“Perkenalkan, ini adalah Valency. Dia adalah pegawai magang yang aka bekerja sama dengan kita untuk beberapa waktu ke depan,” jelas manager HRD VJ Studio di hadapan semua orang, yang langsung diikuti dengan tepukan tangan. Valency tersenyum ramah pada beberapa orang yang berada di hadapannya, dia berusaha memberikan kesan pertama seramah mungkin. Ke depannya orang-orang inilah yang akan menjadi rekan timnya dalam bekerja. Seorang wanita berusia kisaran 40-an maju dan menyalami Valency, menyambut gadis itu dengan ramah. “Salam kenal, Valency. Aku Esther, ketua tim desain utama di perusahaan ini. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik mulai hari ini.” “Salam kenal, Bu Esther. Mohon kerjasamanya juga,” balas Valency sopan. Esther menganggukkan kepala dan berkata, “Selain diriku, masih ada beberapa ketua tim lain, seperti Linda, Bella, dan ….” Esther memperkenalkan satu persatu ketua tim, dan semua orang menyambut Valency dengan ramah. Dari penjelasan manager HRD sebelumnya, dik
Setelah kepergian Valency dan manager HRD, suasana di ruang studio desain sangat tegang. Orang-orang saling menatap, sebelum akhirnya mencuri intip ekspresi Esther yang sejak tadi berdiri diam dengan raut wajah kesal dan gelap. Esther adalah pribadi yang memiliki harga diri tinggi. Demikian, kejadian tadi sangat melukai egonya. “K-Ketua …,” panggil salah satu anggota yang langsung berdiri dan menghampiri Esther dengan wajah khawatir. “J-jangan terlalu dipikirkan. Ini bukan salah ketua, manager HRD memang keterlaluan!” “Itu benar, Ketua. Gadis bernama Valency itu masih terlihat begitu muda! Apa dia benar-benar memiliki talenta dan pantas berada di tim utama ini? Jangan-jangan, alih-alih talenta, dia malah menggunakan kecantikannya untuk masuk ke tim ini!” cetus yang lain. Ucapan itu disahuti dan disetujui oleh yang lainnya, satu persatu dari mereka berjalan menghampiri Esther dan membentuk lingkaran dengan Esther berada di tengah-tengah. “Apa mungkin dia telah merayu CEO sehingga
Balasan Valency membuat perempuan asing itu langsung menarik diri ke kubikelnya lagi, malas menanggapi omongan gadis tersebut. Valency sendiri memasang senyum penuh kemenangan, seperti baru saja membereskan hal tidak penting. Mendadak, sebuah suara berkata, “Wah, sepertinya kamu sudah mendapatkan teman.” Valency mengalihkan pandangan dan melihat Esther tersenyum menghampiri. Senyum itu tidak mencapai mata, jadi Valency tahu bahwa wanita itu tidak tulus ramah padanya. Namun, sepertinya Esther tetap ingin bersifat profesional, sesuatu yang Valency kagumi. “Semoga demikian, Bu Esther,” balas Valency sopan. Padahal, dalam hati Valency enggan mengategorikan wanita itu sebagai temannya, apalagi ketika namanya saja dia tak tahu. “Oke, kalau begitu, karena kamu sepertinya sudah mengenal kurang-lebih mengenai kantor ini, aku ingin memberikan tugas pertamamu.” Esther menunjuk ke arah komputer di depan Valency seraya berkata, “Tugas pertamamu telah aku kirimkan ke emailmu. Bentuknya berupa do
Esther dengan cepat mengambil beberapa lembar hasil gambar Valency. Seketika, dia bungkam saat melihat betapa menakjubkan gambar tersebut. Bahkan, detail yang sulit sekalipun berhasil digambar dengan sempurna.Tanpa sadar ia meremas kertas tersebut hingga ujungnya sedikit mengerut. Tatapannya kembali menatap Valency.“Siapa yang membantumu?”Tuduhan itu membuat Valency memiringkan kepala. “Bu, Ibu sendiri ‘kan yang menyuruh saya mengerjakan sendiri. Semua orang juga tahu itu. Jadi, bagaimana mungkin ada yang mau bantu saya?” jawabnya. Gadis itu menambahkan, “Selain itu, semua orang sibuk dan enggan membantu untuk bahkan menjelaskan beberapa hal ke saya sejak tadi, jadi atas dasar apa Ibu bilang saya dibantu orang lain?”
Menyadari hal tersebut, tangan Jayden mengepal. Dia langsung menatap istrinya dan berkata, “Berhenti dari perusahaan itu dan bekerjalah di kantorku ….” Wajah pria itu tampak serius. “Ini tidak layak.”Valency menoleh dan menatap wajah sang suami yang begitu gelap, tampaknya pria itu sudah mengetahui mengenai apa yang sedang terjadi. Hal tersebut membuat Valency menghela napas.“Jay ….”“Kau keberatan bergabung dengan perusahaanku karena takut aku memperlakukanmu dengan spesial, bukan?” tanya Jayden. “Kalau begitu, aku tidak akan memperlakukanmu demikian. Aku akan bersikap profesional dan membiarkanmu mulai dari bawah, bagaimana?”Valency terdiam, lalu menatap suaminya dengan saksama. Dia paham perasaan Jayden yang marah karena dirinya ditindas di perusahaan magangnya, dan Valency sangat mensyukuri hal tersebut. Akan tetapi, untuk pindah ke Diamant Corp ….“Jay ... berhenti membicarakan hal ini, oke?” ucap Valency sembari menghela napas. “Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu.”“Valey!
“Valency, selamat pagi!” Sapaan itu membuat Valency yang mencapai lobi kantor sontak menoleh. Dia melihat sosok seorang pria menghampirinya dengan senyum dan lambaian tangan ramah. Dengan senyuman yang agak dipaksakan, Valency membalas sapaan tersebut dengan agak terpaksa, “Selamat pagi, Pak Kenny.” Ternyata, itu adalah manager HR yang kemarin mengantarkan Valency berkeliling seisi kantor. Pria matang berusia tiga puluhan yang menjadi satu-satunya orang yang menyambutnya dengan ramah sejak kedatangannya ke kantor ini kemarin. Berjalan masuk ke kantor bersama, Kenny pun bertanya, “Bagaimana hari pertamamu bekerja kemarin? Apa kamu mengalami kesulitan?” tanyanya. Pertanyaan itu membuat Valency tersenyum tipis. Dia bisa saja menceritakan mengenai tugas yang diberikan Esther kepadanya. Akan tetapi, apa itu pilihan terbaik? “Seharusnya, cukup baik dan lancar, Pak. Saya berhasil menyelesaikan tugas pertama saya tepat waktu kemarin, termasuk menyelesaikan tugas kedua yang saya bawa ke
Selagi Valency berusaha mencari cara untuk menjawab Verena, Verena malah lanjut berkata, “Ah, tidak mungkin kamu Valency Lambert. Mana mungkin gadis yang dirumorkan sebagai istri dari Jayden Spencer malah bekerja di perusahaan kecil seperti ini.”Ucapan Verena itu membuat Valency tertawa garing. Andai gadis itu tahu kalau Valency Lambert adalah dirinya, bisa-bisa heboh sudah satu kantor ini.“Aku dengar kamu adalah anak magang baru?” tanya Verena dengan wajah datar tanpa ekspresi, hanya seulas senyum yang sangat tipis terlihat di bibirnya. Valency mengangguk pelan, dia telah siap jika Verena akan melemparkan tatapan sinis seperti yang lainnya. Ya, dia tak berharap banyak akan mendapatkan teman di hari keduanya. “Bisa menjadi bagian tim utama ... padahal berstatus sebagai anak magang,” ucapnya. “Orang lain berasumsi kamu menggunakan jalan belakang, tapi menurutku, tidak sesederhana itu.” Verena menepuk pundak Valency dan berkata, “Berjuanglah untuk membuktikan kemampuanmu. Aku akan m
“Lency, belum pulang?” tanya Verena saat dirinya selesai berberes untuk pulang.“Sedikit lagi,” ucap Valency sembari terus mengetikkan sesuatu di komputernya. Dia berhenti sesaat dan tersenyum pada Verena.“Kamu tinggal di mana? Kalau misalkan searah, aku tunggu dan kita berangkat bersama saja. Aku bawa mobil,” balas Verena sembari menggoyangkan kunci mobil yang terselip di jari telunjuknya.Valency merasa tersentuh dengan tawaran teman kantornya itu, tapi dia menggeleng. “Kamu tadi bilang tinggal di Jalan Mawar, ‘kan? Kita nggak searah, aku pulang ke asrama Universitas Sentral. Itu di arah berlawanan,” jelasnya, sedikit berbohong. “Kamu pulang duluan saja. Aku bisa naik transportasi umum.”Wajah Verena masih tetap datar, tapi pancaran matanya menunjukkan dia agak menyayangkan hal itu. “Oke, kalau begitu aku pulang duluan,” ucapnya sembari melambaikan tangan singkat. “Sampai bertemu besok.”“Sampai bertemu besok,” balas Valency seiring dirinya menatap kepergian Verena. Tak lama setel