Setibanya di rumah, Livia langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa Badannya sungguh lelah, matanya ngantuk berat. Rasanya ingin tidur seharian. Saat tanpa sengaja pandangannya bertemu dengan tempat tidur yang besar dan empuk, Livia merasa ingin tidur di sana. Pasti nyaman sekali rasanya tidur di atas kasur empuk itu. Apalagi di saat sedang lelah-lelahnya seperti sekarang. Namun Livia tahu diri. Rajendra pasti marah jika tahu ia tidur di sana.Matanya yang berat dan ngantuk ditambah lagi oleh hawa dingin dari AC di kamarnya membuat Livia langsung tertidur. Rasanya baru sebentar Livia tertidur. Ia tersentak ketika ponselnya berbunyi. Perempuan itu menggeliat mencari-cari hp-nya dengan mata tertutup."Halo," sapanya tanpa melihat nama di layar."Livia, cepat ke rumah sakit." Livia sontak membuka mata ketika menyadari telepon itu adalah dari suaminya."Eh, iya, Ndra. Kamu bilang apa?" Livia bertanya lantaran nyawanya belum terkumpul seutuhnya."Aku bilang cepat ke rumah sakit. Apa kamu
Sudah tiga hari Utary dirawat di rumah sakit. Perlahan-lahan keadaannya semakin membaik. Dan kabar baiknya jika tidak ada perubahan maka esok hari Utary diperbolehkan pulang.Saat ini Rajendra sedang menyuapi Utary makan. Sementara Livia duduk sedikit jauh dari mereka.Ia memerhatikan dengan perasaan tidak karuan. Ada rasa cemburu, sedih dan kecewa yang muncul di saat bersamaan.Rajendra dengan lembut dan telaten menyuapi Utary. Lelaki itu memastikan setiap suapan akan memberi wanita yang dicintainya kekuatan penuh.Kapan ia akan memperoleh perlakuan yang seperti itu dari Rajendra? Bahkan Livia yakin sekalipun dirinya mengidap kanker ganas Rajendra tetap abai padanya.Tiba-tiba ponsel Rajendra berbunyi menginterupsi mereka.Pria itu menghentikan suapannya pada Utary lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Ketika melihat nama yang tertera di layar ekspresinya berubah serius."Tar, aku jawab sebentar ya," izinnya pada sang kekasih. Kemudian mengalihkan pandangan pada Livia. "Liv, suapi Utar
Di antara banyak pasien yang menanti, ada Livia yang duduk di ruang tunggu poli kandungan. Tangannya agak gemetar, pikirannya kalut, namun di satu sisi ada segenggam kecil harapan yang ia pegang. Jika saja ia bisa memberi anak mungkin Rajendra akan sedikit memandang padanya atau menganggapnya ada.Tudingan Utary tentang dirinya yang mandullah yang mendorong Livia datang ke tempat ini. Ia ingin memeriksakan kesehatannya pada dokter. Ia ingin tahu kondisi yang sebenarnya.Setelah cukup lama, perawat memanggil nama Livia dan menyuruhnya masuk ke ruangan dokter.Livia duduk di hadapan sang obgyn dengan perasaan canggung. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Sampai kemudian dokterlah yang mengajaknya bicara duluan."Ibu Livia, ada yang bisa saya bantu, Bu?""Saya ... Saya ingin memeriksakan kondisi kesehatan saya, Dok." Livia bicara sedikit terbata-bata. "Saya sudah dua tahun lebih menikah tapi belum memiliki anak."Dokter mengangguk paham. "Suami Ibu mana?""Saya sendiri, Bu, dia nggak ik
"Hazel, Ryuga!" seru Livia terkejut menyaksikan kedatangan keduanya."Ibu Liviaaa. Aku kangen ibuuuu!" Hazel langsung memeluk pinggang Livia meluapkan perasaannya.Livia membungkuk untuk membalas pelukan Hazel. "Ibu juga kangen Hazel, Sayang. Maafin ibu ya belum bisa datang ke rumah."Sementara Rajendra dan Utary hanya diam menyaksikan interaksi keduanya."Livia, maaf, Hazel yang memaksa saya untuk datang ke sini. Katanya kangen sama Ibu Livia," kata Ryuga setelah Livia mengajaknya duduk di ruang tamu.Rajendra mendengkus pelan sambil membatin kesal, 'Dasar modus, bilang aja lo yang kangen, pake alasan anak lo segala'.Lalu Rajendra segera mendorong kursi roda Utary keluar dari rumah, mengajaknya ke beranda seperti yang perempuan itu inginkan."Nggak apa-apa, Ryuga. Saya juga kangen sama Hazel," ujar Livia sambil menggenggam tangan Hazel yang duduk di sebelahnya."Oh iya, yang di kursi roda tadi siapa?" tanya Ryuga. Ia rasa baru kali ini melihat perempuan hamil di kursi roda tersebut.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah Ryuga, Hazel tidak berhenti bersenandung riang. Anak itu begitu gembira bertemu dengan Livia."Lihat sendiri kan Hazel senang banget ketemu sama kamu," ujar Ryuga yang sedang menyetir.Livia tersenyum kecil. Ia bisa merasakan betapa bahagianya Hazel. Terlebih dengan melihat binar yang tidak ada habisnya di wajah anak itu.Senyum kecilnya itu melebar ketika Livia menyadari betapa anak itu menyayanginya dan sebaliknya. Keberadaan anak itu mengusir rasa tidak nyaman dan kegelisahan dalam hatinya. "Saya juga senang kembali ketemu dengan Hazel." Livia berkata pelan sambil memandang Hazel yang bersenandung menatap pemandangan di luar jendela. "Dia ceria banget ya?"Ryuga menganggukkan kepalanya dan menatap sang putri melalui spion. "Hazel akan mudah dekat dan selalu gembira dengan orang yang dia suka. Dan kamu adalah orangnya." Ryuga menutup ucapannya dengan menatap Livia bersama senyumnya.Kebersamaannya dengan Ryuga dan Hazel membuat Livia menemukan k
"Livia, nggak usah," larang Ryuga lantaran merasa tidak enak hati. Ia belum bisa melupakan bagaimana dinginnya sikap Rajendra padanya. Apalagi nanti jika Livia mengurus Hazel di rumah Rajendra. "Biar Hazel tinggal dengan Bibi saja. Saya nggak mau merepotkan kamu. Dia sudah terbiasa setiap saya pergi tinggal dengan pembantu kami."Livia memberi Ryuga tatapan lembut. Ia berusaha meyakinkan pria itu. "Nggak apa-apa, Ryuga. Saya nggak repot. Bagi saya Hazel bukan lagi sekadar murid tapi sudah saya anggap sebagai anak kandung sendiri. Saya malah senang bisa lama-lama bersama Hazel. Kamu tahu sendiri kan saya nggak punya anak?" Ada senyum getir di bibir Livia saat mengucapkannya yang membuat Ryuga menjadi trenyuh.Ryuga menarik napasnya. Lelaki itu masih terlihat ragu yang tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Bagaimana dengan Rajendra? Saya nggak mau merusak hubungan kalian. Saya nggak mau dia salah paham dan kamu yang jadi pelampiasannya."Livia membisu untuk sesaat menyadari kekhawati
Livia terperangah mendengar perkataan Rajendra yang keras dan selalu menyinggung hatinya. Namun ia putuskan untuk mengalah. Tidak ada gunanya berdebat dengan Rajendra karena ia akan selalu kalah."Terserah kamu, Ndra, kamu boleh berpikir apa pun tentang saya," ucap Livia tetap tenang.Namun Rajendra belum puas juga. Lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada. "Jangan pura-pura, Livia. Aku tahu alasan kamu yang sebenarnya. Kamu jadikan anak itu agar kamu terus dekat dengan Ryuga kan? Apa masih nggak cukup juga aku menerima semua ini? Sekarang kamu juga membawa-bawa anaknya juga?"Kesabaran Livia hampir habis sampai di sini. "Kamu ngerti nggak sih apa itu empati? Kalau kamu nggak bisa menghargai niat baik saya, setidaknya jangan rendahkan saya seperti itu."Rajendra mengambil langkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka. Ditatapnya Livia dengan sorot mata penuh amarah."Kamu pikir kamu siapa, Livia? Kamu tinggal di sini dan makan dari uangku. Dan kamu masih punya keberanian u
Pagi ini Livia sedang sibuk di dapur. Hazel yang juga bangun saat Livia bangun tadi datang mendekat sambil memeluk bonekanya."Bu Livia, aku bantu ya," ujar anak itu dengan riang.Livia mengulas senyum lembut lalu menjawab, "Boleh-boleh saja, tapi Hazel hanya boleh bantu yang ringan-ringan saja ya, seperti mengambil piring atau sendok.""Iya, Bu." Hazel membantu Livia dengan hati-hati setiap kali wanita itu memberinya instruksi.Tak lama kemudian Rajendra muncul di dapur dengan wajah dinginnya. Ia memerhatikan interaksi Livia dan Hazel tanpa sepotong kata pun.Hazel yang melihat kehadiran Rajendra menyapa lelaki itu. "Om Ndra, aku bantu Ibu Livia masak. Aku pintar kan, Om?" serunya riang.Pada awalnya Rajendra berniat mengabaikan. Namun ada sesuatu dalam cara Hazel memandangnya, serta kepolosan dan keceriaannya yang mengingatkan Rajendra pada masa kecilnya sendiri.Rajendra lantas berdeham dan bertanya, "Kamu bantu apa?" lidahnya kelu.Hazel memperlihatkan sendok serta garpu yang ia p
Rajendra meneguk salivanya. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Mungkin kamu cuma berhalusinasi, Liv. Bisa saja itu bayangan dari cerita yang pernah kamu dengar."Livia mengerutkan dahi, matanya meneliti ekspresi Rajendra. Livia yakin ia tidak sedang berhalusinasi. Ia yakin betul yang ia lihat itu benar-benar ada, hanya saja ia tidak tahu siapa orangnya. "Jadi nggak ada siapa pun di rumah ini yang pincang?" suaranya lebih pelan dan penuh selidik."Nggak ada," dengan cepat Rajendra menggeleng.Namun Livia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh di dadanya. Bayangan itu terasa nyata.Erwin yang dari tadi diam tiba-tiba berdeham pelan. "Ayo kita naik dulu, Liv. mungkin kalau kamu melihat kamarmu akan ada lebih banyak lagi hal yang bisa kamu ingat."Livia mengangguk meskipun pikirannya masih berkutat pada sosok pincang yang muncul dalam kepalanya.Mereka menaiki tangga. Langkah Livia terasa lebih berat dari sebelumnya. Ada perasaan asing namun juga familier saat tangannya menyentuh pegangan ka
Rajendra menggenggam setir dengan erat, ia mencoba mengatur napasnya. Livia menatapnya penuh tanda tanya, tentu saja tidak menyadari betapa dalam luka yang ia sentuh dengan pertanyaannya barusan."Kita pernah tinggal di beberapa tempat." Akhirnya Rajendra menjawab, terdengar begitu hati-hati. "Awalnya di rumah orang tuaku terus kita pindah ke rumah sendiri, tapi ada sesuatu yang terjadi dan kita harus kembali ke rumah Papi."Dahi Livia berkerut. "Sesuatu yang terjadi?" ulangnya. Matanya tidak lepas dari Rajendra.Rajendra menghela napas di dalam diam. Ia tahu cepat atau lambat Livia akan bertanya, namun ia tidak siap untuk mengenang kembali semua peristiwa pahit itu."Rumah kita dulu terbakar," jawab Rajendra lirih Livia sontak terkejut. "Gimana bisa?""Karena korsleting listrik. Setelah itu kita nggak punya pilihan selain pindah ke rumah Papi untuk sementara waktu. Tapi akhirnya kita bisa punya rumah baru lagi."Livia terdiam. Ada banyak pertanyaan di kepalanya, tapi ia juga bisa me
Pagi itu Rajendra turun lebih awal ke dapur. Sebelum keduluan Tasia ia ingin membuat kopinya sendiri. Saat ia membuka lemari untuk mengambil cangkir, sebuah tangan tiba-tiba menyodorkan cangkir ke arahnya."Ini, Pak," kata Tasia dengan suara yang terdengar lembut.Rajendra menoleh dan menemukan Tasia berdiri sangat dekat dengannya."Kamu sudah bangun?" tanyanya sedikit terkejut.Tasia tersenyum kecil. "Saya memang selalu bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan. Bapak tahu kan saya suka memastikan semuanya berjalan lancar di rumah ini? Apalagi Ibu Livia lagi sakit."Rajendra menerima cangkir dari Tasia dan mengucapkan terima kasih.Ketika ia hendak menuangkan kopi Tasia dengan sengaja menyentuh tangannya. "Oh maaf," kata Tasia dengan tawa kecil. "Saya terlalu dekat ya?"Rajendra mundur sedikit tapi Tasia tetap berdiri di tempatnya."Saya senang melihat Bapak mulai rileks. Saya harap Bapak tahu kalau saya selalu ada kalau Bapak butuh seseorang untuk berbicara," katanya dengan nada l
Malam itu setelah meminum obat, Livia keluar dari kamar. Anak-anak sedang mengerjakan PR dengan Tasia, sedangkan Rajendra entah ke mana.Livia berjalan dan bermaksud duduk di beranda. Setelah pintu ia buka ternyata ia melihat Rajendra sedang duduk sendiri. Livia bermaksud kembali ke dalam rumah tapi Rajendra sudah terlanjur melihatnya."Sayang!" kata pria itu. "Mau ke mana?"Livia menghentikan langkahnya sejenak. Ia Ragu harus melangkah ke dalam atau tetap bertahan di tempat. Tapi ada sesuatu dalam nada suara pria itu yang terasa akrab dan hangat."Aku hanya ingin duduk sebentar di luar," jawab Livia pelan menghindari tetapan suaminya.Rajendra menggeser duduk. Ia memberi ruang di sebelahnya. "Duduk di sini Liv."Livia merasa ragu tapi kakinya justru melangkah mendekat. Hanya saja ia duduk di kursi yang lain, menjaga jarak dari Rajendra.Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Hanya ada suara angin yang berembus lembut dan desiran dedaunan yang bergerak pelan. "Sudah mera
Tasia jelas saja terkejut mendapat serangan dari Rajendra. "Maaf, Pak, saya tidak tahu kalau itu rahasia. Saya mengatakannya pada ibu Livia hanya agar ingatannya cepat kembali. Saya nggak ada maksud apa-apa."Rajendra menggelengkan kepalanya. Ia terlalu kecewa pada sikap Tasia. "Selama ini saya percaya sama kamu," lanjutnya dengan suara dingin. "Saya menganggap kamu sebagai orang yang bisa saya andalkan. Tapi ternyata kamu lebih memilih jadi pengadu domba."Tasia langsung melihatkan wajah sedih seolah perkataan Rajendra benar-benar menyakitinya. "Pak, saya hanya ingin membantu.""Membantu apa?" potong Rajendra sebelum perempuan itu melanjutkan kalimatnya. "Yang kamu lakukan justru menimbulkan kekacauan.""Tapi Bu Livia berhak tahu kenyataannya, Pak.""Itu bukan hak kamu buat kasih tahu dia!" bentak Rajendra. Emosinya benar-benar memuncak. "Apa kamu pikir saya nggak akan pernah bilang apa pun? Apa kamu pikir saya akan menyembunyikan hal itu selamanya? Lagian itu bukan urusan kamu. Tuga
Rajendra terkekeh pelan meski ada sedikit rasa sakit menusuk jiwa. "Red flag?" ulangnya."Iya, naluriku yang bilang begitu," jawab Livia.Rajendra teguk salivanya. Kalau naluri Livia saja sudah mengatakan bahwa ia adalah cowok red flag, berarti dulu Livia memang pernah terluka karena dirinya kan?"Aku nggak seburuk itu, Liv," kata Rajendra akhirnya. "Kalau aku memang red flag, kenapa kamu cinta sama aku?"Livia mengerutkan dahi. Ia ingin membantah tapi satu pun ingatan tentang perasaan terhadap Rajendra tak pernah bisa ia temukan. Itu yang membuatnya semakin ragu. "Apa aku benar-benar jatuh cinta sama kamu?" pandangnya tajam."Iya," jawab Rajendra mantap. "Kamu mencintaiku, Livia. Sama seperti aku mencintaimu."Livia membisu begitu lama. Sorot matanya tajam, seolah mencoba membaca kebenaran di balik kata-kata Rajendra."Kalau aku memang cinta sama kamu kenapa aku nggak bisa mengingat apa pun?" tanyanya pelan.Rajendra menelan ludah lalu menggenggam lembut tangan Livia. "Nggak apa-apa
Livia sudah bangun sejak tadi pagi. Tapi sampai detik ini ia masih berada di dalam kamar. Berbaring sambil bermenung sendiri. Sisa-sisa kesedihan masih berjejak di hatinya. Perasaan kecewa karena merasa dibohongi belum sepenuhnya pergi.Saat Livia sedang asyik merenung pintu kamarnya diketuk."Bunda! Bunda udah bangun?" Itu suara Gadis.Livia mengesah pelan."Nda, Adis boleh masuk nggak?"Livia menoleh ke arah pintu lalu dengan berat hati terpaksa mengatakan. "Masuk aja."Perlahan-lahan pintu terbuka, memperlihatkan seorang anak kecil yang sudah siap dengan seragam merah putihnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai bebas. Sebuah bandana berwarna pink lembut menghiasi kepalanya. Membuatnya tampak begitu manis dan menggemaskan.Dengan langkah kecilnya Gadis mendekati tempat tidur Livia lalu bicara pada perempuan yang masih berbaring itu. "Bunda, kenapa masih tiduran? Bunda sakit ya?" tanyanya sembari meraba kening Livia."Bunda cuma mau istirahat," lidah Livia kelu saat mengucapk
Livia berjalan tanpa arah. Malam semakin larut, udara dingin menusuk kulit, tapi ia tidak peduli. Kata-kata Astrid terus terngiang di telinganya.AKU ASTRID, ISTRI EVANJadi selama ini ia hanya tempat persinggahan sementara? Atau dirinyalah yang salah arah? Evan begitu baik padanya, begitu perhatian, tetapi pada akhirnya ia tetap pria yang sudah memiliki istri.Air mata yang ia tahan sejak tadi di akhirnya jatuh. Livia tertawa miris. Bodoh. Ia merasa sangat bodoh.Ponselnya bergetar berkali-kali. Nama Evan muncul di layar, tapi ia tidak ingin menjawab. Apalagi yang perlu dijelaskan? Semua fakta sudah ada di depan mata.Tanpa sadar hati membawanya kembali ke rumah Rajendra. Setelah masuk ia langsung menuju kamar tanpa menyapa siapa pun. Ia hanya ingin bersembunyi dari dunia yang terasa semakin menyakitkan. Namun Rajendra yang kehilangan Livia sejak tadi melihat semuanya. Wajah Livia yang muram, tatapan mata yang kosong dan langkahnya yang gontai.Rajendra tidak bisa tinggal diam. Denga
Saat jam kerja sudah selesai Evan mengajak Livia pulang. "Aku harus pulang ke mana?" Livia bertanya bingung."Ke rumah kamu. Rumah Rajendra. Biar aku yang antar."Livia menggeleng. "Harus berapa kali aku bilang kalau aku nggak nyaman tinggal di sana? Semua terasa asing.""Itu hanya perasaanmu, Liv. Nggak ada yang asing. Kasihan anakmu, Liv. Dia pasti kehilangan ibunya kalau kamu terus bersikap kayak gini. Aku antar ya? Besok kita ketemu lagi." Evan terus membujuk Livia agar mau pulang."Janji?" kata Livia kurang percaya."Janji." Evan mengangkat kelingkingnya.Livia ragu sejenak tapi akhirnya ia menyambut kelingking Evan dan mengaitkan dengan miliknya.Sepanjang perjalanan Livia lebih banyak diam. Matanya menerawang keluar jendela, mengamati lampu-lampu kota yang menyala seiring datangnya malam. Evan melirik ke arahnya sesekali."Livia," panggilnya."Ya?""Maaf kalau aku terlalu memaksamu. Tapi aku nggak mau kamu semakin jauh dari kehidupanmu yang sebenarnya."Livia hanya diam sampa