"Bu." Suaraku tertahan di kerongkongan. Bu malah mengulum senyum ketika menatapku. Apa ada yang lucu dari ekspresiku? Aku mengerutkan kening. "Kok ibu malah tersenyum?" "Sepertinya kamu menanggapi serius ucapan ibu, Nak." Ibu mengelus pundakku."Maksudnya, Ibu tadi hanya bercanda?" Aku menerka. Cinta pertamaku mengangguk. "Ibu sukses membuat Bian jantungan." Aku menepuk-nepuk dada. Ibu malah tertawa bahagia melihat rautku."Tidak ada alasan ibu untuk menolak perempuan itu. Ibu pasti akan menerima Silvia kembali setelah dia resmi bercerai dengan suaminya. Namun, ibu mohon jangan pernah sakiti dia lagi." Aku bernapas lega. Sebelum ibu meminta aku telah berjanji di dalam hati. Jika diberi kesempatan untuk hidup bersama Silvia maka tidak akan pernah aku sia-siakan hidupnya. Obrolan kami berhenti ketika paman Gozali kembali ke mobil."Sudah siap, Paman?"Lelaki itu mengangguk. Aku pun mulai melajukan kuda besi kesayangan.Hening. Tidak ada obrolan yang kami bahas. Kami larut dalam la
Aiza mengangguk tanda paham dengan pertanyaan itu. Kemudian dia menatap lekat wajah kami satu persatu."Setelah saya kasih tau. Tolong nanti jangan ada yang mengungkapkan ini pada keluarga Satria. Bawa saja Silvia pergi dari rumah itu dengan alasan yang lainnya. Anggap kalian tidak mengetahui ini. Jangan sampai mereka tahu kalau saya telah memberitahukan masalah ini." Aku menatap ibu dan paman secara bergantian. Mereka pun mengangguk. "Sebenarnya ada apa, Nak?" Ibu mewakili kami berdua."Sebenarnya begini. Satria memiliki kakak perempuan yang saat ini sedang lumpuh. Selama ini tinggal di Riau. Dalam waktu dekat ini suaminya akan mengembalikan ke sini. Lelaki itu tak sanggup lagi mengurusnya. Kebetulan dia juga tak memiliki anak." "Aku paham. Mereka ingin menjadikan Silvia sebagai perawat gratisan begitu?" Aku langsung menebak pokok permasalahannya. Aiza mengangguk.Ibu beristighfar berkali-kali. Mungkin berusaha menetralkan hatinya yang mulai emosi. Paman Gozali mengatupkan bibirny
Hatiku sakit menyaksikan kekasih pujaan dalam kondisi seperti itu. Silvia kami temukan dalam keadaan pingsan. Matanya terpejam. Wanita itu pun tidak merespon dan menyahuti panggilan serta pelukan ibu."Astaghfirullah …." Ibu histeris saat meraba jidat perempuan di depannya. Spontan paman pun jongkok dan melakukan hal yang sama dengan ibu. "Ayo kita bawa ke rumah sakit." Paman segera mengangkat tubuh keponakannya. Meskipun tua, lelaki berperawakan sedang itu memiliki fisik yang kuat. Ia mampu membopong Silvia seorang diri. Terbiasa bekerja keras, sih. Aku pun berlari ke arah luar. Akan membuka kan pintu mobil. "Eh, mau pada ke mana kalian?" Istri mudanya Satria yang sedang duduk dalam ruang tamu tampak kaget dengan kami yang keluar membawa Silvia. Rupanya ia sedang menelpon."Kami mau membawa Silvia ke rumah sakit." Ibu menjawab dengan ketus sembari terus berjalan dengan langkah lebar."Mas, mereka membawa Silvia pergi!" adunya pada seseorang di sana. Aku meyakini orang tersebut S
Mata paman menyapu wajah mereka semua. Tak ada satu pun dari mereka yang menjawab. Semua bungkam. Mungkin mereka tidak menyangka masalahnya seberat itu."Maaf kami harus segera pergi." Paman pamit pada pak RT. Lelaki yang diajak bicara hanya bisa mengangguk. "Bilang sama suami kamu suruh menunggu surat dari pengadilan agama." Kini paman berbicara pada Arumi. Wanita itu hanya bisa menunduk.Aku pun segera masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Aku menoleh ke arah kursi tengah. Silvia sudah sadarkan diri. Dia memandangku dengan tatapan kosong. Ibu sedang mengelus-elus kepalanya.Keadaan Silvia benar-benar memperhatikan. Wanita yang aku kenal kuat dan hebat itu kini menjadi lemah. Sepertinya bebannya kini lebih berat lagi daripada yang aku berikan dahulu. Ah, aku jadi teringat betapa brengseknya diri ini dulu. "Sebaiknya kita rawat Silvia di rumah saya saja, Pak. Tidak menutup kemungkinan Satria akan mencarinya di rumah Bapak dalam waktu dekat ini," ucap ibu di dalam mobil
Aku menemui ibu dan Silvia terlebih dahulu. Aku memberitahu mereka dengan suara pelan, bahwa ada Satria di luar. Jangan sampai Silvia keluar saat aku berbincang dengan lelaki itu nantinya. Sebisa mungkin aku akan menyembunyikan Silvia dari lelaki pengecut model dia.Setelah menjelaskan dan mereka paham, segera aku menuju pintu depan. Sebenarnya aku sangat penasaran dari mana manusia itu tahu alamat rumah "Mau ketemu siapa?" tanyaku setelah membuka pintu. Entah mengapa hatiku tidak ingin beramah tamah dengannya. "Mau menjemput istriku," jawab Satria dengan penuh percaya diri. "Kenapa kamu yakin istrimu ada di sini? Memangnya dia ke mana?" Aku ke luar menuju teras kemudian menutup pintu depan. Aku sengaja tidak mempersilakan dia masuk ke dalam rumah."Karena aku yakin kamu yang menyembunyikan istriku." Pria yang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana itu seolah menantangku. "Untuk apa aku menyembunyikan istrimu?Bagaimana bisa kamu kehilangan istri yang tinggal di rumahmu
"Aku memiliki video yang bisa dijadikan buktinya, Mas, Bu. Dia menampar aku waktu itu." Silvia merogoh saku androknya. Tangganya mengambil handphone. Jemarinya segera mencari galeri. Kemudian men scrollnya."Ini buktinya." Silvia mulai memutar rekaman tersebut.Di situ mataku membulat sempurna saat tangan lelaki itu mendarat sempurna di pipi Silvia. Dalam video itu, terlebih dahulu Satria memaki Silvia. Mengatakan bahwa istrinya adalah wanita murahan yang mau dibawa pergi oleh lelaki lain. Dia mengatakan tamparan itu adalah ganjaran yang pas untuk Silvia. Aku tidak tega melihat Silvia meringis sembari memegangi pipinya yang bekas tamparan Satria. Kurang ajar sekali dia memandang rendah Silvia. Seharusnya otaknya digunakan untuk mikir kenapa istri mau kabur dari rumahnya? Kurang ajar! Dia sudah berani main tangan pada Silvia. Aku mengepalkan tangan. Kalau memukul orang itu tidak ada hukumannya ingin rasanya aku menghajar Satria hingga babak belur. Sebagai balasan karena telah bera
Saat ini aku menatap jam yang melingkar di pergelangan. Jarumnya menunjuk ke angka satu lewat lima belas, siang. Saatnya berkemas. Aku akan pulang lebih awal hari ini karena ada paman Gozali yang akan berkunjung ke rumah. Aku menuruni tangga sembari melihat ke arah karyawan yang sudah bersiap untuk mulai bekerja kembali. Saat jam istirahat dari pukul 12 hingga 1 siang toko sengaja kami tutup. Aku ingin memberikan ruang untuk mereka supaya bisa istirahat secara maksimal."Pak." Langkah ini terhenti ketika Sandra memanggilku. "Ada apa, Sandra?" Aku memandang wajah gugup di depan ini. Dia menunduk sebelum akhirnya menatapku dengan takut-takut."Kenapa, kamu seperti memiliki salah salah sama saya?" tanyaku dengan dahi mengkerut."Anu, Pak. Maaf kemarin saya sudah lancang." Sandra menundukkan wajahnya."Lancang? Lancang kenapa? Kamu mencuri?" cecarku. Gadis di depanku menggelengkan kepalanya."Bukan itu, Pak?" Suara berat."Lantas?" Aku semakin penasaran dengannya."Kemarin ada seseorang
"Lebih baik Silvia tidak mendapatkan tanah itu daripada bermusuhan dengan bi Baidah, Paman," ujar Silvia. Suaranya terdengar tulus. Dia mengucapkan itu sangat tenang. Tidak ada kemarahan yang tersorot dari matanya. Aku yakin dia sadar dan ikhlas menuturkan itu.Ia memilih tidak mendapatkan harta itu daripada berseteru dengan istri pamannya. Sikapnya semakin menambah nilai plus di mataku. Di luaran sana tidak sedikit orang berebut harta meski harus dimusuhi satu keluarga besar. "Tidak, Nduk. Tekad paman sudah bulat, Nduk. Kamu harus tetap mendapatkan jatah tanah itu. Urusan bibirmu itu biar menjadi tanggung jawab paman. Tidak seharusnya dia bersikap seperti itu. Itu tanah paman beli jauh sebelum menikah dengannya. Ditambah lagi itu dibeli saat bareng dengan bapakmu. Kamu berhak mendapatkannya, Nduk. Tidak boleh menolaknya." Aku melihat di depanku dua orang yang sama-sama baik. Silvia wanita sederhana yang tidak gila harta. Selama menjadi suaminya aku tidak pernah melihatnya membeli
Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol
Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it
Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b
Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han
"Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya
Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu
"Itu masalahnya. Dia tidak mau mengambil anaknya, pun tidak mengizinkan Devia diadopsi oleh orang lain. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhannya tapi belum bisa merawatnya sendiri. Tadi pun membelikan semua kebutuhan Devia."Keterangan Bu Maemunah membuatku mengernyitkan dahi. Apa yang menyebabkan dia tidak mau mengambil anaknya? Apa mungkin istri baru yang menyebabkan bapaknya anak ini memilih menitipkan Devia di panti asuhan? Untung saja Kak Abian dari awal melarang aku ketika ingin mengangkat Devia menjadi anak kami. Pasti kami akan berurusan dengan bapaknya anak ini kalau itu beneran terjadi."Semoga kamu selalu sehat, ya, Nak." Aku mencium pucuk kepalanya lama.****Satu tahun telah berlalu dan aku belum diizinkan Allah untuk mengandung lagi. Lelaki yang menjadi suamiku pun benar-benar menepati janjinya padaku. Tidak pernah mengungkit tentang kehadiran anak padaku.Kesibukan kami pun bertambah. Tidak hanya mengurusi usaha saja. Kini aku fokus di panti. Mengurus anak-anak ya
Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa
POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka