Pagi hari di rumah orang tuanya, Alesha terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Semalaman penuh ia tidur dipeluk oleh Ibunya. Pelukan yang tak kalah hangat dan nyaman dari pelukan Oliver. Dan kini Alesha berdiri di balkon kamarnya menatap pemandangan pagi hari. "Rasanya sudah lama aku tidak berdiri di sini," gumam Alesha tersenyum manis. Ia menundukkan kepalanya menatap perutnya yang besar dan mengusapnya dengan sangat lembut. "Sayang, dulu Ibu selalu memperhatikan Ayahmu dari sini... Saat Ayahmu masih baru, sering berjaga di depan sana, menatap Ibu dari sana dan dia selalu memasang wajah dingin. Tapi Ibu tahu, dia orang yang hangat." Alesha tersenyum manis, ia mulai mengingat betapa dirinya dulu sangat-sangat mengagumi sosok Oliver. Memperhatikan diam-diam, mengirimkan makanan dan minuman dengan memaksa Lionil untuk memberikan pada Oliver, adalah masa di mana Alesha jatuh cinta untuk pertama kalinya. Sangat indah, penuh harapan dan doa. "Sekarang dia, laki-laki yang aku kagumi
Dua puluh hari kemudian..."Kita tidak perlu membawa banyak pasukan untuk penyerbuan, Kapten Oliver! Aku tidak tahan mereka sulit dihentikan!" Suara Hubert memecah hening, Oliver menggelengkan kepalanya dengan tegas. Dia tidak akan pernah setuju bila ada bawahannya bergerak seperti menyerahkan nyawa. Mereka kini berada di salah satu kawasan zona hijau, di mana tempat itu menyediakan rumah sakit kecil, penginapan, dan tempat yang paling aman di tempati. Oliver memimpin pertemuan dengan beberapa orang-orang pentingnya, karena dalam misi ini, dia harus menangkap seseorang kepala pemberontak yang sudah menyengsarakan banyak orang. "Kita akan bergerak bersama, jangan sampai kalian ada yang terluka karena keputusan yang konyol!" seru Oliver. Kapten Lionel dan Letnan Klein saling tatap, keduanya mengangguk. "Ya, aku setuju dengan Kapten Oliver. Kita sedang tidak pernah besar-besaran, sama saja kita sedang memburu bajak laut," kekeh Letnan Klein. "Maka dari itu, kalian jangan sampai a
Alesha menangis memeluk tubuh Rena, dia meringkuk di atas ranjang berkali-kali menyebut nama Oliver. "Sayang tenang, jangan seperti ini Alesha... Ibu yakin kalau semuanya akan baik-baik saja, nak," bisik Rena menenangkannya. Namun Fredrick menyahut dengan decakan. "Baik-baik saja bagaimana! Semua orang di kota ini sudah tahu kalau anak haram itu bukan anak Oliver! Sialan!" maki Fredrick dengan penuh amarah. Alesha semakin kuat mencengkeram punggung sang Ibu. Tatapannya tertuju pada sang Ayah, Laksamana Fredrick yang kini berdiri di dekat jendela kamar Alesha dan menunjukkan kemurkaannya. "Ayah harus bertanggung jawab atas ini semua, Ayah!" pekik Alesha dengan tegas. "Ini salahmu sendiri! Kau tidak bisa menjaga ucapan dan rahasia! Jadi rasakan saja ulahmu itu!" "Ayah!" Rena berteriak keras. "Kau memang tidak punya hati, mau sampai kapan kau bersembunyi di balik semua ini, hah?!" Alesha beranjak dari atas ranjang, dia berjalan mendekati Fredrick dan menarik lengan Ayahnya. "Aya
Malam ini lautan akan menjadi saksi kematian para pemberontak yang menjijikkan. Oliver berada di barisan depan, dia tidak sabar ingin mencabut nyawa seorang Mikael Sorta. "Kapten Vorgath, di arah jam sembilan, sekitar sepuluh kilometer dari lokasi Kapten, ada sebuah kapal kecil, kami mengamati pergerakan mencurigakan, dia adalah salah satu anggota pemberontak!" suara itu berasal dari radio yang terhubung dengan Oliver. "Jack! Jangan biarkan mereka lepas! Sandera siapapun yang kau temui di sekitar pesisir, hubungkan dengan Kapten Kareem!" seru Oliver memerintah. "Siap Kapt!" Oliver mendekati Sagra, laki-laki berambut perak itu meneropong jauh dan dia terhenyak. "Kapal hantu ada tepat di depan kita! Sekitar lima belas kilometer dari sini! Kapal itu milik Mikael Sorta, dijaga ketat oleh beberapa awak kapal, mereka bersembunyi di sana, dan sangat gelap!" seru Sagra. Kapten Lionil langsung meneriaki beberapa beberapa orang prajurit yang bergerak sebagai pasukan pengepung. Begitu pul
Pagi di bulan Juni, musim panas datang dengan membawa kesejukan yang luar biasa. Secangkir teh hangat tersedia di atas meja bersama dengan scone buah di atas piring kecil. Alesha duduk di sebuah kursi kayu melamun menatap ke arah lautan luas. Sudah berhari-hari lamanya dia tidak tahu kabar tentang apapun. "Nyonya, ada salah satu rekan Tuan Oliver ingin bertemu dengan Nyonya," ujar Bibi Ruitz mendekati Alesha. Lamunan gadis itu pun buyar, dia langsung beranjak dari duduknya. Alesha belum berjalan ke depan, seorang laki-laki dengan stelan seragam perwira berwarna putih berjalan ke arahnya. Laki-laki berambut hitam itu menundukkan kepalanya memberi hormat. "Selamat pagi, Nyonya Vorgath," sapanya. "Pagi... Ada keperluan apa? A-apa kau datang membawa kabar tentang suamiku?" tanya Alesha menatap laki-laki di depannya ini. Aghis tersenyum dan mengangguk. "Benar Nyonya. Semalam Kapten Vorgath memenangkan pertempurannya, beliau mengirimkan pesan pada kami di pangkalan, bahwa beliau aka
Sesampainya di pelabuhan, Oliver kembali ke pangkalan bersama beberapa rekannya. Masih ada beberapa hal yang harus dia urus, dan mengenai beberapa laporan penting yang akan dia bahas. Oliver sangat tidak sabar ingin segera pulang dan bertemu dengan Alesha. "Kapten Vorgath, kau langsung pulang?" tanya Kapten Lionil yang kini muncul membawa ransel di punggungnya. "Tidak. Aku masih ada urusan di luar, kalau kau mau ke rumahku, datang saja nanti." Oliver menepuk pundak sang rekan. "Oh baiklah," jawab Lionil mengangguk. "Kau sudah bertemu Laksamana Fredrick?" "Dia tidak ada di sini, mungkin nanti aku akan ke kediamannya." Lionil mengangguk, dia menepuk pundak Oliver pelan. "Baik Kapt, sampai nanti!" Oliver melangkah keluar dari dalam tempat itu. Dia mengemudikan sebuah mobil berwarna hitam miliknya yang berada di sana sejak kapan hari. Sepanjang perjalanan, Oliver memikirkan apa saja yang ingin ia belikan untuk Alesha. "Apa saja yang harus aku belikan untuk mereka?" gumam Oliver m
Rasa sakit luar biasa, darah berceceran di mana-mana dan Alesha terduduk di bawah ranjang. Dia mengerang kesakitan seorang diri. Gadis itu merasa kali ini dia tidak akan selamat. Keringat membasahi tubuhnya dan dorongan kuat dari perutnya membuat Alesha menangis kesakitan. "Aakkhhh... Tolong, sakit?" Alesha mencengkeram erat sebuah selimut di atas ranjang dengan kepala mendongak dan mata berair. Napasnya naik turun, gaun biru muda yang ia pakai sudah tak berwarna lagi. Alesha seperti akan melahirkan di sana. "Oliver," lirih Alesha memejamkan matanya lagi dan mengerang berkali-kali. "Aarrgghh, sakit sekali. Ibu," rintihnya tak tahan. Sementara di luar, Bibi Ruitz baru saja membuat sup ayam seperti yang Alesha inginkan. Wanita setengah baya itu melangkah ke lantai dua. Bibi Ruitz mendekati pintu kamar Alesha, namun langkahnya terhenti di depan pintu begitu ia mendengarkan suara erangan-erangan dan rintihan tangis di dalam. "Aarrgghh... Ya Tuhan, sakit!" rintih suara itu, suara A
Oliver menamani Alesha yang terlelap dengan pulas. Bahkan usikan jemari Oliver di wajahnya tidak mengganggu tidurnya sama sekali. "Dia benar-benar sedang tertidur, kan?" Oliver bertanya pada seorang Dokter Teodora yang kini berdiri menjaga Alesha. "Benar Kapten, sejak sore tadi tenaga Nyonya banyak terkuras. Saya pun bersyukur Nyonya Alesha bisa sekuat ini." Oliver menggenggam telapak tangan Alesha dan mengecup punggung tangan kecil istrinya, diletakkan di pipi dan menatapi wajah damai dalam tidur. "Apa yang membuat bayi itu lahir sebelum waktunya, Teodora?" tanya Oliver lagi. "Bayinya tidak sehat, Nyonya terlalu banyak tekanan, dan beberapa hari ini nama kalian berdua cukup keruh di luar, berita simpang siur mengatakan kalau bayi itu, bukan anak Kapten Vorgath," jelas Dokter Teodora menceritakan yang sesungguhnya. Tawa sumbang lirih terdengar dari bibir Oliver. "Mereka semua memang brengsek," ujar Oliver. Tak ada jawaban apapun dari Dokter Teodora. Sampai akhirnya Alesha terb