"Istri yang baik untuk Oliver, dia ingin tahu sejauh mana aku bertahan."
Alesha tersenyum tipis mengucapkannya. Gadis itu tak kunjung bisa tidur, Alesha terus kepikiran dengan kata-kata Oliver yang membuatnya tak tenang."Aku harus mulai dari mana? Dia membenciku," lirih Alesha lagi, dia menggigit jemarinya cemas.Kembali Alesha terbangun, dia berjalan keluar dari dalam kamar. Langkahnya mengantarkan Alesha ke lantai satu, ia melihat Oliver yang berbaring di sofa seorang diri.Alesha terdiam menatapnya, dia berjalan tanpa suara mendekat dan sedikit membungkukkan badannya ingin menyentuh kening Oliver.'Aku pikir dia akan tidur di tempat kekasihnya, tapi mungkin malam ini Oliver akan tidur di rumah.'Senyuman Alesha mengambang, wanita itu melangkah masuk ke dalam kamar di lantai satu.Dengan sengaja Oliver kembali membuka mata dan menatap punggung gadis itu, dia berpikir apakah yang akan Alesha lakukan.Sampai akhirnya Alesha kembali, dan Oliver kembali menutup mata. Ternyata gadis itu mengambilkan selimut, menyelimuti Oliver dan duduk di sampingnya, menatap wajah Oliver dalam-dalam."Maafkan aku, Kapten Oliver... Aku tidak bermaksud jahat padamu," ucap Alesha lirih, air matanya luruh tiap kali dia merasa bersalah seumur hidupnya pada Oliver.Alesha tertunduk di hadapan seseorang yang tengah berpura-pura tidur tersebut."Aku pun tidak menginginkan hal menyakitkan itu terjadi padaku. Aku sungguh takut dan malu untuk menunjukkan wajah di hadapan semua orang, aku tidak tahu Ayah memiliki musuh sekejam itu. Merusak masa depanku dan hidupku. Maafkan aku..."Dada Alesha terasa sesak dan tubuhnya bergetar. Ia diam menatapi Oliver, teringat dulu Alesha selalu kesenangan tiap kali Ayahnya mengajak Oliver pulang, Alesha yang suka bertanya-tanya tentang Oliver. Dia bahkan sempat memotret Oliver dari jauh.Laki-laki ini membuatnya jatuh cinta untuk pertama kali. Sampai akhirnya Alesha patah hati saat sang Ayah mengatakan menolak lamaran Oliver karena dia dulunya tak tahu kalau Oliver adalah seorang pewaris utama keluarga Vorgath, tapi hal itu tidak mengubah perasaan Alesha sampai saat ini."Selamat malam, Kapten Oliver," ucap Alesha, dia tersenyum dan menyentuh dengan sangat pelan punggung tangan Oliver.Alesha pun beranjak pergi. Barulah Oliver membuka kedua matanya, laki-laki itu langsung terbangun dan menatap selimut abu-abu yang Alesha selimutkan padanya."Gadis itu..." Oliver diam merenung keras, dia mengacak rambut pirangnya sesaat. "Siapa musuh Laksamana Fredrick yang sudah melakukan hal keji ini pada Alesha?"Tanpa sadar, telapak tangan Oliver terkepal. "Aku harus mencari tahu tentang hal ini."**Saat pagi tiba, Alesha sudah menyiapkan sarapan untuk Oliver. Meskipun Bibi Ruitz melarangnya, tapi Alesha keras kepala ingin melakukan tugas itu.Setelah mengetahui suaminya semalam tidur di rumah, Alesha merasa senang. Dia pun kini menatap meja makan yang penuh dengan menu makanan khusus, kesukaan Oliver."Sekarang, aku harus menemui Oliver," ujar Alesha dengan menekan kuat rasa takutnya.Gadis itu melangkah ke kamar Oliver yang kini berada di lantai satu. Alesha mengetuknya tiga kali."Oliver... Apa kau sudah bangun?" tanya Alesha tidak berani membuka pintu."Aku boleh masuk, tidak?" Lagi, Alesha bertanya dengan nada sedikit meninggi.Namun tak ada jawaban, Alesha pun membuka pintu kamar itu. Dan nampak Oliver yang masih bergelung di bawah selimutnya dengan tubuh atasnya yang terpampang.Alesha menutup mulut, ia bingung apa yang harus dia lakukan saat ini? Bagaimana kalau Oliver marah?"Oliver..." Alesha mendekatinya. "Ini sudah pagi, apa kau tidak ke markas?"Suara lembut Alesha sukses membuat Oliver membuka kedua matanya.Laki-laki itu berdecak. "Apa yang kau lakukan di kamarku?!""Oh itu, aku... Aku hanya membangunkanmu saja, sarapannya juga sudah siap," jawab Alesha tersenyum manis.Oliver terbangun dengan wajah malas dan kesal. Ia duduk di tepi ranjang dan mengacak rambut pirangnya. Kedua iris birunya masih kalup.Laki-laki itu melirik Alesha, istrinya yang tidak ia sukai itu, masih setia berdiri di samping ranjang."Apa lagi sekarang?" Oliver bertanya tanpa membentak.Wajah Alesha memerah, ia menundukkan kepalanya, gadis baik-baik ini tidak pernah melihat tubuh seorang laki-laki, Alesha malu sendiri dihadapkan dengan Oliver yang tidak memakai atasan."A-aku akan keluar," pamit Alesha."Tunggu Alesha..." Oliver menarik lengan Alesha tiba-tiba hingga gadis itu tak sengaja jatuh di pangkuan Oliver.Kedua mata Alesha melebar, ia langsung mendorong tubuh laki-laki itu dengan jemari bergetar."Ma-maaf, aku tidak sengaja! Aku benar-benar tidak bermaksud. Aku-""Siapkan pakaian kerjaku," selama Oliver dengan santai.Laki-laki itu beranjak dan melewati Alesha dengan satu telapak tangannya menyentuh pucuk kepala Alesha.Oliver tersenyum tipis seraya melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Lucu sekali ekspresi wanita naif itu, baginya.Alesha menyiapkan pakaian kerja milik Oliver sampai akhirnya Alesha terdiam menatap cermin lemari kayu di depannya.Di depan pantulan cermin, Alesha menyentuh pucuk kepalanya."Dia menyentuhku," lirih Alesha. "Apa dia sungguh benar-benar membenciku? Apa bencinya bisa berkurang?"Butuh beberapa menit lamanya, Alesha juga merapikan kamar Oliver. Di sana, Alesha menemukan banyak sekali berkas-berkas penting tentang bisnis suaminya. Oliver memiliki perusahaan tambang, Alesha baru tahu akan hal itu.'Dulu Ayah menolak Oliver saat melamarku karena Ayah bilang Oliver miskin. Tapi Oliver sesungguhnya sangat kaya, rumah vila yang bagus, dia seorang pebisnis, perwira, dan berasal dari keluarga berada. Ayah pasti akan menyesal kalau tahu ini.'Pintu kamar mandi terbuka, Oliver muncul dari dalam sana. Kening laki-laki itu mengerut saat melihat Alesha masih berada di dalam kamarnya. Pakaian kerja Oliver juga ditata rapi di atas ranjang."Kenapa kau masih ada di sini? Apa yang kau lakukan dengan berkas-berkasku?!" tanya Oliver."A-aku hanya merapikannya saja." Alesha terbata.Alesha tersentak menoleh ke belakang. Dadanya berdebar, Oliver menatapnya tajam, dia menutupi tubuhnya yang segar dengan kimono handuk berwarna putih.Oliver mendekati Alesha dan menatapnya seperti seekor mangsa."Kau tidak berniat membantuku berpakaian, kan?" ujar Oliver dengan penuh penekanan."Ti-tidak! Jangan salah paham Oliver, tidak seperti it-""Kau ingin membuatku marah padamu, di pagi-pagi begini, Alesha Alister!" desis Oliver.Wajah Alesha memerah, ia mengulurkan tangannya pelan mendorong dada Oliver untuk mundur.Rambut pirang yang basah, wajah tampannya pun basah dengan tetesan air dingin, ditambah sorot mata biru laut yang tajam."Jangan seperti ini, Oliver...""Lalu seperti apa yang kau inginkan?" Oliver maju dua langkah hingga Alesha tersudut di dinding.Kedua lengan kekar laki-laki itu mengurung Alesha, sebisa mungkin Alesha menghindari kontak mata dengannya."Berhenti berpura-pura polos seperti wanita baik-baik. Bukankah semua keburukanmu sudah kau tampakkan, hem?" Oliver berbisik di telinga Alesha.Wajah Alesha menjadi kembali sedih, namun Oliver terkekeh dan mendekatkan wajahnya di hadapan Alesha."Nona Alesha yang malang..."Gadis itu tersenyum tipis padanya, hingga Oliver terdiam menatap senyuman itu."Apapun yang kau katakan, aku tidak akan pernah marah padamu. Karana aku ingin kau tahu, aku bisa menjadi istri yang baik, lebih dari yang kau bayangkan.""Malam ini musim dingin pertama tahun ini, aku ingin membelikan hadiah untuk istriku. Bagaimana denganmu, Kapten Oliver?" Seruan itu terucap dari bibir rekan Oliver, dia adalah Laverd. Yang kini berjalan berjajar di samping Oliver begitu mereka keluar dari dalam markas. "Heem, salju bahkan sudah turun." Oliver menengadahkan satu tangannya. "Dan kau ingin membelikan Nona Alesha hadiah apa?" tanya sang sahabat. "Kalian pengantin baru, kan? harus serba romantis." Wajah Oliver menjadi datar, dia mengingat wanita yang kini menjadi istrinya itu sedang hamil anak laki-laki lain. Namun mengetahui kalau Alesha hanyalah seorang korban, Oliver merasa sedikit kasihan pada Alesha. "Hoi... Kenapa kau malah diam, Kapten," seru laki-laki di sampingnya itu. Oliver menatapnya dan berjalan menuju mobil berwarna hitam miliknya. "Entahlah, aku tidak memikirkan itu." "Bagaimana bisa? Kau tidak mencintainya?!" seru Laverd dengan nada bersungut. "Tentu saja aku mencintainya, dia milikku, dia wanita
"Tidur denganku?" Oliver mengerutkan keningnya dengan kepala sedikit miring menatap Alesha yang terdiam seperti anak kecil menanti jawaban. "Kalau kau tidak mau juga tidak papa, aku tidak memaksamu. Dengan kau bermalam di rumah, aku sudah senang," ujar Alesha tersenyum. Helaan napas terdengar dari bibir Oliver, dia mengangguk pelan dan melangkah mendekati ranjang dengan sprai merah muda, warna kesukaan Alesha. Oliver melepaskan manset lengan seragamnya, ia melepaskan dengan santai atasannya di depan Alesha. "Aku akan tidur di sini," ujar Oliver melangkah masuk ke dalam kamar mandi."Iya, kalau begitu aku siapkan pakaian gantimu sebentar." Alesha melanggang keluar dari dalam kamar. Gadis itu melangkah ke lantai satu menuju kamar Oliver. Di sana, Alesha mengambil satu stelan piyama hitam milik Oliver, namun sesuatu terjatuh saat Alesha menarik pakaian itu dan selembar kertas kecil membuat perhatian Alesha teralihkan. "Kertas apa ini?" gumam Alesha meraihnya. Kedua mata gadis it
"Nyonya Alesha butuh banyak istirahat, kondisi kehamilannya sangat lemah, Tuan." Seorang dokter menjelaskan kondisi keadaan Alesha pada Oliver. Sedangkan gadis itu masih terbaring lemah di atas ranjang. Oliver menganggukkan kepalanya, dokter pun segera berpamitan pergi setelah memeriksanya. "Oliver, apa aku sudah boleh pulang?" tanya Alesha saat Oliver mendekat. "Kondisimu masih lemah, jangan bersikeras meminta pulang. Diam di sini dan berisitirahat," ujar Oliver, dia menarik kursi dan duduk di samping sang istri. Alesha menatap seisi ruangan itu, ia mengusap-usap perutnya."Terima kasih ya, sudah mengantarkanku ke sini," ucap Alesha tersenyum tipis. "Aku hanya peduli padamu, bukan anak itu!" jawab Oliver. Tatapan iris birunya membuat nyali Alesha menciut. Oliver duduk bersandar dan bersedekap memperhatikan wajah Alesha dengan tatapan yang sulit diartikan. Keheningan terjadi di antara mereka untuk beberapa saat. Oliver tetap memperhatikan wajah Alesha, menelisik dalam-dalam hi
"Kau yakin hanya ingin membeli bunga mawar saja?" Oliver menatap Alesha yang berdiri di sampingnya memeluk buquet bunga di dalam pelukannya. Gadis itu mengangguk antusias. "Iya, aku ingin ini saja. Sudah lebih dari cukup, Oliver. Ada lagi yang ingin aku minta. Tapi tidak sekarang!" "Ck! Kenapa kau malah banyak maunya?!" sinis Oliver kesal.Laki-laki itu berjalan merangkul pundak Alesha saat seseorang hampir menyenggol tubuh Alesha saat mereka berjalan kaki dan bersalipan dengan seseorang. "Karena aku mau. Kau membelikan Susan bunga, jadi aku ingin bunga juga," jawab Alesha menatap bunga mawar merah di pelukannya. Oliver melirik Alesha yang begitu senang. Dia seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah mainan baru. "Lalu, setelah kemarin aku membelikan hadiah mantel untuk Susan, kau menginginkannya juga? Apa kau lupa kalau Susan siapaku?!" Oliver kembali bersedekap berjalan berjajar dengan istrinya.Alesha menggelengkan kepalanya, sampai tiba-tiba langkah Oliver terhenti
Cukup larut Oliver pulang malam ini, namun tidak biasanya ia masuk ke dalam rumah tidak ada sambutan apapun dari Alesha. Kening Oliver mengerut saat rumahnya terasa amat sangat sepi. "Di mana dia?" gumam Oliver bertanya-tanya. "Tidak biasanya dia tidak menungguku." Oliver melepaskan seragam berwarna navy dengan kancing emasnya. Dia juga meletakkan topi perwiranya di atas meja. "Tuan..." Suara Bibi Ruitz membuat Oliver menoleh ke belakang. Laki-laki itu mengerjapkan kedua matanya. Dia paham akan tatapan Bibi Ruitz saat ini padanya. "Ada apa? Di mana Alesha?" tanya Oliver, perasaannya meminta dia bertanya di mana istrinya kini. "Nyonya... Nyonya Alesha ada di kamarnya." Bibi Ruitz terlihat begitu sedih. "Kenapa? Apa dia sakit?" Wajah Oliver menjadi kaku, iris birunya menajam seketika. "Laksamana Fredrick siang tadi ke sini, maaf kalau saya lancang mendengarkan semuanya. Tapi... Nyonya sedang tidak baik-baik saja. Laksamana Fredrick meminta Nyonya Alesha untuk menggugu-"Ucapan B
"Pemeriksaan kandunganku tiap bulannya membutuhkan biaya, dan aku tidak mau merepotkan Oliver." Alesha menggigit ujung ibu jarinya dan mondar-mandir di teras sejak tadi. Wajahnya serius dan tengah berpikir keras. Sedangkan Bibi Ruitz yang memperhatikannya, wanita itu kebingungan dengan tingkah Alesha seperti anak kecil. "Nyonya, ada apa? Kenapa Nyonya Alesha terlihat resah sekali?" tanya Bibi mendekati Alesha."Iya Bi. Aku stress sekali hari ini..." Alesha menepuk keningnya. "Apa semalam tidur dalam pelukan Tuan masih membuat Nyonya Alesha stress?" Mendengar lelucon yang terucap oleh sang pembantu, wajah Alesha langsung memerah. Dia menggelengkan kepalanya cepat. "Ti-tidak! Tidak begitu!""Lalu, apa yang sebenarnya sekarang Nyonya pikirkan? Nyonya bisa bercerita pada saya." Alesha berdiri menatap taman di pekarangan rumah Oliver. "Bi, aku butuh banyak uang untuk pemeriksaan kandunganku sampai sembilan bulan nanti. Aku tidak mau merepotkan Oliver, apalagi sampai meminta uang pa
Keesokan paginya, begitu Oliver keluar dari dalam kamar dengan pakaian kerjanya. Laki-laki menuruni anak tangga, dia melihat istrinya sedang sibuk dengan beberapa barang-barang yang baru saja dia beli. "Apa saja yang dia beli? Banyak sekali," gumam Oliver lirih. Langkah Oliver mendekati Alesha, dia bersedekap memperhatikan wajah cantik itu nampak serius dengan beberapa kotak-kotak kayu kecil di atas meja marmer. "Jadi kau membelanjakan uang yang aku pinjamkan untuk barang-barang tidak berguna ini? Boros sekali hidupmu!" sinis Oliver dari belakang di pundak kiri istrinya. Alesha tersentak kaget mendengar suara Oliver tiba-tiba, dia langsung membalik badannya dan terpana dengan wajah tampan Oliver. Rambut pirangnya yang sudah tertata rapi. "Aku... Aku tidak boros, aku membeli beberapa bibit tanaman. Kalau salju sudah menipis, aku akan menanamnya!" seru Alesha tersenyum gemas. "Bagaimana kalau bunga-bunga itu mati?" tanya Oliver lagi sembari menyeringai licik dia mendekatkan wajahny
Alesha begadang malam ini, dia sibuk dengan semua perlengkapan biji-bijian bunga miliknya. Sibuk memberikan nama tiap kotak, hingga tak terasa jam menunjukkan pukul setengah dua belas tepat. Gadis itu mengembuskan napasnya pelan menutup kotak terkahir. "Selesai!" seru Alesha tersenyum lega. "Sekarang aku ingin lihat, apa saljunya sudah menipis?" Alesha berjalan membuka gorden jendela, dia melihat ke arah luar di mana salju benar-benar sudah menipis. "Akhirnya... Besok aku akan meminta bantuan Bibi Ruitz," gumam Alesha kesenangan. Telapak tangannya mengusap perutnya yang masih datar, hatinya terasa nyeri tiap kali memikirkan anak ini. Entah bagaimana rupa laki-laki yang telah tega melakukan hal keji itu pada Alesha, ingatannya membuat Alesha bersedih. Dia tidak tahu bagaimana nanti kalau anak ini lahir? Apa dia akan mencintainya? Atau membencinya? "Mama akan berusaha menjagamu. Karena kau tidak bersalah, tapi... Maafkan Mama, kadang Mama marah padamu." Alesha mengusap air matany
Cuaca pagi yang sangat cerah, Alesha berada di taman luas rumahnya bersama Baby Noah dan Leah. Setiap pagi ia selalu menghangatkan dua malaikat kecilnya. Udara sejuk yang tak terlalu dingin, aroma pepohonan pinus di sekitar sana masih khas dengan kesejukan di tempat itu, juga bunga-bunga bermekaran di musim ini. "Tak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat," ucap wanita itu menunduk menatap bayi-bayi mungil yang kini terlelap. Dua bayi itu berada di dalam keranjang rajut dari rotan, dengan selimut tebal dan lembut sebagai alasnya. "Hai Sayang... Bangun juga akhirnya," bisik Alesha mengusap ujung jari telunjuknya di pipi Noah. Sedangkan Leah, bayi itu masih tertidur dan merasa nyaman dengan hangatnya sinar matahari. "Bangun Leah, kau tidur terus sepanjang hari, Cantik."Pipi gembil Leah yang memerah, persis seperti pipi milik Kakaknya, Louis. Alesha sangat yakin kedua anak ini akan tumbuh lucu dan menggemaskan. "Mami...!" Suara teriakan Louis membuat Alesha menoleh ke belakan
"Aiko... Aku punya dua adik sekarang! Adikku nangisnya lebih keras dari adikmu!" Louis menatap teman perempuannya yang kini duduk di sampingnya. Padahal sudah berbulan-bulan lamanya mereka membahas tentang adik, dan baru sekarang Louis menunjukkan adiknya, tepatnya setelah dua adik kembarnya lahir. Teman perempuannya itu menoleh dengan mata mengerjap. "Terus, mereka laki-laki atau perempuan, Louis?" tanya Aiko. "Laki-laki dan perempuan. Yang satu Noah dan yang satu Leah. Kau harus kenalan dengan adik-adikku!" Louis mengatakan dengan bangga. Aiko pun menganggukkan kepalanya. Mereka berdua tengah menunggu jemputan, Louis mengatakan pada semua teman-temannya hari ini kalau dia punya adik bayi. Ia sangat bangga dan senang, dirinya menjadi seorang Kakak. Selang beberapa menit, mobil putih berhenti di depan Louis dan Aiko. "Woii, Big Boss! Ayo masuk!" Suara Ares membuka kaca jendela mobil. Louis pun turun dari duduknya. "Aku duluan, Aiko!" "Iya Louis, hati-hati ya..." Anak peremp
Beberapa hari Alesha berada di rumah sakit. Hari ini ia sudah diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, ia disambut dengan hangat oleh putranya. Louis meminta Ares untuk menghias kamar adik bayinya, itu semua juga pemerintah Oliver pada mulanya. "Horee... Adik pulang! Akhirnya kita sampai rumah, Leah dan Noah harus lihat kamar barunya, Kakak kerja keras buat menghias kamar kalian!" seru Louis berjalan mengekori Rena yang kini menggendong satu bayi milik Alesha. "Benarkah Kakak yang menghias kamar adik?" tanya Alesha pada si kecil. Louis dengan antusias menganggukkan kepalanya. "Iya Mami, tanya saja pada Papi! Louis yang menghias kamar adik, sekarang jadi bagus sekali!" seru anak itu mengacungkan jempolnya. "Wahh, terima kasih banyak, Kakak Louis." Mereka masuk ke dalam kamar, Alesha dibantu oleh Oliver duduk di tepi ranjang. Dua bayinya berada di sampingnya dan Louis juga mendusal pada Alesha terus-menerus. Oliver sibuk sendiri, dia menjadi super aktif menangani ini dan itu. Bahk
Louis datang ke rumah sakit bersama dengan Ares, di sana ia bertemu dengan Papinya yang kini melambaikan tangan ke arah anak itu. "Papi...! Mana adikku?!" pekik Louis mengulurkan kedua tangannya. "Adik masih di dalam," jawab Oliver tersenyum mengecup pipi Louis. "Wahhh, mereka seperti apa Pi? Lucu mana sama Louis?" tanya anak itu terus tak sabaran. Oliver terkekeh. "Sama-sama lucu!" jawab Laki-laki itu. Ares dan Lilith tersenyum manis mendengar ocehan Louis. Anak itu sangat penasaran dengan adik kembarnya. "Laksamana Fredrick tidak ke sini, Tuan?" tanya Ares pada Oliver. "Ke sini, tapi mereka sudah pulang. Sebentar lagi ke sini lagi membawa peralatan bayi, aku tidak bisa meninggalkan Alesha." Oliver menoleh dan menatap Ares. Akhirnya, pintu di depan mereka terbuka. Dan muncul seorang suster menatap Oliver yang berdiri paling depan. "Tuan, silakan masuk," ucap suster itu mempersilakan Oliver masuk ke dalam sana. Oliver pun langsung bergegas masuk ke dalam ruangan tersebut. Lo
"Mami... Mami kenapa?!" Louis membuka pintu kamar orang tuanya dan anak itu mendapati Maminya yang kini nampak kesakitan di atas ranjang. Dia berlari mendekati Alesha dengan wajah panik dan ketakutan. "Mami... Huwaa Mami kenapa sih, Mi?!" pekik Louis berteriak. "Louis, tolong panggilkan Papi ya," pinta Alesha kesakitan. "Iya Mi." Anak laki-laki itu berlari keluar secepatnya. Papinya yang kini tengah berada di dalam ruangan kerja bersama dengan Ares. "Papi! Huwaa Papi ihhh ke mana sih..!" Louis berteriak sekeras-kerasnya. Oliver dan Ares berjalan keluar dan melihat Louis berdiri di depan pintu kamar Alesha dengan wajah setengah menangis. Bocah manis itu menunjuk ke dalam kamar. "Mami nangis, perut Mami sakit!" teriaknya sambil menangis. "Ya Tuhan, Alesha!" Oliver bergegas masuk ke dalam kamar. Sementara Louis digendong oleh Ares. Anak itu menangis ketakutan, baru kali ini Louis melihat Maminya kesakitan sampai menangis. "Res, aku titip Louis padamu. Aku akan membawa Alesha
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Pagi ini Alesha duduk di kursi kayu ukiran yang berada di teras samping rumahnya. Wanita cantik dengan perut besar itu memperhatikan suami dan putranya yang tengah bermain di taman. Louis mengamuk ingin bermain bersama Oliver, hingga mau tidak mau waktu kerja pun tersita. "Huhhh, Papi curang! Louis kalah!" teriak anak itu marah saat bola yang ia lemparkan tertangkap oleh Oliver."Ya sudah kalau tidak mau kalah jangan main!" balas Oliver mengusap rambut pirang Louis. Bibir anak itu langsung cemberut seketika. Alesha yang melihat mereka berdua pun hanya tersenyum saja. Lucu sekali Papa dan anak itu. Louis berlari ke arahnya, ia mengambil botol minum di pangkuan Alesha. "Kalau kalah tidak boleh marah, Sayang..." "Emmm, tidak mau pokoknya!" serunya memeluk perut besar sang Mami. "Nanti kalau adik sudah lahir, kalau Louis masih nakal seperti ini, bagaimana?" Alesha mengusap pipi basah Louis karena keringat. Oliver terkekeh mendekati mereka, lak
Oliver melangkah santai masuk ke dalam rumah. Sudut bibirnya terangkat begitu senang melihat kepulangannya kali ini disambut oleh istrinya tercinta yang tengah berdiri di ambang pintu. "Hemm, tumben menyambutku di depan pintu langsung seperti ini, hem?" Alesha masih bergeming, ia mendorong pipi suaminya saat Oliver hendak mengecupnya hingga laki-laki itu langsung mengerutkan keningnya. "Kenapa lagi, Sayang?" tanya Oliver bernada lelah. "Mau mau tanya dulu, kau sering menghukum anak kita, ya?! Menjewernya? Memintanya angkat tangan, berapa jam?!" pekik Alesha berkacak pinggang. Wanita cantik ini menunjukkan sisi garang dan galaknya sebagai seorang istri sekaligus Ibu. Alesha yang sedang hamil memang sangat sensitif dan agresif, bahkan dia tidak sungkan mendorong dan memukul Oliver sekuat tenaganya. "Hooohh ayolah! Jangan bilang si bocah itu mengadu, heh?" Oliver menantang. Alesha berdecak kesal dan ia memukul dada bidang Oliver dengan kuat. "Astaga Alesha..." "Aku kan sudah bil
Hari sudah gelap, Alesha berjalan keluar dari dalam kamarnya. Wanita itu melangkah menuju ke kamar milik Louis. Alesha membuka pintu kamar putranya pelan-pelan dan ia melihat putranya yang tertidur sendirian di atas ranjang. Perasaan tak tega menyelimuti Alesha, baginya Louis terlalu kecil untuk punya adik, namun bagi Oliver anak itu bisa dilatih untuk lebih bertanggung jawab sejak dini. "Louis," lirih Alesha mendekati ranjang. Jemari tangan Alesha mengusap rambut pirang Louis dan mengecup lembut pipi putranya. "Maafkan Mami ya Sayang, Mami tidak bisa mengurus Louis sepenuh hati seperti dulu," ujar Alesha sedih. "Mami akan tetap menjadi sandaran terbaik buat Louis, jangan khawatir." Kecupan lembut Alesha berikan di pipi Louis. Ia tidak ingin beranjak pergi saat ini, Alesha memutuskan untuk berbaring di sana, di samping Louis. Alesha memeluk tubuh mungil putranya hingga gerakan lembutnya membuat Louis terbangun. "Mami..." "Iya Sayang, Mami di sini." Kedua mata indah Louis terb
"Mami mau diambilkan air minum?" Louis mendekati Alesha yang duduk di sofa ruang keluarga di lantai dua. Wanita itu tersenyum dengan kebaikan hati putranya. "Tidak usah Sayang, nanti Mami ambil sendiri saja." "Emm, Mami jangan jalan-jalan, nanti adikku sakit!" seru Louis berlari lebih dulu mengambil botol minum. Alesha merasa tersentuh, setiap hari selama ia hamil Louis dan Oliver seperti sengaja berlomba-lomba untuk membantunya dan mendapat hatinya. Baru saja Alesha selesai makan siang, Louis pun langsung mengambilkan air minum untuknya dan membawa piringnya ke dapur di lantai satu. Alesha terdiam memperhatikan. 'Apa ini ajaran Oliver? Kalau Louis kelelahan nanti dia bisa sakit,' batin Alesha. "Ck! Jangan-jangan sungguh Oliver yang mengajarkannya!" Saat itu juga Alesha langsung melangkah turun ke lantai satu, ia melihat Louis di dapur bersama Bibi Ruitz, anak itu nampak memakan roti selai yang ia buat sendiri. Bibi Ruitz di sampingnya terlihat seperti membujuk Louis untuk