"Baju kamulah. Masa baju orang lain." "Siapa tahu baju istrimu yang lain. Secara aku telah pergi selama tiga bulan. Aku sudah tidak tahu lagi kamu menikah dengan wanita mana? Menikah ke berapa? Dan apa yang telah terjadi aku benar-benar tidak paham.""Aku tidak seperti apa yang kamu pikirkan.""Dulu aku berpikir yang baik-baik tentang kamu, Mas. Namun, penilaianku telah kamu patahkan. Sekarang aku tidak tahu siapa sebenarnya lelaki yang telah menikahiku. Buktinya, aku mengira kamu adalah anak yang patuh serta menyayangi ibu, nyatanya kamu malah tega menorehkan luka di hatinya.""Aku bukan malaikat yang tidak pernah salah dan juga bukan setan yang tak pernah benar. Sudahlah kita akhiri perdebatan ini dan cepat ganti bajumu. Memangnya kamu mau tidur dengan gamis seperti ini?" Silvia terdiam beberapa detik. Tidak mungkin dia bisa tidur dengan nyaman apabila masih memakai gamis yang berbahan tebal dan terasa berat itu."Aku janji tidak akan macam-macam." Abian menerima baju tidur itu ke
Abian masih ingin berbicara banyak dengan Silvia. Akan tetapi, istrinya sudah tidak ingin berlama-lama di cafe tersebut. Silvia sudah berjalan meninggalkan Abian yang masih terdiam di kursi. Tidak menyangka akan mendapatkan penolakan dari Silvia. Sadar dirinya ditolak, gegas pria itu berjalan ke kasir guna membayar tagihan. Silvia sudah menunggu di depan mobil. Dari jauh Abian berjalan gontai menuju mobilnya. Senyumnya mengembang saat melihat Silvia berdiri di depan kuda besinya. Mereka melanjutkan perjalanan kembali. Tinggal tiga puluh menit menuju rumah Bu Anis. Selama dalam kendaraan dua manusia itu saling diam. Terhanyut dengan pikirannya masing-masing. Tanpa terasa mobil telah sampai di depan rumah bercat tosca tersebut. Abian pun telah membelokkan mobilnya ke arah garasi. Pria itu berhasil masukkan mobilnya ke dalam garasi. Silvia mendelik sempurna ke arah suaminya. Dadanya bergemuruh hebat. Abian tersenyum kecut menerima tatapan itu. "Ayo turun!" Abian hendak membuka p
Abian terperangah mendengar ucapan Silvia. Sepertinya istrinya itu tidak main-main. Tiba-tiba ada rasa nyeri dan sesak di dalam. Hatinya terkoyak. Tak siap bila Silvia benar-benar meminta berpisah darinya, meski dulu ini yang dinginkan Abian. Bu Anis menarik napas dalam-dalam. Menenangkan gejolak dalam dadanya. Ditatapnya lekat-lekat manik wanita muda itu. Ingin mencari kebohongan dari sorot mata itu, tetapi tidak ada. Ada denyut tak biasa yang dirasakan wanita paruh baya itu saat menantunya mengajukan pertanyaan tersebut. Meski pernah bilang setuju apabila Silvia meminta cerai anaknya. Bukan tidak bisa memegang ucapannya, bukan. Tetapi Bu Anis tidak ingin memiliki menantu yang lainnya. Silvia ingin menyerah. Bukan karena merasa kalah. Namun, tidak ingin sakit hati terlalu lama. "Apa memang sudah tidak pantas dipertahankan pernikahan kalian, Sayang?" "Apa memang sudah tidak ada kesempatan kedua, Nak?" tanya Bu Anis dengan suara yang bergetar. Ternyata "Silvia tidak tahu, Bu.""I
Wanita yang baru bangun tidur siang itu mencuri dengar pembicaraan dua pria muda di ruang tamu rumah mewah tersebut. "Selamat ya, Bian. Kamu menjadi pemenang taruhan seratus hari itu. Akhirnya kamu yang memenangkan hati Silvia. Kamu berhasil membawanya kembali." Tubuh Silvia bergetar hebat dadanya berdenyut nyeri. Badannya lunglai seketika seakan tidak ada tulang yang mampu menopangnya untuk berdiri tegak. Tubuh mungil itu pun merosot ke bawah. Syok setelah mendengar ucapan kakak iparnya. Andi.Memang, Silvia sudah mati rasa terhadap Abian. Namun, mendengar dirinya dipertaruhkan itu sangat menyakitkan.Ya, Andi sedang bertandang ke rumah Bu Anis. Kebetulan sedang ada urusan di daerah metro. Pria beranak satu itu pun menyempatkan diri ketemu Abian do rumahnya. "Aku sudah bilang, Mas. Bahwa akulah pemenangnya. Aku ini suaminya. Dia harus menjadi milikku kembali. Silakan cari perempuan lain sebagai ibu sambung Nafis. Jangan berharap mendekati Silvia." "Ya, karena harapan untuk memili
Dua tahun bukan waktu yang singkat. Namun, aku tidak bisa melupakan sosoknya begitu saja. Bahkan semakin kuat aku menepisnya rasanya pun kian menggila. Semakin menyakitkan. Mungkin semua ini ganjaran untukku. Rasa ini tidak pernah hilang setelah seseorang membawa pergi separuh jiwaku. Sampai kapan aku akan menanggung rindu yang sangat menyiksa ini? Entahlah. Aku ingin perasaan ini segera menemukan muaranya. Bertemu dengan pencuri hati."Masuk," ucapku tanpa menoleh ke arah sumber suara saat pintu ruanganku diketuk dari luar.Mataku masih menekuri layar handphone. Menatap wajah ayu yang sedang tertidur pulas. Kamu di mana? Bagaimana keadaan saat ini? Apakah kamu mempunyai perasaan yang sama seperti aku? "Maaf, Pak. Ada wanita yang ingin bertemu dengan, Bapak." Rasti — karyawanku memberi tahu setelah berdiri di hadapanku."Siapa?" tanyaku sembari mematikan handphone. "Kurang tahu, Pak." Semoga saja itu orang yang aku cari. Tapi rasanya mustahil. Ah, tidak ada yang tidak mungkin jika
"Silvia." Reflek aku memanggil namanya. Wanita itu pun menoleh ke arahku. Dia pun mematung beberapa saat sebelum membalas senyumanku."Mas." Berjalan ke arahku setelah membayar belanjaannya. Hatiku girang tidak ketulungan bisa bertemu wanita pujaan. "Bunda ternyata ada di sini. Saya cariin ke mana-mana." Seorang pria yang ada di belakangku memutuskan kontak mata kami. Spontan aku pun menoleh ke arahnya. "Maaf tidak pamit dulu," ucap Silvia. Aku seperti terhempas dari ketinggian. Setelah dibuat melayang karena bertemu dengannya kembali. Namun, seketika harus menerima kenyataan bahwa dia telah menikah lagi."Mas. Aku pamit dulu, ya. Semoga nanti bisa bertemu kembali," jelas Silvia tepat di depanku. Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Kutatap punggung wanita berjilbab lebar itu. Dadaku tiba-tiba sesak saat melihat pria yang berjalan di sampingnya. Mereka terlihat serasi. Seharusnya aku yang berjalan bersamanya. Ternyata patah hati semenyakitkan ini. Penantianku selama dua tahun ternya
Aku memang menghentikan langkah, tapi tidak menoleh ke arahnya. Takut terlihat sedang berbinar-binar. Khawatir dia menangkap basah diriku yang sedang kegirangan. "Flamboyan pintu nomor 2," jawabku sebelum kembali melanjutkan langkah. "Nanti aku akan ke sana." Aku mengangguk meski tak melihat ke arahnya. Aku sempatkan menoleh ke arah mushola sebelum mushola benar-benar tidak terlihat olehku. Tiba-tiba rasa penasaran kembali menelusup ke hatiku. Aku tidak akan bisa mendapatkan jawaban apa pun kalau tidak berbicara dengannya lagi. Aku harus segera memastikan statusnya. Sudah menikah atau masih sendiri? Setidaknya untuk pertimbangan aku agar bisa mengambil sikap setelah mengetahui kebenarannya. Aku memutar arah. Tidak jadi ke kamar ibu. Aku menuju taman yang ada di depan Mushola. Segera ku jatuhkan bobot tubuh di salah satu kursi kayu di bawah salah pohon glodokan. Ya, di taman ini tumbuh berjejer pohon glodokan. Di depan air mancur buatan. Sesekali aku mengayunkan kaki yang menginja
"Itu masalah yang saat ini sedang aku cari jalan keluarnya." Dia mengeser tempat duduk. Dari miring menjadi lurus ke depan. Pandangannya lurus ke arah air mancur."Kenapa tidak mau dengan bapaknya?" Aku semakin berani bertanya lebih jauh setelah melihat Silvia nyaman ngobrol dengan ku."Karena aku sudah memiliki kekasih hati." Aku menatapnya. Tidak ada kebohongan dari sorot matanya kali ini. Deg! Hatiku mencelos mendengarnya. "Ooh. Betapa bersyukurnya lelaki yang kamu cintai, ya. Mempunyai wanita yang setia seperti kamu." Dia hanya tersenyum dengan bibir terkatup. Kembali menyembunyikan rahasia. "Di mana dia sekarang? Kenapa kalian tidak segera menikah. Bukankah kamu sangat paham bahwa tidak boleh pacaran. Kenapa malah pacaran?" Aku akan terus mengorek informasi sebisa mungkin."Sedang sibuk sehingga belum bisa menemui dan melamar aku. Kami tidak pacaran hanya …." Aku menunggunya melanjutkan kalimatnya. Namun, dari hitungan seratus yang aku hitung mundur di dalam hati, Silvia tidak
Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol
Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it
Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b
Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han
"Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya
Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu
"Itu masalahnya. Dia tidak mau mengambil anaknya, pun tidak mengizinkan Devia diadopsi oleh orang lain. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhannya tapi belum bisa merawatnya sendiri. Tadi pun membelikan semua kebutuhan Devia."Keterangan Bu Maemunah membuatku mengernyitkan dahi. Apa yang menyebabkan dia tidak mau mengambil anaknya? Apa mungkin istri baru yang menyebabkan bapaknya anak ini memilih menitipkan Devia di panti asuhan? Untung saja Kak Abian dari awal melarang aku ketika ingin mengangkat Devia menjadi anak kami. Pasti kami akan berurusan dengan bapaknya anak ini kalau itu beneran terjadi."Semoga kamu selalu sehat, ya, Nak." Aku mencium pucuk kepalanya lama.****Satu tahun telah berlalu dan aku belum diizinkan Allah untuk mengandung lagi. Lelaki yang menjadi suamiku pun benar-benar menepati janjinya padaku. Tidak pernah mengungkit tentang kehadiran anak padaku.Kesibukan kami pun bertambah. Tidak hanya mengurusi usaha saja. Kini aku fokus di panti. Mengurus anak-anak ya
Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa
POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka