Tangan Cecilia dingin, dan tubuhnya pun bergetar. Dia kira, Valency tidak akan berani mengungkit masalah tersebut di depan semua orang! Dia kira gadis itu takut dengan kuasa keluarga Owen dan memutuskan untuk fokus pada memenangkan hak cipta desain saja!
Tapi … ternyata dia salah!?
Melihat hal itu, Valency dan yang lainnya sontak menatap dua sejoli tersebut.
Dengan sebuah senyuman penuh arti, Valency berkata, “Jangan begitu grogi, Nona Owen.” Panggilan yang dia gunakan tidak lagi intim, melainkan sangat asing. “Kamu tidak diwajibkan untuk menjawab sekarang. Jawablah di kantor polisi nanti.”
Mendengar sindiran Valency, Cecilia melemparkan pandangan mematikan pada gadis tersebut. “Jaga ucapanmu, Lency! Aku tidak pernah melakukan a
Masuk ke dalam mobil, Valency menghela napas sembari menyandarkan punggungnya di kursi mobil dengan perasaan lega yang luar biasa. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman tipis. Selesai sudah perjalanannya membalaskan dendam pada kedua orang yang mengkhianatinya. Dan yang paling penting, dia telah berhasil mempertahankan hak cipta karya ibunya.Selagi dia terdiam, Valency tiba-tiba merasakan ada sentuhan lembut di kepala, membuatnya sontak menoleh dan menatap ke arah pemilik tangan. “Jay …,” panggilnya tipis saat sepasang mata cokelat manisnya bertemu dengan sepasang manik hitam Jayden yang menenangkan. “Kamu sudah berjuang,” ucap Jayden lembut, mengusap pelan wajah mungil Valency menggunakan ibu jarinya.Sentuhan Jayden membuat Valency menutup mata, menikmati kehangatan yang diberikan. Gadis itu juga menggenggam tangan Jayden sambil tersenyum. “Semua ini berkat bantuanmu,” balasnya tenang. Namun, seiring Valency membuka mata, perlahan-lahan ekspresi bahagia di waj
Jayden terbengong di tempat. Dia tidak pernah menyangka akan mendengar kalimat seperti itu terlontar dari bibir Valency. Perlahan, wajah pria itu sedikit merona. Alhasil, Valency pun mengerjapkan mata. “Kau demam?” tanya gadis itu seraya menempelkan dahinya di dahi Jayden. “Wajahmu agak memerah ….” Sontak, Jayden langsung menjauhkan wajah dan tubuhnya dari Valency selagi menjawab, “Tidak.” Dia menundukkan wajah dan menutup setengahnya dengan tangan. “Aku baik-baik saja.” Valency hanya tampak kebingungan, tak sedikit pun menyadari tindakannya hampir membuat jantung Jayden meledak karena terkejut. Di sisi lain, sopir yang berada di kursi depan, yang mengintip dari spion tengah hanya bisa menghela napas. ‘Nyonya … sangat berbahaya tanpa dia ketahui ….’ Setelah diam beberapa saat dan telah kembali tenang, Jayden kembali berucap, “Jadi, kenapa kau tidak marah?” Dia menatap Valency. “Kau belum menjawabku.” Valency yang baru saja membalas pesan singkat Jennita, langsung meletakkan pon
Dalam waktu singkat nama Valency telah menjadi pembahasan panas di berbagai media sosial. Ribuan berita yang meliput hasil persidangan antara Felix Smith, Cecilia Owen, dan Valency Lambert memenuhi portal berita dan ramai dibicarakan oleh orang-orang. Ada beberapa topik utama yang kebanyakan dibicarakan oleh masyarakat, yaitu mengenai identitas asli Valency, kebohongan yang Felix lakukan, dan percobaan pembunuhan yang dilakukan Cecilia. Hal ini berefek pada banyak hal. Salah satunya yang paling besar adalah nama baik Cecilia dan keluarga Owen. Banyak orang memaki Cecilia karena dianggap bermuka dua dengan wajah manisnya selama ini. Namun, anehnya … saham keluarga Owen tetap stabil seolah tak terjadi apa-apa. Valency yang tengah duduk di kursi mini bar dengan ponsel di tangan mengernyitkan kening, kemudian mendengus. Tatapannya menelisik penasaran pada Jayden yang sedang berada di balik konter dapur. “Jadi ... keluarga Owen bersedia menyerahkan Cecilia selama kamu dapat membantu
Saat Valency menoleh, dia dikagetkan dengan jarak wajah Jayden yang begitu dekat. Tampak pria itu sedang menaruh dagunya di pundak Valency. Hal tersebut membuat bibir mereka hampir bersentuhan.Alhasil, Valency pun agak memekik.Melihat reaksi itu, Jayden hanya tersenyum dan mengecup singkat bahu Valency yang terbuka, membuat tubuh gadis itu agak bergetar, merasa area yang Jayden cium terasa panas.“Sepertinya, istriku senang melamunkan hal lain dibandingkan memandang diriku,” ujar Jayden dengan sedikit memiringkan kepalanya.Jantung Valency terasa ingin meledak. Bagaimana bisa pria ini terlihat tampan dan menggemaskan di waktu yang bersamaan!!!‘Tenang, Valency! Tenang!’ peringat Valency kepada dirinya sendiri. Kemudian, setelah tenang, Valency tersenyum tipis. “Bukan apa-apa. Hanya sedikit melamun karena bosan.”Kening Jayden mengernyit, matanya menatap lekat kedua mata Valency sambil terdiam, mencoba menggali kebenaran dari sepasang mata itu. Namun, karena tidak bisa mendapatkan a
Uhuk, uhuk! Valency langsung terbatuk-batuk begitu mendengar ucapan Jayden yang sangat frontal. Sementara itu, Jayden langsung menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk habis oleh Valency. Saat batuknya selesai diredakan, wajah Valency berubah sangat merah! “J-Jay! B-bagaimana kamu bisa bercanda seperti itu!?” tegur Valency, membuat Jayden hanya tersenyum. “Tapi, aku tidak bercanda.” Wajah Valency menjadi semakin merah. Dia tidak percaya pria tersebut bisa bersikap begitu santai membicarakan hal seperti itu! “M-makan! J-jangan bicarakan yang tidak-tidak!” ucap Valency pada akhirnya sembari langsung mengunyah steiknya dengan kepala tertunduk dan usaha untuk menahan malu. Keduanya pun melanjutkan makan dalam diam, tapi pikiran Valency sangat berisik. Karena ucapan Jayden, gadis itu jadi terus memikirkan kenyataan bahwa dirinya dan Jayden memang tidak pernah melakukan hal itu lagi setelah malam pertama mereka. Dan, alasan utamanya adalah masalah hak cipta, Felix dan
“Hnngh!” Di bawah remang lampu, lenguhan dan desahan bisa terdengar bergema dalam kamar tidur mewah itu. Sosok seorang pria yang tengah mengungkung seorang wanita bisa terlihat. “Jayden!” panggil Valency dengan mata berkaca-kaca. Tangannya berada di rambut pria tersebut, sesekali agak mencengkeramnya karena kaget dengan tiap tindakan yang pria itu lakukan pada tubuhnya. “H-hentikan …,” pintanya. Namun, ucapan itu tidak dihiraukan. Dengan ciuman hangat yang menuruni lehernya, Valency mendesis tajam. Dia merasakan ciuman Jayden bermain di tubuhnya, menyentuh beberapa titik sensitif yang memaksanya melenguh rendah. “Berhenti?” ulang pria itu sembari mengangkat pandangan dan menatap Valency dengan sorot mata terbakar gairah. “Aku tidak mau.” Jayden mendaratkan sebuah ciuman di bibir Valency, membuat gadis itu hanya bisa menggeliat resah saat tali pakaian tidurnya dengan mudah ditarik lepas oleh pria tersebut. Hanya dalam hitungan detik, tubuh Valency telah berakhir polos. Berad
Terbangun keesokan paginya, Valency membuka dan mengerjapkan matanya beberapa kali. “Selamat pagi,” sapa sebuah suara bariton yang menenangkan. Pandangan Valency pun terangkat, melihat wajah tampan Jayden sedang menatap lembut dirinya entah sejak kapan. Tangan Jayden memeluk pinggangnya posesif, seakan memastikan tubuh Valency tetap diselimuti kehangatannya. Perlahan, sudut bibir Valency pun tertarik membentuk senyuman. “Selamat pagi,” balasnya dengan manis, membuat Jayden menghadiahkan sebuah kecupan kecil di keningnya. Jayden bangkit dari ranjang dan meraih segelas susu hangat yang sejak tadi berada di atas nakas. “Sarapan?” tanyanya, memperlakukan sang istri dengan sangat lembut dan penuh perhatian. Valency mendudukkan diri, lalu dia pun langsung menerima gelas susu tersebut sebelum meneguknya sedikit. Perutnya memang terasa lapar. Selesai meneguk susu tersebut, hidung Valency menangkap aroma wangi yang familier. Matanya pun beralih pada nakas yang di atasnya ada sebuah nam
“Pastikan agar jahitannya tidak terkena air dulu sebelum benar-benar kering.”Dokter baru saja selesai mengobati luka di kepala Jayden, menatap Valency dan May untuk memastikan bahwa luka tersebut mendapat perawatan yang sesuai.Sengaja mereka memanggil dokter keluarga yang datang kemarin agar tak menimbulkan kehebohan jika tiba-tiba saja Jayden diketahui masuk rumah sakit oleh media. Pasti akan menimbulkan banyak tanda tanya. “Terima kasih, Dok,” ucap Valency disertai senyum kecil yang ramah.“Mari saya antar Anda keluar.” May mengirim dokter tersebut dengan sopan keluar dari kamar majikannya, membiarkan Valency dan Jayden tinggal berdua di dalam. Valency mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang, menatap wajah Jayden yang tengah tertidur efek dari anestesi yang disuntikkan padanya tadi. Gadis itu pun tersenyum kecut. Matanya enggan beralih sejenak pun dari wajah Jayden, memastikan bahwa suaminya hanya sedang tertidur. “Kamu membuatku gila, Jay,” gumam Valency. Bukan hanya ungkapan b
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
"Dan aku bilang kamu beruntung karena tinggal di sebelah rumahnya?"Usai mengatakan itu, Samuel kembali memandang Eric dengan tatapan asing. Ekspresi sepupunya itu tampak senang, sekaligus puas. Seakan-akan ia baru mendapatkan momen yang ia harapkan."Tunggu, Ric. Kamu tidak tahu?" tanya Samuel. "Manusia ini. Kamu tidak mendengarkan ceritaku ya!?"Eric mengibaskan tangannya. "Tidak penting."Hal itu membuat Samuel menggerutu. Mengatakan hal-hal seperti ia yang telah membantu Eric dan selalu siap sedia, tapi begini balasan Eric padanya. Eric bahkan tidak memperkenalkan Verena lebih awal padanya, dan sebagainya.Namun, Eric tidak mendengarkan. Ia sibuk menyusun rencana.Karena Verena kembali tidak membalas pesan Eric, entah kenapa. Pria itu jadi tidak bisa mengurusi persoalan mereka yang belum selesai.Kalau Verena ada di sebelah rumah, akan lebih mudah bagi Eric untuk mengurusnya.***Namun, wanita yang Eric cari sedang tidak berada di rumah."Kamu tidak mau pulang?"Pertanyaan Ashton
"Selamat pagi, Nona Lee."Eric Gray memandang Leon, asisten kepercayaannya selama ini, yang tengah melakukan pertemuan dengan Patricia Lee, reporter yang pertama kali memuat berita tentang dirinya dan Verena. Ia ingin menyelidiki apakah Patricia terlibat pihak-pihak lain yang ingin menjatuhkannya, ataukah dia bergerak sendiri.Karena penyelidikan pun menyatakan kalau malam itu Patricia sedang berada di rumah sakit, bukan hotel tempat pesta Eric dilaksanakan.Ditambah lagi, Eric memang sudah dengan mudah menyingkirkan berita-berita yang merugikannya dan Verena. Tapi akan sulit kalau ternyata ada musuh lain yang tidak mereka ketahui.Sejauh ini, dugaannya dan Verena sama; keluarga Miller sendiri. Lebih tepatnya pihak Olivia. Meski ada ketidakcocokan mengenai asumsi tersebut di beberapa tempat."Sekarang kamu tertarik pada ibu tunggal?" Sepupunya, Samuel, menghempaskan dirinya untuk duduk di sebelah Eric dan mengamati pertemuan Leon dengan Patricia. Eric dan Samuel tidak bergabung, mela
Keith baru saja berjalan melewati pintu masuk ketika salah seorang pelayan menghampirinya dan mengatakan bahwa Verena datang berkunjung.Dan sekarang kakaknya itu ada di kamar Kimberly."Untuk apa dia ada di sana?" gumam Keith. Dia bergegas naik ke lantai 2 ketika ja mendengar suara pecahan kaca dari kamar Kimberly.Panik, Keith langsung berlari dan coba membuka pintu kamar.Terkunci. Kimberly nekat membayar orang untuk mencelakai Verena beberapa waktu yang lalu. Meskipun Keith sudah mengancam adik kembarnya itu agar ia tidak melakukannya lagi, Keith tidak yakin Kimberly akan diam saja saat melihat Verena ada di tempat yang sama dengannya.Dengan panik, Keith menggedor pintu kamar adik kembarnya.Tak berapa lama, Verena muncul di balik pintu tersebut dan langsung ditarik keluar oleh Keith."Ve!?" Tidak ada luka. Aman--tunggu. Keith mengernyit melihat tanda merah keunguan di area sekitaran tengkuk Verena. Namun, saat ia berniat memastikan tanda itu, Verena sudah menarik diri.Keith m
"Apakah benar demikian?" Senyum Verena tidak sampai matanya, seolah sedang mengolok lawan bicaranya. "Anak kandung Aster Miller?"Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti di wajah Kimberly, saat Verena mengamati. Bisa jadi gadis itu benar-benar meyakini identitasnya sebagai putri bungsu keluarga Miller."Omong kosong apa yang kamu katakan?" balas Kimberly. Gadis itu akhirnya berjalan menghampiri Verena dan menarik lengan baju Verena. "Keluar dari kamarku, sekarang!"Namun, Verena menepisnya dengan mudah. "Jangan begitu. Kita baru sampai di obrolan yang kusukai." balas Verena. Ia menyelipkan kunci kamar tersebut di tas miliknya. "Kimberly. Apakah kamu pernah berpikir dari mana kamu mendapat mata abu-abu dan rambut pirang itu? Padahal di saat yang sama, keluarga kita seluruhnya berambut gelap?""Berhenti menyebutnya keluarga kita, sialan. Menjijikkan sekali!""Tapi suka tidak suka, ini memang keluargaku juga." Verena berdiri, lalu berjalan ke tepi ranjang Kimberly. "Meski aku sempat te
"Tuan Gray, ini profil identitas reporter yang menulis berita mengenai Anda dan Nona Miller pertama kali."Eric hanya melirik laporan si asisten yang ada di atas meja sekilas sebelum kembali menekuni layar laptop di hadapan.Meski begitu, pikirannya sebenarnya tidak sedang berada di sana.Pria itu masih ada pada malam yang ia habiskan dengan Verena. Dan itu membuatnya gila karena Verena tampil seakan itu tidak berdampak apa-apa padanya.Padahal kalau ia memang benar, Eric adalah kali pertama dan kali selanjutnya wanita itu. Kenapa Verena bersikap biasa saja?"Tuan Gray?" Suara sang asisten kembali mengusik Eric."Ya, aku dengar." Eric menghela napas dan akhirnya menyandarkan dirinya ke sandaran kursi, lalu mengambil laporan yang ada."Sudah kamu cek?" tanya Eric."Ya, Tuan.""Ada yang aneh?""Saya sarankan Anda mengecek bagian keluarga, Tuan."Eric menggumam pelan. Ia hanya membaca sekilas mengenai identitas si reporter. Patricia Lee. Pendatang di negara ini, usianya ada di akhir 20-a
Verena merasakan atmosfer di mansion keluarga Miller sedikit berbeda dan cukup mencekam dibandingkan biasanya. Mungkin karena tidak ada suara para pekerja membersihkan perabotan atau mereka yang beraktivitas di dapur, mengobrol ringan sembari mempersiapkan makan. Atau mungkin juga karena suara barang pecah belah yang dihancurkan di lantai 2.Verena bisa menduga itu berasal dari kamar adik tirinya, Kimberly. Tidak sulit."Selamat pagi, Nona." Salah seorang pelayan menyapanya, bersamaan dengan suara teriakan dari lantai 2. "Tuan Miller ada di kamarnya seperti biasa, Nona. Mari saya antar "Verena menggeleng. "Aku ke sini bukan untuk bertemu dengannya." Ia mengangkat kepalanya, memandang ke arah pintu ruangan yang merupakan kamar Kimberly. "Keith di mana?""Tuan Keith belum pulang sejak semalam, Nona."Hal tersebut menimbulkan kernyitan di kening Verena.Apakah terjadi sesuatu pada pria itu setelah ia bertemu dengan Verena semalam? Atau ada hal lain?Pikiran Verena teralihkan saat kemba
"Kalau begitu, apakah kamu masih akan berpikir kalau hubungan kita hanya sekadar bisnis untukku?"Verena memilih untuk tidak menjawab terlebih dahulu dan melanjutkan sarapannya. Ia perlu beberapa saat untuk berpikir, bukan menuruti keinginan emosionalnya seperti beberapa saat terakhir.Sepertinya obat itu sudah merusak sistem kerjanya. Sangat disayangkan.Tanpa diduga, Eric Gray tidak mengejar jawabannya. Meski begitu, bukan berarti Eric berhenti menatap Verena dengan pandangannya yang tidak bisa ia artikan itu.Oke, fokus. Pertama, soal si pria misterius. Belum selesai, tapi sedang dalam penyelidikan. Verena hanya bisa menunggu.Kedua, soal adik tirinya yang tersayang. Verena sudah mengatur rencana untuk gadis licik itu. Akan ia laksanakan di waktu yang tepat untuk hasil maksimal.Lalu, Eric Gray. Pria ini--Pikiran Verena terputus saat ponselnya kembali berdering. Mengira bahwa itu Ashton, Verena langsung mengangkatnya."Ash, sudah kubilang--""Balas pesanku."Panggilan diakhiri beg