Setibanya di sekolah Lunetta lebih dulu meloncat turun dari mobil. Sedangkan Randu menunggu Gadis."Bang Randu duluan aja. Adis mau ngobrol sebentar sama Bunda," kata Gadis pada Randu yang masih termangu menantinya.Randu mengangguk kemudian menyalami tangan Livia. Anak itu keluar dari mobil dan berjalan menuju kelasnya.Sementara itu Gadis yang duduk di sebelah Livia hanya diam mematung. Membuat Livia bertanya-tanya apa yang terjadi pada anaknya."Adis kenapa, Nak? Kenapa masih duduk di sini?"Gadis mendongak menatap pada Livia. Wajah anak itu terlihat bingung dan sedih."Tadi Kak Lunetta kenapa marah-marah sama Bunda? Emangnya Bunda salah apa?" Livia membisu sesaat mencari cara yang tepat untuk menjawab pertanyaan Gadis tanpa membebani pikirannya."Bunda nggak salah apa-apa, Sayang," ujarnya lembut dengan penuh kasih."Tapi Kak Lunetta jahat. Dia kasar sama Bunda," ucap Gadis dengan mata berkaca-kaca.Livia segera memeluknya. "Kok nangis sih, Sayang? Bunda kan baik-baik aja, Nak."
Rajendra mengusap wajahnya dengan kasar. Seolah tak percaya pada kata-kata Livia."Dia bilang begitu?" ulangnya untuk memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Livia menghela napas panjang. "Iya, aku tahu dia masih kecil, belum bisa menerima situasi kita. Tapi kata-katanya tadi benar-benar menusuk, Ndra."Rajendra meremas rambutnya sendiri, merasa frustasi. Ia sudah sering menasihati Lunetta dan mengajarkan yang baik-baik tapi seolah semua percuma."Dari mana dia tahu istilah itu, Liv?""Entahlah. Mungkin diam-diam dia nonton sinetron di kamarnya," jawab Livia tidak pasti sambil duduk di sebelah Rajendra. "Salah kita juga, Ndra, ngasih anak-anak TV di kamar mereka.""Bukan salah kita, Sayang. Tapi salah aku. Aku terlalu memanjakan anak-anak. Memberi barang-barang yang belum mereka butuhkan.""Gimana kalau kita blokir siaran dewasa atau kita tarik TV dari kamar mereka? Jadi kalau mereka mau nonton TV cukup di ruang tengah," kata Livia mengusulkan.Rajendra mengangguk setuju.Hari itu jug
Ujian telah selesai. Hari penerimaan rapor pun tiba. Gadis mendapat juara satu yang membuat bahagia Rajendra dan Livia. Begitu pun dengan Randu. Ia mendapat juara pertama di kelasnya. Sedangkan Lunetta, alih-alih akan juara, nilainya hanya pas-pasan."Anak Papa hebat. Papa bahagia, Sayang. Papa jadi tambah sayang sama Adis." Rajendra menggendong Gadis sambil menciumi pipinya kanan kiri sampai puas.Adis tertawa riang dalam pelukan Rajendra. "Adis juga sayang Papa.""Adis mau hadiah apa?""Hhmm, apa ya?" Gadis terlihat berpikir sejenak. "Kalau jalan-jalan ke Disneyland boleh, Pa?" tanyanya ragu."Boleh dong. Untuk anak gadis cantik Papa apa sih yang enggak?""Asyiiik, makasih Pa!" Gadis mencium satu sisi pipi Rajendra.Livia yang baru saja memberi selamat dan melihat rapor Randu menyikut lengan Rajendra. "Ndra, gendong Lunetta juga. Kasih dia selamat," bisiknya."Apanya yang mau aku kasih selamat?" Rajendra balas berbisik."Seenggaknya dia ngerasa disayang sama kamu.""Iya, ntar lagi.
Setelah penerbangan panjang yang membuat letih, pesawat yang membawa Livia, Rajendra, Gadis, Randu dan Lunetta akhirnya mendarat di Ohio. Setelah keluar dari bandara angin dingin Ohio menyambut mereka. Langit tampak mendung. Seolah memberi pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi.Lunetta tampak gelisah di sepanjang perjalanan. Tangannya terus menggenggam ujung bajunya. Tatapannya kosong. Hanya satu hal yang ada di pikirannya. Mommy-nya. Ia tidak sabar untuk bertemu wanita itu.Mereka tiba di apartemen yang dulu Sharon tinggali. Hanya dengan bermodal nekat. Tanpa tahu kepastiannya apa Sharon masih tinggal di sana.Rajendra mengetuk unit apartemen tersebut. Ketukan pertama tidak mendapat jawaban. Ia mencoba lagi dengan lebih keras.Sepi.Lunetta mulai cemas. "Apa Mommy nggak ada di sini?" tanyanya pada diri sendiri dengan suara nyaris berbisik."Mungkin Mommy lagi keluar, Sayang," jawab Livia menghibur.Mereka kembali mengetuk pintu hingga tidak lama kemudian seorang wanita dengan ramb
Titik-titik gerimis mulai turun. Rajendra masih berdiri di dekat makam Sharon dengan tangan mengepal di kedua sisi tubuh. Ia tidak pernah menyangka bahwa perjalanannya akan berakhir seperti ini. Tanpa Sharon. Tanpa tahu ke mana Lunetta akan dibawa.Di sampingnya Livia masih berusaha menenangkan Lunetta yang menangis tersedu. Sedangkan Randu dan Gadis hanya menatap dengan pandangan bingung sekaligus sedih.Rajendra mengambil napas dalam-dalam kemudian melepaskan dengan perlahan. Ia sangat lelah secara fisik dan batin.Lunetta kini tidak punya siapa-siapa lagi. Setelah berterima kasih pada wanita tua tetangga Sharon, Rajendra membawa keluarganya kembali ke hotel."Liv, aku nggak nyangka kalau Sharon beneran sakit parah," kata Rajendra seperti menggumam namun cukup terdengar oleh Livia.Livia hanya diam. Karena sepertinya apa yang ada di pikiran mereka saat ini tidak berbeda."Kasihan Lunetta," kata Rajendra beberapa saat kemudian yang diiyakan oleh Livia. "Jadi kira-kira gimana solusin
Sejak tahu ibunya telah tiada Lunetta menjadi begitu manja pada Rajendra. Seolah takut kehilangan orang tuanya yang tinggal satu-satunya."Papa mau ke toilet dulu, kamu tunggu di sini sebentar," kata Rajendra begitu mereka berada di bandara. Hari itu mereka akan berangkat ke Orlando."Aku ikut, Pa. Aku nggak mau tinggal.""Tapi Papa nggak ke mana-mana. Cuma ke toilet. Kamu sama Bunda dan Randu dulu."Lunetta menggeleng. Anak itu mengikuti Rajendra ke toilet yang membuat Rajendra pada akhirnya hanya bisa membiarkan.Bukan hanya ke toilet. Tapi saat berada di mana pun Lunetta juga duduk di pangkuan Rajendra. Padahal ada kursinya sendiri.Kesempatan itu digunakan Rajendra dengan baik untuk menasihati Lunetta."Sekarang kamu tahu kan kalau Mommy udah nggak ada? Yang kamu punya hanya Papa dan Bunda. Jadi bersikap baiklah terutama pada Bunda. Kalau kamu masih kasar dan kurang ajar Papa bakal antar kamu ke panti asuhan. Atau Papa tinggalin sendiri di sini. Mau?"Lunetta menatap ke sekeliling
Sepanjang penerbangan panjang pulang ke Indonesia Livia lebih banyak diam. Ia tidak berbicara kalau tidak perlu menjawab pertanyaan yang diajukan Rajendra.Tatapannya hampa, pikirannya terbang jauh ke mana-mana. Pada masa-masa yang tidak ingin ia ingat lagi walau hanya sedikit saja.Rajendra menyadari perubahan itu. Biasanya Livia akan bercerita pengalaman mereka di Disneyland, bercanda dengan anak-anak atau hanya sekadar mengomentari sesuatu."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Rajendra sambil mengambil tangan Livia untuk digenggam."Nggak ada apa-apa, Ndra," jawabnya singkat tanpa menoleh, menghindari kontak mata dengan suaminya.Rajendra merasa tidak puas atas jawaban Livia tapi tidak ingin memaksa.Livia mengalihkan tatapannya ke luar jendela pesawat. Wajah Evan terbayang dengan jelas dalam pikirannya. Tatapan lelaki itu, keterkejutannya melihat keadaan Livia. Dan caranya bertutur dengan Livia masih seperti dulu. Seolah mereka punya sesuatu yang belum selesai.Livia tidak ingin mengingat
Rajendra baru saja keluar dari ruangan meeting ketika ponselnya bergetar di dalam sakunya. Ia mengabaikannya sejenak lantaran masih berbicara dengan beberapa rekanan. Tapi panggilan tersebut terus berlanjut. Dengan sedikit kesal ia merogoh saku guna mengambil benda itu. Ada nomor tidak dikenal tertera di layar. Dahi Rajendra berkerut. Daripada nomor tersebut terus meneleponnya lebih baik ia menerimanya. "Halo," sapa Rajendra datar. "Halo. Betul ini dengan suami Ibu Livia?" tanya suara di sebarang sana. Mendengar nama istrinya disebut membuat debar dada Rajendra mengencang. "Iya. Saya sendiri. Saya suaminya. Ada apa?" "Kami dari Rumah Sakit Selalu Sehat ingin mengabarkan bahwa istri dan ibu Bapak mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat ini keduanya sedang berada dalam penanganan medis." Badan Rajendra mendadak lemas. Sendi-sendi penyangganya seakan ingin lepas dari tempatnya. Ia hampir saja tidak sanggup menopang berat tubuhnya sendiri. "Bagaimana kondisi istri dan ibu sa
Saat ini Rajendra sedang berada di dalam ruangan dokter. Di hadapannya, dokter Jaka yang menangani Livia sedang memeriksa hasil pemindaian otak terbaru."Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Rajendra dengan sedikit tegang dan tidak sabar. Sudah sejak tadi ia menantikannya.Dokter Jaka melepas kacamatanya lalu menjelaskan. "Seperti yang kita bahas sebelumnya ibu Livia mengalami amnesia anterograde. Cedera otaknya memengaruhinya membentuk ingatan baru. Karena itu dia hanya bisa mengingat hal-hal tertentu sebelum kecelakaan termasuk perasaannya pada Evan."Rajendra mengepalkan tangan di atas pangkuan. Sakit mendengarnya."Apa istri saya bisa sembuh, Dok?" pintanya begitu penuh harap.Dokter Jaka mengangguk pelan. "Bisa. Tapi butuh waktu dan usaha. Untuk kasus seperti ini kunci utamanya adalah terapi rutin, stimulasi ingatan, dan lingkungan yang mendukung. Untuk terapi memorinya Ibu Livia harus dilatih dengan mengingat kejadian sehari-hari. Anda bisa membantunya dengan foto atau vid
Pagi-pagi sekali Tasia sudah bangun. Ia menyiapkan sarapan untuk Rajendra dan anak-anak. Randu dan Lunetta makan dengan lahap, sedangkan Gadis hanya menatap piring tanpa minat. Matanya masih sembab akibat menangis semalam."Adis, kenapa cuma diliatin nasi gorengnya?" tanya Tasia lantaran Gadis hanya memandangi nasi goreng di piring."Adis pengen makan nasi goreng seafood buatan Bunda," jawab anak itu lirih.Tasia mengambil napas lalu tersenyum pada Gadis. "Oke, Tante akan buat nasi goreng kayak buatan Bunda tapi sekarang Adis makan dulu ya. Kalau nggak makan nanti Adis nggak ada energi."Gadis menggeleng. Ia hanya mau buatan Livia. Ketiadaan Livia juga membuatnya kehilangan selera makan."Adis kenapa?" tanya Rajendra yang baru muncul di ruang makan."Nggak apa-apa, Pak. Adis hanya ingat bundanya." Lalu Tasia cepat-cepat mengalihkan. "Pak, ini kopi untuk Bapak masih hangat. Silakan diminum, Pak.""Saya buru-buru mau ke rumah sakit," jawab Rajendra setelah menoleh sekilas ke arah cang
Rajendra melangkah menuju kamar Gadis. Ia ingin tahu apa anak gadisnya itu sudah tidur atau belum.Setibanya di kamar tersebut ia mendapati lampu sudah berganti dengan lampu tidur. Rajendra pikir Gadis sudah tidur. Maka ia melangkah mendekati tempat tidur anaknya. Di saat itulah ia mendengar isak kecil anak itu."Sayang, kenapa nangis, Nak?" tanya Rajendra yang duduk di pinggir ranjang."Adis kangen Bunda, Pa. Adis mau Bunda ada di rumah. Adis mau tidur sama Bunda. Adis mau peluk dan cium Bunda. Semuanya, Pa ..."Permintaan yang dilafalkan dengan isak dan air mata itu membuat Rajendra begitu sedih. Ia tidak tega melihat anaknya tersiksa seperti ini. Gadis masih kecil dan sangat dekat dengan Livia. Sejak anak itu lahir ia belum pernah berpisah dengan ibunya."Sabar ya, Sayang. Nanti kalau Bunda sudah sehat Bunda akan pulang ke rumah. Kita bisa sama-sama Bunda lagi.""Tapi kapan Bunda sehat, Pa? Berapa lama lagi?""Nggak lama kok. Besok Papa akan bicara sama dokter. Papa akan minta Bund
Di kamar rumah sakit tempat Livia dirawat suasana begitu tenang. Livia tidur dengan lelap. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa dalam hidupnya. Rajendra duduk di kursi sambil menggenggam tangan Livia yang dingin. Tadi Rajendra sempat bertemu dengan perawat yang menjaga Livia. Katanya Livia menangis dan terus mencari Evan. Livia begitu ingin bertemu dengan pria itu. Perawat juga mengatakan bahwa besok dokter ingin bicara dengan Rajendra.Di dalam diamnya Rajendra merenung. Apa semua ini adalah karma atas perbuatannya dulu yang menyakiti Livia? Jika iya Rajendra rela menjalaninya. Anggap saja semua ini sebagai penebusan atas perbuatannya dulu.Tiba-tiba jemari Livia bergerak di dalam genggamannya. Dan beberapa detik setelah itu kelopak matanya terbuka dengan perlahan. Livia terkejut ketika tahu Rajendralah yang menggenggam tangannya. Dengan cepat Livia menarik tangannya."Kenapa kamu masih di sini? Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?" Livia begitu marah melihat keberadaan Rajendra. Ap
Di luar rumah sakit Rajendra berhenti. Ia bersandar ke dinding. Sementara Gadis masih terisak di dalam dekapannya. Randu berdiri mematung, begitu pun dengan Lunetta."Papa ... kenapa Bunda nggak ingat Adis? Bunda jahat sama Adis ..."Rajendra memejamkan mata menahan sesak yang menekan dada. Ia mengusap kepala Gadis, mencoba menenangkan walau hatinya sendiri begitu kalut. "Bunda nggak jahat, Nak, Bunda cuma lagi sakit.""Dulu Bunda juga pernah sakit tapi nggak pernah lupa sama Adis. Bunda tetap sayang sama Adis. Tapi sekarang kenapa Bunda begitu?" Gadis terlihat begitu sedih dengan tangisannya yang tersedu-sedu. Membuat hati Rajendra begitu perih.Rajendra mengecup kepala Gadis dengan lembut lalu berucap dengan suara bergetar. "Karena sekarang sakit Bunda beda, Sayang. Sakit di kepala Bunda bikin ingatan Bunda jadi kacau. Tapi Papa yakin, hati Bunda nggak pernah lupa sayang sama Adis.""Tapi tadiiii ..." Gadis tersedu-sedu. "Bunda bilang Adis bukan anaknya ..."Randu yang sejak tadi me
Di dalam ruangan rumah sakit yang serba putih suara detak mesin monitor terdengar pelan. Livia berbaring di atas ranjang dengan wajah pucat dan tatapan kosong. Selang infus masih terpasang ke tangannya. Sedangkan oximeter menjepit jari telunjuknya.Pintu kamar terbuka dengan perlahan. Rajendra muncul menggandeng Gadis, disusul oleh Randu dan Lunetta.Gadis memekik pelan. "Bundaaa!!!" Ia melepaskan gandengan tangan dari Rajendra lalu berlari menuju bed tempat Livia berbaring.Livia menoleh. Matanya bertemu dengan sepasang mata bulat yang basah. Gadis langsung memeluk pinggang Livia erat-erat. Tubuhnya bergetar oleh tangis yang kembali menjadi."Bundaaa, Adis sayang Bunda. Bunda nggak boleh lupa sama Adis."Livia tidak membalas pelukan tersebut. Tangannya tetap diam di sisi tubuh. Ada rasa asing di sorot matanya.Kemudian Livia bertanya yang seketika menghancurkan hati Gadis. "Maaf, kamu siapa?"Gadis tersentak. Ia melepaskan pelukan dari pinggang Livia lalu menatapnya. "Bunda, ini Adi
Cuaca saat itu lebih terik dari biasanya. Para siswa berhamburan keluar dari sekolah. Sebagian dijemput orang tua mereka, sebagian lagi menuju mobil jemputan.Sebuah mobil hitam berhenti di depan gerbang sekolah. Geri turun dari dalamnya. Tasia yang juga ikut serta juga turun. Mereka disuruh Rajendra untuk menjemput anak-anak."Tante Tasia kok ikut jemput juga?" tanya Gadis keheranan. Biasanya kalau bukan Rajendra yang menjemput, pasti Geri atau Livia. "Bunda mana, Tante?"Geri dan Tasia saling pandang. "Naik dulu ya, nanti kita ngobrol di mobil." Tasia yang menjawab.Ketiga anak itu masuk ke mobil. Gadis duduk di tengah, diapit oleh Randu dan Lunetta di kanan dan kirinya."Bunda mana, Tante? Kenapa bukan Bunda yang jemput Adis?" Gadis mengulangi lagi pertanyaannya yang belum terjawab begitu mobil mulai melaju membelah jalan raya. Gadis sudah tidak sabar untuk menceritakan hal-hal yang ia alami di sekolah, sama seperti hari-hari sebelumnya.Tasia menoleh ke belakang, menatap mata Gadi
Rajendra baru saja keluar dari ruangan meeting ketika ponselnya bergetar di dalam sakunya. Ia mengabaikannya sejenak lantaran masih berbicara dengan beberapa rekanan. Tapi panggilan tersebut terus berlanjut. Dengan sedikit kesal ia merogoh saku guna mengambil benda itu. Ada nomor tidak dikenal tertera di layar. Dahi Rajendra berkerut. Daripada nomor tersebut terus meneleponnya lebih baik ia menerimanya. "Halo," sapa Rajendra datar. "Halo. Betul ini dengan suami Ibu Livia?" tanya suara di sebarang sana. Mendengar nama istrinya disebut membuat debar dada Rajendra mengencang. "Iya. Saya sendiri. Saya suaminya. Ada apa?" "Kami dari Rumah Sakit Selalu Sehat ingin mengabarkan bahwa istri dan ibu Bapak mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat ini keduanya sedang berada dalam penanganan medis." Badan Rajendra mendadak lemas. Sendi-sendi penyangganya seakan ingin lepas dari tempatnya. Ia hampir saja tidak sanggup menopang berat tubuhnya sendiri. "Bagaimana kondisi istri dan ibu sa
Sepanjang penerbangan panjang pulang ke Indonesia Livia lebih banyak diam. Ia tidak berbicara kalau tidak perlu menjawab pertanyaan yang diajukan Rajendra.Tatapannya hampa, pikirannya terbang jauh ke mana-mana. Pada masa-masa yang tidak ingin ia ingat lagi walau hanya sedikit saja.Rajendra menyadari perubahan itu. Biasanya Livia akan bercerita pengalaman mereka di Disneyland, bercanda dengan anak-anak atau hanya sekadar mengomentari sesuatu."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Rajendra sambil mengambil tangan Livia untuk digenggam."Nggak ada apa-apa, Ndra," jawabnya singkat tanpa menoleh, menghindari kontak mata dengan suaminya.Rajendra merasa tidak puas atas jawaban Livia tapi tidak ingin memaksa.Livia mengalihkan tatapannya ke luar jendela pesawat. Wajah Evan terbayang dengan jelas dalam pikirannya. Tatapan lelaki itu, keterkejutannya melihat keadaan Livia. Dan caranya bertutur dengan Livia masih seperti dulu. Seolah mereka punya sesuatu yang belum selesai.Livia tidak ingin mengingat