Tarik napas ya, guys. Next scene agak ... ehem. Anak di bawah umur gak boleh baca!
“Hnngh!” Di bawah remang lampu, lenguhan dan desahan bisa terdengar bergema dalam kamar tidur mewah itu. Sosok seorang pria yang tengah mengungkung seorang wanita bisa terlihat. “Jayden!” panggil Valency dengan mata berkaca-kaca. Tangannya berada di rambut pria tersebut, sesekali agak mencengkeramnya karena kaget dengan tiap tindakan yang pria itu lakukan pada tubuhnya. “H-hentikan …,” pintanya. Namun, ucapan itu tidak dihiraukan. Dengan ciuman hangat yang menuruni lehernya, Valency mendesis tajam. Dia merasakan ciuman Jayden bermain di tubuhnya, menyentuh beberapa titik sensitif yang memaksanya melenguh rendah. “Berhenti?” ulang pria itu sembari mengangkat pandangan dan menatap Valency dengan sorot mata terbakar gairah. “Aku tidak mau.” Jayden mendaratkan sebuah ciuman di bibir Valency, membuat gadis itu hanya bisa menggeliat resah saat tali pakaian tidurnya dengan mudah ditarik lepas oleh pria tersebut. Hanya dalam hitungan detik, tubuh Valency telah berakhir polos. Berad
Terbangun keesokan paginya, Valency membuka dan mengerjapkan matanya beberapa kali. “Selamat pagi,” sapa sebuah suara bariton yang menenangkan. Pandangan Valency pun terangkat, melihat wajah tampan Jayden sedang menatap lembut dirinya entah sejak kapan. Tangan Jayden memeluk pinggangnya posesif, seakan memastikan tubuh Valency tetap diselimuti kehangatannya. Perlahan, sudut bibir Valency pun tertarik membentuk senyuman. “Selamat pagi,” balasnya dengan manis, membuat Jayden menghadiahkan sebuah kecupan kecil di keningnya. Jayden bangkit dari ranjang dan meraih segelas susu hangat yang sejak tadi berada di atas nakas. “Sarapan?” tanyanya, memperlakukan sang istri dengan sangat lembut dan penuh perhatian. Valency mendudukkan diri, lalu dia pun langsung menerima gelas susu tersebut sebelum meneguknya sedikit. Perutnya memang terasa lapar. Selesai meneguk susu tersebut, hidung Valency menangkap aroma wangi yang familier. Matanya pun beralih pada nakas yang di atasnya ada sebuah nam
“Pastikan agar jahitannya tidak terkena air dulu sebelum benar-benar kering.”Dokter baru saja selesai mengobati luka di kepala Jayden, menatap Valency dan May untuk memastikan bahwa luka tersebut mendapat perawatan yang sesuai.Sengaja mereka memanggil dokter keluarga yang datang kemarin agar tak menimbulkan kehebohan jika tiba-tiba saja Jayden diketahui masuk rumah sakit oleh media. Pasti akan menimbulkan banyak tanda tanya. “Terima kasih, Dok,” ucap Valency disertai senyum kecil yang ramah.“Mari saya antar Anda keluar.” May mengirim dokter tersebut dengan sopan keluar dari kamar majikannya, membiarkan Valency dan Jayden tinggal berdua di dalam. Valency mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang, menatap wajah Jayden yang tengah tertidur efek dari anestesi yang disuntikkan padanya tadi. Gadis itu pun tersenyum kecut. Matanya enggan beralih sejenak pun dari wajah Jayden, memastikan bahwa suaminya hanya sedang tertidur. “Kamu membuatku gila, Jay,” gumam Valency. Bukan hanya ungkapan b
Usai mengatakan itu, May langsung membungkuk ketakutan dan meminta maaf berkali-kali pada Valency. Tentunya, Valency mengatakan dia tidak marah. Memang benar, Valency tidak marah pada May, melainkan pada Rosa yang sama sekali tidak tahu batasan dalam memanjakan cucunya! Teganya wanita itu berkata begitu keji kepada Jayden saat menyadari kenyataan bahwa Felix sebenarnya memang bersalah!! Tidak heran bukan hanya Felix, tapi Angela juga sama tidak tahu aturan! “Lalu, apa balasan Jayden?” tanya Valency lagi setelah menenangkan diri. “Tentu saja Tuan langsung marah.” Di saat ini, May kembali tampak kesulitan saat menjelaskan, “Tuan Jayden mengatakan untuk tidak menyamakannya dengan Tuan Besar yang tidur dengan sembarang pelacur.” Wanita itu memejamkan mata erat. “Karena ucapan itu, Nyonya Rosa marah besar dan langsung melempar guci terdekat pada Tuan.” Kedua mata Valency membola. Tuan Besar? Bukankah itu merujuk pada ayahnya Jayden? Apa maksud Jayden dengan berkata ayahnya itu tid
“Kenapa?” Pertanyaan itu membuat Jayden yang tertunduk menatap Valency. Mata wanita itu tidak mencemooh, maupun menghakiminya. Sebaliknya, istri manisnya itu tampak sedang bersimpati dan sedikit marah. “Kenapa kamu harus mengakuinya sebagai putramu dan merusak reputasimu sendiri?” tanya Valency dengan mata berkaca-kaca. Jayden melihat tangan Valency yang mengepal meremas ujung bajunya sendiri. Pria tersebut pun mengulurkan tangannya, meraih tangan mungil itu dan menggenggamnya. Kemudian, dengan satu tangannya yang lain, Jayden mengusap wajah Valency lembut. “Karena aku tidak bisa membiarkan pria tidak bertanggung jawab itu menyakiti hati ibuku,” jawab Jayden dengan suara rendah. Valency terperangah. Karena Rosa? Jadi, pun Jayden begitu dingin dan selalu membantah sang ibu, tapi sebenarnya pria itu begitu menyayangi wanita itu! Melihat Valency lebih tenang, Jayden menurunkan tangannya dan lanjut berkata, “Sesuai dugaanmu, Felix memang anak ayahku.” Dia mengingat-ingat kejadian
Keesokan paginya, di kediaman keluarga besar Spencer.PLAK!“Nenek!”“Mama!” Suara tamparan bergema diiringi teriakan nyaring Angela dan juga Felix. Tampak sosok Albert yang baru saja hadir di ruang tamu utama, tiba-tiba saja mendatangi Rosa dan langsung menamparnya. Hal tersebut tentu saja membuat Felix dan Angela yang melihatnya dibuat terkejut.Tak pernah mereka melihat Albert bermain tangan pada Rosa sebelum ini. Rosa sendiri berdiri mematung, memegang pipinya yang masih terasa perih, menatap tak percaya pada apa yang baru saja suaminya lakukan. “Papa! Kenapa Papa begitu tega menampar Mama?!” ucap Angela melancarkan protesnya. Gadis itu langsung berlari menghampiri ibunya dan memeluk tubuh Rosa erat. Matanya menatap tak percaya sekaligus marah pada Albert. “Tega?” desis Albert sinis. “Setelah apa yang dilakukan oleh ibumu, menamparnya saja masih terlalu baik!” Hal itu tentu saja membuat Felix maupun Angela dibuat bingung tentang apa maksud perkataan Albert.“Memangnya sebesa
Mendengar ancaman Albert, Rosa merasa begitu kesal. Dia tidak menyangka suaminya yang selama ini bersikap diam dan jarang marah itu, bisa mendadak begitu murka. ‘Hanya luka kecil saja, apa perlu sampai semarah itu!?’ batin wanita itu, masih terus membandingkan kondisi Jayden sekarang dengan ketika dulu Richard dan Angela terluka saat masih kecil. Selepas kepergian Albert, Felix langsung bertanya pada sang nenek. “Nenek, apa Nenek baik-baik saja?” Wajahnya tampak begitu khawatir. Melihat itu, Rosa langsung tersenyum lembut. “Nenek tidak apa-apa.” Dalam hati, dia membatin, ‘Lihat, dibandingkan anak kurang ajar itu, bukankah cucuku ini jauh lebih perhatian dan pantas untuk disayang?’ Angela yang masih agak kebingungan dengan apa yang terjadi pun bertanya, “Ma, apa benar Mama melemparkan guci kepada Kak Jayden?” Dia memasang wajah khawatir. “Hanya karena Valency?” Pertanyaan itu membuat Rosa menggelengkan kepala dan membalas, “Bukan.” Wanita itu mengingat ucapan Jayden terkait Albert
Hai Teman-Teman Pembaca,Terima kasih sebanyak-banyaknya atas kesabaran dan dukungan kalian yang luar biasa dalam membaca novelku. Aku benar-benar beruntung punya pembaca seperti kalian. Maaf banget ya, belakangan ini aku gak bisa update cerita karena ada masalah dengan kesehatan dan hari ini berakhir harus masuk rumah sakit. Tapi baca komentar dan semangat dari kalian bikin aku semangat juga untuk sembuh dan kembali nulis. Jujur, kalian itu energi positif buatku!Semoga kalian bisa nerima permintaan maafku ini, ya. Terimakasih banget lagi buat support dan doanya. Aku bakal kasih kabar kalau udah bisa lanjutin cerita. Makasih, teman-teman!Salam hangat!Love from Author!