Aku menemui ibu dan Silvia terlebih dahulu. Aku memberitahu mereka dengan suara pelan, bahwa ada Satria di luar. Jangan sampai Silvia keluar saat aku berbincang dengan lelaki itu nantinya. Sebisa mungkin aku akan menyembunyikan Silvia dari lelaki pengecut model dia.Setelah menjelaskan dan mereka paham, segera aku menuju pintu depan. Sebenarnya aku sangat penasaran dari mana manusia itu tahu alamat rumah "Mau ketemu siapa?" tanyaku setelah membuka pintu. Entah mengapa hatiku tidak ingin beramah tamah dengannya. "Mau menjemput istriku," jawab Satria dengan penuh percaya diri. "Kenapa kamu yakin istrimu ada di sini? Memangnya dia ke mana?" Aku ke luar menuju teras kemudian menutup pintu depan. Aku sengaja tidak mempersilakan dia masuk ke dalam rumah."Karena aku yakin kamu yang menyembunyikan istriku." Pria yang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana itu seolah menantangku. "Untuk apa aku menyembunyikan istrimu?Bagaimana bisa kamu kehilangan istri yang tinggal di rumahmu
"Aku memiliki video yang bisa dijadikan buktinya, Mas, Bu. Dia menampar aku waktu itu." Silvia merogoh saku androknya. Tangganya mengambil handphone. Jemarinya segera mencari galeri. Kemudian men scrollnya."Ini buktinya." Silvia mulai memutar rekaman tersebut.Di situ mataku membulat sempurna saat tangan lelaki itu mendarat sempurna di pipi Silvia. Dalam video itu, terlebih dahulu Satria memaki Silvia. Mengatakan bahwa istrinya adalah wanita murahan yang mau dibawa pergi oleh lelaki lain. Dia mengatakan tamparan itu adalah ganjaran yang pas untuk Silvia. Aku tidak tega melihat Silvia meringis sembari memegangi pipinya yang bekas tamparan Satria. Kurang ajar sekali dia memandang rendah Silvia. Seharusnya otaknya digunakan untuk mikir kenapa istri mau kabur dari rumahnya? Kurang ajar! Dia sudah berani main tangan pada Silvia. Aku mengepalkan tangan. Kalau memukul orang itu tidak ada hukumannya ingin rasanya aku menghajar Satria hingga babak belur. Sebagai balasan karena telah bera
Saat ini aku menatap jam yang melingkar di pergelangan. Jarumnya menunjuk ke angka satu lewat lima belas, siang. Saatnya berkemas. Aku akan pulang lebih awal hari ini karena ada paman Gozali yang akan berkunjung ke rumah. Aku menuruni tangga sembari melihat ke arah karyawan yang sudah bersiap untuk mulai bekerja kembali. Saat jam istirahat dari pukul 12 hingga 1 siang toko sengaja kami tutup. Aku ingin memberikan ruang untuk mereka supaya bisa istirahat secara maksimal."Pak." Langkah ini terhenti ketika Sandra memanggilku. "Ada apa, Sandra?" Aku memandang wajah gugup di depan ini. Dia menunduk sebelum akhirnya menatapku dengan takut-takut."Kenapa, kamu seperti memiliki salah salah sama saya?" tanyaku dengan dahi mengkerut."Anu, Pak. Maaf kemarin saya sudah lancang." Sandra menundukkan wajahnya."Lancang? Lancang kenapa? Kamu mencuri?" cecarku. Gadis di depanku menggelengkan kepalanya."Bukan itu, Pak?" Suara berat."Lantas?" Aku semakin penasaran dengannya."Kemarin ada seseorang
"Lebih baik Silvia tidak mendapatkan tanah itu daripada bermusuhan dengan bi Baidah, Paman," ujar Silvia. Suaranya terdengar tulus. Dia mengucapkan itu sangat tenang. Tidak ada kemarahan yang tersorot dari matanya. Aku yakin dia sadar dan ikhlas menuturkan itu.Ia memilih tidak mendapatkan harta itu daripada berseteru dengan istri pamannya. Sikapnya semakin menambah nilai plus di mataku. Di luaran sana tidak sedikit orang berebut harta meski harus dimusuhi satu keluarga besar. "Tidak, Nduk. Tekad paman sudah bulat, Nduk. Kamu harus tetap mendapatkan jatah tanah itu. Urusan bibirmu itu biar menjadi tanggung jawab paman. Tidak seharusnya dia bersikap seperti itu. Itu tanah paman beli jauh sebelum menikah dengannya. Ditambah lagi itu dibeli saat bareng dengan bapakmu. Kamu berhak mendapatkannya, Nduk. Tidak boleh menolaknya." Aku melihat di depanku dua orang yang sama-sama baik. Silvia wanita sederhana yang tidak gila harta. Selama menjadi suaminya aku tidak pernah melihatnya membeli
Hari ini aku sengaja tidak bekerja seperti biasa. Dari pagi tidak ke ruko. Aku sengaja libur untuk menghantarkan Silvia ke pengadilan agama. Untuk mengajukan gugatan cerai. Semoga semua berjalan dengan lancar dan cepat selesai. Agar aku cepat menikahi Silvia. Namun, rasanya tidak mungkin semulus itu. Satria pasti akan selalu hadir di setiap prosesnya agar perceraian mereka tidak berjalan dengan lancar. Harapan aku sih itu tidak terjadi. Aku sudah tidak sabar menunggu Silvia menjadi janda kedua kalinya. Aku jahat? Mungkin. Aku tidak peduli yang terpenting ingin segera memiliki wanita itu. Wanita yang telah membuatku menjadi gila karena mencintainya. Buktinya aku nekad menyembunyikan istri orang dari suaminya.Namun, aku bukan pebinor! Aku datang justru untuk menyelamatkan hidupnya. Keluar dari pengadilan kami mampir dulu ke rumah paman Gozali. Kami menghantarkanSilvia di daerah pamannya. Perempuan itu ingin bertemu dengan bibinya, meski dia tahu istri pamannya itu kini membencinya.
"Banyak omong kamu!" ucap Satria bareng dengan pipiku yang terasa sakit.Satu tinjuan tangan lelaki itu mendarat di pipiku karena aku tidak berhasil menghindarinya. Aku meringis sembari mengusap darah yang keluar dari bibir. Tak menunggu waktu lagi Satria kembali melayangkan tinjunya ke arah perutku. Bertubi-tubi! Lagi-lagi aku tidak bisa menghindar. Sial! Gara-gara tidak bisa ilmu bela diri jadi begini. Ibu menjerit histeris saat melihatku roboh di tanah. Beliau pun turun dari mobil. Diikuti oleh Silvia."Puas kamu telah menghajar mas Abian? Kamu pikir setelah membuat dia babak belur aku akan menyerah dan kembali sama kamu? Itu tidak akan mungkin!" Sorot mata Silvia mengarah pada lelaki di depannya. "Mas, maafkan aku." Silvia menatapku sembari jongkok di dekatku. Aku melihat wajah sendu di sana."Kenapa kamu ratapi lelaki itu? Aku ini suami kamu!" Satria menarik tangan Silvia. Sehingga perempuan itu berdiri meski terpaksa. Duh kenapa Silvia harus keluar dari mobil segala? Kalau
"Seharusnya biarkan saja dia mendekam di penjara sekian waktu biar ada efek jeranya?" tanya saat itu setelah orang tuanya Satria meninggalkan rumah mas Abian."Aku tidak tega melihat ibunya menghiba begitu. Lagian, aku pikir dia sudah sedikit jera setelah berurusan dengan kantor polisi. Aku hanya ingin melihatmu segera bebas dari Satria. Bisa saja ibunya akan tetap membebaskan Satria dengan cara yang lain. Setelah itu dia justru akan mempersulit proses perceraian kalian. Aku tidak mau itu terjadi." Saat itu aku tertegun dengan jawaban mas Abian. Dia tidak memikirkan dirinya sendiri. Padahal lelaki itu korban dan berhak menjebloskan Satria. Namun, ia lagi-lagi memikirkan aku. "Ibu setuju dengan pendapat Abian. Orang tuanya Satria pasti akan melakukan apa pun untuk membebaskan anaknya. Lebih baik kita yang mencabut laporannya dengan sedikit menekan mereka," timpal ibu pada saat itu.Itu sebabnya proses perceraian kami itu tidak berbelit dan terhitung cepat karena Satria tidak pernah
****"Bi. Bibi tidak perlu khawatir dengan tanah yang dihibahkan pada Silvia. Saya tidak akan menerimanya," ucapku saat duduk berdua di kamar bibi. Ibu dan mas Abian menunggu di ruang tamu. Aku tidak mau dimusuhi oleh istrinya paman terus menerus. Semua ini harus segera diselesaikan. Toh, tanpa harta hibah itu selama ini aku bisa hidup. "Memang sudah seharusnya kamu tidak menerimanya!" Jawaban bibi sangat ketus. Tetapi tak apa, toh yang terpenting aku sudah memberitahukannya. "Kamu itu sudah aku urusi dari dulu. Sudah banyak makan biaya dari kami. Bahkan kami pun turut membiayai kuliahmu!" Bibi kembali bersungut-sungut. Biaya kuliah? Semuanya itu ditanggung oleh ibunya mas Abian. Mengapa dia merasa mengeluarkan biaya untukku? "Aku tidak pernah membiayai kuliahnya Silvia. Semua itu sudah ditanggung oleh ibunya Abian," bantah paman Gozali.Bi Baidah membuang muka ke arah tembok saat aku dan paman menatapnya. "Paman memang tak seharusnya Silvia menerima tanah itu. Jujur Silvia tida