Setelah pemeriksaan dokter membuat jadwal operasi sesar untuk mengangkat bayiku karena jika terlalu lama dalam perut maka akan berakibat fatal terhadapku.Semua keluarga mensupport termasuk Mas Raka sehingga meskipun sedih minimal mereka ada untukku.Jadwal operasi dilaksanakan sore ini juga, mas Raka menggenggam tanganku dan terus menguatkan aku."Nanti kita berusaha lagi ya sayang," bisiknya."Iya Mas." Sahutku sedih.Mama, Ibu, Ayah dan papa semua memberikan dukungannya. Meskipun mereka semua juga bersedih karena baru saja kehilangan cucu yang sangat-sangat mereka dambakan.Untungnya mereka tidak menyalahkan aku, dibalik musibahku ternyata Tuhan masih menyayangiku.Harus aku akui masalah yang menimpaku silih berganti membuat aku sibuk sendiri sehingga melupakan anakku dan mengabaikan pesan dokter.Aku lupa makan, aku lupa istirahat ditambah lagi pikiranku yang terus berperang, mungkin inilah yang membuat anakku tidak kuat dan meninggal di dalam kandungan.Singkat cerita kini aku te
Membaca pesannya, aku semakin merasa bersalah, sungguh cinta Mas Daffa sangat dalam untukku hingga beberapa kali aku menolaknya dia selalu ada untukku."Maafkan aku Mas yang lebih memilih bersama suamiku meskipun aku tahu cintamu begitu besar dan dalam untukku."Tanganku mengusap air mata yang menetes. Aku hanya berharap Mas Daffa menemukan wanita yang jauh lebih baik dariku, menemukan wanita yang cintanya sama besarnya dengan cintanya saat ini untukku, hanya dengan begitu rasa bersalahku akan hilang. Sore itu mas Raka datang lebih cepat dari biasanya, sehingga aku jadi heran. "Mas tumben kamu sudah pulang?" tanyaku sambil membantunya melepas jas yang dia kenakan. "Aku tidak fokus bekerja karena terus memikirkan kamu sayang." Tangan pria itu memencet hidungku.Aku tersenyum, sekarang dia pandai sekali bergombal tidak seperti dulu yang dingin sekali. "Aku tidak apa-apa Mas." Aku menunjukkan tubuhku yang sehat dan bugar padanya. "Tuh kan aku baik-baik saja." "Semenit berpisah rasa
Pagi itu aku dan mas Raka bersiap untuk pergi ke kantor, Mama yang melihatku berpakaian formal nampak heran."Mel kamu mau pergi ke mana?" Mama terus menatapku."Amel mau kerja ma," jawabku sambil menunduk takut.Jawabanku agaknya membuat Mama terus menatapku, kemudian beliau berkomentar, "Kenapa harus kerja memangnya uang yang Raka berikan masih kurang?"Tidak sama sekali, uang yang Mas Raka kasih lebih dari cukup, apalagi aku kini ikut Mama jadi semua pengeluaran Mama dan Papa yang handle.Gelengan keras aku tunjukkan, hanya saja aku merasa bosan di rumah."Cukup kok Ma, Amel bekerja karena bosan di rumah. Mama nggak papa kan?" Cicit ku ragu.Mama menghela nafas, lalu mengangguk. Ku tahu Mama terpaksa setuju."Amel janji akan tetap menjalankan kewajiban Amel sebagai seorang istri Ma." Aku meyakinkan Mama.Wanita paruh baya itu tersenyum. "Baiklah Mama percaya padamu."Di meja makan, aku melayani Mas Raka. Aku juga menyiapkan bekal untuk kami."Bekal spesial untuk suami tercinta." Ka
Tak ingin ada masalah dengan mereka aku segera bangkit. "Maaf Pak Daffa saya kembali dulu." Aku pamit kembali ke devisiku. Namun baru selangkah aku berjalan Mas Daffa segera menangkap tanganku. "Mel maaf." Ujar Mas Daffa. Aku tersenyum menatapnya, "Nggak papa Mas, santai saja. Silakan lanjut ngobrolnya." Lalu melepas tangannya. Saat hendak berjalan lagi wanita itu tiba-tiba menghalangiku. "Tunggu!" "Aku perhatikan sepertinya aku pernah melihatmu sebelumnya." Dia menatapku dengan lekat. Ucapannya membuat ingatanku terbang melayang wajahnya juga tak asing bagiku, pernah bertemu tapi di mana? Aku berjuang keras mengingat dimana bertemu dengan wanita ini hingga akhirnya aku ingat dia adalah wanita yang kutemui di saat malam peresmian restoran milik Mas Daffa. "Oh kamu!" Aku dan dia berucap barengan. "Pantes aku hampir tak mengenalimu sekarang kamu sudah tidak hamil." Tatapannya terlihat mengejek. Ingin sekali aku membalas ucapannya namun aku mengurungkan niatku, toh penilaianny
Aku duduk di sofa sambil terus menghubungi Mas Raka. "Berdering tapi gak diangkat." Rasa cemas terus menggrogotiku.Selang kemudian kudengar suara langkah kaki mendekat. Aku segera memasang gestur waspada. "Sayang kamu sudah bangun?" Ternyata Mas Raka. Segera aku menghambur ke arahnya lalu memeluknya dengan erat."Kamu kenapa meninggalkan aku Mas? aku takut." Seperti anak kecil aku menangis. "Tidur kamu nyenyak sekali sayang, aku nggak tega membangunkanmu. Ujar Mas Raka dengan mengelus rambutku. "Rencananya aku merapikan kamar kita dulu baru setelahnya aku akan menggendong kamu masuk." Mas Raka melepas pelukanku. Netranya menatapku sendu lalu dia menghapus air mataku. "Kamu seharusnya membangunkan aku Mas, aku hampir mati ketakutan." Kataku lalu memeluknya lagi. "Maafkan aku sayang." Ujarnya. Mas Raka mengajak aku naik ke atas, dia menunjukkan kamar yang memiliki view yang sangat indah.Jendela kamar itu menghadap ke laut, tak hanya itu kamar yang Mas Rafa pilih juga memiliki b
"Sangat siap Mas." Bisikku. Kami berdua hanyut dalam suasana malam yang sahdu, dibawah sinar rembulan dan suara deburan ombak kami berdua memadu kasih, sungguh nikmat dunia ini tiada tara.Suara erangan kenikmatan kami bersahutan dengan suara dari ombak sungguh pengalaman bercinta yang tiada terlupakan.Dia memberikan aku sebuah hal indah yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya. 'Mas Raka terima kasih atas pengalaman yang luar biasa ini'Setelah mendapatkan pelepasan, kami berdua berpelukan di bawah langit. meski udara sangat dingin namun pelukan mas Raka jauh begitu hangat membuat rasa dingin terhempas. "Makasih Sayang." Dia mengecup keningku.Usai bertempur membuat mataku mengantuk lalu aku meminjamkan mata. Dalam sekejab aku pindah ke alam mimpi. Meski sudah di alam mimpi namun aku masih bisa merasakan nikmatnya sebuah percintaan. Aku terpental dari alam mimpi, dan bangun-bangun aku telat berpindah ke tempat tidur. Pasti semalam mas Raka lah yang menggendongku masuk ke dalam.
Selepas jalan-jalan kami pulang untuk bersiap kembali ke rumah. Sebenarnya Mas Raka mengajak nanti malam hanya saja aku tidak ingin dia terlalu lelah. Singkat cerita kita telah tiba di rumah, kami berdua segera naik ke atas untuk istirahat. "Mas terima kasih atas kencan luar biasanya." Kupeluk tangannya dengan erat. Mas Raka tersenyum, "Sudah kewajiban seorang suami mengajak istrinya kencan jadi jangan berterima kasih Sayang." Anggukan kecil aku tunjukkan lalu aku memejamkan mata. Bahagia aku rasakan bertubi-tubi, apa ini buah kesabaranku? Keesokan paginya, aku bangun terlebih dahulu. Aku singkirkan pelan tangan Mas Raka yang melingkar di perutku. "Maaf ya Mas, aku harus menyiapkan sarapan untuk kamu." Gumamku lalu mengecup keningnya. Di dapur aku membuka kulkas, kulihat bahan makanan yang ada. Setelah menentukan mau masak apa aku keluarkan bahan-bahannya, pelayan yang ingin membantu aku minta untuk mengerjakan pekerjaan lainnya karena aku ingin memasak untuk keluarga Mas Rak
"Mas kamu kenapa?" Aku sangat panik melihatnya kesakitan, tapi Mas Raka segera menenangkanku. "Tidak apa-apa sayang nyeri sedikit saja," katanya. Aku tatap dia, aku coba meyakinkannya sekali lagi, apa benar hanya nyeri sedikit? "Mas jangan bohong Mas kalau memang ada masalah dengan perut kamu kita ke rumah sakit." Mataku sudah berkaca, aku sangat takut jika terjadi apa-apa dengannya. Ketakutanku bukan perkara lebay hanya saja suamiku memang hanya hidup dengan satu ginjal, jadi aku sangat takut jika dia mengeluh sakit perut. Mas Raka tersenyum lalu mengelus rambutku, "Beneran hanya nyeri sedikit tadi." Ujarnya. "Syukurlah Mas, kamu banyak-banyak istirahat ya, jangan terlalu diforsir tenaganya." Kutangkupkan kedua tanganku di wajahnya. "Iya Sayang jangan khawatir." Kembali sederet giginya kulihat. Karena tak ingin terjadi apa-apa dengan suamiku aku memilih kembali ke kantor menggunakan taksi online, tak peduli Mas Raka berusaha mencegah, tapi aku tetap bersiker
Di perjalanan pulang dari rumah Renata aku menghubungi Daniel, aku mengatakan jika Renata setuju menikah dengannya.Ternyata dia yang dingin itu langsung menelponku. "Kamu pasti berbohong." Kata itu yang aku dengar saat aku menerima panggilannya. "Terserah kamu percaya apa tidak," sahutku kesal.Pria itu kemudian mengajakku untuk bertemu di kantornya dia ingin membahas masalah Renata lebih lanjut lagi. Aku pun menyetujuinya lalu meminta sopir putar balik. Kini aku berada di ruangan Daniel, dia mengambilkan aku minuman dinginnya. "Minumlah!" Titahnya. Aku tahu pria ini sangat senang tapi entah mengapa wajahnya masih saja datar suaranya juga masih dingin sehingga membuat aku kesel sendiri. "Iya."Aku yang haus segera meminum minumannya sampai tandas. Grrrrkkk, aku malah sendawa dengan keras. "Ups maaf Pak Daniel." Kutatap pria itu. "Tak masalah." Ujar Daniel. "Lalu apa rencanamu?" tanyanya kemudian. Sejauh ini aku masih belum memiliki rencana untuk mereka namun karena Daniel s
Aku segera mengambil ponselku, lalu meletakkannya kembali."Dari siapa sayang? kenapa namanya kuda nil?" Mas Raka nampak bingung."Temanku," jawabku dengan was-was.Mas Raka tersenyum kemudian merangkulku, "Kamu tuh ya, seorang teman malah dinamai kuda nil." Mas Raka terlihat menggelengkan kepala."Habisnya badannya besar seperti kuda nil," sahutku sambil tertawa juga.Tak ingin Mas Raka tertanya lebih aku segera mengajaknya turun. Setelah makan kami di ajak mengobrol oleh Papa dan Mama."Ada apa Pa?" Tanya Mas Raka dengan tatapan heran. "Papa dengan omset menurun drastis, sana sini banyak rumor buruk, kinerja kamu itu gimana?" Pertanyaan Papa membuat Mas Raka menghela nafas, kutahu dia tidak akan menceritakan yang sesungguhnya kepada sang Papa. "Raka akan kerja keras lagi Pa." Hanya kata semangat itu yang dia ucapkan. Papa meminta Mas Raka untuk menjaga baik-baik hotel itu karena bagaimanapun juga itu hotel beliau rintis sejak muda. "Jangan sampai bangkrut Raka, Papa mohon." Te
Seperti kemarin aku datang lagi ke rumah Renata, saat menemuiku Renata sudah menunjukkan ekspresi tak suka. "Mau apa lagi kamu kemari?" Tanyanya sinis. "Apa sudah kamu pikirkan ucapanku kemarin?" Tanpa menjawab aku justru melemparkan pertanyaan. Dia tertawa kemudian bilang ke aku jika Daniel memintanya untuk tidak menggubris ucapanku. Tentu aku melongo, apa maunya kuda nil itu! jelas-jelas dia memintaku untuk membujuk Renata tapi mengapa dia malah berkata demikian? "Dia bicara begitu?" tanganku sontak mengepal. "Iya, lagipul kak Daniel akan selalu menyayangiku selamanya, dia akan menuruti semua kemauan ku termasuk membuat kalian menderita!" Renata tertawa bahagia sementara aku kekesalan menggerogoti hatiku. "Yakin? manusia itu gampang berubah sekarang bilang akan selalu menyayangi tapi entah besok." Agaknya ucapanku mengundang perhatiannya, sehingga Renata menatapku tajam. "Aku yakin sama Kak Daniel." Ujarnya. "Dulu kamu juga yakin sama Mas Raka bukan?" Raut wajah Renata be
Esok harinya setelah Mas Raka berangkat ke kantor, aku pergi menemui Renata di rumahnya. Mengetahui kedatanganku Renata sangat terkejut. "Amel! bagaimana kamu tahu rumahku?" Dia menatapku tajam. "Tidak penting aku tahu darimana." Ujarku yang juga menatapnya. Dia duduk di sofanya yang lain, "Apa maumu?" Masih dengan tatapan yang sama. "Aku ingin bicara Renata." Sahutku. "Bicara apa?" Tanyanya dengan dingin. Aku menghela nafas, kalau bukan demi Mas Raka aku tidak mungkin mau menemuinya, soal penculikan waktu itu saja masih ku ingat bahkan masih jadi ketakutanku "Mari kita akhiri dendam ini." Kutatap dia dengan lekat. "Enak saja, aku menderita setelah Raka menceraikan aku dan kini kamu ingin aku mengakhiri ini?" Dia mendengus kesal. Dia pikir hanya dia saja yang menderita, aku jauh lebih parah. Ingin sekali aku pergi tapi aku harus berhasil membujuknya atau kakaknya akan menghancurkan bisnis keluargaku. "Kita sudah mendapatkan karma kita masing-masing Renata, kamu m
Keesokan harinya tubuhku rasanya pegal semua, keganasan Mas Raka semalam benar-benar membuatku sampai memohon ampun. "Kamu kenapa sayang?" tanyanya sambil menatapku. Aku memberengut kesal, "Kenapa-kenapa ini karena keganasan kamu semalam Mas." Bibir refleks maju ke depan. Dia tertawa kemudian memelukku, "Sekali lagi boleh?" Mataku melongo menatapnya, tubuhku sudah remuk begini dia meminta sekali lagi? "Mas kita lanjut nanti ya, aku harus memasak." Buru-buru aku bangkit dan pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri aku menyiapkan keperluannya. "Mas dasi warna abu-abunya kok ga ada ya." Aku berkali-kali mencari dasi warna abu namun tak ketemu. Mas Raka tertawa dan hal itu membuat aku kesal. "Bantu cari dong Mas kamu kenapa malah tertawa." Ujarku sambil memberengut. Dia berjalan ke arahku kemudian mengambil dasi yang ternyata ada di leherku. "Ini apa Sayang." Bisiknya. Aku yang malu hanya tertawa. "Maaf Mas." Bukannya segera memakai bajunya, Mas Raka malah men
Mas Raka menjelaskan semua, Kakak Renata sengaja menyebarkan rumor buruk tentang hotel keluarga kami ya tujuannya untuk menghancurkan Mas Raka kembali. Tanganku sontak mengepal, orang ini benar-benar gila. Apa belum puas dia sudah membuat dua direktur resign tanpa mendapatkan apa-apa. "Dia benar-benar!" batinku. Aku harus melawan rasa takutku, ya aku harus menemui Kakak Renata, meskipun dia seorang mafia tapi negara ini adalah negara hukum jadi tak mungkin melakukan hal buruk padaku. Keesokan harinya setelah Mas Raka berangkat ke hotel, aku datang ke kantornya dahulu untuk menemui Kakak Renata. "Semoga saja pria busuk itu disini." Gumamku. Aku meminta supir dan security rumahku menunggu di mobil. Diam-diam aku naik ke atas ke ruangan CEO. Benar saja saat aku mengetuk pintu ada sahutan dari dalam. Saat aku berdiri di hadapannya dia memelototkan mata. "Kamu! beraninya staf biasa masuk ke ruanganku!" Makinya dengan menatapku tajam. "Aku bukan staff disini." Ujarku. Sebenarnya
Mulutku terbuka lebar-lebar, aku sungguh tak menyangka jika bertemu dengan kakak Renata di lift. Dari wajahnya memang pria ini terlihat garang, dia juga sangat dingin lebih dingin dari sikap Mas Raka dulu, pantas sekali dia menjadi seorang mafia kelas kakap di negara ini."OMG dia kakak Renata.":batinku dengan terus menatapnya. Pria itu juga menatapku kemudian berkomentar pedas, "Kenapa kamu terus menatapku! suka?" Suara dinginnya membuat aku segera melemparkan tatapan. Lawak juga nih orang, bisa-bisa berkata seperti itu! mana mungkin aku suka, wajahnya saja menyeramkan. Aku mendengus kesal meskipun di dunia ini lelaki tinggal dia seorang, aku tak mungkin suka. "Maaf tapi kamu bukan tipeku." Ujarku ketus. Kebetulan live telah tebuka dia melangkahkan kaki keluar.Saat dia keluar aku menghela nafas dalam-dalam. "Syukurlah." Sambil mengelus dada. Setibanya di ruangan mas Raka aku segera memberikan berkas yang dia minta."Terima kasih sayang maaf aku merepotkanmu," katanya lalu men
"Posesif sekali kamu Raka, tenang saja aku tidak akan mengambil amal darimu." Ujar Mas Daffa dengan tertawa.Aku juga tertawa, "Dia sekarang bucin akut Mas." Aku turut menimpali ucapan Mas Daffa. Kami bertiga tertawa bersama, syukurlah Mas Daffa dan Mas Raka kini tidak bermusuhan lagi. Setelah mengobrol random Mas Daffa pamit pulang sedangkan kami selepas kepulangannya kembali ke kamar. Di dalam kamar kami mengobrol kembali hingga akhirnya kami memutuskan untuk istirahat mengingat malam sudah sangat larut. Keesokan paginya aku melakukan aktivitasku seperti biasa, mask, bersih-bersih dan menyiapkan keperluan Mas Raka. Mas Raka pagi ini berangkat lebih awal karena dia harus bertemu Mas Daffa kembali untuk membahas Kakak Renata. "Dibahas lagi Mas, bukankah semalam sudah selesai." Kataku sambil menyiapkan bekal makannya. "Aku mendapatkan kabar buruk sayang." Jawab Mas Raka sambil menunjukkan ponselnya. "Perusahaan terancam bangkrut." Mataku rasanya mau keluar membaca berita itu.
Mas Raka menggeleng, agaknya mas Raka juga bingung dengan hal ini. "Entahlah Sayang, aku akan menyelidikinya." Ujar Mas Raka. Aku mengangguk paham. Sepanjang jalan, aku masih mengingat kejadian tadi. Kini aku tidak berani kemana-mana sendiri, Renata sungguh meresahkan. "Mas tapi bagaimana bisa Mas Daffa datang menyelamatkan kita?" Aku yang baru menyadari hal itu segera bertanya pada Mas Raka. "Tadi aku keluar sama atasanku, ternyata kami bertemu dengan Daffa untuk membahas kerja sama waktu itu." Jelas Mas Raka. "Oh gitu jadi tadi pas kamu telpon, ada Mas Daffa? dan Mas Daffa tahu?" Kembali aku bertanya. Mas Daffa yang berada di belakang mobil kami melaju mendahului karena memang arah rumah kami berlawanan. Setibanya di rumah Mas Raka melakukan banyak panggilan, dia berusaha keras untuk menyelidiki Renata. "Mas makan dulu." Aku sengaja membawa makanan ke ruang kerjanya karna kutahu suamiku kini malas makan. "Nanti dulu Sayang," katanya tanpa melihatku. "Aku lapar