Aku terus menangis ingin rasanya aku peluk tubuhnya yang tak berdaya itu, seperti yang dia inginkan beberapa waktu lalu. Namun tidak bisa, karena sedikit saja tindakanku bisa membuat keadaannya parah. "Mas, bukankah waktu itu kamu ingin memelukku? Jika kamu tidak bangun bagaimana bisa kamu melakukannya?" Aku terus berbicara berharap dia mendengarkan ucapanku tapi tubuhnya tak memberikan reaksi apapun, hanya suara alat medis yang kudengar. Belum puas aku bersamanya suster sudah masuk dan memintaku untuk keluar. Tubuhku berontak, lalu mengatakan jika aku ingin lebih lama lagi namun keinginanku ditolak mentah-mentah, suster tersebut dengan tegas mengatakan jika aku bersikeras maka akan berakibat fatal pada pasien. "Saya sudah berbaik hati mengijinkan anda masuk jadi tolong jangan persulit saya lagipula keadaan pasien masih kritis tolong mengerti!" Tak ada yang bisa aku lakukan selain menurut apa yang dikatakan oleh suster tersebut, selesai melepas pakaian khusus aku keluar. I
Aku berlari mendekat ke arah suster tersebut, tanpa tau siapa yang meninggal aku langsung saja memeluk erat tubuh kaku itu. "Mas Kenapa kamu pergi secepat ini?" teriakku histeris. "Aku belum mengucapkan Terima kasih Mas! Mas Raka!" Suster mencoba menenangkan aku tapi aku memarahinya, "Suster jangan menghalangi saya untuk memeluknya!" "Iya tapi jenazah bukan...." Belum sempat melanjutkan kata-katanya aku sudah menyela. "Tolong ijinkan aku memeluk suami saya." Pintaku. Kemudian kudengar suster itu menghela nafas. Hingga suara Dokter aku dengar. "Nona, apa yang anda lakukan?" Segera aku melepas pelukanku, lalu menatap dokter tersebut. Aku mengerutkan alis, sudah jelas aku terpukul atas kematian mas Raka tapi kenapa dokter malah bertanya? "Tentu saya menangisi kepergian Suami saya Dok? Sambil terus menatapnya. Bukannya Iba dan turut berduka cita dokter itu malah tersenyum menatapku. "Maaf Nona anda salah menduga, dia bukan suami anda." Ujar Dokter sambil membuka pe
Sepulang dari rumah sakit jiwa aku kembali ke rumah sakit, begitu sampai aku langsung pergi ke ruang ICU. Kali ini aku benar-benar ingin melihat Mas Raka. Aku mengindahkan pesan dokter sebelumnya yang melarang aku untuk membesuk namun keinginan hatiku kali ini tidak bisa dicegah. "Sus ijinkan saya masuk, saya ingin menjenguk suami saya." pintaku pada suster yang kebetulan ingin memeriksa disana. "Mohon maaf tapi untuk saat ini keluarga pasien dilarang membesuk." Jelas suster itu. Aku kembali memohon, dan membujuknya bahkan untuk meyakinkan suster itu aku sampai menangis. Entah ini air mata sedih atau air mata akting namun yang jelas suster terlihat bingung. Raut wajah Suster itu berubah kemudian dia menatapku. Sesaat kemudian kulihat dia menghela nafas. "Baiklah tapi jangan lama-lama, cukup sebentar saja. Aku takut dokter mengecek ke sini dan melihat kamu berada di dalam." Pesan suster itu. Senyuman merekah di bibirku. Aku mengangguk paham lalu dengan senang masuk ke dal
"Apa Dok?" Aku bertanya memastikan, takutnya tadi aku salah dengar. Pihak rumah sakit menjawab dengan kalimat yang sama mengatakan jika mas Raka telah melewati masa kritisnya. Aku yang sangat senang mengambil tasku lalu bergegas pergi ke rumah sakit kembali. Sungguh aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah menuntun mas Raka keluar dari masa kritis. Setidaknya dengan kesembuhannya keluargaku tidak menjadi alasan atas apa yang terjadi dengan Mas Raka. "Terima kasih Tuhan." Berkali-kali aku mengucapkan Terima kasih pada Tuhanku. Tak selang lama taksi yang kunaiki telah tiba di depan lobby rumah sakit, aku yang tak sabar ingin melihat keadaan mas Raka sampai lupa jika belum membayar tagihan. "Astaga, maaf Pak." Kataku dengan menepuk dahulu sendiri. Buru-buru aku mengeluarkan selembar uang warna merah untuk driver tersebut. "Kembaliannya ambil saja Pak." Kataku kemudian berlalu. Setelahnya aku berlari masuk ke dalam menuju ruang ICU tempat mas Raka dirawat. Tanpa
Sungguh aku sangat takut, apalagi tatapan mama begitu tajam padaku. Di bawah rasa takut aku mengangguk kecil, dan menatap Mama. Hatiku berdebar tak karuan, rasa takut kini semakin menguasai tubuhku, bahkan nyaliku juga turut menciut. "Kenapa kamu baru bilang sekarang Amel!" Mama menangis. "Maaf Ma, Amel takut." Cicit ku pelan dengan menunduk ketakutan. "Mas Raka mendonorkan ginjal itu diam-diam bahkan Dokter juga dilarang memberitahu Amel." Aku mencoba membela diri, karena memang sejatinya semua ini bukan salahku. Air mata mama semakin tumpah, aku tahu mama sangat terpukul mendengar hal ini. Anak semata wayangnya yang digadang-gadang menjadi penerus merelakan organnya untuk sang mertua. "Lihatlah! cinta Raka padamu begitu besar Mel, Jika kamu masih ingin berpisah darinya Mama bersumpah tidak akan pernah memaafkan kamu dan keluargamu!!!" Mataku membola menatap Mama, inilah kali pertama Mama berbicara keras bahkan mengancamku. Tapi sikap Mama memang sangat wajah bahk
"Mas apa kamu akan terima jika tau aku selalu berbohong?" Aku bergumam sendiri. Mas Daffa begitu mengharapkanku sedangkan aku di sini terperangkap cinta mas Raka, keinginan orang tau serta harapan mertua. Apa yang harus aku katakan kepada Mas Daffa? Aku beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Tak ingin pusing dengan aneka panggilan telepon aku memutuskan untuk mematikan ponselku, aku ingin tenang hari ini saja. Tepat pukul 06.00 pagi aku keluar kamar berjalan menyusuri koridor menuju kantin. Perutku yang semalam tidak terisi pagi ini terasa sangat perih. "Maafkan Mama Nak, telah buat kamu lapar." Sambil ku elus perut buncit ku ini. Ada rasa sesal karena tak memikirkan anak yang kukandung sama sekali sementara dia butuh asupan nutrisi untuk tumbuh. Karena masih sepi aku tak perlu antri untuk mendapatkan makanan, usai makan aku bergegas kembali ke kamar. Kulihat sejenak keadaan Mas Raka, aku berharap ada kabar lebih baik lagi. Sudah dua j
Aku yang tak kau tahu harus menjawab apa hanya bisa diam, tuntutan orang tua maupun mertua hingga balas budi yang harus aku lakukan menuntut aku untuk kembali ke mas Raka tapi aku tak memiliki keberanian mengungkapkan semua itu kepada Mas Daffa. "Mel, Kenapa diam saja?" Mas Daffa bertanya kembali. Aku tersenyum menatapnya tapi aku masih setia dengan diamku. Lalu kulihat Mas Daffa juga tersenyum, senyumnya kali ini mengundang rasa ibaku, aku dapat merasakan betapa kecewanya dia. "Diammu sudah menjawab semua, kamu tidak mungkin memilihku kan? Kamu akan kembali lagi ke suami kamu kan?" Mendengar penuturannya hatiku rasanya tercabik, Maafkan aku, sungguh aku tak bermaksud mengecewakan Mas Daffa hanya saja keadaan yang menuntut aku untuk kembali ke mas Raka. "Maafkan aku Mas, aku tak bisa menolak tuntutan mereka." Ucapku dengan menangis. Mas Daffa mengangguk paham, "Maafkan aku Mel yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika ayah kamu perlu pertolongan." Sahutnya dengan mata berkaca. Se
Mas Daffa terus saja mengucapkan kata-kata yang mengundang emosi, detak jantung Mas Raka terus meningkat. "Mas aku takut terjadi apa-apa dengannya." Aku sungguh was-was. Hingga hal mengejutkan terjadi, Mas Raka membuka matanya."Mas! Mas Raka membuka matanya!" Aku berteriak lalu memencet tombol. Mas. Daffa tersenyum sementara aku menatap Mas Raka yang masih lemah. "Mas." "Raka Raka, diancam dulu baru bangun kamu!" Ujar Mas Daffa. Beberapa saat kemudian rombongan dokter datang. Belum sampai dokter berada di bangsal mas Raka aku segera berteriak mengatakan jika mas Raka sudah bangun. "Dok mas Raka bangun!" Dokter segera memeriksa keadaan mas Raka, lalu beliau tersenyum. "Sungguh keajaiban, pasien telah melewati masa komanya dengan cepat." Kata dokter. Suster diperintahkan untuk menyuntik obat di infus mas Raka. "Keadaan pasien masih sangat lemah, jangan terlalu diajak bicata yang berat dulu." Selepas itu dokter keluar, sedangkan aku dan Mas Raka sama-sama menatap Mas Raka.
Di perjalanan pulang dari rumah Renata aku menghubungi Daniel, aku mengatakan jika Renata setuju menikah dengannya.Ternyata dia yang dingin itu langsung menelponku. "Kamu pasti berbohong." Kata itu yang aku dengar saat aku menerima panggilannya. "Terserah kamu percaya apa tidak," sahutku kesal.Pria itu kemudian mengajakku untuk bertemu di kantornya dia ingin membahas masalah Renata lebih lanjut lagi. Aku pun menyetujuinya lalu meminta sopir putar balik. Kini aku berada di ruangan Daniel, dia mengambilkan aku minuman dinginnya. "Minumlah!" Titahnya. Aku tahu pria ini sangat senang tapi entah mengapa wajahnya masih saja datar suaranya juga masih dingin sehingga membuat aku kesel sendiri. "Iya."Aku yang haus segera meminum minumannya sampai tandas. Grrrrkkk, aku malah sendawa dengan keras. "Ups maaf Pak Daniel." Kutatap pria itu. "Tak masalah." Ujar Daniel. "Lalu apa rencanamu?" tanyanya kemudian. Sejauh ini aku masih belum memiliki rencana untuk mereka namun karena Daniel s
Aku segera mengambil ponselku, lalu meletakkannya kembali."Dari siapa sayang? kenapa namanya kuda nil?" Mas Raka nampak bingung."Temanku," jawabku dengan was-was.Mas Raka tersenyum kemudian merangkulku, "Kamu tuh ya, seorang teman malah dinamai kuda nil." Mas Raka terlihat menggelengkan kepala."Habisnya badannya besar seperti kuda nil," sahutku sambil tertawa juga.Tak ingin Mas Raka tertanya lebih aku segera mengajaknya turun. Setelah makan kami di ajak mengobrol oleh Papa dan Mama."Ada apa Pa?" Tanya Mas Raka dengan tatapan heran. "Papa dengan omset menurun drastis, sana sini banyak rumor buruk, kinerja kamu itu gimana?" Pertanyaan Papa membuat Mas Raka menghela nafas, kutahu dia tidak akan menceritakan yang sesungguhnya kepada sang Papa. "Raka akan kerja keras lagi Pa." Hanya kata semangat itu yang dia ucapkan. Papa meminta Mas Raka untuk menjaga baik-baik hotel itu karena bagaimanapun juga itu hotel beliau rintis sejak muda. "Jangan sampai bangkrut Raka, Papa mohon." Te
Seperti kemarin aku datang lagi ke rumah Renata, saat menemuiku Renata sudah menunjukkan ekspresi tak suka. "Mau apa lagi kamu kemari?" Tanyanya sinis. "Apa sudah kamu pikirkan ucapanku kemarin?" Tanpa menjawab aku justru melemparkan pertanyaan. Dia tertawa kemudian bilang ke aku jika Daniel memintanya untuk tidak menggubris ucapanku. Tentu aku melongo, apa maunya kuda nil itu! jelas-jelas dia memintaku untuk membujuk Renata tapi mengapa dia malah berkata demikian? "Dia bicara begitu?" tanganku sontak mengepal. "Iya, lagipul kak Daniel akan selalu menyayangiku selamanya, dia akan menuruti semua kemauan ku termasuk membuat kalian menderita!" Renata tertawa bahagia sementara aku kekesalan menggerogoti hatiku. "Yakin? manusia itu gampang berubah sekarang bilang akan selalu menyayangi tapi entah besok." Agaknya ucapanku mengundang perhatiannya, sehingga Renata menatapku tajam. "Aku yakin sama Kak Daniel." Ujarnya. "Dulu kamu juga yakin sama Mas Raka bukan?" Raut wajah Renata be
Esok harinya setelah Mas Raka berangkat ke kantor, aku pergi menemui Renata di rumahnya. Mengetahui kedatanganku Renata sangat terkejut. "Amel! bagaimana kamu tahu rumahku?" Dia menatapku tajam. "Tidak penting aku tahu darimana." Ujarku yang juga menatapnya. Dia duduk di sofanya yang lain, "Apa maumu?" Masih dengan tatapan yang sama. "Aku ingin bicara Renata." Sahutku. "Bicara apa?" Tanyanya dengan dingin. Aku menghela nafas, kalau bukan demi Mas Raka aku tidak mungkin mau menemuinya, soal penculikan waktu itu saja masih ku ingat bahkan masih jadi ketakutanku "Mari kita akhiri dendam ini." Kutatap dia dengan lekat. "Enak saja, aku menderita setelah Raka menceraikan aku dan kini kamu ingin aku mengakhiri ini?" Dia mendengus kesal. Dia pikir hanya dia saja yang menderita, aku jauh lebih parah. Ingin sekali aku pergi tapi aku harus berhasil membujuknya atau kakaknya akan menghancurkan bisnis keluargaku. "Kita sudah mendapatkan karma kita masing-masing Renata, kamu m
Keesokan harinya tubuhku rasanya pegal semua, keganasan Mas Raka semalam benar-benar membuatku sampai memohon ampun. "Kamu kenapa sayang?" tanyanya sambil menatapku. Aku memberengut kesal, "Kenapa-kenapa ini karena keganasan kamu semalam Mas." Bibir refleks maju ke depan. Dia tertawa kemudian memelukku, "Sekali lagi boleh?" Mataku melongo menatapnya, tubuhku sudah remuk begini dia meminta sekali lagi? "Mas kita lanjut nanti ya, aku harus memasak." Buru-buru aku bangkit dan pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri aku menyiapkan keperluannya. "Mas dasi warna abu-abunya kok ga ada ya." Aku berkali-kali mencari dasi warna abu namun tak ketemu. Mas Raka tertawa dan hal itu membuat aku kesal. "Bantu cari dong Mas kamu kenapa malah tertawa." Ujarku sambil memberengut. Dia berjalan ke arahku kemudian mengambil dasi yang ternyata ada di leherku. "Ini apa Sayang." Bisiknya. Aku yang malu hanya tertawa. "Maaf Mas." Bukannya segera memakai bajunya, Mas Raka malah men
Mas Raka menjelaskan semua, Kakak Renata sengaja menyebarkan rumor buruk tentang hotel keluarga kami ya tujuannya untuk menghancurkan Mas Raka kembali. Tanganku sontak mengepal, orang ini benar-benar gila. Apa belum puas dia sudah membuat dua direktur resign tanpa mendapatkan apa-apa. "Dia benar-benar!" batinku. Aku harus melawan rasa takutku, ya aku harus menemui Kakak Renata, meskipun dia seorang mafia tapi negara ini adalah negara hukum jadi tak mungkin melakukan hal buruk padaku. Keesokan harinya setelah Mas Raka berangkat ke hotel, aku datang ke kantornya dahulu untuk menemui Kakak Renata. "Semoga saja pria busuk itu disini." Gumamku. Aku meminta supir dan security rumahku menunggu di mobil. Diam-diam aku naik ke atas ke ruangan CEO. Benar saja saat aku mengetuk pintu ada sahutan dari dalam. Saat aku berdiri di hadapannya dia memelototkan mata. "Kamu! beraninya staf biasa masuk ke ruanganku!" Makinya dengan menatapku tajam. "Aku bukan staff disini." Ujarku. Sebenarnya
Mulutku terbuka lebar-lebar, aku sungguh tak menyangka jika bertemu dengan kakak Renata di lift. Dari wajahnya memang pria ini terlihat garang, dia juga sangat dingin lebih dingin dari sikap Mas Raka dulu, pantas sekali dia menjadi seorang mafia kelas kakap di negara ini."OMG dia kakak Renata.":batinku dengan terus menatapnya. Pria itu juga menatapku kemudian berkomentar pedas, "Kenapa kamu terus menatapku! suka?" Suara dinginnya membuat aku segera melemparkan tatapan. Lawak juga nih orang, bisa-bisa berkata seperti itu! mana mungkin aku suka, wajahnya saja menyeramkan. Aku mendengus kesal meskipun di dunia ini lelaki tinggal dia seorang, aku tak mungkin suka. "Maaf tapi kamu bukan tipeku." Ujarku ketus. Kebetulan live telah tebuka dia melangkahkan kaki keluar.Saat dia keluar aku menghela nafas dalam-dalam. "Syukurlah." Sambil mengelus dada. Setibanya di ruangan mas Raka aku segera memberikan berkas yang dia minta."Terima kasih sayang maaf aku merepotkanmu," katanya lalu men
"Posesif sekali kamu Raka, tenang saja aku tidak akan mengambil amal darimu." Ujar Mas Daffa dengan tertawa.Aku juga tertawa, "Dia sekarang bucin akut Mas." Aku turut menimpali ucapan Mas Daffa. Kami bertiga tertawa bersama, syukurlah Mas Daffa dan Mas Raka kini tidak bermusuhan lagi. Setelah mengobrol random Mas Daffa pamit pulang sedangkan kami selepas kepulangannya kembali ke kamar. Di dalam kamar kami mengobrol kembali hingga akhirnya kami memutuskan untuk istirahat mengingat malam sudah sangat larut. Keesokan paginya aku melakukan aktivitasku seperti biasa, mask, bersih-bersih dan menyiapkan keperluan Mas Raka. Mas Raka pagi ini berangkat lebih awal karena dia harus bertemu Mas Daffa kembali untuk membahas Kakak Renata. "Dibahas lagi Mas, bukankah semalam sudah selesai." Kataku sambil menyiapkan bekal makannya. "Aku mendapatkan kabar buruk sayang." Jawab Mas Raka sambil menunjukkan ponselnya. "Perusahaan terancam bangkrut." Mataku rasanya mau keluar membaca berita itu.
Mas Raka menggeleng, agaknya mas Raka juga bingung dengan hal ini. "Entahlah Sayang, aku akan menyelidikinya." Ujar Mas Raka. Aku mengangguk paham. Sepanjang jalan, aku masih mengingat kejadian tadi. Kini aku tidak berani kemana-mana sendiri, Renata sungguh meresahkan. "Mas tapi bagaimana bisa Mas Daffa datang menyelamatkan kita?" Aku yang baru menyadari hal itu segera bertanya pada Mas Raka. "Tadi aku keluar sama atasanku, ternyata kami bertemu dengan Daffa untuk membahas kerja sama waktu itu." Jelas Mas Raka. "Oh gitu jadi tadi pas kamu telpon, ada Mas Daffa? dan Mas Daffa tahu?" Kembali aku bertanya. Mas Daffa yang berada di belakang mobil kami melaju mendahului karena memang arah rumah kami berlawanan. Setibanya di rumah Mas Raka melakukan banyak panggilan, dia berusaha keras untuk menyelidiki Renata. "Mas makan dulu." Aku sengaja membawa makanan ke ruang kerjanya karna kutahu suamiku kini malas makan. "Nanti dulu Sayang," katanya tanpa melihatku. "Aku lapar