"Hazel, Ryuga!" seru Livia terkejut menyaksikan kedatangan keduanya."Ibu Liviaaa. Aku kangen ibuuuu!" Hazel langsung memeluk pinggang Livia meluapkan perasaannya.Livia membungkuk untuk membalas pelukan Hazel. "Ibu juga kangen Hazel, Sayang. Maafin ibu ya belum bisa datang ke rumah."Sementara Rajendra dan Utary hanya diam menyaksikan interaksi keduanya."Livia, maaf, Hazel yang memaksa saya untuk datang ke sini. Katanya kangen sama Ibu Livia," kata Ryuga setelah Livia mengajaknya duduk di ruang tamu.Rajendra mendengkus pelan sambil membatin kesal, 'Dasar modus, bilang aja lo yang kangen, pake alasan anak lo segala'.Lalu Rajendra segera mendorong kursi roda Utary keluar dari rumah, mengajaknya ke beranda seperti yang perempuan itu inginkan."Nggak apa-apa, Ryuga. Saya juga kangen sama Hazel," ujar Livia sambil menggenggam tangan Hazel yang duduk di sebelahnya."Oh iya, yang di kursi roda tadi siapa?" tanya Ryuga. Ia rasa baru kali ini melihat perempuan hamil di kursi roda tersebut.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah Ryuga, Hazel tidak berhenti bersenandung riang. Anak itu begitu gembira bertemu dengan Livia."Lihat sendiri kan Hazel senang banget ketemu sama kamu," ujar Ryuga yang sedang menyetir.Livia tersenyum kecil. Ia bisa merasakan betapa bahagianya Hazel. Terlebih dengan melihat binar yang tidak ada habisnya di wajah anak itu.Senyum kecilnya itu melebar ketika Livia menyadari betapa anak itu menyayanginya dan sebaliknya. Keberadaan anak itu mengusir rasa tidak nyaman dan kegelisahan dalam hatinya. "Saya juga senang kembali ketemu dengan Hazel." Livia berkata pelan sambil memandang Hazel yang bersenandung menatap pemandangan di luar jendela. "Dia ceria banget ya?"Ryuga menganggukkan kepalanya dan menatap sang putri melalui spion. "Hazel akan mudah dekat dan selalu gembira dengan orang yang dia suka. Dan kamu adalah orangnya." Ryuga menutup ucapannya dengan menatap Livia bersama senyumnya.Kebersamaannya dengan Ryuga dan Hazel membuat Livia menemukan k
"Livia, nggak usah," larang Ryuga lantaran merasa tidak enak hati. Ia belum bisa melupakan bagaimana dinginnya sikap Rajendra padanya. Apalagi nanti jika Livia mengurus Hazel di rumah Rajendra. "Biar Hazel tinggal dengan Bibi saja. Saya nggak mau merepotkan kamu. Dia sudah terbiasa setiap saya pergi tinggal dengan pembantu kami."Livia memberi Ryuga tatapan lembut. Ia berusaha meyakinkan pria itu. "Nggak apa-apa, Ryuga. Saya nggak repot. Bagi saya Hazel bukan lagi sekadar murid tapi sudah saya anggap sebagai anak kandung sendiri. Saya malah senang bisa lama-lama bersama Hazel. Kamu tahu sendiri kan saya nggak punya anak?" Ada senyum getir di bibir Livia saat mengucapkannya yang membuat Ryuga menjadi trenyuh.Ryuga menarik napasnya. Lelaki itu masih terlihat ragu yang tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Bagaimana dengan Rajendra? Saya nggak mau merusak hubungan kalian. Saya nggak mau dia salah paham dan kamu yang jadi pelampiasannya."Livia membisu untuk sesaat menyadari kekhawati
Livia terperangah mendengar perkataan Rajendra yang keras dan selalu menyinggung hatinya. Namun ia putuskan untuk mengalah. Tidak ada gunanya berdebat dengan Rajendra karena ia akan selalu kalah."Terserah kamu, Ndra, kamu boleh berpikir apa pun tentang saya," ucap Livia tetap tenang.Namun Rajendra belum puas juga. Lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada. "Jangan pura-pura, Livia. Aku tahu alasan kamu yang sebenarnya. Kamu jadikan anak itu agar kamu terus dekat dengan Ryuga kan? Apa masih nggak cukup juga aku menerima semua ini? Sekarang kamu juga membawa-bawa anaknya juga?"Kesabaran Livia hampir habis sampai di sini. "Kamu ngerti nggak sih apa itu empati? Kalau kamu nggak bisa menghargai niat baik saya, setidaknya jangan rendahkan saya seperti itu."Rajendra mengambil langkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka. Ditatapnya Livia dengan sorot mata penuh amarah."Kamu pikir kamu siapa, Livia? Kamu tinggal di sini dan makan dari uangku. Dan kamu masih punya keberanian u
Pagi ini Livia sedang sibuk di dapur. Hazel yang juga bangun saat Livia bangun tadi datang mendekat sambil memeluk bonekanya."Bu Livia, aku bantu ya," ujar anak itu dengan riang.Livia mengulas senyum lembut lalu menjawab, "Boleh-boleh saja, tapi Hazel hanya boleh bantu yang ringan-ringan saja ya, seperti mengambil piring atau sendok.""Iya, Bu." Hazel membantu Livia dengan hati-hati setiap kali wanita itu memberinya instruksi.Tak lama kemudian Rajendra muncul di dapur dengan wajah dinginnya. Ia memerhatikan interaksi Livia dan Hazel tanpa sepotong kata pun.Hazel yang melihat kehadiran Rajendra menyapa lelaki itu. "Om Ndra, aku bantu Ibu Livia masak. Aku pintar kan, Om?" serunya riang.Pada awalnya Rajendra berniat mengabaikan. Namun ada sesuatu dalam cara Hazel memandangnya, serta kepolosan dan keceriaannya yang mengingatkan Rajendra pada masa kecilnya sendiri.Rajendra lantas berdeham dan bertanya, "Kamu bantu apa?" lidahnya kelu.Hazel memperlihatkan sendok serta garpu yang ia p
"Ibu Livia, tadi aku dengar Tante jahat itu teleponan tapi bisik-bisik," lapor Hazel ketika Livia sedang menyiapkan menu makan siang."Tante Utary, Sayang, bukan Tante jahat," koreksi Livia sambil tersenyum."Iya Tante itu maksudnya, Bu. Kenapa sih dia teleponan bisik-bisik? Emang bakalan dengar ya, Bu?"Untuk sesaat Livia membisu, berusaha menenangkan pikirannya yang mendadak dipenuhi tanda tanya. Hazel memang anak kecil, tapi terkadang perkataannya tidak bisa diabaikan begitu saja.Livia berusaha menjelaskan dengan santai meski ia merasakan dadanya berdebar. "Kadang orang berbisik-bisik biar nggak ada yang mendengar omongan mereka, Sayang.""Berarti rahasia?" tanya Hazel penasaran."Betul sekali, Hazel. Kadang orang dewasa juga punya alasan sendiri kenapa harus merahasiakan sesuatu," ujar Livia sambil membelai rambut Hazel. "Udah yuk, bantu Ibu mengantar makan siang untuk Tante Utary ke kamarnya.""Kenapa Ibu yang mengantar? Tante itu kan punya tangan dan kaki yang lengkap, dia bisa
Hari-hari terus berlalu. Dan tidak ada yang berubah dari hubungan Livia dan Rajendra. Utary masih terus tinggal bersama mereka. Bahkan sekarang usia kandungannya sudah berada di bulan ke sembilan. "Liiiv! Mana juice-nya? Kok lama banget sih?" teriak Utary yang sedang nonton TV di ruang keluarga. Ditemani oleh Rajendra yang duduk di sebelahnya.Di ruang belakang, Livia menghela napas. Tangannya menuang juice ke gelas tapi pikirannya tidak berada di tempat itu. Sudah sembilan bulan lamanya ia hidup dengan penuh ketegangan. Utary semakin manja dan selalu memerintahnya tanpa henti.Livia melangkah membawa juice yang diinginkan Utary ke ruang keluarga. Ia mendapati Utary sedang tertawa-tawa sambil menonton acara komedi. Di sebelahnya Rajendra tidak berkata apa-apa namun tatapan tajamnya tertuju pada Livia yang baru saja tiba."Ini juice-nya," kata Livia sembari meletakkan gelas di atas meja tepat di hadapan Utary."Lama banget bikinnya," gerutu Utary sambil meraih gelas itu dan menyesapn
Hari ini Rajendra ulang tahun tapi Livia belum menyampaikan selamat dalam bentuk apa pun padanya. Tahun lalu saat ia mengucapkannya Rajendra hanya mengacuhkannya. Begitu juga ketika Livia menyiapkan hidangan yang banyak dan lezat untuk merayakannya. Rajendra tidak sedikit pun menyentuh hidangannya. Malam itu Livia menangis sedih sambil meringkuk di Sofanya yang dingin.Hari ini Livia tidak menyiapkan apa-apa. Ia tahu apa pun bentuk usahanya tetap tidak akan dihargai. Tidak kue, tidak juga ucapan selamat apalagi hadiah."Ndra, hari ini saya mau pergi belanja bulanan. Stock semakin menipis jadi saya terpaksa meninggalkan Utary sebentar," kata Livia pagi itu sebelum suaminya berangkat kerja."Jadi susu, makanan dan vitamin aku gimana dong?" protes Utary yang juga ada di sana."Kamu tenang aja, saya akan siapkan semuanya sebelum pergi," ujar Livia."Perginya jangan lama-lama. Kandungan Utary tinggal menunggu hari," ucap Rajendra yang khawatir dan tidak tega kalau Utary harus tinggal sendi
Pagi itu Livia bertemu dengan Rajendra. Rajendra mengantar anak-anak ke sekolah sedangkan Livia datang ke daycare untuk mengatakan bahwa mulai hari ini Gadis tidak dititip lagi ke sana karena sudah ada omanya."Nanti pulangnya dijemput Papa lagi kan?" tanya Adis yang digandeng Rajendra di tangan kanan sedangkan tangan kiri Rajendra menggandeng Lunetta. Di sebelahnya ada Randu."Hmm ... kalo misalnya kali ini Papa nggak bisa jemput Adis, gimana?" Rajendra membuat pengandaian."Papa sibuk kerja ya, Pa?""Lumayan, Sayang. Papa sibuk banget. Papa lagi banyak kerjaan.""Berarti Adis di daycare sampai sore?" Gadis menengadah dan terlihat sedikit kecewa."Nggak juga, Sayang. Nanti Adis, Kak Lunetta dan Bang Randu dijemput sama Om Geri ya?"Dahi Gadis berkerut. Ini adalah untuk pertama kalinya ia mendengar nama itu. Siapa dia? pikirnya."Om Geri tuh siapa, Pa?""Om Geri supir Papa. Orangnya baik dan nggak galak. Adis nggak usah takut pokoknya." "Lebih baik mana dari Om Jav?" Gadis mendongak
Livia terdiam menatap cincin berlian yang berkilau di dalam kotak. Ia tidak tahu harus berkata apa. Semestinya ini momen yang membahagiakan kan? Tapi mengapa ada sesuatu yang terasa berat? Ia teringat bagaimana sentuhan tidak sopan Handi. Dan bagaimana Javier hanya tertawa dan menganggapnya sebagai angin lalu. Malam ini membuka matanya bahwa dunia Javier bukanlah dunianya."Maaf, Jav, aku nggak bisa."Ekspresi Javier seketika berubah. "Maksud kamu.""Aku nggak bisa menerima lamaran kamu. Itu maksudku."Kotak cincin tadi masih berada di tangan Javier namun terasa berada begitu jauh sekarang."Kenapa? Aku pikir kita sudah sangat lama bersama. Aku pikir ini yang kamu inginkan."Livia menggeleng. "Kita berbeda, Jav. Cara kita memandang hidup nggak sama. Selain itu statusku masih istri orang," jelas Livia."Itu makanya aku suruh kamu mengurus perceraian. Agar semua jelas. Jadi kalau pun kamu mau menolakku seenggaknya dalam status bukan sebagai istri orang." Pada bagian ini suara Javier te
Di halaman belakang rumah aroma ikan bakar semakin kuat. Dengan telaten Rajendra membolak-balikkan ikan besar di atas panggangan. Sementara di sebelahnya beberapa ekor ikan kecil sedang digoreng hingga renyah.Gadis duduk di bangku plastik, menunggu dengan sabar sambil mengayun kakinya. Sesekali menghirup aroma ikan bakar dengan penuh rasa antusias. Begitu berbeda dengan Lunetta yang berdiri dengan tangan menyilang di depan dada. Anak itu tampak tidak senang."Papa, kenapa ikan buat aku cuma ikan kecil?" Lunetta memprotes, membandingkan dengan ikan besar yang dibakar untuk Gadis."Tadi Kak Lunetta bilang mau ikan goreng kan? Jadi Papa gorengkan. Lihat nih walau kecil-kecil tapi banyak. Ikan kecil ini kalau dikumpulin bakalan sama kayak ikan bakar Adis.""Tapi tetap aja Adis dapat yang besar sedangkan aku yang kecil. Aku mau ikan yang besar!" Lunetta bersungut-sungut."Kalau Kak Lunetta mau ikan besar, ambil punya Adis aja, Kak," ujar Gadis mengalah."Aku kan udah bilang nggak suka ika
Javier turun dari mobilnya. Hari itu lelaki tersebut berpenampilan casual menggunakan celana jeans dan kaos Polo berwarna navy."Ada tamu, Liv?" tanya pria itu pada Livia yang menyambutnya.Livia mengangguk."Siapa?" Javier memandang ke arah rumah."Rajendra. Sekarang lagi mancing sama Gadis dan dua anak lainnya di belakang."Ekspresi Javier berubah dalam hitungan detik mendengar informasi itu."Kamu gimana sih, Liv? Katanya hari ini kita mau jalan ke mall.""Sorry, Jav. Aku juga nggak tahu kalau Rajendra bakal ke sini. Dia yang bikin janji sama Gadis. Dan Gadis nggak bilang ke aku."Javier berdecak kesal karena Rajendra merusak rencananya. Sejak lelaki itu hadir, hubungannya dengan Livia dan Gadis menjadi kacau."Sekarang panggil Gadis, kita pergi." Javier memerintah."Nggak bisa begitu, Jav. Gadis lagi quality time sama papanya. Aku nggak mungkin tiba-tiba ngerusak kebahagiaan dia. Dia lagi happy-happy-nya.""Kalau begitu kita pergi berdua.""Sorry, Jav. Aku nggak mungkin ninggalin
Pagi itu halaman rumah Livia diterpa cahaya matahari dengan hangat. Gadis asyik membantu Livia menyiram bunga di halaman.Ketika suara mobil terdengar berhenti di luar pagar awalnya Gadis tidak peduli siapa yang datang. Ia pikir teman Livia atau siapa. Namun ketika tahu itu Rajendra, Gadis langsung berseru riang. "Papa!" dan langsung berlari ke arah mobil Rajendra.Livia yang sedang membersihkan halaman rumah ikut memandang ke arah itu. Ia tidak tahu apa maksud kedatangan Rajendra hari ini. Apalagi dengan membawa Randu dan Lunetta."Papa kok ke sini nggak bilang-bilang Adis dulu?" Gadis mendongak penuh rasa penasaran."Kan Papa udah janji hari Minggu kita mau mancing di kolam belakang. Adis lupa ya?""Oh iya ya. Adis baru ingat." Gadis melompat kegirangan.Livia menghela napas pelan melihat Rajendra mengambil alat pancingnya dari bak belakang pick up double cabin. Apalagi lelaki itu juga membawa dua anaknya yang lain."Sini Adis bawa, Pa," ujar Gadis antusias.Rajendra memberi satu p
Ketika Javier berkata akan membantu mengurus perceraian, Livia hanya diam. Jemarinya saling bertautan di atas pangkuannya, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. Semestinya ia merasa lega. Perceraian tersebut adalah akhir dari segala keterikatan dengan Rajendra. Tapi kenapa hatinya justru terasa berat?Livia menatap ke luar jendela mobil dengan sorot kosong. Dadanya semakin terasa sesak."Aku akan bantu kamu bicara sama pengacara," kata Javier yang masih fokus menyetir.Livia mengambil napas dalam. "Javier ..." Ia menggigit bibir, merasa ragu untuk melanjutkan perkataannya."Ya.""Kamu yakin perceraian ini adalah jalan terbaik untukku?""Sure. Setelah semua derita yang kamu alami kamu berhak mendapatkan yang terbaik. Kamu sudah terlalu lama menderita."Terlalu lama menderita.Kalimat itu seharusnya menyadarkan Livia. Menjadi pengingat bahwa Rajendra pernah menyakitinya begitu dalam. Tapi kenapa di dalam hatinya ada suara yang membisikkan bahwa ia masih harus bertahan?Bahwa ia
Di dalam mobil Rajendra, Randu dan Gadis duduk di kursi belakang sambil bersenda gurau. Sementara Lunetta menatap keduanya dengan perasaan tidak senang. Lunetta tidak suka melihat kedekatan Randu dan Gadis. Gadis seolah sedang mengambil Randu darinya. Gadis yang baru saja masuk ke dalam hidup mereka kini seolah mengambil tempat Lunetta di hati Randu."Bang Randu mau nggak main ke rumah Adis?" tanya Gadis setelah mereka puas bersenda gurau. Ia tertawa kecil dengan mata dipenuhi binar. "Di belakang rumah Adis ada kolam ikan. Kita bisa ambil ikannya terus digoreng deh.""Oh ya?" Randu tampak tertarik.Gadis mengangguk-angguk. "Ikannya udah gede-gede lho, Bang. Dulu Om Jav yang beli bibitnya."Rajendra yang mendengar obrolan keduanya sejak tadi mengembuskan napas. Lagi-lagi Om Jav. Tampaknya Lelaki itu yang selalu berjasa dalam hidup Livia dan Gadis. Perannya begitu besar terutama dalam pertumbuhan Gadis."Terus gimana cara kita tangkap ikannya?" Randu tampak berpikir."Kan bisa dipancin
"Papa, kita ke mana? Kok jalannya bukan jalan ke sekolah?" tanya Lunetta begitu mereka berbelok ke sebelah kiri di perempatan lalu lintas. Biasanya jalan ke sekolah mereka adalah lurus."Kita jemput Gadis dulu ya," jawab Rajendra yang sedang menyetir.Lunetta berdecak mendengarnya. "Emang dia siapa sih, Pa? Kenapa harus pergi sekolah sama kita?""Lunetta, Papa kan udah bilang kalau Gadis itu saudara kalian juga. Dia juga anak Papa," kata Rajendra memberi pengertian.Lunetta langsung memberengut dan membuang pandangannya ke jalan."Jangan ngambek dong. Gadis itu anak baik. Kamu belum nyoba main sama dia kan?" Rajendra tersenyum sambil mengelus rambut Lunetta.Sementara Randu yang duduk di belakang tidak banyak protes. Ia tidak menganggap Gadis sebagai saingannya. Hanya merasa heran atas semua kejadian yang tiba-tiba ini. Tiba-tiba punya saudara, tiba-tiba menjadi keluarga.Mobil Rajendra berhenti tepat di depan rumah Livia. Dari arah berlawanan sebuah Range Rover hitam ikut berhenti. D
Livia baru saja menemani Gadis menggosok gigi dan mengganti piyama. Sekarang mereka berbaring di tempat tidur ditemani oleh lampu tidur yang redup. Gadis memeluk boneka Mashanya dengan erat."Bunda ...," panggil Gadis pelan."Iya, Sayang?" Livia menjawab sambil menyibak rambut Gadis yang menutupi sedikit wajahnya."Apa benar Papa Rajendra itu papanya Adis? Kenapa Bunda bilang kalau papanya Adis udah meninggal?"Livia terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut datang lebih cepat dari yang ia kira. Matanya menatap wajah Gadis yang polos tapi penuh rasa ingin tahu. Gadis memang masih kecil. Tapi banyak pertanyaan-pertanyaannya yang tidak mampu Livia jawab."Bunda ..." Gadis menggoyangkan tangan Livia dengan pelan, menunggu jawaban.Livia menelan saliva lalu mencoba merangkai kata-kata. "Sayang, dulu Bunda kira Papa memang sudah meninggal soalnya Papa dan Bunda sangat lama berpisah, tapi ternyata Papanya Adis masih hidup.""Jadi Bunda bohongin Adis?" Gadis mengerutkan keningnya."Nggak, Sayang.