“Valency, selamat pagi!” Sapaan itu membuat Valency yang mencapai lobi kantor sontak menoleh. Dia melihat sosok seorang pria menghampirinya dengan senyum dan lambaian tangan ramah. Dengan senyuman yang agak dipaksakan, Valency membalas sapaan tersebut dengan agak terpaksa, “Selamat pagi, Pak Kenny.” Ternyata, itu adalah manager HR yang kemarin mengantarkan Valency berkeliling seisi kantor. Pria matang berusia tiga puluhan yang menjadi satu-satunya orang yang menyambutnya dengan ramah sejak kedatangannya ke kantor ini kemarin. Berjalan masuk ke kantor bersama, Kenny pun bertanya, “Bagaimana hari pertamamu bekerja kemarin? Apa kamu mengalami kesulitan?” tanyanya. Pertanyaan itu membuat Valency tersenyum tipis. Dia bisa saja menceritakan mengenai tugas yang diberikan Esther kepadanya. Akan tetapi, apa itu pilihan terbaik? “Seharusnya, cukup baik dan lancar, Pak. Saya berhasil menyelesaikan tugas pertama saya tepat waktu kemarin, termasuk menyelesaikan tugas kedua yang saya bawa ke
Selagi Valency berusaha mencari cara untuk menjawab Verena, Verena malah lanjut berkata, “Ah, tidak mungkin kamu Valency Lambert. Mana mungkin gadis yang dirumorkan sebagai istri dari Jayden Spencer malah bekerja di perusahaan kecil seperti ini.”Ucapan Verena itu membuat Valency tertawa garing. Andai gadis itu tahu kalau Valency Lambert adalah dirinya, bisa-bisa heboh sudah satu kantor ini.“Aku dengar kamu adalah anak magang baru?” tanya Verena dengan wajah datar tanpa ekspresi, hanya seulas senyum yang sangat tipis terlihat di bibirnya. Valency mengangguk pelan, dia telah siap jika Verena akan melemparkan tatapan sinis seperti yang lainnya. Ya, dia tak berharap banyak akan mendapatkan teman di hari keduanya. “Bisa menjadi bagian tim utama ... padahal berstatus sebagai anak magang,” ucapnya. “Orang lain berasumsi kamu menggunakan jalan belakang, tapi menurutku, tidak sesederhana itu.” Verena menepuk pundak Valency dan berkata, “Berjuanglah untuk membuktikan kemampuanmu. Aku akan m
“Lency, belum pulang?” tanya Verena saat dirinya selesai berberes untuk pulang.“Sedikit lagi,” ucap Valency sembari terus mengetikkan sesuatu di komputernya. Dia berhenti sesaat dan tersenyum pada Verena.“Kamu tinggal di mana? Kalau misalkan searah, aku tunggu dan kita berangkat bersama saja. Aku bawa mobil,” balas Verena sembari menggoyangkan kunci mobil yang terselip di jari telunjuknya.Valency merasa tersentuh dengan tawaran teman kantornya itu, tapi dia menggeleng. “Kamu tadi bilang tinggal di Jalan Mawar, ‘kan? Kita nggak searah, aku pulang ke asrama Universitas Sentral. Itu di arah berlawanan,” jelasnya, sedikit berbohong. “Kamu pulang duluan saja. Aku bisa naik transportasi umum.”Wajah Verena masih tetap datar, tapi pancaran matanya menunjukkan dia agak menyayangkan hal itu. “Oke, kalau begitu aku pulang duluan,” ucapnya sembari melambaikan tangan singkat. “Sampai bertemu besok.”“Sampai bertemu besok,” balas Valency seiring dirinya menatap kepergian Verena. Tak lama setel
“Jadi … ini mobil siapa?”Pertanyaan Verena sukses membuat Valency pening. Dia cepat-cepat memutar otak, mencari alasan yang masuk akal untuk menjawab rekannya itu.“Uhh, itu … ini mobil … mobil omku! Iya, ini punya pamanku!”Untuk sesaat, bukan hanya Jayden–yang bisa mendengar dari kaca yang sedikit terbuka, tapi Valency sendiri kaget dengan jawabannya. Bisa-bisanya dia memanggil suaminya sendiri sebagai pamannya!?Namun, mengesampingkan betapa konyolnya kalimat itu, Valency lebih mementingkan reaksi Verena, dan apakah dia akan percaya.“Pamanmu?” tanya Verena lagi dengan alis kanan meninggi. “I-iya. Itu di dalam orangnya lagi nungguin aku!” jawab Valency sembari memasang senyum senatural mungkin.Verena pun refleks melirik mobil di belakang Valency untuk sesaat, tapi samar-samar hanya melihat seorang pria yang mengenakan hoodie abu-abu. “Pamanmu muda sekali …,” balasnya. “Hahaha, iya … dia … dia paman kecilku ….”Semakin Valency bicara, entah kenapa dia merasa semakin bodoh keboho
Tak lama, Jayden dan Valency pun tiba di area parkir sebuah restoran mewah. Pria itu turun dan membukakan pintu untuk istrinya, lalu menggandeng Valency ke dalam restoran.“Tuan Spencer,” sapa pelayan dengan sopan. “Ruangan Anda sebelah sini,” ujarnya seraya mengantarkan pasangan itu ke sebuah ruangan khusus.Setelah mereka duduk dan selesai memesan makanan, Valency akhirnya bertanya, “Jadi … kenapa kemari?”Jayden menatap istrinya dan berkata, “Bukankah sudah kubilang, pacaran.” Valency tersenyum tipis, menahan tawa karena agak geli dengan bagaimana Jayden mengatakan kalimat itu. “Maksudku, suamiku sayang, kenapa mendadak mengajakku pacaran? Bukankah kudengar Diamant Corp ada proyek baru yang membuatmu begitu sibuk? Kamu belakangan juga sering tidak tidur hingga malam.”Untuk sesaat, Jayden terdiam. Wajahnya yang biasa dingin tampak sedikit sedih. “Aku merasa semenjak kamu bekerja waktu kita berdua semakin sedikit,” ucap Jayden jujur. Mengingat beberapa hari ini Valency terus sibuk
Mata Valency terbelalak, terkejut mengetahui bahwa pria yang baru saja ditabraknya adalah ... Eric Gray! Pria yang beberapa minggu lalu sempat ditolongnya, sekaligus orang yang berhasil mengejutkannya karena ternyata dia adalah CEO dari perusahaan LuxGray. “Ternyata kita bertemu lagi di sini, sepertinya ini adalah takdir,” ucap Eric dengan senyum menggoda. Bisa dipastikan jika wanita lain yang melihatnya pasti akan histeris seketika. “Senang berjumpa lagi dengan Anda, Nona.” Eric mengulurkan tangan, sesuatu yang refleks Valency terima untuk dijabat. Namun, di luar dugaan, pria itu malah memberikan sebuah kecupan singkat di punggung tangannya. “Mungkinkah takdir mendekatkan kita berdua?” ucap Eric dengan nada bercanda. “Ini hanya sebuah kebetulan, Tuan Gray,” balas Valency seraya menarik tangannya kembali dengan cepat. Bisa terjadi masalah jika Jayden sampai melihat hal tersebut! “Kebetulan yang begitu manis, menurut saya,” ujar Eric. “Anda terlihat sangat cantik malam ini. Mungki
“Jayden Spencer?” Eric tampak terkejut melihat kehadiran Jayden yang tiba-tiba. Maniknya menatap bagaimana Valency bersembunyi di belakang pria tersebut. “Kalian datang bersama?” Ada keterkejutan di matanya. “Apa kau ada masalah dengan itu?” balas Jayden ketus, menunjukkan permusuhan yang kental. Ditanya seperti itu, Eric yang tadi terkejut perlahan kembali tenang. Dia menampakkan senyuman tipis yang sopan selagi berkata, “Tentu tidak. Aku hanya penasaran bagaimana dirimu bisa mengenal Nona ini.” “Valency dan aku adalah–” “Aku dan Tuan Spencer memiliki proyek bersama,” potong Valency cepat, sontak membuat Jayden menoleh dan menatapnya dengan ekspresi yang bercampur marah, terkejut, dan kecewa. Ketika menghadapi Verena dan orang-orang lain dan Valency memperkenalkannya sebagai orang lain, Jayden tidak keberatan. Akan tetapi, tahu bahwa Eric memiliki niat lain kepada Valency, hal itu membuat pria tersebut marah! “Ah! Nama Nona adalah Valency? Mungkinkah Anda Valency Lambert?” ujar
Valency melihat wajah Jayden agak memburuk, tapi dia dengan sabar menceritakan pertemuannya dengan Eric di hari itu.“Saat itu aku baru saja membeli kudapan dari cafe dan tanpa sengaja menolong Eric yang tas dokumennya dicopet oleh seorang pencuri. Untuk berterima kasih padaku, dia mengundangku untuk makan bersama.” Valency bisa melihat pelipis Jayden berkedut, pertanda pria itu tidak senang dengan arah pembicaraan ini. Akhirnya, cepat-cepat dia menambahkan, “Tapi tidak mengenalnya begitu dekat, aku menolak. Bukan hanya itu, saat dia agak memaksa mengundangku makan bersama, aku menipunya dengan memberikan kartu nama orang lain sebagai gantinya.” Valency menghela napas. “Itu alasan kenapa baru mengetahui namaku tadi, dan sepertinya tindakanku yang menipunya membuat pria itu, yang masih merasa berutang budi, berujung menahanku di restoran tadi.”