Napas Livia terengah-engah. Jantungnya berdegup cepat tanpa bisa dikendalikan setelah ia berhasil melakukan perlawanan pada Rajendra barusan.
Rajendra yang merintih kesakitan menatap Livia dengan api amarah yang membara di matanya. Lelaki itu mengusap-usap kakinya yang kesakitan."Beraninya kamu melawanku!" ucap pria itu dengan nada marah namun seperti tidak ada kekuatan yang cukup untuk melanjutkan ucapannya tersebut."Saya sudah bilang dari awal saya nggak mau tapi kamu terus memaksa. Di mana perasaan kamu, Ndra? Setelah kamu berzina dengan dia kamu langsung memaksaku untuk bercinta denganmu. Wanita mana pun nggak akan mau diperlakukan seperti itu!"Rajendra terdiam. matanya yang penuh dengan amarah itu meredup. Perasaan sakit di kakinya membuat kemarahannya seolah terbatasi."Kamu istriku, Livia. Aku berhak melakukan apa pun padamu. Tidak peduli kamu suka atau tidak! Dan kamu wajib memenuhi apa pun yang suamimu inginkan. Belajar lagi kLivia masih berada di tempatnya berdiri sambil memandangi Rajendra yang asyik merokok.Cara Rajendra memegang batang rokok. Cara pria itu mengisapnya dalam-dalam lalu mengepulkan asapnya ke udara terlihat begitu estetik di mata Livia. Membuatnya benar-benar jatuh cinta pada lelaki itu.Livia kemudian ingat. Biasanya setiap kali merokok Rajendra akan ditemani secangkir kopi.Saat ini secangkir kopi itu tidak ada di atas meja. Rasanya agak ganjil lantaran Livia sudah tahu kebiasaan Rajendra dengan baik. Tanpa ia sadari Livia melangkahkan kakinya ke dapur untuk membuatkan kopi untuk Rajendra. Dengan gerakan yang sudah terlatih Livia menyiapkan kopi hitam favorit Rajendra. Aroma khasnya yang menguar perlahan memenuhi ruangan, menghangatkan ruangan yang sepi.Sesudah kopi itu siap untuk disajikan Livia berdiri sesaat sambil memandangi uap tipis di permukaan kopi tersebut. Livia hela napasnya dalam-dalam sembari menenangkan gejolak jantungnya yang berdetak dengan cepat.Kemudian Livia memb
Livia masih belum berani mengatakan pada Rajendra tentang rencananya untuk kembali mengajar les. Hubungan mereka baru saja 'membaik'. Livia takut jika ia meminta izin maka akan memancing kemarahan Rajendra.Setelah sekian lama Livia tak juga datang, Hazel merengek pada papanya."Pa, Bu livia kenapa nggak pernah datang. Aku salah apa, Pa?" Anak itu menarik-narik baju Ryuga."Hazel, akhir-akhir ini Bu Livia sangat sibuk makanya belum sempat ke sini," jawab Ryuga memberikan alasan."Tapi masa sibuk melulu sih, Pa? Aku kangen ingin belajar sana Bu Livia. Aku juga ingin main piano dengannya." Hazel mulai merengek, membuat Ryuga sedikit kebingungan untuk menenangkannya."Oke, oke, sekarang kita telepon Bu Livia-nya ya. Coba Hazel yang langsung ngomong dan minta sama Bu Livia." Ryuga mengambil ponsel, mencari nomor telepon Livia dan menghubunginya. Setelah tersambung Ryuga memberikan ponsel pada sang putri."Halo, Ryuga." Livia menyapa pelan."Bu Livia, ini Hazel, bukan papa," jawab suara ke
Rajendra yang panik melihat darah yang terus mengalir di sela-sela paha Utary berlutut di sampingnya."Tary, kamu kenapa, Sayang? Kenapa bisa berdarah begini?""Aku nggak tahu, Ndra. Tiba-tiba aja sakit dan keluar darah," rengek Utary dengan wajah pucat sambil menahan rasa sakit. Air mata jatuh setetes demi setetes dari pelupuknya.Livia menyaksikan pemandangan itu dalam diam. Livia kasihan pada Utary yang tampak menahan sakit. Sedangkan di sisi lain ia merasa cemburu melihat Rajendra yang begitu panik karena Utary. Kapan Rajendra akan mencemaskan Livia seperti yang dirasakannya pada Utary?"Ayo bawa Tary ke rumah sakit, Ndra. Dia butuh penanganan dokter. Khawatir nanti terjadi sesuatu yang buruk pada anak kalian," ucap Livia mengesampingkan perasaan pribadinya.Rajendra menengadah memandang Livia. Walau tidak menjawab tapi ia setuju atas saran Livia.Rajendra mengangkat Utary dari lantai lalu membopongnya ke mobil.Livia duduk di kursi belakang sambil terus mengamati Utary yang masih
Di rumah sakit itu Livia merasakan malam bergulir dengan lambat. Sambil duduk di tempatnya di pojok ruangan, Livia tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Rajendra dan kekasihnya. Rajendra duduk di kursi yang berada tepat di sebelah bed Utary sambil menggenggam tangannya dan sesekali membelai kepala perempuan itu. Utary terus merengek pada Rajendra."Aku nggak mau lama-lama di sini, Ndra. Aku mau pulang." Utary merengek sabil menggoyang-goyangkan tangan Rajendra."Iya, iya, sabar ya, Sayang. Kalau dokter udah ngizinin kita pasti pulang.""Tapi aku udah nggak apa-apa, Ndra. Aku sehat kok." Utary memasang wajah baik-baik saja dan menghiasinya dengan sedikit senyuman untuk meyakinkan Rajendra mengenai apa yang dikatakannya.Rajendra menggelengkan kepala. "Kamu belum terlalu sehat. Tadi dokter bilang padaku kondisi kamu masih lemah dan harus dilakukan beberapa pemeriksaan lagi untuk memastikan keadaan kamu."Livia bungkam dalam duduknya mencoba menekan perasaan yang bergejolak di dadanya
Malam terus berlanjut. Di tengah kesunyian rumah sakit Livia masih terus berjaga. Ia khawatir kalau tiba-tiba Utary terbangun dan mencari Rajendra. Pandangan Livia terus tertuju pada perut buncit Utary. Ia membayangkan jika dirinya juga berada di posisi Utary, apa Rajendra akan bahagia? Apa lelaki itu akan berubah menyayanginya dan menganggap dirinya ada?Livia ingin sekali hamil mengandung anak Rajendra. Namun mungkin betul yang dikatakan orang-orang, dirinya adalah perempuan mandul yang tidak akan mungkin dianugerahi keturunan.Livia kemudian melirik ke arah Rajendra yang tengah tidur nyenyak di sofa. Wajah lelaki itu tampak tenang. Ia begitu pulas dalam tidurnya, menandakan bahwa dirinya betul-betul lelah.Ketika Livia mengembalikan pandangannya pada Utary ia melihat bibir perempuan itu bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Gumaman kecil terdengar dari mulutnya."Indra ..."Livia menajamkan telinganya. Tampaknya Utary sedang bermimpi.Tapi kenapa dia memanggil nama In
Setibanya di rumah, Livia langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa Badannya sungguh lelah, matanya ngantuk berat. Rasanya ingin tidur seharian. Saat tanpa sengaja pandangannya bertemu dengan tempat tidur yang besar dan empuk, Livia merasa ingin tidur di sana. Pasti nyaman sekali rasanya tidur di atas kasur empuk itu. Apalagi di saat sedang lelah-lelahnya seperti sekarang. Namun Livia tahu diri. Rajendra pasti marah jika tahu ia tidur di sana.Matanya yang berat dan ngantuk ditambah lagi oleh hawa dingin dari AC di kamarnya membuat Livia langsung tertidur. Rasanya baru sebentar Livia tertidur. Ia tersentak ketika ponselnya berbunyi. Perempuan itu menggeliat mencari-cari hp-nya dengan mata tertutup."Halo," sapanya tanpa melihat nama di layar."Livia, cepat ke rumah sakit." Livia sontak membuka mata ketika menyadari telepon itu adalah dari suaminya."Eh, iya, Ndra. Kamu bilang apa?" Livia bertanya lantaran nyawanya belum terkumpul seutuhnya."Aku bilang cepat ke rumah sakit. Apa kamu
Sudah tiga hari Utary dirawat di rumah sakit. Perlahan-lahan keadaannya semakin membaik. Dan kabar baiknya jika tidak ada perubahan maka esok hari Utary diperbolehkan pulang.Saat ini Rajendra sedang menyuapi Utary makan. Sementara Livia duduk sedikit jauh dari mereka.Ia memerhatikan dengan perasaan tidak karuan. Ada rasa cemburu, sedih dan kecewa yang muncul di saat bersamaan.Rajendra dengan lembut dan telaten menyuapi Utary. Lelaki itu memastikan setiap suapan akan memberi wanita yang dicintainya kekuatan penuh.Kapan ia akan memperoleh perlakuan yang seperti itu dari Rajendra? Bahkan Livia yakin sekalipun dirinya mengidap kanker ganas Rajendra tetap abai padanya.Tiba-tiba ponsel Rajendra berbunyi menginterupsi mereka.Pria itu menghentikan suapannya pada Utary lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Ketika melihat nama yang tertera di layar ekspresinya berubah serius."Tar, aku jawab sebentar ya," izinnya pada sang kekasih. Kemudian mengalihkan pandangan pada Livia. "Liv, suapi Utar
Di antara banyak pasien yang menanti, ada Livia yang duduk di ruang tunggu poli kandungan. Tangannya agak gemetar, pikirannya kalut, namun di satu sisi ada segenggam kecil harapan yang ia pegang. Jika saja ia bisa memberi anak mungkin Rajendra akan sedikit memandang padanya atau menganggapnya ada.Tudingan Utary tentang dirinya yang mandullah yang mendorong Livia datang ke tempat ini. Ia ingin memeriksakan kesehatannya pada dokter. Ia ingin tahu kondisi yang sebenarnya.Setelah cukup lama, perawat memanggil nama Livia dan menyuruhnya masuk ke ruangan dokter.Livia duduk di hadapan sang obgyn dengan perasaan canggung. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Sampai kemudian dokterlah yang mengajaknya bicara duluan."Ibu Livia, ada yang bisa saya bantu, Bu?""Saya ... Saya ingin memeriksakan kondisi kesehatan saya, Dok." Livia bicara sedikit terbata-bata. "Saya sudah dua tahun lebih menikah tapi belum memiliki anak."Dokter mengangguk paham. "Suami Ibu mana?""Saya sendiri, Bu, dia nggak ik
Rajendra cuma bisa berdiri di depan pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Perasaan tidak karuan menghantamnya dari segala arah.Ia menyandarkan punggungnya ke dinding dengan tangan terkepal erat. Tatapannya kabur, bukan karena ia rabun, tetapi karena menahan air mata agar tidak jatuh.Dirinya laki-laki. Pantang baginya untuk menangis, namun ini terlalu menyakitkan. Dirinya yang punya anak dan akan menjadi bapak, tetapi kenapa orang lain yang harus mendampingi istrinya?Di dalam ruangan bersalin terdengar samar suara Livia yang mengerang menahan sakit. Ingin rasanya Rajendra menerobos masuk ke dalam ruangan itu dan mengatakan bahwa dirinyalah yang berhak mendampingi Livia, bukan Langit. Lola kemudian mendekat. Disentuhnya bahu Rajendra dengan lembut. "Nggak usah sedih, Ndra. Jangan pernah lupakan, sakit yang kamu rasakan nggak ada apa-apanya dengan yang dirasakan Livia dulu.""Tapi ini kelewatan, Tante. Aku yang seharusnya berada di sana, bukan laki-laki lain," lirih Rajendra putu
Napas Livia tertahan. Dadanya langsung sesak begitu melihat sosok yang telah ia coba lupakan berdiri tidak jauh dari tempatnya.Rajendra terlihat berbeda. Sosoknya lebih kurus dan wajahnya tampak lelah.Langit yang memerhatikan ekspresi Livia memegang tangannya dengan erat. "Kita pergi ke arah lain atau tunggu sampai mereka selesai?" tanyanya.Livia menggerakkan kepalanya ke arah Langit. "Kita hadapi saja. Mungkin sudah saatnya saya ketemu sama mereka.""Kamu yakin?"Livia mengangguk penuh keyakinan. Perutnya kembali ditendang dari dalam, membuatnya meringis kesakitan.Tangisan keras Randu tiba-tiba terdengar. Tangisan yang pernah mengisi hari-hari Livia. Membuat Livia tanpa sadar melangkah ke arah mereka. Dan Langit tidak sempat mencegah.Rajendra memandang ke sumber suara langkah yang menghampirinya. Kedua matanya refleks melebar ketika menyaksikan wanita yang selama ini ia cari ada di dekatnya. Seluruh badannya gemetar. Ia ingin melafalkan nama wanita itu tapi suaranya tercekat."L
Pertanyaan ibu tirinya tentang sang istri seolah melempar pukulan tidak kasat mata pada Rajendra.Livia. Nama itu membuat dadanya sesak. Ia menunduk, menghindari tatapan Lola padanya. Sedangkan Erwin yang masih berdiri dengan tangan berkacak pinggang mendengkus keras."Liv ... Livia--" Rajendra membuka mulut tetapi kata-katanya terhenti begitu saja."Kenapa, Ndra? Livia baik-baik aja kan?" Lola bertanya lagi dengan penuh rasa ingin tahu."Livia nggak di rumah, Tante," jawab Rajendra pada akhirnya dengan suara seperti bisikan.Lola terlihat kaget. "Maksud kamu apa? Livia ke mana? Kenapa nggak ada di rumah?"Rajendra telan salivanya. Ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Livia ... pergi, Tante. Waktu itu aku salah paham tentang dia. Dan akhirnya dia pergi dari rumah."Erwin yang mendengarkan keterangan Rajendra spontan menggebrak meja di hadapannya. "Apaan lu, Ndra? Cewek yang benar malah lu usir, yang nipu malah lu sayang-sayang. Otak lu ditaruh di mana, hah? Atau jangan-
Akhirnya malam itu Rajendra membawa Randu kembali bersamanya. Sepanjang malam ia hampir tidak bisa tidur memikirkan keputusan besar yang yang telah diputuskannya.Membiarkan Randu tetap bersamanya sama artinya dengan berkomitmen ia akan mengurus, menjaga dan merawat anak itu. Ia akan menjadi bapak dari anak itu.Keesokan harinya Rajendra terbangun dengan kepala berat, sebab ia hanya tidur beberapa jam saja. Randu sudah terbangun lebih dulu. Anak itu mengoceh sendirian sambil mencolek-colek tangan Rajendra."Hai, kamu mau bangunin Papa ya?"Randu terus mengoceh tanpa tahu kekalutan hati Rajendra."Papa harus kerja hari ini. Di rumah ini nggak ada siapa-siapa. Papa juga belum sempat nyari pengasuh buat kamu. Dan kamu nggak mungkin Papa tinggalin sendiri di rumah."Rajendra menghela napas panjang memikirkan segala keruwetan itu. Ia tidak mungkin membawa Randu ke kantor. Para pegawainya pasti heboh. Ia juga tidak yakin mendapatkan pengasuh secepat ia mendapatkan Asih dulu."Coba kalau ada
"Persetan dengan semuanya. Anak ini bukan anak gue. Gue nggak ada sangkut pautnya sama dia. Dia cuma bakal jadi beban buat gue. Masalah gue udah banyak, gue nggak mau nambah lagi." Itulah kesimpulan Rajendra setelah mempertimbangkan apakah akan meletakkan Randu ke panti asuhan.Randu membelokkan mobilnya ke apartemen. Ia akan mengambil perlengkapan Randu di sana seperti pakaian, selimut dan susu. "Shit!" makinya ketika sepatunya menginjak pecahan kaca besar yang hampir membuatnya tersandung.Sejak ngamuk waktu itu Rajendra membiarkan apartemennya porak poranda. Nggak ada gunanya juga dibersihkan.Ia menendang pecahan kaca di lantai dengan jengkel, yang membuat bunyi berderak, memecah keheningan apartemen. Tempat yang kacau balau tersebut lebih mirip dengan area perperangan ketimbang sebagai kediaman. Serpihan-serpihan kaca, potongan-potongan foto, dan barang yang berserakan di mana-mana menjadi reminder kemarahannya beberapa hari yang lalu.Rajendra membawa langkahnya menuju kamar u
Sudah tiga hari pasca operasi Randu dirawat di rumah sakit. Hari ini anak itu sudah boleh dibawa pulang. Tapi Rajendra masih bingung. Ia tidak tahu akan membawa Randu ke mana. Sebenarnya Rajendra bisa saja meninggalkan Randu di rumah sakit, tapi pasti pihak rumah sakit akan mencarinya karena data-data Rajendra sebagai orang tua Randu tercantum di sana.Rajendra memandang Randu yang terbaring di ranjang rumah sakit. Anak itu begitu kecil dan rapuh. Kalau ingin mengikuti keegoisan hatinya Rajendra bisa saja membuangnya di jalan."Mau gue bawa ke mana anak ini?" Rajendra bergumam dalam kebingungan. Ia sudah mencoba mencari Utary dengan menghubungi teman-teman perempuan itu. Namun tidak satu pun yang mengetahui keberadaan Utary. Atau mungkin mereka berbohong? Entahlah."Pak Rajendra," suara pelan seorang perawat mengeluarkan Rajendra dari lamunannya.Rajendra menoleh."Apa sudah ada yang akan menjemput atau mengantar Bapak dan Randu pulang ke rumah?"Rajendra termangu dalam keterdiaman.
Rajendra sampai di rumah sakit dengan pikiran kusut. Ia memarkir mobilnya sembarangan tanpa peduli apakah posisinya sudah benar atau tidak.Ia melangkah cepat menuju ruang tunggu operasi. Rasa marah, sedih, kecewa dan dikhianati berbaur dalam dadanya.Ketika melihat Rajendra muncul, Utary langsung berdiri. Wajah perempuan itu begitu kesal."Ke mana aja sih? Lama banget dari tadi. Randu sudah selesai operasinya!" ketus Utary dengan keras.Rajendra tidak memedulikan pertanyaan itu. Matanya menatap Utary dengan dingin. Mungkin ini adalah untuk pertama kalinya mata yang biasa penuh perhatian itu menyorot penuh kebencian."Kita perlu bicara, Tar," ucap Rajendra dengan nada rendah tapi tajam.Dahi Utary mengernyit. "Mau bicara apa? Randu butuh kita sekarang.""Justru karena Randu kita harus bicara sekarang." Rajendra menarik langkahnya mendekati Utary yang membuat perempuan itu mundur selangkah. "Lo pikir gue nggak tahu apa yang lo sembunyiin selama ini?""Maksud kamu apa sih, Ndra? Aku ngg
Kecurigaan yang terus mengganggu pikirannya mendorong lelaki itu untuk mengambil langkah sulit. Ia tahu hal ini akan merusak hubungan antara dirinya dan Utary. Tapi Rajendra tidak memiliki jalan lain. Jika Utary tidak dapat memberinya kebenaran, maka Rajendra akan menemukannya sendiri.Setelah memastikan Randu tertidur pulas dan Utary sedang berada di luar, Rajendra memiliki kesempatan untuk mengumpulkan sampel DNA. Rajendra mengusap bagian dalam pipi Randu untuk mengambil salivanya menggunakan kapas swab yang sebelumnya ia dapatkan dari laboratorium. "Maafin Papa, Sayang," gumamnya pelan.Rajendra memasukkan swab tersebut dengan hati-hati ke dalam wadah steril. Tak lupa ia juga mengambil beberapa helai rambut Randu sebagai sampel alternatif.Setelahnya ia mengatakan pada Utary akan ke apartemen untuk mengambil baju ganti.Rajendra menyetir menuju laboratorium swasta yang menerima tes DNA dengan cepat dan kerahasiaannya terjaga. Petugas laboratorium mengatakan hasilnya akan keluar se
Keluar dari ruangan dokter, Rajendra terus memikirkan penjelasan yang tadi didengarnya. Walaupun merasa lega lantaran kondisi Randu bisa diatasi namun hatinya tetap dihantui pertanyaan mengenai asal penyakit tersebut.Diliriknya Utary yang berjalan di sebelahnya dengan ekspresi kesal. Rajendra tidak tahu entah kenapa Utary tidak suka dengan keputusan untuk menjalani pemeriksaan. "Kenapa kamu menolak buat diperiksa?" Rajendra bertanya di sela-sela langkah mereka.Utary menghentikan langkahnya dan menatap Rajendra tidak suka. "Aku cuma nggak mau masalah ini jadi besar, Ndra. Apa nggak cukup kita tahu kalau Randu bisa sembuh?""Bukan itu masalahnya, Tar. Kalau memang penyakit ini penyakit genetik, kita harus tahu sumbernya supaya Randu nggak mengalami hal buruk ke depannya.""Kenapa sih kamu bikin rumit semuanya? Kamu cuma mau nyari alasan buat nyalahin aku kan?" Utary menyedekapkan tangannya."Aku nggak mau menyalahkan siapa pun. Aku cuma mau yang terbaik buat Randu," ujar Rajendra men