Elah, Valency dilawan. Heran ....
Balasan Valency membuat perempuan asing itu langsung menarik diri ke kubikelnya lagi, malas menanggapi omongan gadis tersebut. Valency sendiri memasang senyum penuh kemenangan, seperti baru saja membereskan hal tidak penting. Mendadak, sebuah suara berkata, “Wah, sepertinya kamu sudah mendapatkan teman.” Valency mengalihkan pandangan dan melihat Esther tersenyum menghampiri. Senyum itu tidak mencapai mata, jadi Valency tahu bahwa wanita itu tidak tulus ramah padanya. Namun, sepertinya Esther tetap ingin bersifat profesional, sesuatu yang Valency kagumi. “Semoga demikian, Bu Esther,” balas Valency sopan. Padahal, dalam hati Valency enggan mengategorikan wanita itu sebagai temannya, apalagi ketika namanya saja dia tak tahu. “Oke, kalau begitu, karena kamu sepertinya sudah mengenal kurang-lebih mengenai kantor ini, aku ingin memberikan tugas pertamamu.” Esther menunjuk ke arah komputer di depan Valency seraya berkata, “Tugas pertamamu telah aku kirimkan ke emailmu. Bentuknya berupa do
Esther dengan cepat mengambil beberapa lembar hasil gambar Valency. Seketika, dia bungkam saat melihat betapa menakjubkan gambar tersebut. Bahkan, detail yang sulit sekalipun berhasil digambar dengan sempurna.Tanpa sadar ia meremas kertas tersebut hingga ujungnya sedikit mengerut. Tatapannya kembali menatap Valency.“Siapa yang membantumu?”Tuduhan itu membuat Valency memiringkan kepala. “Bu, Ibu sendiri ‘kan yang menyuruh saya mengerjakan sendiri. Semua orang juga tahu itu. Jadi, bagaimana mungkin ada yang mau bantu saya?” jawabnya. Gadis itu menambahkan, “Selain itu, semua orang sibuk dan enggan membantu untuk bahkan menjelaskan beberapa hal ke saya sejak tadi, jadi atas dasar apa Ibu bilang saya dibantu orang lain?”
Menyadari hal tersebut, tangan Jayden mengepal. Dia langsung menatap istrinya dan berkata, “Berhenti dari perusahaan itu dan bekerjalah di kantorku ….” Wajah pria itu tampak serius. “Ini tidak layak.”Valency menoleh dan menatap wajah sang suami yang begitu gelap, tampaknya pria itu sudah mengetahui mengenai apa yang sedang terjadi. Hal tersebut membuat Valency menghela napas.“Jay ….”“Kau keberatan bergabung dengan perusahaanku karena takut aku memperlakukanmu dengan spesial, bukan?” tanya Jayden. “Kalau begitu, aku tidak akan memperlakukanmu demikian. Aku akan bersikap profesional dan membiarkanmu mulai dari bawah, bagaimana?”Valency terdiam, lalu menatap suaminya dengan saksama. Dia paham perasaan Jayden yang marah karena dirinya ditindas di perusahaan magangnya, dan Valency sangat mensyukuri hal tersebut. Akan tetapi, untuk pindah ke Diamant Corp ….“Jay ... berhenti membicarakan hal ini, oke?” ucap Valency sembari menghela napas. “Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu.”“Valey!
“Valency, selamat pagi!” Sapaan itu membuat Valency yang mencapai lobi kantor sontak menoleh. Dia melihat sosok seorang pria menghampirinya dengan senyum dan lambaian tangan ramah. Dengan senyuman yang agak dipaksakan, Valency membalas sapaan tersebut dengan agak terpaksa, “Selamat pagi, Pak Kenny.” Ternyata, itu adalah manager HR yang kemarin mengantarkan Valency berkeliling seisi kantor. Pria matang berusia tiga puluhan yang menjadi satu-satunya orang yang menyambutnya dengan ramah sejak kedatangannya ke kantor ini kemarin. Berjalan masuk ke kantor bersama, Kenny pun bertanya, “Bagaimana hari pertamamu bekerja kemarin? Apa kamu mengalami kesulitan?” tanyanya. Pertanyaan itu membuat Valency tersenyum tipis. Dia bisa saja menceritakan mengenai tugas yang diberikan Esther kepadanya. Akan tetapi, apa itu pilihan terbaik? “Seharusnya, cukup baik dan lancar, Pak. Saya berhasil menyelesaikan tugas pertama saya tepat waktu kemarin, termasuk menyelesaikan tugas kedua yang saya bawa ke
Selagi Valency berusaha mencari cara untuk menjawab Verena, Verena malah lanjut berkata, “Ah, tidak mungkin kamu Valency Lambert. Mana mungkin gadis yang dirumorkan sebagai istri dari Jayden Spencer malah bekerja di perusahaan kecil seperti ini.”Ucapan Verena itu membuat Valency tertawa garing. Andai gadis itu tahu kalau Valency Lambert adalah dirinya, bisa-bisa heboh sudah satu kantor ini.“Aku dengar kamu adalah anak magang baru?” tanya Verena dengan wajah datar tanpa ekspresi, hanya seulas senyum yang sangat tipis terlihat di bibirnya. Valency mengangguk pelan, dia telah siap jika Verena akan melemparkan tatapan sinis seperti yang lainnya. Ya, dia tak berharap banyak akan mendapatkan teman di hari keduanya. “Bisa menjadi bagian tim utama ... padahal berstatus sebagai anak magang,” ucapnya. “Orang lain berasumsi kamu menggunakan jalan belakang, tapi menurutku, tidak sesederhana itu.” Verena menepuk pundak Valency dan berkata, “Berjuanglah untuk membuktikan kemampuanmu. Aku akan m
“Lency, belum pulang?” tanya Verena saat dirinya selesai berberes untuk pulang.“Sedikit lagi,” ucap Valency sembari terus mengetikkan sesuatu di komputernya. Dia berhenti sesaat dan tersenyum pada Verena.“Kamu tinggal di mana? Kalau misalkan searah, aku tunggu dan kita berangkat bersama saja. Aku bawa mobil,” balas Verena sembari menggoyangkan kunci mobil yang terselip di jari telunjuknya.Valency merasa tersentuh dengan tawaran teman kantornya itu, tapi dia menggeleng. “Kamu tadi bilang tinggal di Jalan Mawar, ‘kan? Kita nggak searah, aku pulang ke asrama Universitas Sentral. Itu di arah berlawanan,” jelasnya, sedikit berbohong. “Kamu pulang duluan saja. Aku bisa naik transportasi umum.”Wajah Verena masih tetap datar, tapi pancaran matanya menunjukkan dia agak menyayangkan hal itu. “Oke, kalau begitu aku pulang duluan,” ucapnya sembari melambaikan tangan singkat. “Sampai bertemu besok.”“Sampai bertemu besok,” balas Valency seiring dirinya menatap kepergian Verena. Tak lama setel
“Jadi … ini mobil siapa?”Pertanyaan Verena sukses membuat Valency pening. Dia cepat-cepat memutar otak, mencari alasan yang masuk akal untuk menjawab rekannya itu.“Uhh, itu … ini mobil … mobil omku! Iya, ini punya pamanku!”Untuk sesaat, bukan hanya Jayden–yang bisa mendengar dari kaca yang sedikit terbuka, tapi Valency sendiri kaget dengan jawabannya. Bisa-bisanya dia memanggil suaminya sendiri sebagai pamannya!?Namun, mengesampingkan betapa konyolnya kalimat itu, Valency lebih mementingkan reaksi Verena, dan apakah dia akan percaya.“Pamanmu?” tanya Verena lagi dengan alis kanan meninggi. “I-iya. Itu di dalam orangnya lagi nungguin aku!” jawab Valency sembari memasang senyum senatural mungkin.Verena pun refleks melirik mobil di belakang Valency untuk sesaat, tapi samar-samar hanya melihat seorang pria yang mengenakan hoodie abu-abu. “Pamanmu muda sekali …,” balasnya. “Hahaha, iya … dia … dia paman kecilku ….”Semakin Valency bicara, entah kenapa dia merasa semakin bodoh keboho
Tak lama, Jayden dan Valency pun tiba di area parkir sebuah restoran mewah. Pria itu turun dan membukakan pintu untuk istrinya, lalu menggandeng Valency ke dalam restoran.“Tuan Spencer,” sapa pelayan dengan sopan. “Ruangan Anda sebelah sini,” ujarnya seraya mengantarkan pasangan itu ke sebuah ruangan khusus.Setelah mereka duduk dan selesai memesan makanan, Valency akhirnya bertanya, “Jadi … kenapa kemari?”Jayden menatap istrinya dan berkata, “Bukankah sudah kubilang, pacaran.” Valency tersenyum tipis, menahan tawa karena agak geli dengan bagaimana Jayden mengatakan kalimat itu. “Maksudku, suamiku sayang, kenapa mendadak mengajakku pacaran? Bukankah kudengar Diamant Corp ada proyek baru yang membuatmu begitu sibuk? Kamu belakangan juga sering tidak tidur hingga malam.”Untuk sesaat, Jayden terdiam. Wajahnya yang biasa dingin tampak sedikit sedih. “Aku merasa semenjak kamu bekerja waktu kita berdua semakin sedikit,” ucap Jayden jujur. Mengingat beberapa hari ini Valency terus sibuk