“Lency sayang!! Aku sangat merindukanmu.”
Teriakan itu membuat Valency yang baru saja ingin menyapa tamunya, langsung oleng karena pelukan hangat yang membuatnya tak siap. Beruntung, dia sigap dan bisa mengendalikan diri dengan cepat!
“Jen!” seru Valency lantaran kesal temannya itu hampir membuatnya terjatuh. Akan tetapi, ketika melihat wajah Jennita yang seperti ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengannya, Valency hanya bisa menghela napas dan berkata, “Haah, iya aku juga merindukanmu.”
“Tidak! Aku yang merindukanmu paling banyak. Kamu tahu sebanyak apa aku merindukanmu? Bahkan jika dihitung pun tidak akan terdefinisikan jumlahnya,” ucap Jennita, wajahnya dibuat seolah sangat tersiksa menahan rindu selama ini. “Aku sangat merindukanmu, hingga ingin
Desain Everhart, juga kenyataan Jayden adalah suamimu pasti akan membuatmu mudah diterima di sana, bukan?” saran Jennita sembari menyandarkan punggungnya di sofa. “Diamant Corp juga perusahaan desain perhiasan paling besar di Evermore, kamu pasti akan mendapatkan banyak pengalaman di sana.” Valency menggeleng, menolak mentah-mentah ide sahabatnya. “Akan tidak etis jika aku mengajukan magang di tengah kabar pernikahan kami. Ini juga pasti akan berpengaruh pada nama baik Jayden nantinya,” ucap Valency lesu. “Mereka akan mengira ini nepotisme.”Jennita mengedikkan bahunya dengan acuh tak acuh. “Hei, nepotisme ada di mana-mana. Kamu tidak lihat diriku?” ucapnya.Senyum tak berdaya terlukis di wajah Valency. Diamant Corp memang perusahaan impiannya sejak dulu, tetapi dengan situasinya dan Jayden sekarang, ditambah masalah dengan Felix, akan lebih baik bila dia tidak terlibat dengan perusahaan tersebut lagi sampai namanya sebagai seorang desainer melambung tinggi. Akhirnya, Valency pun me
“Perkenalkan, ini adalah Valency. Dia adalah pegawai magang yang aka bekerja sama dengan kita untuk beberapa waktu ke depan,” jelas manager HRD VJ Studio di hadapan semua orang, yang langsung diikuti dengan tepukan tangan. Valency tersenyum ramah pada beberapa orang yang berada di hadapannya, dia berusaha memberikan kesan pertama seramah mungkin. Ke depannya orang-orang inilah yang akan menjadi rekan timnya dalam bekerja. Seorang wanita berusia kisaran 40-an maju dan menyalami Valency, menyambut gadis itu dengan ramah. “Salam kenal, Valency. Aku Esther, ketua tim desain utama di perusahaan ini. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik mulai hari ini.” “Salam kenal, Bu Esther. Mohon kerjasamanya juga,” balas Valency sopan. Esther menganggukkan kepala dan berkata, “Selain diriku, masih ada beberapa ketua tim lain, seperti Linda, Bella, dan ….” Esther memperkenalkan satu persatu ketua tim, dan semua orang menyambut Valency dengan ramah. Dari penjelasan manager HRD sebelumnya, dik
Setelah kepergian Valency dan manager HRD, suasana di ruang studio desain sangat tegang. Orang-orang saling menatap, sebelum akhirnya mencuri intip ekspresi Esther yang sejak tadi berdiri diam dengan raut wajah kesal dan gelap. Esther adalah pribadi yang memiliki harga diri tinggi. Demikian, kejadian tadi sangat melukai egonya. “K-Ketua …,” panggil salah satu anggota yang langsung berdiri dan menghampiri Esther dengan wajah khawatir. “J-jangan terlalu dipikirkan. Ini bukan salah ketua, manager HRD memang keterlaluan!” “Itu benar, Ketua. Gadis bernama Valency itu masih terlihat begitu muda! Apa dia benar-benar memiliki talenta dan pantas berada di tim utama ini? Jangan-jangan, alih-alih talenta, dia malah menggunakan kecantikannya untuk masuk ke tim ini!” cetus yang lain. Ucapan itu disahuti dan disetujui oleh yang lainnya, satu persatu dari mereka berjalan menghampiri Esther dan membentuk lingkaran dengan Esther berada di tengah-tengah. “Apa mungkin dia telah merayu CEO sehingga
Balasan Valency membuat perempuan asing itu langsung menarik diri ke kubikelnya lagi, malas menanggapi omongan gadis tersebut. Valency sendiri memasang senyum penuh kemenangan, seperti baru saja membereskan hal tidak penting. Mendadak, sebuah suara berkata, “Wah, sepertinya kamu sudah mendapatkan teman.” Valency mengalihkan pandangan dan melihat Esther tersenyum menghampiri. Senyum itu tidak mencapai mata, jadi Valency tahu bahwa wanita itu tidak tulus ramah padanya. Namun, sepertinya Esther tetap ingin bersifat profesional, sesuatu yang Valency kagumi. “Semoga demikian, Bu Esther,” balas Valency sopan. Padahal, dalam hati Valency enggan mengategorikan wanita itu sebagai temannya, apalagi ketika namanya saja dia tak tahu. “Oke, kalau begitu, karena kamu sepertinya sudah mengenal kurang-lebih mengenai kantor ini, aku ingin memberikan tugas pertamamu.” Esther menunjuk ke arah komputer di depan Valency seraya berkata, “Tugas pertamamu telah aku kirimkan ke emailmu. Bentuknya berupa do
Esther dengan cepat mengambil beberapa lembar hasil gambar Valency. Seketika, dia bungkam saat melihat betapa menakjubkan gambar tersebut. Bahkan, detail yang sulit sekalipun berhasil digambar dengan sempurna.Tanpa sadar ia meremas kertas tersebut hingga ujungnya sedikit mengerut. Tatapannya kembali menatap Valency.“Siapa yang membantumu?”Tuduhan itu membuat Valency memiringkan kepala. “Bu, Ibu sendiri ‘kan yang menyuruh saya mengerjakan sendiri. Semua orang juga tahu itu. Jadi, bagaimana mungkin ada yang mau bantu saya?” jawabnya. Gadis itu menambahkan, “Selain itu, semua orang sibuk dan enggan membantu untuk bahkan menjelaskan beberapa hal ke saya sejak tadi, jadi atas dasar apa Ibu bilang saya dibantu orang lain?”
Menyadari hal tersebut, tangan Jayden mengepal. Dia langsung menatap istrinya dan berkata, “Berhenti dari perusahaan itu dan bekerjalah di kantorku ….” Wajah pria itu tampak serius. “Ini tidak layak.”Valency menoleh dan menatap wajah sang suami yang begitu gelap, tampaknya pria itu sudah mengetahui mengenai apa yang sedang terjadi. Hal tersebut membuat Valency menghela napas.“Jay ….”“Kau keberatan bergabung dengan perusahaanku karena takut aku memperlakukanmu dengan spesial, bukan?” tanya Jayden. “Kalau begitu, aku tidak akan memperlakukanmu demikian. Aku akan bersikap profesional dan membiarkanmu mulai dari bawah, bagaimana?”Valency terdiam, lalu menatap suaminya dengan saksama. Dia paham perasaan Jayden yang marah karena dirinya ditindas di perusahaan magangnya, dan Valency sangat mensyukuri hal tersebut. Akan tetapi, untuk pindah ke Diamant Corp ….“Jay ... berhenti membicarakan hal ini, oke?” ucap Valency sembari menghela napas. “Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu.”“Valey!
“Valency, selamat pagi!” Sapaan itu membuat Valency yang mencapai lobi kantor sontak menoleh. Dia melihat sosok seorang pria menghampirinya dengan senyum dan lambaian tangan ramah. Dengan senyuman yang agak dipaksakan, Valency membalas sapaan tersebut dengan agak terpaksa, “Selamat pagi, Pak Kenny.” Ternyata, itu adalah manager HR yang kemarin mengantarkan Valency berkeliling seisi kantor. Pria matang berusia tiga puluhan yang menjadi satu-satunya orang yang menyambutnya dengan ramah sejak kedatangannya ke kantor ini kemarin. Berjalan masuk ke kantor bersama, Kenny pun bertanya, “Bagaimana hari pertamamu bekerja kemarin? Apa kamu mengalami kesulitan?” tanyanya. Pertanyaan itu membuat Valency tersenyum tipis. Dia bisa saja menceritakan mengenai tugas yang diberikan Esther kepadanya. Akan tetapi, apa itu pilihan terbaik? “Seharusnya, cukup baik dan lancar, Pak. Saya berhasil menyelesaikan tugas pertama saya tepat waktu kemarin, termasuk menyelesaikan tugas kedua yang saya bawa ke
Selagi Valency berusaha mencari cara untuk menjawab Verena, Verena malah lanjut berkata, “Ah, tidak mungkin kamu Valency Lambert. Mana mungkin gadis yang dirumorkan sebagai istri dari Jayden Spencer malah bekerja di perusahaan kecil seperti ini.”Ucapan Verena itu membuat Valency tertawa garing. Andai gadis itu tahu kalau Valency Lambert adalah dirinya, bisa-bisa heboh sudah satu kantor ini.“Aku dengar kamu adalah anak magang baru?” tanya Verena dengan wajah datar tanpa ekspresi, hanya seulas senyum yang sangat tipis terlihat di bibirnya. Valency mengangguk pelan, dia telah siap jika Verena akan melemparkan tatapan sinis seperti yang lainnya. Ya, dia tak berharap banyak akan mendapatkan teman di hari keduanya. “Bisa menjadi bagian tim utama ... padahal berstatus sebagai anak magang,” ucapnya. “Orang lain berasumsi kamu menggunakan jalan belakang, tapi menurutku, tidak sesederhana itu.” Verena menepuk pundak Valency dan berkata, “Berjuanglah untuk membuktikan kemampuanmu. Aku akan m
"Ada apa dengan ekspresimu? Ulah apa lagi yang kamu lakukan?"Kimberly segera menepis tangan Keith. "Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apa-apa!"Mata abu-abu Keith menyipit. "Kim. Aku sudah memperingatkanmu. Kalau kamu menyentuh Verena lagi, aku akan--""Aku tidak melakukan apa pun! Justru wanita sial itu yang berulah!" Ucapan Kimberly terdengar cukup keras, membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh ke arahnya.Sudah jatuh, tertimpa tangga, lalu dikatai bodoh. Itulah perumpamaan yang cocok untuk kondisi Kimberly saat ini.Ia tidak bisa menemukan Eric yang kemungkinan sudah meminum minumannya yang sudah Kimberly campur dengan obat perangsang khusus. Suatu larutan asing dan tidak ada penawarnya, yang Kimberly dapatkan dari teman sang ibu. Tadi pria itu menemuinya.Satu-satunya cara untuk mengeluarkan zat asing itu dari tubuh si peminum adalah dengan berhubungan badan. Bahkan jika si peminum dibawa ke rumah sakit sekalipun, belum tentu dokter dan tim medis bisa mengatasinya.Lalu
“Tuan Gray. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain.” Dengan kalimat itu, bahkan sebelum dokter keluarganya menjelaskan lebih lanjut, Eric sudah tahu apa yang harus ia lakukan.Ia pernah berada di posisi yang sama dengan Verena dan rasanya sangat menyiksa.Waktu itu, Verenalah yang membantunya. Meskipun Eric memaksakan dirinya pada gadis itu, sekalipun dengan tidak sadar. Hal itulah yang membuat Eric merasakan rasa tanggung jawab yang besar terhadap Verena.Dan itu jugalah yang ia rasakan sekarang.Namun, mengingat karakter Verena, gadis itu pasti akan membunuhnya jika Eric mengambil pilihan yang menempatkan pria itu dalam posisi yang "terlalu menguntungkan" dan terkesan mengambil kesempatan."Eric--" Suara Verena kembali terdengar. Wanita itu mencengkeram tangan Eric lebih erat, lalu menggeser tubuhnya agar tidur berbantalkan pangkuan Eric. Lalu, ia kembali mengerang. Detik itu juga, Eric membuat keputusan."Semuanya keluar," ucapnya dengan suara rendah. Nadanya terdengar rendah,
“Ini ... kamu, Eric Gray, aku ….” Jantung pria itu berdetak lebih cepat saat mendengar Verena mengatakan hal itu. Sorot mata tak percaya tampak jelas di sepasang matanya. Otaknya langsung berputar, mengingat bagaimana Verena bisa meminum obat perangsang padahal gadis itu hampir selalu bersamanya.Dan pikiran itu masuk begitu saja dalam kepalanya.Verena yang kehausan. Minuman di tangan Eric.Dari Kimberly.Ah, sial.“Eric …?” Verena kembali berbicara, membuat pria itu menunduk menatap wanita itu. "Aku--"Verena berkedip, berusaha menjernihkan fokusnya. Iris matanya yang indah itu mengamati seraut wajah di hadapan dari jarak yang amat dekat. Wanita itu bahkan bisa merasakan embusan napas keduanya, terdengar berat di telinga. Perlahan, Verena mengangkat tangannya, menyentuh pipi sosok itu dengan telapak tangan, menangkupnya dengan lembut. Sesuatu yang cukup mengejutkan, sekalipun memang setelah mengumpat tadi, Verena perlahan bersikap kebalikannya. Menempel pada Eric.Dingin. Saat
"Apa yang terjadi ...."Verena berpegang erat pada tepi wastafel hingga buku-buku jarinya memutih. Sebab tubuhnya sekarang mulai limbung."Permisi. Apa kamu baik-baik saja?"Verena mendengar salah satu pengunjung kamar mandi bertanya dan ia mengangguk, semata-mata karena ia sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi pada dirinya."Wajahmu pucat." Gadis itu kembali berkomentar. Lalu ia mengeluarkan beberapa jenis pil dari dalam tasnya. "Jika ... kamu sedang datang bulan dan merasa tidak nyaman karenanya, ini aku ada obat."Gadis itu meletakkan obat-obatan itu di tepi wastafel, di hadapan Verena."Tidak apa-apa. Jangan malu." Verena mendengar gadis asing itu kembali berucap. "Perlu kuantar ke petugas? Aku juga bisa memanggil dokter."Verena hanya tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih. Ia menggeleng, mencoba menyampaikan kalau ia tidak butuh bantuan.Meski sebenarnya, ia merasa bahwa ia akan mati di sini Lalu gadis itu keluar dan Verena sendirian di dalam toilet.Ve
"... Verena, kamu baik-baik saja?"Pertanyaan itu meluncur dari bibir Eric ketika Verena tanpa sadar menggenggam ujung jas pria itu dan meremasnya kuat-kuat. Wajah wanita itu kini agak pucat dan napasnya menjadi lebih berat."Kelelahan?" tanya Eric lagi. Bukan apa-apa. Bisa jadi memang wanitanya ini sedang kelelahan, bukan? Dengan segala kesibukan sebagai pengganti sang ayah, Verena sampai pada batasnya juga. Namun, Verena menggeleng. Ini jelas bukab kelelahan. Ia tidak selemah itu.Sejak dulu, Verena sudah terbiasa bekerja dan lembur. Mengurusi klien dan bersosialisasi juga sudah sering ia lakukan karena pekerjaannya. Jadi ia tidak akan tumbang semudah ini.Selain itu, kondisinya ini terlalu tiba-tiba.Tidak mungkin Verena yang normal dan sehat bisa menjadi seperti ini begitu saja?"Kita menyingkir--""Aku ke toilet dulu," ucap Verena, menepis lengan Eric sekarang. Di sini terlalu banyak orang. Pikirannya terasa kacau dan tidak nyaman. Mungkin sedikit udara segar bisa membersihkan
"Maaf, aku harus keluar lagi. Ada yang harus aku pastikan.""Mau ke mana?"Eric bertanya. Tidak seperti dugaan Verena, Eric tidak melepaskannya begitu saja. Padahal Verena pikir, pria itu akan mengiakan saja keputusan Verena seperti tadi."Ke luar. Sebentar. Kan sudah aku bilang.""Jawab dengan lebih spesifik, Verena." Eric berucap.Langsung saja, Verena menghela napas."Aku perlu memastikan beberapa tamu. Oke?""Kalau kamu memerlukan daftar tamu, bisa kuberikan.""Ya, tapi aku juga perlu menemui orang ini.""Siapa? Kutemani.""Tidak perlu. Ini acaramu. Kamu harus tetap di sini.""Tanpa tunanganku? Jangan bercanda."Verena berdecak. Merasa kesal.Karena tidak ingin kehilangan jejak seperti tadi, wanita itu nekat melangkah pergi----tapi ia justru berakhir terpenjara dalam tangan kekar Eric."Eric--""Kamu tahu," ucap Eric diikuti helaan napas. "Mengejarmu memerlukan kesabaran ekstra."Verena langsung merengut. Bukan karena ucapan Eric, melainkan karena posisi mereka. Si Presdir arogan
"Aku tidak mau kamu mati konyol, Verena. Tidak bisakah kamu memahami hal itu?"Ucapan yang meluncur dari bibir Keith itu tidak terlalu mengejutkan Verena. Namun, nada bicara dan ekspresi yang ditunjukkan oleh adik tirinya itu sukses membuat Verena terdiam.Ada yang asing dari tatap manik mata abu-abu itu.Sepasang warna abu-abu yang familiar itu--Apalagi bagaimana Keith membuang muka setelahnya, lalu mengusap tengkuk dengan kikuk sementara ujung telinganya memerah.Keanehan itu ... tidak bisa Verena pandang sebagai sebuah tingkah adiknya yang lucu.Bukan karena sikap Keith tidak lucu. Melainkan karena tingkahnya tidak seperti seorang adik pada umumnya.Seakan-akan--Tidak. Pasti Verena salah. Ia selalu salah dalam hal ini, kan?"Keith ... kamu--"Keith mengangkat tangannya sembari menghela napas."Sudahlah." Keith menukas. "Toh Ayah sudah merestui pertunanganmu, bukan? Lupakan saja.""Yah. Itu mustahil." Verena berusaha terdengar tegas, tapi ucapannya tak lebih dari sebuah gumaman.M
"Nona, Anda baik-baik saja?"Sosok itu adalah seorang pria paruh baya, dengan rambut hitam yang sudah banyak beruban. Namun, penampilannya tampak rapi, tidak serampangan. Mengindikasikan bahwa kemungkinan beliau adalah salah satu tamu undangan Eric Gray.Meski begitu, penampilannya tampak terlalu sederhana untuk dikatakan kaum sosialita.Namun, bukan itu yang membuat Verena tertegun. Mata abu-abu itu ... tampak familier bagi Verena. Di mana--"Nona?""Ah." Verena berkedip. "Maaf, Tuan. Saya tidak melihat ke depan." Verena buru-buru berkata setelahnya."Saya tidak masalah. Tapi apakah Anda baik-baik saja?""Saya tidak apa-apa. Permisi."Verena sedikit menunduk dan langsung pergi dari sana, ke arah yang dituju oleh Kimberly tadi.Namun, sayangnya, interupsi singkat tadi sudah cukup untuk melenyapkan jejak adik tirinya.Tanpa sadar, Verena menghela napas. Menyayangkan fokusnya yang sempat teralihkan tadi."Verena."Panggilan itu membuat Verena menoleh dan mendapati sosok Keith tengah ber
"Coba cari topik pembicaraan lain. Soal aku, misalnya. Putra ibu dan...." Verena mencoba memasang raut wajah biasa saja saat Eric mendekatkan bibirnya ke telinga Verena dan berbisik, "Calon suamimu."Baru setelah itu Verena menghela napas pelan. Lalu, wanita itu menoleh sedikit ke belakang, ke arah Eric."Kamu mau kami membicarakanmu di depanmu langsung?" tanyanya.Eric mengangkat bahu. "Silakan.""Tidak masalah kalau aku menyinggung soal kelakuanmu dulu?" Verena kembali bertanya. "Semua yang kamu lakukan saat kamu mengejar-ngejar--""Sini. Aku pasangkan lagi kalungnya." Eric Gray menyela. Tangannya terulur dan mengambil kalung di tangan Verena, sebelum kemudian memasangkannya. "Mau bicara soal Vera Jones lagi?""Tidak." Kali ini, Mia yang menjawab. "Meskipun rasanya menyenangkan, mengobrol dengan Verena. Tapi lebih baik kamu dan Verena sekarang kembali ke aula. Sapa para tamu."Lalu, pada Verena yang menatapnya, Mia menambahkan, "Senang bertemu denganmu, Verena. Lain kali, kita men