Rajendra terdiam beberapa saat. Ia menatap Livia dengan sorot berpikir.Ohio. Tempat Sharon berada jika wanita itu masih hidup. Bagi Rajendra kembali ke sana sama dengan kembali ke masa lalu yang ingin ia tinggalkan."Liv, kamu yakin mau kita urus sekarang?"Livia mengangguk mantap. "Aku nggak mau terus-terusan ada konflik. Lunetta nggak bisa nerima aku karena dia merasa aku merebut kamu dari ibunya.""Aku ngerti. Tapi minggu depan anak-anak baru ujian. Gimana kalau saat anak-anak libur kita baru ke sana.""Itu artinya tiga minggu lagi?" Mata Livia membesar, sudah tidak tahan menunggu masa itu."Ya, kira-kira tiga minggu lagi."Livia mengesah, menunjukkan sikap tidak sabar. Bagaimana ia hidup satu rumah dengan anak tirinya yang kurang ajar dan terlalu cepat dewasa itu?"Kasihan Gadis kalau melewatkan ujiannya, Liv. Kita bisa pergi sekarang kalau mau, tapi aku nggak mau ninggalin Gadis." Rajendra menggenggam tangan Livia."Me too."Livia akhirnya setuju walau dalam hati ia merasa berat
Setibanya di sekolah Lunetta lebih dulu meloncat turun dari mobil. Sedangkan Randu menunggu Gadis."Bang Randu duluan aja. Adis mau ngobrol sebentar sama Bunda," kata Gadis pada Randu yang masih termangu menantinya.Randu mengangguk kemudian menyalami tangan Livia. Anak itu keluar dari mobil dan berjalan menuju kelasnya.Sementara itu Gadis yang duduk di sebelah Livia hanya diam mematung. Membuat Livia bertanya-tanya apa yang terjadi pada anaknya."Adis kenapa, Nak? Kenapa masih duduk di sini?"Gadis mendongak menatap pada Livia. Wajah anak itu terlihat bingung dan sedih."Tadi Kak Lunetta kenapa marah-marah sama Bunda? Emangnya Bunda salah apa?" Livia membisu sesaat mencari cara yang tepat untuk menjawab pertanyaan Gadis tanpa membebani pikirannya."Bunda nggak salah apa-apa, Sayang," ujarnya lembut dengan penuh kasih."Tapi Kak Lunetta jahat. Dia kasar sama Bunda," ucap Gadis dengan mata berkaca-kaca.Livia segera memeluknya. "Kok nangis sih, Sayang? Bunda kan baik-baik aja, Nak."
Rajendra mengusap wajahnya dengan kasar. Seolah tak percaya pada kata-kata Livia."Dia bilang begitu?" ulangnya untuk memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Livia menghela napas panjang. "Iya, aku tahu dia masih kecil, belum bisa menerima situasi kita. Tapi kata-katanya tadi benar-benar menusuk, Ndra."Rajendra meremas rambutnya sendiri, merasa frustasi. Ia sudah sering menasihati Lunetta dan mengajarkan yang baik-baik tapi seolah semua percuma."Dari mana dia tahu istilah itu, Liv?""Entahlah. Mungkin diam-diam dia nonton sinetron di kamarnya," jawab Livia tidak pasti sambil duduk di sebelah Rajendra. "Salah kita juga, Ndra, ngasih anak-anak TV di kamar mereka.""Bukan salah kita, Sayang. Tapi salah aku. Aku terlalu memanjakan anak-anak. Memberi barang-barang yang belum mereka butuhkan.""Gimana kalau kita blokir siaran dewasa atau kita tarik TV dari kamar mereka? Jadi kalau mereka mau nonton TV cukup di ruang tengah," kata Livia mengusulkan.Rajendra mengangguk setuju.Hari itu jug
Ujian telah selesai. Hari penerimaan rapor pun tiba. Gadis mendapat juara satu yang membuat bahagia Rajendra dan Livia. Begitu pun dengan Randu. Ia mendapat juara pertama di kelasnya. Sedangkan Lunetta, alih-alih akan juara, nilainya hanya pas-pasan."Anak Papa hebat. Papa bahagia, Sayang. Papa jadi tambah sayang sama Adis." Rajendra menggendong Gadis sambil menciumi pipinya kanan kiri sampai puas.Adis tertawa riang dalam pelukan Rajendra. "Adis juga sayang Papa.""Adis mau hadiah apa?""Hhmm, apa ya?" Gadis terlihat berpikir sejenak. "Kalau jalan-jalan ke Disneyland boleh, Pa?" tanyanya ragu."Boleh dong. Untuk anak gadis cantik Papa apa sih yang enggak?""Asyiiik, makasih Pa!" Gadis mencium satu sisi pipi Rajendra.Livia yang baru saja memberi selamat dan melihat rapor Randu menyikut lengan Rajendra. "Ndra, gendong Lunetta juga. Kasih dia selamat," bisiknya."Apanya yang mau aku kasih selamat?" Rajendra balas berbisik."Seenggaknya dia ngerasa disayang sama kamu.""Iya, ntar lagi.
Setelah penerbangan panjang yang membuat letih, pesawat yang membawa Livia, Rajendra, Gadis, Randu dan Lunetta akhirnya mendarat di Ohio. Setelah keluar dari bandara angin dingin Ohio menyambut mereka. Langit tampak mendung. Seolah memberi pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi.Lunetta tampak gelisah di sepanjang perjalanan. Tangannya terus menggenggam ujung bajunya. Tatapannya kosong. Hanya satu hal yang ada di pikirannya. Mommy-nya. Ia tidak sabar untuk bertemu wanita itu.Mereka tiba di apartemen yang dulu Sharon tinggali. Hanya dengan bermodal nekat. Tanpa tahu kepastiannya apa Sharon masih tinggal di sana.Rajendra mengetuk unit apartemen tersebut. Ketukan pertama tidak mendapat jawaban. Ia mencoba lagi dengan lebih keras.Sepi.Lunetta mulai cemas. "Apa Mommy nggak ada di sini?" tanyanya pada diri sendiri dengan suara nyaris berbisik."Mungkin Mommy lagi keluar, Sayang," jawab Livia menghibur.Mereka kembali mengetuk pintu hingga tidak lama kemudian seorang wanita dengan ramb
Titik-titik gerimis mulai turun. Rajendra masih berdiri di dekat makam Sharon dengan tangan mengepal di kedua sisi tubuh. Ia tidak pernah menyangka bahwa perjalanannya akan berakhir seperti ini. Tanpa Sharon. Tanpa tahu ke mana Lunetta akan dibawa.Di sampingnya Livia masih berusaha menenangkan Lunetta yang menangis tersedu. Sedangkan Randu dan Gadis hanya menatap dengan pandangan bingung sekaligus sedih.Rajendra mengambil napas dalam-dalam kemudian melepaskan dengan perlahan. Ia sangat lelah secara fisik dan batin.Lunetta kini tidak punya siapa-siapa lagi. Setelah berterima kasih pada wanita tua tetangga Sharon, Rajendra membawa keluarganya kembali ke hotel."Liv, aku nggak nyangka kalau Sharon beneran sakit parah," kata Rajendra seperti menggumam namun cukup terdengar oleh Livia.Livia hanya diam. Karena sepertinya apa yang ada di pikiran mereka saat ini tidak berbeda."Kasihan Lunetta," kata Rajendra beberapa saat kemudian yang diiyakan oleh Livia. "Jadi kira-kira gimana solusin
Sejak tahu ibunya telah tiada Lunetta menjadi begitu manja pada Rajendra. Seolah takut kehilangan orang tuanya yang tinggal satu-satunya."Papa mau ke toilet dulu, kamu tunggu di sini sebentar," kata Rajendra begitu mereka berada di bandara. Hari itu mereka akan berangkat ke Orlando."Aku ikut, Pa. Aku nggak mau tinggal.""Tapi Papa nggak ke mana-mana. Cuma ke toilet. Kamu sama Bunda dan Randu dulu."Lunetta menggeleng. Anak itu mengikuti Rajendra ke toilet yang membuat Rajendra pada akhirnya hanya bisa membiarkan.Bukan hanya ke toilet. Tapi saat berada di mana pun Lunetta juga duduk di pangkuan Rajendra. Padahal ada kursinya sendiri.Kesempatan itu digunakan Rajendra dengan baik untuk menasihati Lunetta."Sekarang kamu tahu kan kalau Mommy udah nggak ada? Yang kamu punya hanya Papa dan Bunda. Jadi bersikap baiklah terutama pada Bunda. Kalau kamu masih kasar dan kurang ajar Papa bakal antar kamu ke panti asuhan. Atau Papa tinggalin sendiri di sini. Mau?"Lunetta menatap ke sekeliling
Sepanjang penerbangan panjang pulang ke Indonesia Livia lebih banyak diam. Ia tidak berbicara kalau tidak perlu menjawab pertanyaan yang diajukan Rajendra.Tatapannya hampa, pikirannya terbang jauh ke mana-mana. Pada masa-masa yang tidak ingin ia ingat lagi walau hanya sedikit saja.Rajendra menyadari perubahan itu. Biasanya Livia akan bercerita pengalaman mereka di Disneyland, bercanda dengan anak-anak atau hanya sekadar mengomentari sesuatu."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Rajendra sambil mengambil tangan Livia untuk digenggam."Nggak ada apa-apa, Ndra," jawabnya singkat tanpa menoleh, menghindari kontak mata dengan suaminya.Rajendra merasa tidak puas atas jawaban Livia tapi tidak ingin memaksa.Livia mengalihkan tatapannya ke luar jendela pesawat. Wajah Evan terbayang dengan jelas dalam pikirannya. Tatapan lelaki itu, keterkejutannya melihat keadaan Livia. Dan caranya bertutur dengan Livia masih seperti dulu. Seolah mereka punya sesuatu yang belum selesai.Livia tidak ingin mengingat
Evan menghela panjang setelah menatap Livia yang bersikeras tidak ingin pulang. Ia tahu situasi ini tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut. Maka ia mengambil ponselnya lalu meninggalkan Livia dengan alasan pergi ke toilet. Tiba di toilet ia menelepon Rajendra.Rajendra sedang berada di ruangannya ketika ponselnya bergetar di dalam saku. Ia mengambilnya dan melihat nama Evan ada di sana. Sebelumnya mereka memang sempat bertukar nomor telepon satu sama lain."Ada apa?" tanya Rajendra tanpa basa-basi."Livia ada di sini. Dia datang ke kantor gue sendiri dan bilang nggak mau pulang."Rajendra terkejut mendengarnya. Tadi Livia bilang akan merajut seharian di rumah. Namun ternyata ia tertipu."Dia juga bilang masih cinta sama gue," tambah Evan. "Sorry, Ndra."Rajendra terdiam. Dadanya begitu sesak. Rasa sakit menohoknya. "Gue paham," jawab Rajendra akhirnya. "Kalo dia mau di sana biarin aja dulu. Mungkin dia lagi kangen sama lo."Evan tidak menyangka bahwa jawaban Rajendra akan semudah itu
Livia melangkah masuk ke dalam gedung perkantoran dengan jantung berdebar kencang. Ia bahkan tidak tahu bagaimana bisa sampai di sini. Ia hanya mengikuti dorongan kuat dalam hatinya. Sesuatu di tempat itu terasa familier dengannya walaupun ingatannya tetap kabur.Saat ia tiba di depan resepsionis ia bertanya, "Pagi, Mbak, Evan Satria ada di sini?"Resepsionis menatapnya dengan ragu sejenak lalu menjawab, "Anda sudah anda janji dengan Pak Evan?"Livia menggeleng. "Nggak ada. Tapi tolong kasih tahu dia bahwa Livia ada di sini."Resepsionis tampak ragu tapi tak urung menghubungi seseorang. Tidak butuh waktu lama seorang lelaki berkemeja biru muncul."Livia!" Walau tadi sudah disampaikan resepsionis bahwa Livia yang menunggunya namun Evan tetap tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Livia tersenyum tipis lalu memeluk Evan penuh kerinduan. "Kangen banget sama kamu, Van."Evan yang merasa tidak enak melepaskan pelukan itu pelan-pelan."Ayo kita ke ruanganku, Liv," ajaknya.Livia menurut
'Aku harus berbuat baik pada Rajendra agar dia bisa percaya padaku. Aku nggak boleh lagi bersikap denial padanya agar bisa mengungkap semuanya.' Itu yang dipatrikan Livia di dalam hatinya sebelum ia tidur malam.Keesokan paginya saat terbangun Livia melaksanakan niatnya. Ia harus bersikap baik dan lembut pada Rajendra agar bisa lebih dalam menggali rahasia yang dipendam lelaki itu. Saat muncul di ruang makan ia melihat Rajendra sudah berada di sana dengan secangkir kopi di hadapannya. Biasanya Livia akan menghindari sarapan bersama Rajendra, tapi kali ini berbeda.Livia mengumpulkan napas serta menguatkan hatinya sebelum berjalan mendekat. "Pagi," sapanya dengan lembut.Rajendra menoleh dan agak terkejut lantaran Livia menyapanya lebih dulu, sesuatu yang tidak pernah perempuan itu lakukan selama ia sakit.Livia duduk di kursi seberang Rajendra. "Kopinya enak?" tanyanya yang lagi-lagi membuat Rajendra terkejut.Rajendra tentu curiga dengan perubahan istrinya. "Kenapa tiba-tiba perhati
Evan tidak menyangka Livia akan mengatakan hal seperti itu di depan suaminya sendiri.Sementara itu Rajendra mengepalkan tangan, mencoba menahan gejolak di dalam dada. Kata cerai yang diucapkan Livia menusuk hatinya begitu dalam."Jangan diam aja, Van, ngomong dong!" Livia terus mendesak dengan mengguncang-guncang badan Evan.Evan mengalihkan pandangannya pada Rajendra. Saat tatapan mereka bertemu Rajendra memberi isyarat dengan matanya."Karena kita udah nggak cocok lagi, Liv, makanya kita putus.""Kita nggak cocok? Kita nggak cocok kenapa?" Livia semakin mendesak ingin tahu. "Bukankah kita saling mencintai? Hubungan kita sangat kuat. Kita nggak mungkin putus gitu aja," isak Livia lalu kembali memeluk Evan dan membasahi kemeja pria itu dengan air matanya.Evan mengatupkan rahangnya. Membiarkan Livia menangis dalam pelukannya. Di satu sisi ia ingin mengakui bahwa ia adalah pria brengsek yang dulu meninggalkan Livia akibat kecelakaan itu. Namun di sisi lain ada tatapan Rajendra yang m
Hari-hari terus berlalu. Keadaan fisik Livia sudah berangsur pulih. Hari ini Livia bertekad akan mendatangi rumah Evan. Ia butuh penjelasan atas semuanya. Kenapa mereka tidak menikah namun justru ia menikah dengan Rajendra. Dengan sisa-sisa ingatannya Livia memetakan alamat rumah Evan di kepalanya. Ia tidak butuh Rajendra. Ia akan pergi sendiri. Namun niatnya terhalang. Ketika ia sudah siap untuk pergi, Rajendra sudah berdiri di hadapannya."Kamu mau ke mana, Liv?" tanya laki-laki itu."Keluar." Livia menjawab singkat."Keluar ke mana? Kamu butuh sesuatu? Biar aku yang antar."Livia terdiam sejenak sebelum berkata, "Aku mau ke rumah Evan."Rajendra sempat terkejut namun menutupi dengan ekspresinya."Aku akan temani kamu ke sana. Kamu ingat alamatnya?""Semua aku ingat, kecuali kamu!" jawab Livia ketus. Setelah mendengar cerita Tasia tentang Rajendra, perlahan-lahan Livia mulai membenci lelaki itu."Oke. Kita ke rumah Evan sekarang," putus Rajendra. Karena sampai kapan pun ia menunda L
"Bunda, malam ini boleh Adis tidur sama Bunda?" pinta Gadis pada Livia setelah mereka makan malam bersama.Livia menoleh ke arah Gadis, menatap wajah polos itu tanpa tahu harus menjawab apa. Permintaan Gadis begitu sederhana. Tapi bagi Livia yang masih merasa asing dengan semuanya, itu justru terasa sulit."Adis kangen sama Bunda," lirih Gadis dengan perasaan sedih.Rajendra yang masih duduk di kursinya ikut memerhatikan. Ia berharap Livia akan mengiakan namun Livia tetap diam, seakan sedang mempertimbangkan.Livia ingin mengatakan tidak. Tapi melihat sorot mata penuh harapan dari Gadis membuatnya ragu. Ia belum bisa menerima anak itu sebagai anaknya. Tapi menolak mentah-mentah juga terasa kejam."Menurut saya Bu Livia masih butuh waktu untuk sendiri. Jadi nanti biar Gadis tidur sama Tante Tasia aja ya?" sela Tasia sambil melihat ke arah Gadis."Nggak apa-apa kalau begitu. Biar Adis tidur di kamar aja." Gadis beranjak pergi membawa kesedihannya.Rajendra menghela napas lalu ikut menyu
Tasia mengulas senyum tipis sebelum melangkah pergi. Namun sebelum pintu tertutup sepenuhnya ia menambahkan. "Selamat istirahat, Bu, nggak usah terlalu dipikirkan."Livia menghela napas berat sebelum pintu benar-benar tertutup. Ia tidak tahu entah kenapa ucapan Tasia sangat mengusiknya. Tapi bayangan tentang Rajendra mencari teman tidur malah membuat pikirannya terganggu. Dan ia terus memikirkannya.Ia merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar. Di satu sisi ia tidak merasakan ada keterikatan dengan Rajendra. Namun di sisi lain ada ketidaknyamanan yang tumbuh setelah ia mendengar ucapan Tasia tadi.'Kenapa aku harus peduli?' Ia menggumam pelan.Jika Rajendra memang suaminya apa dia pria yang setia?*Livia terbangun dari tidurnya. Ia terkejut ketika mendapati Rajendra berada di dekatnya ketika ia membuka mata."Sudah bangun?" ucap laki-laki itu."Jam berapa sekarang?" Livia melihat sekelilingnya dan mendapati lampu yang menyala."Jam tujuh malam."Livia terdiam. Ternyata cu
Setelah melihat-lihat foto yang terpajang di dinding Rajendra mengajak Livia menuju kamar pribadi mereka.Begitu pintu terbuka aroma lavender yang berasal dari diffuser ruangan menyambut mereka.Kamar itu luas dan tertata rapi. Dindingnya dihiasi wallpaper bunga sakura yang memberi kesan lembut. Sebuah tempat tidur king size terdapat di tengah ruangan.Rajendra membuka lemari dan mengambil sesuatu dari sana kemudian memperlihatkan pada Livia."Liv, kalau kamu masih nggak percaya kita sudah menikah, lihat ini." Livia menerima buku nikah dari Rajendra. Ia membukanya dengan perlahan. Jari-jemarinya menyusuri halaman demi halaman. Hingga akhirnya berhenti pada lembar yang berisi foto mereka. Livia menatap lama foto dirinya yang berdampingan dengan foto Rajendra. Matanya beralih ke bagian lainnya. Stempel resmi serta tanda tangan mereka berdua. Semua terlihat nyata. Tapi kenapa ia merasa ini adalah seperti kehidupan orang lain?Rajendra memerhatikan ekspresi Livia dengan teliti. "Gimana?
Saat ini Rajendra sedang berada di dalam ruangan dokter. Di hadapannya, dokter Jaka yang menangani Livia sedang memeriksa hasil pemindaian otak terbaru."Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Rajendra dengan sedikit tegang dan tidak sabar. Sudah sejak tadi ia menantikannya.Dokter Jaka melepas kacamatanya lalu menjelaskan. "Seperti yang kita bahas sebelumnya ibu Livia mengalami amnesia anterograde. Cedera otaknya memengaruhinya membentuk ingatan baru. Karena itu dia hanya bisa mengingat hal-hal tertentu sebelum kecelakaan termasuk perasaannya pada Evan."Rajendra mengepalkan tangan di atas pangkuan. Sakit mendengarnya."Apa istri saya bisa sembuh, Dok?" pintanya begitu penuh harap.Dokter Jaka mengangguk pelan. "Bisa. Tapi butuh waktu dan usaha. Untuk kasus seperti ini kunci utamanya adalah terapi rutin, stimulasi ingatan, dan lingkungan yang mendukung. Untuk terapi memorinya Ibu Livia harus dilatih dengan mengingat kejadian sehari-hari. Anda bisa membantunya dengan foto atau vid