Kita bersantai dulu ya, guys. Menjelaskan segala hal yang masih bolong untuk mengakhiri season 1, sekalian transisi ke season 2~ Semoga lebih banyak sweet-sweetnya Jayden dan Valencyyy, pengantin baru kok dari kemarin mikirin siasat muluu ><
Saat Valency menoleh, dia dikagetkan dengan jarak wajah Jayden yang begitu dekat. Tampak pria itu sedang menaruh dagunya di pundak Valency. Hal tersebut membuat bibir mereka hampir bersentuhan.Alhasil, Valency pun agak memekik.Melihat reaksi itu, Jayden hanya tersenyum dan mengecup singkat bahu Valency yang terbuka, membuat tubuh gadis itu agak bergetar, merasa area yang Jayden cium terasa panas.“Sepertinya, istriku senang melamunkan hal lain dibandingkan memandang diriku,” ujar Jayden dengan sedikit memiringkan kepalanya.Jantung Valency terasa ingin meledak. Bagaimana bisa pria ini terlihat tampan dan menggemaskan di waktu yang bersamaan!!!‘Tenang, Valency! Tenang!’ peringat Valency kepada dirinya sendiri. Kemudian, setelah tenang, Valency tersenyum tipis. “Bukan apa-apa. Hanya sedikit melamun karena bosan.”Kening Jayden mengernyit, matanya menatap lekat kedua mata Valency sambil terdiam, mencoba menggali kebenaran dari sepasang mata itu. Namun, karena tidak bisa mendapatkan a
Uhuk, uhuk! Valency langsung terbatuk-batuk begitu mendengar ucapan Jayden yang sangat frontal. Sementara itu, Jayden langsung menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk habis oleh Valency. Saat batuknya selesai diredakan, wajah Valency berubah sangat merah! “J-Jay! B-bagaimana kamu bisa bercanda seperti itu!?” tegur Valency, membuat Jayden hanya tersenyum. “Tapi, aku tidak bercanda.” Wajah Valency menjadi semakin merah. Dia tidak percaya pria tersebut bisa bersikap begitu santai membicarakan hal seperti itu! “M-makan! J-jangan bicarakan yang tidak-tidak!” ucap Valency pada akhirnya sembari langsung mengunyah steiknya dengan kepala tertunduk dan usaha untuk menahan malu. Keduanya pun melanjutkan makan dalam diam, tapi pikiran Valency sangat berisik. Karena ucapan Jayden, gadis itu jadi terus memikirkan kenyataan bahwa dirinya dan Jayden memang tidak pernah melakukan hal itu lagi setelah malam pertama mereka. Dan, alasan utamanya adalah masalah hak cipta, Felix dan
“Hnngh!” Di bawah remang lampu, lenguhan dan desahan bisa terdengar bergema dalam kamar tidur mewah itu. Sosok seorang pria yang tengah mengungkung seorang wanita bisa terlihat. “Jayden!” panggil Valency dengan mata berkaca-kaca. Tangannya berada di rambut pria tersebut, sesekali agak mencengkeramnya karena kaget dengan tiap tindakan yang pria itu lakukan pada tubuhnya. “H-hentikan …,” pintanya. Namun, ucapan itu tidak dihiraukan. Dengan ciuman hangat yang menuruni lehernya, Valency mendesis tajam. Dia merasakan ciuman Jayden bermain di tubuhnya, menyentuh beberapa titik sensitif yang memaksanya melenguh rendah. “Berhenti?” ulang pria itu sembari mengangkat pandangan dan menatap Valency dengan sorot mata terbakar gairah. “Aku tidak mau.” Jayden mendaratkan sebuah ciuman di bibir Valency, membuat gadis itu hanya bisa menggeliat resah saat tali pakaian tidurnya dengan mudah ditarik lepas oleh pria tersebut. Hanya dalam hitungan detik, tubuh Valency telah berakhir polos. Berad
Terbangun keesokan paginya, Valency membuka dan mengerjapkan matanya beberapa kali. “Selamat pagi,” sapa sebuah suara bariton yang menenangkan. Pandangan Valency pun terangkat, melihat wajah tampan Jayden sedang menatap lembut dirinya entah sejak kapan. Tangan Jayden memeluk pinggangnya posesif, seakan memastikan tubuh Valency tetap diselimuti kehangatannya. Perlahan, sudut bibir Valency pun tertarik membentuk senyuman. “Selamat pagi,” balasnya dengan manis, membuat Jayden menghadiahkan sebuah kecupan kecil di keningnya. Jayden bangkit dari ranjang dan meraih segelas susu hangat yang sejak tadi berada di atas nakas. “Sarapan?” tanyanya, memperlakukan sang istri dengan sangat lembut dan penuh perhatian. Valency mendudukkan diri, lalu dia pun langsung menerima gelas susu tersebut sebelum meneguknya sedikit. Perutnya memang terasa lapar. Selesai meneguk susu tersebut, hidung Valency menangkap aroma wangi yang familier. Matanya pun beralih pada nakas yang di atasnya ada sebuah nam
“Pastikan agar jahitannya tidak terkena air dulu sebelum benar-benar kering.”Dokter baru saja selesai mengobati luka di kepala Jayden, menatap Valency dan May untuk memastikan bahwa luka tersebut mendapat perawatan yang sesuai.Sengaja mereka memanggil dokter keluarga yang datang kemarin agar tak menimbulkan kehebohan jika tiba-tiba saja Jayden diketahui masuk rumah sakit oleh media. Pasti akan menimbulkan banyak tanda tanya. “Terima kasih, Dok,” ucap Valency disertai senyum kecil yang ramah.“Mari saya antar Anda keluar.” May mengirim dokter tersebut dengan sopan keluar dari kamar majikannya, membiarkan Valency dan Jayden tinggal berdua di dalam. Valency mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang, menatap wajah Jayden yang tengah tertidur efek dari anestesi yang disuntikkan padanya tadi. Gadis itu pun tersenyum kecut. Matanya enggan beralih sejenak pun dari wajah Jayden, memastikan bahwa suaminya hanya sedang tertidur. “Kamu membuatku gila, Jay,” gumam Valency. Bukan hanya ungkapan b
Usai mengatakan itu, May langsung membungkuk ketakutan dan meminta maaf berkali-kali pada Valency. Tentunya, Valency mengatakan dia tidak marah. Memang benar, Valency tidak marah pada May, melainkan pada Rosa yang sama sekali tidak tahu batasan dalam memanjakan cucunya! Teganya wanita itu berkata begitu keji kepada Jayden saat menyadari kenyataan bahwa Felix sebenarnya memang bersalah!! Tidak heran bukan hanya Felix, tapi Angela juga sama tidak tahu aturan! “Lalu, apa balasan Jayden?” tanya Valency lagi setelah menenangkan diri. “Tentu saja Tuan langsung marah.” Di saat ini, May kembali tampak kesulitan saat menjelaskan, “Tuan Jayden mengatakan untuk tidak menyamakannya dengan Tuan Besar yang tidur dengan sembarang pelacur.” Wanita itu memejamkan mata erat. “Karena ucapan itu, Nyonya Rosa marah besar dan langsung melempar guci terdekat pada Tuan.” Kedua mata Valency membola. Tuan Besar? Bukankah itu merujuk pada ayahnya Jayden? Apa maksud Jayden dengan berkata ayahnya itu tid
“Kenapa?” Pertanyaan itu membuat Jayden yang tertunduk menatap Valency. Mata wanita itu tidak mencemooh, maupun menghakiminya. Sebaliknya, istri manisnya itu tampak sedang bersimpati dan sedikit marah. “Kenapa kamu harus mengakuinya sebagai putramu dan merusak reputasimu sendiri?” tanya Valency dengan mata berkaca-kaca. Jayden melihat tangan Valency yang mengepal meremas ujung bajunya sendiri. Pria tersebut pun mengulurkan tangannya, meraih tangan mungil itu dan menggenggamnya. Kemudian, dengan satu tangannya yang lain, Jayden mengusap wajah Valency lembut. “Karena aku tidak bisa membiarkan pria tidak bertanggung jawab itu menyakiti hati ibuku,” jawab Jayden dengan suara rendah. Valency terperangah. Karena Rosa? Jadi, pun Jayden begitu dingin dan selalu membantah sang ibu, tapi sebenarnya pria itu begitu menyayangi wanita itu! Melihat Valency lebih tenang, Jayden menurunkan tangannya dan lanjut berkata, “Sesuai dugaanmu, Felix memang anak ayahku.” Dia mengingat-ingat kejadian
Keesokan paginya, di kediaman keluarga besar Spencer.PLAK!“Nenek!”“Mama!” Suara tamparan bergema diiringi teriakan nyaring Angela dan juga Felix. Tampak sosok Albert yang baru saja hadir di ruang tamu utama, tiba-tiba saja mendatangi Rosa dan langsung menamparnya. Hal tersebut tentu saja membuat Felix dan Angela yang melihatnya dibuat terkejut.Tak pernah mereka melihat Albert bermain tangan pada Rosa sebelum ini. Rosa sendiri berdiri mematung, memegang pipinya yang masih terasa perih, menatap tak percaya pada apa yang baru saja suaminya lakukan. “Papa! Kenapa Papa begitu tega menampar Mama?!” ucap Angela melancarkan protesnya. Gadis itu langsung berlari menghampiri ibunya dan memeluk tubuh Rosa erat. Matanya menatap tak percaya sekaligus marah pada Albert. “Tega?” desis Albert sinis. “Setelah apa yang dilakukan oleh ibumu, menamparnya saja masih terlalu baik!” Hal itu tentu saja membuat Felix maupun Angela dibuat bingung tentang apa maksud perkataan Albert.“Memangnya sebesa
Beberapa waktu belakangan, Verena tidak melihat Eric Gray di mana pun.Dampaknya cukup besar. Pikiran Verena jadi lebih tenang dan jernih. Tidak sedikit-sedikit memikirkan 1001 cara untuk menolak pria bermata biru itu. Ia jadi lebih fokus pada masalah pekerjaan dan perusahaan, serta pengembangan relasi bisnis Miller Group dengan rekan lain.Makin menyenangkan lagi karena sang ayah tidak lagi memerintahkan untuk datang ke mansion sering-sering. Mungkin pria itu menyadari bagaimana was-wasnya suasana mansion jika Verena datang, akibat konflik terakhir dengan Kimberly.Pemikiran bahwa sang ayah memihak adik tirinya membuat Verena memblokir kemungkinan-kemungkinan yang ada. Dia di sini bukan untuk mencari cinta.Jadi ia berusaha tidak peduli.Lalu pada misinya.Verena sejauh ini mampu membuktikan bahwa dirinya, sekalipun diprotes habis-habisan saat diperkenalkan sebagai perpanjangan tangan Aster Miller, memang pantas berada di sana sebagai bagian dari Miller Group.Wanita itu tidak membia
"Kecelakaan itu. Jangan bilang ... kalau ada hubungannya dengan adikmu?"Poin pertama. Lalu Verena menggali lagi ingatannya yang tidak terlalu jauh, tentang ucapan Keith sebelum ini.Adik tirinya itu kesal karena Verena tidak bisa dihubungi. Namun, kalimatnya menunjukkan bahwa pertengkaran dengan Kimberly karena provokasi Verena adalah sebuah kelanjutan dari kecelakaan beberapa waktu yang lalu.Ya. Verena tidak salah.Keith yang tidak menjawab pun sudah merupakan jawaban yang jelas untuk Verena."Begitu." Verena mengangguk. Sampai pada sebuah kesimpulan.Pantas saja. Mencari tersangka kasus tabrak lari seharusnya tidak sulit, apalagi untuk keluarga berkuasa seperti Miller. Namun, itu jika memang pelakunya orang biasa yang kedudukannya di bawah keluarga Miller.Apabila kedudukan pelaku setara dengan keluarga Miller atau lebih tinggi, hasilnya hanya akan ada dua; pihak Verena akan kesulitan mencari tersangka atau ia bisa menemukannya, tapi tidak bisa melakukan apa pun.Apakah itu berart
Ketika Verena sampai di rumah yang ia huni hanya dengan seorang asisten rumah tangga, rupanya Keith tengah menunggu di ruang tamu."Dari mana saja?" Pria itu bertanya. Keith kemudian berdiri dan menghampiri Verena.Ekspresi pria itu tampak kesal dan terusik, yang Verena duga karena Keith sudah menunggu lama di sana."Rumah Ashton. Kenapa?" tanya Verena kembali. "Kamu kapan datang?"Keith berdecak kesal. Bibirnya cemberut dengan sangat kentara, sama sekali tidak menyembunyikan perasaannya. "Ponselmu mati?" Adik tiri Verena itu kembali bertanya.Mendengar itu, Verena mengeluarkan ponselnya yang memang sudah tidak bisa dinyalakan."Ah, iya. Kamu menghubungiku?" Verena melangkah ke tengah ruang tamu. "Ada apa? Soal pekerjaan?"Tidak ada jawaban dari Keith sampai-sampai Verena harus kembali fokus pada sang adik itu."Kalau mau merajuk, jangan sekarang, Keith," ucap Verena.Selain dengan Ashton, hubungan Verena dan Keith bisa dibilang tidak buruk. Apalagi memang kadang mereka bertemu dan s
"Verena. Jawab aku. Apakah kamu tertarik pada pria itu?"Verena tertegun. Selain karena pertanyaan Ashton, ekspresi kakak sepupunya yang tampak serius itu membuatnya bertanya-tanya.Kenapa pria itu bertanya demikian?"Jangan mengada-ada, Ash." Verena akhirnya merespons, tanpa menjawab pertanyaan Ashton."Siapa yang mengada-ada?" sahut Ashton. "Aku hanya bertanya.""Kenapa bertanya seperti itu? Aku dan dia tidak ada apa-apa.""Bukan itu yang kutanyakan, Ve. Tapi apakah kamu tertarik pada Eric Gray itu."Verena cemberut. Kepalanya mendadak sakit sebelah.Ia baru saja lolos dari Eric yang suka mendebat dan membuatnya sakit kepala. Verena tidak mau interaksinya dengan Ashton juga menyusahkan dirinya seperti ini.Tapi merajuk hanya akan membuatnya seperti anak kecil. Sekalipun hubungan Verena dan Ashton sekarang sudah membaik, ia tidak mau dianggap remeh oleh kakak sepupunya itu.Apalagi dimanjakan.Karenanya, Verena akhirnya berkata, "Dibandingkan tertarik, aku lebih ke menjaga hubungan b
"Alamat ini...." Eric mengernyit membaca alamat itu. Selama beberapa saat ia terdiam, sebelum kemudian bertanya, "Rumahmu?" Pria itu mengenali alamat itu sebagai kawasan perumahan elit tidak jauh dari rumahnya. "Apakah itu penting?" Verena justru balik bertanya. Eric berdecak pelan. "Kenapa kamu sulit sekali langsung menjawab pertanyaanku, hm?" katanya. "Apakah kamu suka sekali berdebat denganku?" Verena memutar bola matanya. "Itu kediaman asistenku." Wanita itu akhirnya menjawab. "Oh. Pria itu?" "Hm." "Ada urusan apa?" "Lebih baik kamu mulai menjalankan mobilnya sebelum kutendang keluar, Eric Gray." Nada suara Verena sudah mulai terdengar kesal, tidak lagi datar. Dan itu membuat Eric terkekeh. Memancing reaksi wanita ini selalu menyenangkan. Dengan sigap, ia menjalankan mobilnya sesuai rute yang disarankan oleh GPS. Obrolan di dalam mobil tidak sepenuhnya berlangsung dua arah karena Verena selalu menjawab dengan singkat, seperti memang sengaja memutus pemb
"Kenapa kamu selalu memaksa?""Karena kamu selalu kabur, Verena.""Itu berarti aku tidak nyaman, Eric Gray. Apakah untuk hal yang seperti ini saja, aku harus mengatakannya keras-keras?"Pada akhirnya, Verena mengatakan itu karena tidak punya alasan lain untuk menolak.Eric terdiam menatapnya. Sorot mata biru itu entah kenapa mengingatkan Verena pada pagi ketika pria itu melamarnya mendadak.Verena jadi merasa seperti ia telah melukai seekor anak anjing lucu yang tidak bersalah."Maksudku--"Akan tetapi, sebelum Verena meralat atau melembutkan maksud ucapannya, sorot mata terluka itu kembali berubah tajam."Bukankah seharusnya kamu tahu, bahwa satu kali penolakan itu membuatku berusaha lebih keras untuk mendapatkan apa yang kumau?" Eric berkata. "Masa aku harus mengatakan ini keras-keras, Nona Miller?"Verena mendengus. "Ya sudah, usaha saja besok. Hari ini cukup, biarkan aku sendiri.""Oh?" Eric tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya. Seperti akan menyerah."Lalu bagaimana dengan pe
"Mau ke mana kamu!? Kembali ke sini, Verena! Hadapi aku!"Verena berpikir bahwa itu adalah ocehan biasa atau sekadar gertakan kosong dari adik tirinya. Menganggap bahwa Kimberly akhirnya gila karena dibakar cemburu buta.Ia sama sekali tidak menyangka kalau setelahnya, Eric Gray akan bergerak cepat menarik tubuh Verena dan membawanya beberapa jengkal lebih jauh sebelum kemudian terdengar suara pecahan kaca beradu dengan lantai, tak jauh darinya."Astaga, Kimberly!""Eric! Kamu baik-baik saja!?"Teriakan dari dua wanita paruh baya di sana terdengar hampir bersamaaan.Sementara itu, pandangan Verena terjatuh pada pecahan kaca tak jauh darinya. Ada beberapa yang kemudian terlempar dan menggores sisi kakinya yang tidak tertutup sepatu.Jika saja Eric tidak menolongnya, lemparan gelas itu pasti mengenai kepala Verena.Ah, iya, Eric--"Perempuan gila," bisik Eric, yang bisa didengar Verena dengan jelas.Nyaris saja ia berpikir kalau sebutan itu tertuju padanya. Apalagi karena kedua tangan E
"Apakah itu mengubah kenyataan bahwa wanita itu adalah putri Tuan Aster Miller?"Semuanya terdiam dengan ucapan Eric Gray."Eric." Beatrice Gray menghela napas. Hatinya merasa dongkol karena ini jauh dari rencananya. Ia tidak ingin keponakan tampannya yang menjanjikan ini harus terjebak dengan putri tiri sahabatnya yang tidak ia sukai. "Jangan mengada-ada. Kita di sini--""Untuk mempererat hubungan dua keluarga, bukan, Bibi? Aku paham." Eric mengangguk. itu kemudian menoleh pada Verena."Duduklah. Ini ada kaitannya denganmu," ucap Eric setelahnya. Menyadarkan Verena.Wanita itu baru saja mencatat dalam kepalanya kalau kegilaan Eric Gray sudah naik satu tingkat."Aku ada urusan lain." Kali ini, ucapan Verena tidak terdengar formal seperti tadi. "Silakan lanjutkan makan malamnya. Aku permisi.""Kamu yakin?" Eric kembali berkata. "Apa pun keputusan yang kuambil, kamu setuju?"Verena tertawa kecil. "Eric," balasnya. "Buka matamu. Di sini, aku sependapat dengan semua orang kecuali kamu."
"Makan malamlah denganku sebelum kamu pulang."Kalimat dari sang ayah itu lebih terdengar seperti titah bagi Verena, alih-alih ajakan atau ungkapan keinginan.Meski begitu, Verena tidak ragu untuk menolak."Saya lebih nyaman makan di rumah.""Ini rumahmu juga."Verena diam sejenak, mengatur kata-kata yang ingin langsung keluar dari bibirnya agar terdengar lebih sopan.Tapi gagal.Pada akhirnya, wanita itu tetap berkata, "Saya tidak merasa demikian."Untungnya, Aster Miller tidak lagi melarang ataupun meminta aneh-aneh pada Verena selain makan malam. Pria itu hanya menyampaikan bahwa kondisi Ashton sudah membaik, jika Verena belum tahu. Dan pria itu sudah bisa kembali bekerja minggu depan.Setelah itu, sang ayah melanjutkan jika mereka harus makan bertiga saat Ashton sudah kembali bertugas. Kali ini, Aster dengan jelas menggunakan alasan pekerjaan.Sepertinya keinginan Aster Miller untuk membuat Verena makan dengannya sangat kuat.Jika saja Verena tahu, mungkin Verena akan menyanggupin