hari selama ia hamil Louis dan Oliver seperti sengaja berlomba-lomba untuk membantunya dan mendapat hatinya. Baru saja Alesha selesai makan siang, Louis pun langsung mengambilkan air minum untuknya dan membawa piringnya ke dapur di lantai satu. Alesha terdiam memperhatikan. 'Apa ini ajaran Oliver? Kalau Louis kelelahan nanti dia bisa sakit,' batin Alesha. "Ck! Jangan-jangan sungguh Oliver yang mengajarkannya!" Saat itu juga Alesha langsung melangkah turun ke lantai satu, ia melihat Louis di dapur bersama Bibi Ruitz, anak itu nampak memakan roti selai yang ia buat sendiri. Bibi Ruitz di sampingnya terlihat seperti membujuk Louis untuk