“Nyonya, sarapan sudah siap,” ucap May yang mengetuk pintu untuk membangunkan Valency.
Pintu pun terbuka, memperlihatkan Valency yang telah siap dengan pakaian formalnya. “Aku akan langsung berangkat ke kantor saja, May,” ucap Valency dengan agak dingin. “Jadikan bekal saja.”
Melihat Valency melangkah menuruni tangga, May menghela napas. Dia sudah merasakan suasana di rumah tidak seperti biasanya.
Pagi tadi, sama seperti Valency, Jayden pergi tanpa menyentuh sarapan dan hanya memerintahkan May untuk menyiapkan sarapan Valency. Kemudian, dia langsung pergi tanpa menunggu Valency bangun, seakan tidak ingin bertemu dengan wanita itu.
Entah kenapa, Jayden seolah kembali menjadi sosok pria dingin sebelum kehadiran Valency di rumah ini
Seisi kantor langsung terdiam, mereka langsung menatap ke arah Valency dan tiga wanita yang sedari tadi tibuk mengejeknya. Jujur saja, semua orang mengira Valency adalah orang yang tenang dan lebih memilih menghindari perselisihan, terutama karena gadis itu selalu diam dan mengabaikan orang yang menghinanya. Namun, melayangkan tamparan kepada sang penindas. Wah, ini balasan luar biasa yang di luar dugaan!“Beraninya kamu menamparku!?” teriak wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah Putri, anggota tim Esther yang paling besar mulut. Matanya melotot, seperti siap menerkam Valency.Valency tidak takut, dia pun maju selangkah. “Memangnya kenapa harus takut? Sebagai warga negara yang baik, sudah seharusnya aku mengajarkan moral kepada orang yang membutuhkan, bukan begitu?” balasnya.“Apa katamu!?” Mata Putri makin membesar, seperti mau melompat keluar dari soketnya.Sudut bibir Valency terangkat. “Kenapa? Tidak merasa? Jangan aneh, memang orang yang moralnya kurang pasti tidak merasa
*Beberapa saat yang lalu*Di salah satu ruang meeting VJ Studio, tampak sejumlah orang sedang membahas sebuah proyek penting yang baru saja akan digarap. “Untuk memastikan kerja sama ini berjalan sesuai rencana, saya secara khusus menyerahkan keseluruhan tanggung jawab proyek kepada Esther di sini,” ucap direktur bisnis sembari mengarahkan tangannya ke arah Esther.Esther tersenyum manis ke arah pria gagah yang duduk di hadapannya, mencoba sebaik mungkin untuk terlihat menarik dan meyakinkan. Bagaimana tidak? Yang duduk di hadapannya adalah Eric Gray! CEO dari LuxGray dan calon pewaris keluarga Gray! Kalau bisa menunjukkan performa terbaiknya kepada pria ini, karir Esther pasti akan melejit!Dengan wajah datarnya, Eric meletakkan dokumen proposal ke atas meja. Jujur saja, dia tidak begitu puas dengan pengajuan di depan mata. Namun, tidak ada pilihan. VJ Studio sudah bekerja sama dengan perusahaannya untuk waktu yang cukup lama, dan hubungan yang terjalin antara dua perusahaan cukup
Mendengar ucapan Eric, direktur bisnis dengan cepat menatap ke arah para desainer. “Kenapa kalian ribut-ribut seperti ini?!”Bentakan itu membuat para wanita yang menindas Valency semakin gemetar, mereka saling melirik takut, beberapa kali juga menoleh pada Esther untuk meminta pertolongan.Melihat hal itu, Esther pun memaki dalam hati atas kecerobohan bawahannya dalam menangani Valency. Namun, dia tetap harus turun tangan.Dengan tetap tenang dan profesional, Esther membungkuk kepada direktur bisnis dan berkata, “Pak Dennis, Tuan Gray, mohon maaf sekali atas kejadian ini. Keributan ini terjadi di tim saya, jadi saya yang akan bertanggung jawab menyelesaikannya. Mohon jangan membuat masalah ini mengganggu waktu kalian.” Mendengar ucapan Esther, Valency tak elak mendengus. Dia sudah tahu Esther akan menumpahkan kesalahan padanya dan menghukumnya dengan tugas berat lagi nanti.Tanpa Valency sadari, dengusan dan ekspresi masamnya itu tertangkap oleh Eric. Alhasil, pria itu pun berkata,
“Apa?!” Bukan hanya Esther dan direktur bisnis, tapi Valency sendiri juga terkejut. Dia tidak habis pikir apa dasar Eric melakukan hal tersebut. Di saat ini, Valency pun yakin. ‘Pria ini memiliki niatan tertentu ….’ Matanya agak menggelap, tapi dengan cepat tersamarkan ketika fokusnya beralih pada Esther. “Akan tetapi, Tuan Gray, Valency hanyalah anak magang. Dia tidak cukup kompeten untuk–” “Kompeten atau tidak, aku yang akan menilainya. Yang jelas, aku hanya ingin Valency yang memegang proyekku,” tegas Eric sembari menatap Esther. “Apa kamu mempertanyakan penilaianku?” Esther tersentak. Tentu saja dia tidak bisa melawan Eric. Bagaimanapun, pria itulah kliennya, dan memang dia yang berhak menentukan siapa desainer utama yang berhak atas proyek ini! Akhirnya, Esther pun menggertakkan gigi. “Tidak … Tuan Gray.” Eric tersenyum. “Kalau begitu–” “Tunggu.” Semua orang terkejut ada orang yang berani memotong ucapan Eric. Mereka menoleh dan mendapati Valencylah yang melakukan hal it
“Valency Lambert dan Jayden Spencer adalah suami-istri?!”Teriakan itu terdengar bergema di ruang hotel bintang lima Evermore. Tampak sosok Eric sedang membaca sebuah dokumen yang baru saja dibawakan bawahannya dan berakhir dengan wajah terkejut.Kening Eric berkerut. Dia terus menatap copy dokumen formulir pernikahan yang baru disetujui beberapa waktu lalu. “Sudah kuduga mereka bukan sebatas rekan bisnis saja, tapi … suami-istri?! Ini gila!” ucap Eric dengan agak frustrasi. Sekarang dia tidak heran kenapa ada kilat amarah dan posesif yang dipancarkan Jayden saat memergokinya berbicara dengan Valency. Untuk sesaat, Eric terdiam. “Sejak kapan keduanya terlibat hubungan? Apa sungguh tidak ada media yang melontarkan rumor apa pun sejak dulu!?” tanya Eric pada sekretarisnya tanpa menolehkan pandangan dari dokumen di tangannya. “Sejauh yang saya tahu, Nona Lambert dan Tuan Spencer tidak pernah memiliki rumor dekat atau berkencan sebelumnya, mereka tiba-tiba saja mendaftarkan pernikahan
Usai mengatakan hal tersebut dengan dingin dan ketus, Jayden langsung masuk ke kamar mandi, meninggalkan Valency yang berdiri mematung di tempatnya. Disemprot seperti itu, Valency yang sedari tadi tenang akhirnya kehilangan kendali atas emosinya.“Oke! Terserah! Malas aku bicara denganmu!” teriaknya sebelum akhirnya kembali ke ranjang dan melanjutkan tidurnya. Namun, di pagi hari, saat terbangun, Valency menemukan sisi ranjangnya dingin, pertanda Jayden kembali bangun pagi untuk menghindari dirinya. Hal tersebut membuat Valency menyesali tindakannya yang tidak mampu menahan emosi dan membiarkan Jayden kembali kabur dari genggamannya.Memikirkan hal itu, Valency menghela napas kasar. “Haaahh!”“Dua puluh kali,” ucap seseorang tiba-tiba, membuat Valency menoleh pada Verena yang ada di sebelahnya. “Kamu sudah menghela napas sebanyak dua puluh kali dalam satu jam ini.”Valency dibuat terbelalak, tak percaya jika Verena memperhatikannya sejak tadi. Padahal yang dia lihat perempuan itu ten
Ketika waktunya makan siang, Valency yang telah memikirkan omongan Verena akhirnya berdiri dari kursinya. Suara kursi berdecit membuat Verena menoleh. Dia melihat Valency meraih tasnya. “Kamu mau pergi?” tanya Verena. Valency menganggukkan kepala. “Aku memutuskan izin setengah hari. Ada hal penting yang perlu dilakukan.” Dia tersenyum. “Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi aku ya!” Verena menunjukkan ibu jarinya, lalu menatap kepergian Valency. Saat Valency menghilang, Verena menggelengkan kepala. “Hah … masa muda,” ucapnya. Dia tahu rekan kerjanya itu akan segera pergi untuk menemui sang suami. Makan siang berlalu cepat bagi Verena tanpa Valency bersamanya. Dia pun kembali ke kursi kerjanya dan berniat untuk kembali bekerja. Namun, tiba-tiba dia mendengar suara Esther. “Tuan Gray? Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?” Tampak sosok Esther sedang menyambut Eric yang baru saja memasuki ruang kantor tim utama desain. Hal itu juga mencuri perhatian beberapa karyawan yang kebet
“Verena! Jaga sikapmu!” bentak Esther menegur Verena yang terus-terusan melayangkan tuduhan-tuduhan pada Eric, ia menatap tajam Verena. “Tuan Gray adalah klien penting perusahaan ini, bagaimana bisa sikapmu layaknya orang tak berpendidikan seperti itu?!” Esther melirik Eric dari ujung matanya, menahan diri untuk tak tersenyum. Ia menanti bagaimana reaksi pria itu ketika dia bela, Esther berusaha menunjukkan kinerjanya dan kekuasaannya dalam tim utama, berharap Eric mau meliriknya barang sejenak. “Kenapa? Apakah aku salah?” balas Verena sewot. “Untuk apa terus-menerus mencari Valency ketika masih ada aku sebagai perwakilan? Intinya kan sama-sama ingin membahas mengenai proyek kami.” Verena bersikap santai saat melayangkan protesnya, seolah tak peduli dengan pangkat Eric sebagai salah satu pengusaha terkenal dan klien penting perusahaannya, maupun status Esther sebagai ketua timnya. “Verena!” bentak Esther lagi, kali ini dengan suara yang lebih tinggi dan lantang. Hal itu membuat