Pertanyaan mas Raka membuat aku geli sendiri, bagaimana bisa dia meminta aku untuk memilih antara dia dan oppa Korea? sungguh ada-ada saja bukan? Gelengan kecil aku tunjukkan, "Mas pertanyaan kamu lucu sekali." Kini aku tertawa. "Lucu kenapa? Aku perhatikan kamu sangat menyukai oppa favoritmu itu!" sahutnya dengan cemberut.Suamiku kalau cemburu terlihat sangat tampan, ingin rasanya aku memeluknya.Kemudian kugenggam tangannya dan berbisik jika dirinya lah yang aku pilih. "Mas, mas aku ini hidup di dunia nyata bukan hidup di dunia halu. Kamu adalah suamiku jelas kamulah yang aku pilih." Kataku kemudian menatapnya lekat. "Lagi pula aku hanya ngefans, aku hanya menyukai aktingnya, lagipula dia sangat jauh mana mungkin kita bersatu." Aku kembali menggodanya di akhir kalimatku. Dia semakin cemberut dan hal itu membuat aku bahagia. Cemburu tanda cinta, jika sama idolaku saja dia cemburu itu artinya cintanya untukku begitu besar. "Maaf Mas, udah ah ayo kita cari makan, udah lapar aku
Nafasku naik turun, kali ini stamina Mas Raka luar biasa. Durasi waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak juga lebih lama. "Mas kamu tadi makan ada sehingga kuat sekali." Ujarku sambil merapikan baju. "Kan tadi kamu yang masak sayang kenapa tanya?" Pria itu masih tersenyum licik. "Nggak seperti biasanya, hari kuat sekali." Jawabku. Waktu cepat berlalu hingga tak terasa hari sudah sore. Aku dan Mas Raka yang lelah memutuskan langsung pulang tanpa mampir kemana-mana. Setibanya di rumah aku melihat beberapa mobil terparkir di halaman. "Mobil siapa Mas?" Kutatap Mas Raka yang juga menatap deretan mobil di depannya. "Entah sayang." Ujarnya. Aku dan Mas Raka memutuskan turun, saat kami masuk suara Mama Mas Raka mencuat. "Raka, Amel." Beliau memanggil kami. Kemudian kami turut bergabung, Mama Mas Raka mengenalkan tamunya padaku, ternyata itu adalah kerabat mereka. "Amel ini Om dan Tante, sedangkan ini sepupu Raka." Aku menyalami satu-satu diantara mereka. Ada dua wanita muda,
Kutatap Rania dengan tatapan kesal, "Memangnya Mas Raka sebuah benda sehingga bisa dipinjam?" Ujarku. Kini tatapanku mengarah ke Mas Raka. "Kamu memangnya mau Mas? bukannya sekarang kamu harus kerja?"Mas Raka tersenyum menatapku. "Iya ini mau berangkat kerja, kamu ikut ya sayang?" Tadi sempat aku was-was akan jawaban Mas Raka tapi kini aku sangat puas. Wajah Rania nampak tak biasa, mungkin dulu mereka dekat tapi keadaannya kini berbeda. "Maaf Rania tapi Mas Raka harus kerja, gimana dong?" Cicitku. Rania mengangguk lalu kulihat senyuman yang agak dipaksakan. Di dalam mobil kami sekarang, permintaan Rania tadi membuat pikiranku ramai kembali, dulu aku pernah dicurangi dan kini aku tak ingin hal ini terulang lagi. "Kamu kenapa sayang?" Suara Mas Raka mencuat membuat aku terkejut. "Memikirkan kamu Mas!" Sahutku kemudian menatapnya. "Aku kenapa?" Dia bertanya heran. "Dulu kamu mencurangi aku mas sehingga aku membencimu namun karena pengorbananmu, aku mau memaafkan. Saat ini aku
"Mau banget Mas daripada di rumah aku tidak ngapa-ngapain." Sahutku dengan tersenyum. Mama tersenyum, beliau juga setuju jika Rania diantar olehku karena Mas Raka harus bekerja. Aku pernah kecolongan sekali dan kini aku tidak ingin suamiku didekati wanita manapun termasuk sepupunya sendiri. Karena lelah aku dan Mas Raka memutuskan untuk istirahat lebih dahulu meninggalkan Mama dan juga Rania. Di dalam kamar aku berterima kasih pada Mas Raka yang menghargai perasaanku dengan menolak keinginan Rania. "Hanya ucapan terimakasih saja?" Dia melirikku. "Memangnya kamu mau apa Mas?" Tanyaku. Kulihat pria itu tersenyum licik, melihat senyumannya kutahu Mas Raka menginginkan hal itu. "Mas tidak bisakah libur sehari saja." Aku memelas menatapnya. Tangan Mas Raka mencubit hidungku, "Iya Sayang." Malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak tanpa ritual kenikmatan terlebih dahulu. Pagi itu setelah memasak dan melayani Mas Raka aku bersiap untuk menemani Rania ke kampus rencananya M
"Jangan mendahului kehendak Tuhan, kita manusia terus diminta berusaha bukan bersedih." Ucapan Mas Raka membuat aku sadar memang benar tak seharusnya aku bersedih dengan apa yang sudah digariskan. Anak adalah pemberian, jika sudah waktunya pasti akan hadir. Hari ini tiba-tiba Mas Raka mengajak aku jalan-jalan, di meja makan dia mengungkapkan keinginannya itu di depan Mama dan Papa. "Iya Raka, kalian kan dalam masa program hamil jadi harus sering jalan-jalan supaya Amel tidak stres." Ujar Mama. Setelah Mama berbicara Rania menyeletuk, dia juga ingin ikut jalan-jalan. "Nggak Papa kan Mas Raka." Dia menatap Mas Raka dengan tatapan memohon. Sungguh kesabaranku kini hanya setipis tisu, apa dia tidak bisa membedakan jalan-jalan pada umumnya atau jalan-jalan yang memang diatur untukku. "Rania, Mas Raka dan Mbak Amel tuh jalan-jalan sebagai pasangan suami istri bagaimana mungkin kamu ingin ikut?" Mama agaknya heran dengan Rania. "Rania tahu Tante lagipula Rania tidak akan mengganggu
"Memangnya kenapa kalau hanya masak ini, lagipula di kulkas cuma ada mie ini." Rania nampak kesal. Tak ingin ada debat, aku mengelus punggung Mas Raka, "Mie instan juga enak kok Mas." Kami bertiga makan mie instan bersama, setelahnya Mas Raka meminta Rania untuk mencuci peralatan makan dan masak. "Mas aku udah masak, sekarang gantian Mbak Amel yang mencuci piringnya." Rania menolak. "Apa kamu lupa Rania?" Rania menghela nafas, dengan cemberut dia mencuci semua yang ada di wastafel. Sebenarnya aku kasian sama Rania tapi dia memang harus diberi pelajaran agar tidak asal mengekor Mas Raka. Kakak sepupunya bukan pria single seperti dulu, jadi tidak mungkin terus mengikuti kemauannya.Setelah makan, aku dah mas Raka keluar. Pemandangan sekitar villa sangat bagus jadi kami memutuskan untuk jalan-jalan sejenak. "Mas itu gunung apa ya?" "Entah sayang aku belum bertanya." Jawabnya dengan terkekeh. Di sebuah batu kami berhenti sambil melihat hamparan pepohonan. Aku mendekap ta
Rania hanya diam, sementara Mas Raka seperti orang yang kepanasan. Melihat suamiku aku tak tega, mataku pun mengeluarkan airnya. Plak... Tamparanku melayang ke pipi Rania, gadis ini benar-benar diluar batas. "Apa rencanamu! jangan-jangan teh ku juga kamu beri obat!" Tatapan tajamku melesat ke arahnya. Dia hanya diam, entah apa yang dia pikirkan saat ini takut, merasa bersalah atau kesal karena rencananya gagal, aku tak tahu. "Mas Raka hanya hidup dengan satu ginjal saja, kalau sampai kenapa-kenapa akan aku tuntut kamu!" Jari telunjukku menunjuk ke arahnya. Aku mencoba membawa Mas Raka ke kamar namun Mas Raka langsung menerjang ku di tempat, dengan brutal dia menciumiku di depan Rania. Tak hanya menciumku dia juga hampir membuka baju yang aku pakai. "Mas kita ke kamar." Segera aku mengajak Mas Raka ke kamar. Tak habis pikir dengan Rania, rencananya kali ini benar-benar sudah keterlaluan, dia sungguh gila memberikan obat perangsang pada kakak sepupunya sendiri
Setelah keadaan Mas Raka benar-benar membaik kami memutuskan untuk pulang. Di rumah Mama menyambut kami. "Rania mana?" tanya Mas Raka. "Dia pulang, katanya rindu sama keluarga." Jawab Mama. Diriku dan Mas Raka saling pandang, kutahu Rania sengaja kabur. "Mama bilang Om dan Tante agar menyuruh Rania kemari Ma." Pinta Mas Raka geram. Melihat ekspresi Mas Raka Mama nampak mengerutkan alis. "Ada apa Raka?" Kami mengajak Mama duduk untuk membahas Rania, agar kelak dia tidak bikin ulah lagi. "Jadi gini Ma, Rania hampir saja mencelakan Mas Raka." Kataku memulai obrolan tegang ini. "Bagaimana bisa dia mencelakai Raka Amel?" Mama terlihat syok mendengar kalimatku. Aku menjelaskan lagi semua yang Rania perbuat, termasuk memberi obat perangsang ke minuman Mas Raka. "Kemarin Mas Raka juga dirawat di rumah sakit Ma," Sambungku. Mama sangat sedih, beliau tak menduga jika keponakan yang amat beliau sayangi hampir saja mencelakai anaknya. "Mama tak menyangka gadis di bawah 20 tahun punya
Waktu terus berlalu, tak terasa Arkan sudah berumur tujuh bulan, mama yang masih memegang teguh adatnya hendak melakukan syukuran yang disebut "Mudun lemah" atau turun tanah. Di usia tujuh bulan bayi sudah diperbolehkan untuk diturunkan ke bawah mengingat mereka harus belajar berjalan. "Amel persiapannya sudah selesai apa belum?" tanya Mama yang memantau aku di dapur. "Sudah ma, anak ayam yang mama pesan sudah dikirim." Kataku sambil tersenyum. Memang dalam syukuran kali ini kami menggunakan anak ayam, entahlah kenapa ada adat seperti itu. Ayah dan ibuku juga datang untuk membantu, aku yang lelah memutuskan ke kamar sejenak untuk istirahat. Beberapa saat kemudian, Mas Raka menyusulku. Dia yang juga kelelahan turut berbaring di sampingku. "Adat terkadang itu menyusahkan, tinggal syukuran saja kenapa ribet banget yang inilah itulah, lagian kenapa ada acara turun tanah, Arkan tinggal ditaruh bawah kan udah beres." Mas Raka menggerutu sendiri. Mendengar gerutuannya
Mas Raka menatapku tak percaya, "Kamu setuju Sayang?" tanyanya sambil memegang pundakku. "Iya Mas, kuakui aku tak sanggup mengurus Arkan sendirian." Mas Raka langsung memelukku, dia mengecup keningku berkali-kali. Setelah berbincang aku dan Mas Raka memutuskan pulang, sesampainya di rumah Mama menyambutku. Sama seperti Mas Raka mama memelukku dengan erat. Sebenarnya aku heran pada mereka, takut sekali jika aku pergi. "Ma tolong carikan yayasan terbaik, kami akan menggunakan jasa baby sitter." Ujar Mas Raka. Mama sangat senang mendengar kabar ini lalu beliau menghubungi Yayasan yang sudah diakui para majikan. Beberapa foto calon baby sitter mama tunjukkan padaku, dan pilihanku jatuh pada baby sitter yang sudah berumur. Aku sengaja mencari yang tidak manarik karena takut Mas Raka akan tergodo seperti di film-film. Keputusan kami buat, dan besok orangnya akan dikirim ke rumah. Malam itu, Mas Raka lah yang menidurkan Arkan, dia juga menemani aku begadang meng
"Iya Bu, Amel akan memikirkannya lagi." Kataku sambil menatap ibuku. Arkan menangis, ibu memintaku untuk menyusuinya langsung karena asi yang aku pompa kemarin sudah habis. Setelah aku menyusui Arkan, ibu meminta bayiku kembali. Ibuku memang ibu terbaik di dunia. Beliau tidak ingin aku lelah. "Enak ya digendong nenek." Aku mengusap pipi Arkan. Dari depan terdengar suara mobil berhenti, bibirku menyunggingkan senyuman saat tahu yang berhenti adalah mobil Mas Raka. Mas Raka berjalan mendekat dan bersamaan Arkan muntah sehingga aku berlari masuk ke dalam. Dari belakang aku mendengar Mas Raka memanggilku. "Sayang." Mas Raka mengekori aku yang ingin mengambil tisu. Dia langsung memelukku. "Maafkan aku." Dia berbisik. Aku melepas pelukannya bukan tidak senang dengan kedatangannya tapi aku harus mengusap muntah Arkan. Ibu segera meminta tisu dariku, lalu beliau lah yang mengusap bibir Arkan. Setelah bersih dari muntahan, aku menatap suamiku yang sudah memasan
Di dalam kamar aku menangis, sungguh aku merasa sedih dengan sikap Mas Raka. Kenapa semua seolah aku yang salah? padahal aku hanya ingin merawat Arkan dengan tanganku sendiri? "Kenapa kamu begini Mas?" Aku bermonolog dengan diriku sendiri. Kukira Mas Raka akan mengerti keadaanku, seorang ibu baru yang mengalami perubahan segala siklus hidup namun nyatanya tidak. Di saat seperti ini bukankah peran suami adalah mensupport istri? tapi mengapa malah balik menyalahkan? ArrggggAku berteriak sambil mengusap rambutku dengan kasar. Meskipun aku mengurus Arkan sendiri aku tidak pernah mengganggu tidurnya, seberapa repotnya aku tiap malam aku tidak pernah membangunkannya karena aku sadar dia harus bekerja. Tapi kenapa dia tidak mengerti? bukankah masa-masa seperti ini tidak lama, ketika bayi semakin besar dia pasti akan jarang bangun malam dan aku bisa mengurusnya kembali? Hati yang meradang membuat aku terus menangis hingga suara ketukan dari luar menghentikan tangisku. Aku berjalan u
Kutunggui dia yang sedang makan, entah mengapa melihat Mas Raka makan, aku merasa iba. Emosi yang memburu tiba-tiba menghilang. "Aku sudah selesai makan, apa yang ingin dibicarakan?" Dia menatapku. "Ayo le kamar." Tak ingin di dengar pelayan dan Mama aku mengajak Mas Raka ke kamar. Tapi Mas Raka menolak dengan alasan kekenyangan jadi malas naik. "Kamu tuh kenapa sih Mas, bicara di kamar lebih leluasa tidak didengar banyak orang!" Aku memberengut kesal. "Apa masalahmu?" Nafasku kembali memburu, dia tidak pulang dan dia bertanya apa masalahnya? "Kamu tuh nyadar gak sih kalau salah! nggak pulang apa menurut kamu itu wajar?" Air mataku yang kutahan memberontak keluar, sehingga kini aku menangis di hadapannya. "Apa yang kamu tangisi bukanlah semua keinginan kamu?" Mendengar ucapannya sontak aku membuat aku kembali menatapnya, "Apa maksud kamu?" "Ya kamu lelah dengan Arkan bukanlah itu keinginan kamu? dari awal aku sudah mencoba menawarkan baby sitter tapi kamu selalu menolak."
Tanganku mengepal, emosiku meledak-ledak melihatnya. Melihatku Mas Raka hanya menghela nafas. "Aku lelah, jangan marah-marah seperti ini." Katanya lalu dia merebahkan diri di tempat tidur. Tak rela jika amarahku berakhir begitu saja aku pun menghampirinya, ku tarik tangannya agar bangun untuk mendengar omelanku. Tapi bukannya bangun Mas Raka justru menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. "Arkan tidur lebih baik kamu tidur jangan marah-marah." Katanya. Aku melongo melihat suamiku ini, seketika emosiku yang sedari tadi berapi-api padam begitu saja. Dan dalam dekapannya aku merasa hangat hingga air mataku tak terasa meleleh. "Nyatanya lelahku hilang dalam dekapannya." Batinku sambil terus menatap Mas Raka yang sudah memejamkan mata. Baru saja aku terpejam suara Arkan membangunkan aku, malas dan lelah tapi aku harus bangun untuk menenangkan malaikat kecilku itu. "Kamu haus ya." Kataku sambil membuka kancing baju untuk menyusuinya. Saking ngantukn
Aku hanya tersenyum mendengar pesan Mama, entah mengapa aku ingin tanganku sendiri yang mengurus bayi ini. "Nanti Amel pikirkan ya Ma." Tak ingin Mama kecewa aku berkata demikian. Bayiku kini berusia tujuh hari, hari ini adalah hari dimana Mama mengadakan syukuran pemberian nama. Adat kami memang seperti itu, ada beberapa syukuran yang wajib digelar oleh keluarga yang baru saja memiliki keturunan. "Namanya Arkan Ma, diambil dari Amel dan Raka." Ujar Mas Raka. "Tapi sama Mas Raka ditambahi n," sambungku. Mama tertawa, sebenarnya aku yang ingin Mas Raka menambahkan paten n, karena aku ngefans sekali dengan salah satu sama pemain bola tanah air. Setelah acara syukuran pemberian nama selesai aku dan Mas Raka pamit ke atas untuk istirahat. Di dalam kamar, Mas Raka duduk di sampingku. "Sayang, besok pagi sekali aku ada dinas keluar kota kamu bisa nggak bangun pagi dan mengurusi aku." Dia menatapku. "Aku upayakan ya Mas, bayi kita sering rewel kalau malam jadi aku ga bisa
Ini bukan stimulasi Asi melainkan memancing hasrat, alhasil hasratku lah yang terpancing keluar. "Mas, ah...." Aku malah mendesah merasakan setiap hisapan yang mas Raka berikan. Tanganku menarik rambutnya, mataku justru terpejam. "Mas sudah." Aku menekan kepalanya. Entah apa yang ada di kepalaku, saat seperti ini aku malah terjerumus dalam hal ini. Mas Raka menyudahi aksinya, "Gimana sayang, apa sudah cukup stimulasinya?" Dia tersenyum licik. "Ini bukan stimulasi mas, tapi memancing hasrat." Sahutku kesal. Dia tertawa, suamiku sungguh mesum sekali. "Maafkan aku sayang," katanya lalu mencubit pipiku. Netraku menatap wajahnya kemudian turun ke bawah dan aku melihat ada sesuatu yang menyembur dari balik celananya. Deretan gigiku terlihat, ternyata dia juga terpancing perbuatannya sendiri. "Itu kamu juga berdiri." Kataku sambil menahan tawa. Sebenarnya aku ingin tertawa lepas mengejeknya hanya saja luka operasi jika dibuat tertawa terasa sangat sakit. Tau aku mengejeknya Mas
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, hari ini aku dan seluruh keluarga besarku dan Mas Raka pergi ke rumah sakit. Sengaja kami memilih hari ini karena hari ini bertepatan dengan ulang tahun Mas Raka jadi anakku nanti memiliki hari ulang tahun sama dengan papanya. "Mas aku takut." Aku terus memegangi tangan mas Raka. Ingatan waktu itu, membuat nyaliku menciut. Memang operasi sesar tidak menakutkan tapi setelahnya aku harus kesakitan. "Jangan takut sayang, ada aku." Mas Raka terus mengecup keningku. "Habis operasi sakit sekali Mas." Aku mengubah raut wajahku takut merasakannya lagi. Mas Raka tersenyum, dia bilang kalau nanti sakitnya terbayarkan dengan hadirnya anak kami. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Bayangan bayi menangis menari di kepalaku, tanpa kusadari bibirku terus saja menyunggingkan senyuman. Beberapa waktu kemudian, Dokter datang untuk melakukan pemeriksaan, selain operasi aku juga meminta dokter untuk sekalian memasang kb, rencananya aku akan menunda kehamilan