Langit memarkir mobilnya di depan rumah Rajendra. Ia membukakan pintu untuk Livia dan membantunya turun.Dengan hati-hati Livia masuk ke dalam rumah diikuti Langit yang mengekor di belakangnya."Silakan duduk dulu, Lang, saya buatin kopi," ujar Livia sembari mengembangkan tangannya ke arah sofa tamu."Nggak usah, Liv. Kamu duduk aja, aku yang bakal bikin kopinya," balas langit yang beranjak ke dapur seolah sudah hafal semua letak peralatan di rumah itu."Kamu?" Kedua bola mata Livia melebar."Yup. I'am."Livia tersenyum kecil. Ia membiarkan langit mengambil alih. Sementara ia duduk di sofa, memijit pelan kakinya yang terasa pegal.Tidak lama setelahnya aroma kopi menguar dari dapur. Langit muncul dengan dua cangkir kopi di tangannya. Diletakkan satu di depan Livia."Ini kopi spesial ala Langit. Nggak kalah dari buatan kamu," katanya sambil tersenyum.Livia tertawa pelan kemudian menyeruput kopinya. "Enak banget, Lang. Bisa buka kedai kopi nih.""Oh iya dong. Aku kan paket lengkap. Sem
Langit dan Livia masih berada di ruang tamu. Keduanya berbincang hangat sambil menyeruput sisa kopi di dalam cangkir. Suasana begitu santai meskipun Langit kesulitan menyembunyikan debar jantungnya setiap kali menatap wajah Livia.Perbincangan hangat itu terinterupsi ketika derap langkah terdengar dari arah depan. Livia menoleh cepat. Ia tahu betul siapa yang datang.Rajendra masuk dengan lengan kemeja yang sudah disingsingkan hingga sikunya. Sorot matanya spontan menangkap keberadaan Langit di ruang tamu, sedang duduk santai di sofa rumahnya."Ndra, kamu sudah pulang? Sudah selesai meeting-nya?" tanya Livia.Rajendra tidak menggubris pertanyaan Livia namun tatapannya tetap tertuju pada Langit. Dengan langkah tenang ia melangkah mendekati sofa."Udah lama lo?" tanyanya pada Langit."Lumayanlah. Tadi gue nganterin Livia pulang," jawab Langit.Rajendra sontak mengerutkan dahinya. "Gimana bisa lo nganterin Livia pulang?""Tadi gue nggak sengaja ketemu Livia di jalan. Katanya abis lo ting
Livia langsung memungut foto USG tersebut dari lantai lalu membersihkannya dengan lembut. Ia menatap Rajendra dengan sorot mata yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Yaitu sorot penuh kemarahan."Kenapa kamu selalu begini, Ndra? Kenapa kamu nggak pernah berpikir kalau saya juga manusia yang punya perasaan?" suaranya bergetar dan penuh tekanan.Rajendra agak terkejut mendengar nada bicara Livia. Biasanya wanita itu hanya diam atau menghindar di saat Rajendra bersikap kasar."Aku nggak peduli pada apa pun perasaanmu," jawab Rajendra dengan mata dan suara yang sama dinginnya.Livia membalas tatapan dingin Rajendra dengan sepasang mata yang tajam. Tubuhnya bergetar menahan emosi. Lelaki itu boleh saja menghina dan memperainkannya tapi jangan anak dalam kandungannya."Nggak apa-apa kalau kamu nggak peduli perasaan saya. Tapi jangan anak kita. Dia nggak salah apa-apa, Ndra.""Anak kita?" Rajendra tertawa sinis. "Anak itu bukan anakku. Paham?" Rajendra mendesis tepat di depan wajah Livi
Sudah tiga hari Rajendra tidak pulang ke rumah. Begitu pun saat malam ia tidak menginap di sana. Livia sengaja tidak menghubunginya. Terserah Rajendra mau bermalam di mana. Tapi Livia bisa memastikan kalau Rajendra pasti berada di tempat Utary.Tapi bagi Livia tidak masalah. Sejak Rajendra membuang foto USG calon anak mereka hati Livia masih terasa sakit hingga saat ini. Lebih baik Rajendra tidak pulang. Jadi mereka juga tidak akan bertengkar. Lagipula, semakin Rajendra dekat dengannya semakin besar peluang lelaki itu untuk menyakitinya.Selama tiga hari ini pula Livia bisa lebih santai. Ia tidak mendapat tekanan dari siapa pun. Ia melakukan apa pun yang disukainya tanpa ada larangan dari siapa pun. Langit juga setiap hari menelepon, menanyakan keadaan Livia. Menemani malamnya dengan berbagi cerita lucu yang sering membuat Livia tertawa. Livia tahu Langit tulus padanya. Meskipun ada hal-hal yang belum sepenuhnya ia mengerti dari lelaki itu.Livia sangat menikmati keheningan yang tiba
Pandangan mata Utary dan Indra beradu seperti magnet yang tidak bisa ditolak. Keduanya saling melempar senyum, namun di balik itu ada sesuatu yang tidak terucap. Sebuah rahasia yang hanya mereka pahami. Jantung Utary berdebar kencang. Ia tidak tahu apa ini karena rasa gugup atau sesuatu yang lebih dalam. Sedangkan Indra tampak tenang. "Cewek lo cantik banget, Ndra," kata Indra pada Rajendra tanpa melepaskan tatapannya dari Utary. Utary tampak risih sedangkan Rajendra tersenyum kecil. Utary menundukkan pandangan, melarikan diri dari tatapan Indra yang mengejarnya. Namun rasa risih di hatinya tidak kunjung hilang. "Dia memang cantik," ucap Rajendra dengan nada ringan. "Dan dia punya banyak hal yang orang-orang nggak akan pernah ngerti." Senyum tipis Indra tidak pudar. "Gue yakin banget soal itu," katanya sambil kembali menatap Utary yang kini memalingkan wajah. "Ndra, aku ke toilet bentar," ujar Utary pada Rajendra. Rajendra mengangguk. "Hati-hati." Selagi Utary ke to
Tanpa terasa sudah dua minggu lamanya Rajendra tidak pulang ke rumah. Selama itu pula Livia tidak menghubunginya. Biarlah kalau Rajendra mau bebas. Livia akan memberinya kebebasan. Lagi pula percuma Rajendra ada di rumah. Mereka hanya akan bertengkar setiap kali. Dan hati Livia akan semakin sering terluka. Namun tidak bisa ditepis kalau rasa rindu Livia pada Rajendra juga semakin tinggi. Livia mengisi hari-harinya dengan merajut atau membaca buku-buku. "Rajendra masih belum pulang?" tanya Langit suatu hari saat datang ke rumahnya. Perkataan Langit membuat Livia menghentikan sejenak rajutannya lalu menatap ke arah laki-laki itu. "Belum. Tempat Utary lebih nyaman daripada di sini. Di sini hanya ada wanita cacat yang nggak bisa ngapa-ngapain." Sejujurnya Langit merasa iba pada Livia. Perempuan itu terluka tapi selalu menyembunyikan lukanya dari orang-orang. "Livia," ucap langit dengan nada lembut. "Jangan ngomong kayak gitu lagi tentang dirimu." Livia tersenyum tipis. Namun m
Rajendra terlalu terkejut mendengar kata-kata tajam Livia. Tatapan Livia yang biasanya penuh kepasrahan kini berubah menjadi sesuatu yang berbeda. Livia seperti sedang mengeluarkan amarahnya yang selama ini terpendam."Maksudmu apa ngomong kayak gitu?" balas Rajendra dengan nada suara yang tak kalah tingginya.Livia berdiri. Ia memeluk dirinya sendiri. Seakan sedang mencoba menahan perasaan yang sudah terlalu lama ia pendam. "Saya sudah muak, Ndra. Kamu pergi tanpa kabar, tinggal di tempat wanita itu lalu datang ke sini hanya untuk bersikap kasar sama saya dan Langit. Untuk apa? Untuk membuktikan kalau saya ini memang nggak ada artinya buat kamu?"Rajendra menarik kakinya mendekati Livia dengan langkah berat. "Kamu nggak tahu apa-apa, Livia. Jadi jangan asal bicara.""Oh ya?" Livia tertawa sarkas. "Kalau memang begitu kasih tahu saya. Jelaskan apa yang sebenarnya saya nggak tahu."Rajendra mendadak bisu. Mulutnya terbuka seolah ingin bicara, tapi tidak sepatah kata pun yang keluar. Ia
Livia masih terduduk di ruang tamu. Tangisnya sudah reda. Sekarang yang dilakukannya adalah mengemasi benang-benang dan alat rajutannya. Tepat di saat itu Livia mendengar suara mobil disertai bunyi klakson.'Siapa yang datang?' pikirnya.Dengan bertumpu pada tongkatnya Livia berjalan keluar. Seketika merasa terkejut ketika menyaksikan Ryuga dan Hazel keluar dari mobil tersebut.Hazel melangkah keluar dari mobil dengan senyum cerah yang menghiasi wajahnya. Ketika melihat Livia berdiri di depan pintu, gadis kecil itu langsung berlari ke arahnya."Ibu Livia! Akhirnya kita bertemu lagi!" seru Hazel penuh semangat. Begitu berdekatan Hazel langsung memeluk Livia. "Hazel kangen sama Ibu," ucapnya manja."Ibu juga kangen sama kamu, Sayang," jawab Livia terharu sambil mengecup puncak kepala Hazel.Ryuga yang kini berdiri tak jauh dari mereka tersenyum lebar sambil menjinjing kantong besar."Apa kabar, Livia?" tanyanya."Kabar baik. Kamu gimana?""Saya ya begitu-begitu saja. Nggak ada yang ber
Livia duduk di ruang tunggu poli anak Alva Hospital dengan Gadis di dalam dekapannya.Wajah Livia terlihat tegang, pikirannya juga terusik. Sejak tadi beberapa kali ia merasa seperti sedang diawasi, namun tidak menemukan siapa pun yang mencurigakan.Diusapnya kepala Gadis yang tertidur pulas. Anak itu tampak begitu damai. Ia tidak tahu pada kekacauan yang terjadi di sekitarnya."Livia!"Dengan refleks Livia menoleh. Di detik itu jantungnya seperti hampir terlepas dari rongganya ketika menyaksikan Rajendra berdiri di ambang ruang tunggu. Kedua mata lelaki itu menatapnya dengan lekat. Lalu dengan mantap langkahnya mendekat."Rajendra ...," suara Livia begitu lirih dan hampir tidak terdengar. "Gimana kamu bisa--""Ya aku tahu kamu ada di sini," sela Rajendra memutus perkataan Livia lalu duduk di sebelahnya. "Aku cuma mau kita bicara baik-baik. Aku nggak akan macam-macam," ucapnya dengan wajah terpaku di wajah Livia.Livia mendekap Gadis dengan lebih erat. Tubuhnya terasa kaku. "Bicarala
Sepuluh menit setelah Rajendra pergi, Langit langsung menelepon Livia. Ia ingin memastikan keadaannya saat ini."Halo, Lang." Suara lembut Livia menyambut panggilan Langit."Halo, Liv," balas Langit. Suaranya lebih serius dari biasa. "Rajendra baru aja ke sini. Dia nyari kamu kayak orang gila.""Maafin saya, Lang. Tapi Rajendra nggak apa-apain kamu kan? Dia nggak mukul dan segala macam kan?" suara Livia terdengar khawatir lantaran ia tahu betapa bencinya Rajendra pada Langit. Dan itu adalah karena dirinya."Kamu tenang aja, Liv. Dia cuma ngomel-ngomel nggak jelas. Nggak ada kekerasan fisik." Langit sedikit berbohong agar Livia tidak khawatir."Syukurlah." Livia terdengar lega."Gadis mana?""Dia sudah tidur.""Aman kan di sana?""Sejauh ini aman. Makasih ya udah bantuin aku pindahan." "Kamu makasih melulu, Liv. Kalau dihitung-hitung makasih kamu tuh udah nggak terhitung."Livia tertawa. Tadi siang ketika Langit sudah di kantornya ia menelepon lelaki itu, mengatakan keinginannya untu
Rajendra menyetir mobilnya dengan kencang. Emosinya meluap-luap. Tujuannya adalah apartemen Langit. Ia tidak yakin Livia ada di sana karena Langit pasti menyembunyikannya. Tapi ia akan memaksa Langit untuk bicara. Malam ini juga ia harus tahu keberadaan Livia dan putrinya.Sesampainya di area apartemen Langit, Rajendra memarkir mobilnya dengan kasar. Dengan langkah lebar ia menuju lift. Tangannya Terkepal erat, siap melampiaskan emosinya.Setelah pintu lift terbuka, Rajendra keluar dengan napas berat. Tepat ketika kakinya berhenti di depan unit Langit, ia langsung mengetuk pintu dengan keras. "Buka pintunya, Lang!" suruhnya dengan nada menggelegar.Tidak adanya jawaban dari dalam sana membuat Rajendra terus mengetuk bahkan menggedor, hingga para tetangga sekitar mulai mengintip.Lama kelamaan pintu pun terbuka. Memunculkan Langit yang menghadapinya dengan wajah tenang. Sesuai dengan penampilannya yang santai. Lelaki itu mengenakan kaus oblong dan celana pendek."Oh, lo, Ndra. Ngapa
Livia terbangun lebih cepat dari biasanya. Bisa dibilang ia hampir tidak bisa tidur semalaman. Ancaman dari Rajendra membuatnya tidak tenang walau ia sudah mencoba berbagai cara menenangkan diri.Sambil mendorong stroller Gadis yang masih mengantuk, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Langit sudah lebih dulu ada di sana. Ia sedang menyeduh kopi."Pagi, Liv. Tidur kamu nyenyak?"Livia menjawab dengan gelengan kepala. "Saya hampir nggak bisa tidur. Saya nggak bisa berhenti memikirkan ancaman Rajendra."Langit berhenti menyeduh kopinya. Ditatapnya Livia dengan serius. "Aku akan pergi dari sini untuk sementara. Jadi kamu aman. Nggak apa-apa kan kalau kamu cuma berdua dengan Gadis?""Nggak apa-apa, Lang. Gadis masih bayi. Saya masih bisa mengatasinya. Kecuali kalau dia sudah pandai merangkak mungkin saya agak kesulitan," jawab Livia. Livia juga tidak ingin menahan Langit agar bersamanya. Meski sejujurnya langit memberi banyak bantuan dan membuatnya merasa aman dari orang-orang
Rajendra mengemudi dengan kecepatan di atas normal. Rasa marah, frustrasi dan sedih bercampur menjadi satu mengisi hatinya.Setiap kali memikirkan bahwa Livia tinggal di bawah atap yang sama dengan Langit, emosinya naik ke ubun-ubun. Bagaimana mungkin wanita yang dulu menjadi istrinya menolaknya dengan keras, namun membiarkan lelaki lain masuk ke dalam kehidupannya?"Gue nggak bakal biarin ini berlangsung lebih lama," gumamnya sambil mencengkeram setir kuat-kuat.Setelah tiba di depan rumah Livia, Rajendra mematikan mesin mobil. Setelah turun dari sana, ia melangkah lebar ke depan pintu rumah Livia dan mengetuknya dengan kuat."Livia!" serunya keras. "Livia, buka pintunya atau aku dobrak!"Livia sedang menidurkan Gadis ketika mendengar suara keras itu. Ia terkejut mendengarnya. Gadis mengerjap kecil dengan setengah tertidur.Livia bangkit dari tempat tidur dan menarik napas panjang sebelum membuka pintu kamarnya.Langit yang juga mendengar keributan itu lebih dulu sampai ke ruang tamu
Selepas Lola pergi, Livia mengembuskan napas panjang. Rasanya begitu lega. Siapa pun yang ada kaitannya dengan Rajendra membuatnya tidak nyaman.Livia tidak percaya kalau Rajendra mencintainya seperti yang dikatakan Langit. Livia yakin di balik ingin kembalinya Rajendra hanya untuk menindas Livia. Livia masih ingat betul segala perkataan Rajendra dulu bahwa dia tidak ingin menceraikan Livia agar hidup Livia menderita karena Livia juga sudah membuatnya menderita. Gara-gara Livia Rajendra harus kehilangan wanita yang dicintainya. Lalu kini Livia menyimpulkan. Agar Livia menderita maka Rajendra sengaja mencari wanita lain untuk menyakitinya, yaitu Utary.Livia tidak ingin kejadian yang sama terulang dua kali. Livia tidak tahu siapa sesungguhnya wanita yang dicintai Rajendra. Entah wanita itu masih hidup atau sudah mati. Bisa saja sewaktu-waktu wanita itu muncul ke dalam kehidupannya dan Rajendra. Terlepas dari semua kejahatan Rajendra dulu, bagi Livia, inilah jalan terbaik. Hidup berdua
Sudah dua minggu lamanya Gadis bernapas di dunia. Hampir setiap hari ada paket yang datang ke rumah melalui ekspedisi. Isinya adalah perlengkapan bayi seperti baju, selimut, dan yang lainnya. Tidak ada nama pengirim di sana. Tapi Livia yakin 100% bahwa yang mengirimnya adalah Rajendra. Kalau dulu Livia mengembalikan semua barang-barang yang diberi lelaki itu ke rumahnya, sekarang setiap ada paket yang datang berisi perlengkapan Gadis maka Livia akan membuangnya tanpa pikir panjang.Pintu rumah diketuk ketika Livia sedang merajut. Saat itu Gadis tengah tidur, jadi ia bisa memanfaatkan waktunya untuk berkarya.Livia mengembuskan napasnya. Ia curiga jangan-jangan pihak ekspedisi lagi yang datang untuk mengantar paket dari Rajendra.Meraih tongkatnya, Livia berjalan dengan terpincang-pincang untuk membuka pintu rumah. Ia sudah bersiap-siap menolak jika paket itu tanpa nama. Namun yang dilihatnya bukan tukang paket, melainkan Lola, mertua tirinya."Tante Lola?" Livia terkejut atas banyak
Malam telah larut ketika Rajendra tiba di rumah. Seharian itu ia melalui waktu di kantor dengan pikiran kacau balau. Pembicaraan dengan Livia tadi siang masih terus melekat di benaknya. Termasuk sorot dingin wanita itu yang menyiratkan ketegasan agar menjauh dari hidupnya.Rajendra memarkir mobilnya di halaman rumah dengan rasa lelah. Setelah ia turun, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya kaget.Di depan rumahnya tampak perlengkapan bayi yang ia beli untuk Gadis."Apa-apaan?" gerutunya kesal.Rajendra melangkah mendekat dengan deru napas yang bertambah berat. Tangannya menyentuh satu demi satu barang-barang itu seakan ingin memastikan bahwa seluruh barang ini memang barang yang ia belikan untuk putrinya. Barang-barang yang dibawanya ke rumah Livia dengan harapan akan diterima. Yang terjadi, Livia menolak itu semua. Bukan hanya menolak, tapi juga meminta orang untuk mengembalikan ke rumah Rajendra.Terdengar embusan napas panjang dari mulut Rajendra. Kedua tangannya t
Livia sedang duduk di kursi sambil menyusui Gadis. Peristiwa beberapa jam yang lalu masih melekat di benaknya.Rajendra memang sudah pergi, tapi barang-barang yang ia bawa masih ada di depan rumah. Lelaki itu meninggalkannya walau Livia dengan frontal menolak.Sambil terus memberi Gadis asupannya, satu ingatan muncul di kepala Livia. Ketika Rajendra membuang foto USG Gadis dan menganggapnya sebagai sampah. Dari sanalah rasa muaknya pada Rajendra muncul yang memicunya untuk bangkit dari cengkeraman dan penindasan laki-laki itu."Liv, itu di depan kenapa banyak barang-barang bayi? Kamu belanja lagi untuk Gadis?" suara Langit yang baru saja tiba menggilas habis lamunan Livia. Livia menoleh dan menemukan wajah heran Langit."Tadi Rajendra ke sini. Dia membawa barang-barang untuk Gadis seperti yang kamu lihat.""Terus kenapa masih ada di luar? Dia nggak membantu sekalian untuk memasukkannya ke dalam rumah?" tanya Langit lagi begitu ingat keadaan Livia yang tidak mungkin membawa barang-bar