Alesha menangis memeluk tubuh Rena, dia meringkuk di atas ranjang berkali-kali menyebut nama Oliver. "Sayang tenang, jangan seperti ini Alesha... Ibu yakin kalau semuanya akan baik-baik saja, nak," bisik Rena menenangkannya. Namun Fredrick menyahut dengan decakan. "Baik-baik saja bagaimana! Semua orang di kota ini sudah tahu kalau anak haram itu bukan anak Oliver! Sialan!" maki Fredrick dengan penuh amarah. Alesha semakin kuat mencengkeram punggung sang Ibu. Tatapannya tertuju pada sang Ayah, Laksamana Fredrick yang kini berdiri di dekat jendela kamar Alesha dan menunjukkan kemurkaannya. "Ayah harus bertanggung jawab atas ini semua, Ayah!" pekik Alesha dengan tegas. "Ini salahmu sendiri! Kau tidak bisa menjaga ucapan dan rahasia! Jadi rasakan saja ulahmu itu!" "Ayah!" Rena berteriak keras. "Kau memang tidak punya hati, mau sampai kapan kau bersembunyi di balik semua ini, hah?!" Alesha beranjak dari atas ranjang, dia berjalan mendekati Fredrick dan menarik lengan Ayahnya. "Aya
Malam ini lautan akan menjadi saksi kematian para pemberontak yang menjijikkan. Oliver berada di barisan depan, dia tidak sabar ingin mencabut nyawa seorang Mikael Sorta. "Kapten Vorgath, di arah jam sembilan, sekitar sepuluh kilometer dari lokasi Kapten, ada sebuah kapal kecil, kami mengamati pergerakan mencurigakan, dia adalah salah satu anggota pemberontak!" suara itu berasal dari radio yang terhubung dengan Oliver. "Jack! Jangan biarkan mereka lepas! Sandera siapapun yang kau temui di sekitar pesisir, hubungkan dengan Kapten Kareem!" seru Oliver memerintah. "Siap Kapt!" Oliver mendekati Sagra, laki-laki berambut perak itu meneropong jauh dan dia terhenyak. "Kapal hantu ada tepat di depan kita! Sekitar lima belas kilometer dari sini! Kapal itu milik Mikael Sorta, dijaga ketat oleh beberapa awak kapal, mereka bersembunyi di sana, dan sangat gelap!" seru Sagra. Kapten Lionil langsung meneriaki beberapa beberapa orang prajurit yang bergerak sebagai pasukan pengepung. Begitu pul
Pagi di bulan Juni, musim panas datang dengan membawa kesejukan yang luar biasa. Secangkir teh hangat tersedia di atas meja bersama dengan scone buah di atas piring kecil. Alesha duduk di sebuah kursi kayu melamun menatap ke arah lautan luas. Sudah berhari-hari lamanya dia tidak tahu kabar tentang apapun. "Nyonya, ada salah satu rekan Tuan Oliver ingin bertemu dengan Nyonya," ujar Bibi Ruitz mendekati Alesha. Lamunan gadis itu pun buyar, dia langsung beranjak dari duduknya. Alesha belum berjalan ke depan, seorang laki-laki dengan stelan seragam perwira berwarna putih berjalan ke arahnya. Laki-laki berambut hitam itu menundukkan kepalanya memberi hormat. "Selamat pagi, Nyonya Vorgath," sapanya. "Pagi... Ada keperluan apa? A-apa kau datang membawa kabar tentang suamiku?" tanya Alesha menatap laki-laki di depannya ini. Aghis tersenyum dan mengangguk. "Benar Nyonya. Semalam Kapten Vorgath memenangkan pertempurannya, beliau mengirimkan pesan pada kami di pangkalan, bahwa beliau aka
Sesampainya di pelabuhan, Oliver kembali ke pangkalan bersama beberapa rekannya. Masih ada beberapa hal yang harus dia urus, dan mengenai beberapa laporan penting yang akan dia bahas. Oliver sangat tidak sabar ingin segera pulang dan bertemu dengan Alesha. "Kapten Vorgath, kau langsung pulang?" tanya Kapten Lionil yang kini muncul membawa ransel di punggungnya. "Tidak. Aku masih ada urusan di luar, kalau kau mau ke rumahku, datang saja nanti." Oliver menepuk pundak sang rekan. "Oh baiklah," jawab Lionil mengangguk. "Kau sudah bertemu Laksamana Fredrick?" "Dia tidak ada di sini, mungkin nanti aku akan ke kediamannya." Lionil mengangguk, dia menepuk pundak Oliver pelan. "Baik Kapt, sampai nanti!" Oliver melangkah keluar dari dalam tempat itu. Dia mengemudikan sebuah mobil berwarna hitam miliknya yang berada di sana sejak kapan hari. Sepanjang perjalanan, Oliver memikirkan apa saja yang ingin ia belikan untuk Alesha. "Apa saja yang harus aku belikan untuk mereka?" gumam Oliver m
Rasa sakit luar biasa, darah berceceran di mana-mana dan Alesha terduduk di bawah ranjang. Dia mengerang kesakitan seorang diri. Gadis itu merasa kali ini dia tidak akan selamat. Keringat membasahi tubuhnya dan dorongan kuat dari perutnya membuat Alesha menangis kesakitan. "Aakkhhh... Tolong, sakit?" Alesha mencengkeram erat sebuah selimut di atas ranjang dengan kepala mendongak dan mata berair. Napasnya naik turun, gaun biru muda yang ia pakai sudah tak berwarna lagi. Alesha seperti akan melahirkan di sana. "Oliver," lirih Alesha memejamkan matanya lagi dan mengerang berkali-kali. "Aarrgghh, sakit sekali. Ibu," rintihnya tak tahan. Sementara di luar, Bibi Ruitz baru saja membuat sup ayam seperti yang Alesha inginkan. Wanita setengah baya itu melangkah ke lantai dua. Bibi Ruitz mendekati pintu kamar Alesha, namun langkahnya terhenti di depan pintu begitu ia mendengarkan suara erangan-erangan dan rintihan tangis di dalam. "Aarrgghh... Ya Tuhan, sakit!" rintih suara itu, suara A
Oliver menamani Alesha yang terlelap dengan pulas. Bahkan usikan jemari Oliver di wajahnya tidak mengganggu tidurnya sama sekali. "Dia benar-benar sedang tertidur, kan?" Oliver bertanya pada seorang Dokter Teodora yang kini berdiri menjaga Alesha. "Benar Kapten, sejak sore tadi tenaga Nyonya banyak terkuras. Saya pun bersyukur Nyonya Alesha bisa sekuat ini." Oliver menggenggam telapak tangan Alesha dan mengecup punggung tangan kecil istrinya, diletakkan di pipi dan menatapi wajah damai dalam tidur. "Apa yang membuat bayi itu lahir sebelum waktunya, Teodora?" tanya Oliver lagi. "Bayinya tidak sehat, Nyonya terlalu banyak tekanan, dan beberapa hari ini nama kalian berdua cukup keruh di luar, berita simpang siur mengatakan kalau bayi itu, bukan anak Kapten Vorgath," jelas Dokter Teodora menceritakan yang sesungguhnya. Tawa sumbang lirih terdengar dari bibir Oliver. "Mereka semua memang brengsek," ujar Oliver. Tak ada jawaban apapun dari Dokter Teodora. Sampai akhirnya Alesha terb
Kabar duka atas kehilangan bayinya terdengar sampai di telinga keluarga Alesha. Dan kedua orang tuanya datang berkunjung pagi ini. Meskipun di sana terlihat Fredrick dengan raut wajah yang tidak baik-baik saja. Alesha sedikit takut dengan ekspresi sang Ayah. "Bagaimana ini bisa terjadi nak? Apa yang membuat Alesha sampai seperti ini?" Rena memeluk Alesha yang diam tidak menjawabnya. Oliver berada di antara mereka semua, baru saja dia menggendong sang istri dan memintanya duduk di sofa menemui orang tuanya yang datang. "Semuanya bisa saja terjadi bila Tuhan sudah berkehendak, Ibu," jawab Alesha dengan tenang. "Harusnya Alesha kemarin-kemarin tidak pulang. Tinggal bersama Ibu, mungkin hal ini tidak terjadi, Sayang!" seru wanita itu tak henti-hentinya mencemaskan Alesha. "Tapi Alesha sudah kenyang dengan tamparan Ayah." Alesha berucap dingin menatap Laksamana Fredrick. "Alesha tidak tahu, kenapa Ayah sebenci ini padaku." "Alesha, dengar-""Tidak Yah, aku tidak mau mendengarkan apa
Dua Minggu Berlalu...Hari-hari berjalan dengan damai saat Oliver berada di sampingnya. Alesha Alister sudah pulih dan dia tetap menjadi wanita yang selalu Oliver perhatikan dengan penuh. Seperti sore ini, saat Oliver kembali dari pangkalan, Alesha menunggunya di teras seperti biasa. Gadis itu dengan penuh senyuman menunggu Oliver pulang. "Apa artinya senyumanmu barusan, hem?" tanya Oliver mendekati Alesha, dia menarik lembut dagunya dan memberikan kecupan di bibir tipis gadis itu. "Apa... Jangan-jangan kau sedang merayuku?" "Iya!" Alesha menjawabnya dengan tegas. "Aku ingin jalan-jalan, bukankah hari ini ada perayaan di kota? Kau tidak ingin mengajakku jalan-jalan denganmu, ya?" Oliver memicingkan matanya seraya berjalan masuk mendahului gadis itu tanpa.Dia tidak memberikan respon apapun pada pertanyaan yang Alesha lontarkan. Membuat kesal saja!Namun menyadari istrinya yang bergeming, Oliver langsung membalikkan badannya menoleh ke belakang di mana Alesha berdiri. "Kalau kau i