Aku memang menghentikan langkah, tapi tidak menoleh ke arahnya. Takut terlihat sedang berbinar-binar. Khawatir dia menangkap basah diriku yang sedang kegirangan. "Flamboyan pintu nomor 2," jawabku sebelum kembali melanjutkan langkah. "Nanti aku akan ke sana." Aku mengangguk meski tak melihat ke arahnya. Aku sempatkan menoleh ke arah mushola sebelum mushola benar-benar tidak terlihat olehku. Tiba-tiba rasa penasaran kembali menelusup ke hatiku. Aku tidak akan bisa mendapatkan jawaban apa pun kalau tidak berbicara dengannya lagi. Aku harus segera memastikan statusnya. Sudah menikah atau masih sendiri? Setidaknya untuk pertimbangan aku agar bisa mengambil sikap setelah mengetahui kebenarannya. Aku memutar arah. Tidak jadi ke kamar ibu. Aku menuju taman yang ada di depan Mushola. Segera ku jatuhkan bobot tubuh di salah satu kursi kayu di bawah salah pohon glodokan. Ya, di taman ini tumbuh berjejer pohon glodokan. Di depan air mancur buatan. Sesekali aku mengayunkan kaki yang menginja
"Itu masalah yang saat ini sedang aku cari jalan keluarnya." Dia mengeser tempat duduk. Dari miring menjadi lurus ke depan. Pandangannya lurus ke arah air mancur."Kenapa tidak mau dengan bapaknya?" Aku semakin berani bertanya lebih jauh setelah melihat Silvia nyaman ngobrol dengan ku."Karena aku sudah memiliki kekasih hati." Aku menatapnya. Tidak ada kebohongan dari sorot matanya kali ini. Deg! Hatiku mencelos mendengarnya. "Ooh. Betapa bersyukurnya lelaki yang kamu cintai, ya. Mempunyai wanita yang setia seperti kamu." Dia hanya tersenyum dengan bibir terkatup. Kembali menyembunyikan rahasia. "Di mana dia sekarang? Kenapa kalian tidak segera menikah. Bukankah kamu sangat paham bahwa tidak boleh pacaran. Kenapa malah pacaran?" Aku akan terus mengorek informasi sebisa mungkin."Sedang sibuk sehingga belum bisa menemui dan melamar aku. Kami tidak pacaran hanya …." Aku menunggunya melanjutkan kalimatnya. Namun, dari hitungan seratus yang aku hitung mundur di dalam hati, Silvia tidak
"Saat ini kita berteman saja dulu, Mas." Silvia menatapku sekilas sebelum pandangannya ke depan."Tetapi aku ingin lebih dari sekedar teman untukmu, Via." Silvia terdiam beberapa saat. Aku menatapnya karena masih menanti jawabannya."Mas. Kita jalani hidup ini seperti air mengalir. Terserah mau seperti apa kedepannya nanti. Kalau memang masih berjodoh pasti akan ada jalan untuk menyatukan kita. Pun sebaliknya, sekalipun aku sudah menerima lamaranmu kalau memang tidak berjodoh pasti kita akan berpisah jua." Apa yang diucapkan Silvia benar. Sangat benar. Tidak jarang orang berpisah meski sudah lamaran."Lantas mengapa kamu ingin menjadi temanku?" Aku menatap air mancur di depan kami."Mas. Kita sudah pernah menjadi suami istri. Kita juga pernah menjadi saudara angkat. Sekarang aku ingin kita berteman dulu. Sejatinya kita itu tidak saling mengenal. Sehingga saat menjadi suami istri pun tidak bisa mengatasi ketidak cocokan di antara kita." "Ketidak cocokan?" Kini aku yang mengernyitkan
Beruntungnya, saat ini yang menjaga kasir sedang tidak ada di tempat. Mungkin sedang buang hajat atau sedang shalat? Ah, bodo amat. Ini kesempatan aku untuk bisa mencuri dengar pembicaraan mereka. Sehingga aku memiliki alasan untuk tetap berdiri di tempat ini. Sedang menunggu kasir. Dengan demikian aku pun bebas mendengar obrolan dua manusia dewasa yang berbeda jenis kelaminnya."Berikan saya waktu untuk bisa lebih dekat dengan Bunda," pinta pria yang sedang duduk menghadap ke arahku. Ya, mereka ngobrol di meja belakang kasir. Silvia duduk menghadap ke arah dapur kantin. Sehingga tidak melihat aku yang sedang berdiri di belakangnya. Berbeda dengan lelaki duda yang duduk di seberangnya. Pria itu menghadap ke arahku. Untungnya dia belum mengenalku. Sehingga tidak tahu kalau aku sedang menguping pembicaraan mereka."Banyak wanita yang ada di sekeliling Pak Satria. Kenapa, Bapak malah melamar saya?" Silvia mengajukan pertanyaan sembari mengaduk minumannya dalam gelas.Penjaga kasir pun t
"Kenapa kamu tidak mau kembali padaku, Silvia? Apa karena bapaknya Putri?" tanyaku tanpa basa-basi lagi. Rasa penasaranku sudah di ubun-ubun. Silvia mendelik ke arahku. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas? Jangan-jangan kamu —" "Karena kamu sedang dekat dengan anaknya. Tidak menutup kemungkinan kamu juga dekat dengan bapaknya." Cepat aku memotong ucapan Silvia. Aku pun harus mencari alasan yang tepat agar wanita yang telah berada di atas motor matic ini tidak curiga. Bisa turun pamor dan bahaya kalau sampai dia tahu aku telah menguping pembicaraan mereka. "Sudahlah, Mas. Aku mau pamit." "Bund. Kok belum pulang?" Kami menoleh ke arah asal suara. Seorang lelaki sudah berdiri di belakangku. Silvia yang sudah siap menstater motor pun kembali urung. "Iya, Pak. Tadi ada keperluan sebentar." Silvia memberi alasan. Aku hanya menjadi pendengar di antara mereka."Ooh … ini siapa?" tanya Satria. Silvia tak juga menjawab pertanyaan Satria. Lebih baik aku yang mengambil alihnya. Cepat ak
"Maksudnya Eyang apa? Silvia itu bukan sampah bagi Bian." Suaraku tertahan di tenggorokan. Ingin rasanya aku memaki-maki lelaki di depanku itu. Aku pun menatap tak suka pada lelaki yang sedang duduk di tepi ranjang ibu. "Mas … jangan berdebat dengan eyang gara-gara aku. Sebaiknya aku segera pergi dari sini. Bu, Eyang, Mas. Silvia pamit dulu. Sebaiknya Silvia tidak pernah muncul lagi di hadapan keluarga ini." Silvia bangkit dari tempat duduknya kemudian bersalaman dengan ibu dan ke Eyang. Namun, lelaki yang sudah berumur puluhan tahun itu tak mau menerima uluran tangan Silvia. Aku hanya mematung di depan mereka. Otakku berusaha mencerna ucapan Silvia tadi. "Silvia tunggu." Aku berusaha mengejarnya setelah perempuan bergamis warna silver itu setengah berlari meninggalkan ruang rawat ibu. "Apa lagi, Mas." Langkahnya terhenti. Aku tahu dia sedang menangis. Suaranya bergetar. "Ayo, ikut aku!" Aku menarik tangannya. Namun, segera dikibaskan. "Maaf." Aku lupa kalau dia menjaga agar ta
Dari kamar ibu menuju tempat parkir kami harus berjalan cukup jauh. Namun, aku menikmati langkahku. Dari jalan yang dipasang paving block ini, aku bisa menatap taman depan Mushola dari jarak jauh. Mataku tertuju pada bangku yang menjadi saksi bisu obrolan kami beberapa kali. Aku dan Silvia.Aku memperlambat langkah saat pandangan tertuju ke arah taman. Seolah mata dan kakiku masih ingin berlama-lama mengenang kebersamaan dengan wanita yang aku cinta. Aku tak ingin kehilangan kenangan tentang taman tersebut. Lebay, alay, atau seperti ABG? Aku tidak peduli kalian mau komentar apa. Memang cintaku yang begitu besar pada Sivia, sehingga aku seperti orang gila dibuatnya."Bian. Apa yang kamu lihat di taman tersebut?" tanya ibu yang mengembalikan kesadaranku. Aku terlalu larut dalam lamunan. "Ah, nggak, Bu." Aku tidak mungkin jujur pada ibu karena di belakang beliau ada kakek yang siap melontarkan kata-kata pedasnya untuk Silvia meski wanita itu tidak ada di depanku.**** Fh****"Bian. Kap
Aku baru ada waktu untuk mencari Silvia hari ini. Setelah satu Minggu pulang dari rumah sakit. Kemarin-kemarin sibuk di ruko. "Mau mencari Silvia, Bu," jawabku pelan setelah memastikan kamar eyang masih tertutup rapat. Artinya beliau tidur kembali setelah shalat Subuh. Cuaca yang dingin membuatnya nyaman untuk berlindung di bawah selimut. Semalam diguyur hujan lebat. "Ya sudah hati-hati. Kalau kamu tidak bisa mengambil hatinya Silvia kembali, jangan berkecil hati. Masih ada Allah. Langitan doa-doamu di sepertiga malam. Ibu pun akan turut mendoakanmu."Aku tersenyum penuh kehangatan setelah mendengar tutur ibu. Restu ibu sudah aku kantongi. Yes! ****Jantungku berdegup kencang saat tiba di depan rumah paman Gozali. Bagaimana tidak, rumah sederhana itu tampak ramai oleh orang-orang. Belum lagi di depannya terparkir beberapa mobil. Ini acara apa? Gegas, aku memarkirkan mobil di pinggir jalan. Di depan rumah tetangga paman Gozali."Bu. Numpang tanya. Itu di rumah paman Gozali ada aca
Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol
Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it
Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b
Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han
"Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya
Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu
"Itu masalahnya. Dia tidak mau mengambil anaknya, pun tidak mengizinkan Devia diadopsi oleh orang lain. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhannya tapi belum bisa merawatnya sendiri. Tadi pun membelikan semua kebutuhan Devia."Keterangan Bu Maemunah membuatku mengernyitkan dahi. Apa yang menyebabkan dia tidak mau mengambil anaknya? Apa mungkin istri baru yang menyebabkan bapaknya anak ini memilih menitipkan Devia di panti asuhan? Untung saja Kak Abian dari awal melarang aku ketika ingin mengangkat Devia menjadi anak kami. Pasti kami akan berurusan dengan bapaknya anak ini kalau itu beneran terjadi."Semoga kamu selalu sehat, ya, Nak." Aku mencium pucuk kepalanya lama.****Satu tahun telah berlalu dan aku belum diizinkan Allah untuk mengandung lagi. Lelaki yang menjadi suamiku pun benar-benar menepati janjinya padaku. Tidak pernah mengungkit tentang kehadiran anak padaku.Kesibukan kami pun bertambah. Tidak hanya mengurusi usaha saja. Kini aku fokus di panti. Mengurus anak-anak ya
Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa
POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka