Bagas mengeluarkan mobilnya dengan menekan pedal gas kasar malam itu. Dia melajukan mobil ke rumah ibunya. Setiap kali merasa kesal, dia selalu pergi ke rumah sang ibu. Rumah ibunya berjarak beberapa kilometer. Meski seringkali saat curhat ibunya malah memarahinya seperti hari ini.
"Kenapa malam-malam kamu datang ke sini, Gas? Apalagi nggak sama Nita."Sambutan sang ibu membuat Bagas kesal. Kenapa ibunya tidak mendukungnya seperti perempuan lain yang mendukung anak lelakinya mati-matian?Bagas menyelonong masuk dan merebahkan diri di sofa tanpa menjawab pertanyaan ibunya."Aku mau tidur di sini, Bu. Malam ini aku sumpek di rumah."Tengah malam, sudah terganggu tidurnya oleh Bagas, ditambah lagi anak lelakinya malah meninggalkan sang istri sendirian di rumah."Kenapa, Gas!" bentak sang ibu."Bu, aku capek! Aku cuma lagi sumpek di rumah! Tadi, bayi itu merengek terus. Ibunya nggak bisa diemin. Barusan, haus aja nggak dibikinin minuman kalo nggak dibangunin. Istri macam apa itu, Bu? Masih Ibu belain istri kayak gitu?" sahut Bagas."Kamu ikut nenangin Cia? Nggak, kan! Lagian, ini jam berapa Gas? Kamu haus, kamu punya tangan, kan? Pake tangan kamu buat bikin! Jangan cuma ngandelin istri kamu, kasihan dia! Seharian dia kerja!" bentak Tantri, ibu Bagas."Kerja? Kerja apaan? Cuma duduk diem, di rumah paling cuma masak sama makan. Apa yang dia kerjakan?" gerutu Bagas."Gas, pekerjaan rumah tangga itu banyak, Gas. Nggak akan selesai seharian. Kamu harus ngerti. Dia nggak cuma masak dan makan. Baju yang kamu pakai, selalu bersih, rumah yang selalu rapi, itu karena siapa?"Bagas tambah pusing menerima cercaan ibunya. Dia bangkit, merasa percuma pulang ke rumah ibunya. Ingin tenang, tapi tidak bisa."Bu, itu kewajiban dia sebagai istri. Lagian, nggak ada beratnya kerjaan seperti itu. Ya udah, kalo aku nggak boleh nginep di sini, aku mau pergi aja!" ujar Bagas, melangkah keluar dari rumah Tantri.Tantri mengelus dada, tidak berupaya menahan anak lelakinya karena memang tujuannya agar Bagas pulang, tidak selalu lari dari rumah jika merasa sumpek. Dia harus bertanggung jawab dengan istri dan bayinya. Kesalahan apapun di masa lalu, harus ada pertanggungjawabannya. Maksud Tantri ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan. Bagas malah mengemudikan mobil ke jalan raya. Mencoba menikmati hiruk pikuk kota, tapi tetap saja rasa kesal merajainya. Sampai menepikan mobilnya di suatu tempat yang sepi. Bagas membuka ponsel. Dia melihat foto profil Delisa. Mengelus layar itu dengan lembut."Cantik, sayang sekali harus terhalangi. Kenapa kita harus bertemu di saat seperti ini, Delisa? Kenapa tidak dulu saat reuni kamu saja yang masuk ke kamar hotelku?" keluh Bagas.Bagas meletakkan ponselnya di holder dan melanjutkan laju mobil. Dia melihat sebuah klub malam yang ramai. Tertarik untuk masuk, untuk sekadar memesan minuman penghangat badan. Dia bingung juga ingin ke mana. Mau pulang, tapi masih merasa malas.Akhirnya dia masuk ke klub malam itu.Bunyi dentuman musik memenuhi pendengaran Bagas. Dia masuk dan duduk di kursi bar. Memesan satu gelas wine dan meneguknya perlahan sembari menatap ke keramaian di tengah. Seorang DJ memainkan lagu ngebeat dan para wanita bergoyang di tengah-tengah, memancing birahi para pria yang datang.Bagas hanya menyunggingkan senyum. Dia sendiri punya istri, tapi tidak memiliki hasrat pada wanita itu. Sungguh lucu, sementara para pria yang belum memiliki istri itu malah mencari-cari wanita dan membayar mereka untuk menyalurkan hasratnya."Aku nggak ada hasrat seperti mereka," gelak Bagas.Dia memesan lagi satu botol wine karena dirasanya kurang untuk malam itu. Bagas berpindah tempat dan duduk di sudut. Dia meneguk cepat beberapa gelas wine. Melihat kerumunan orang tanpa ada teman, membuatnya sibuk meminum minumannya saja, hingga akhirnya pandangannya kabur. Baru pada jam dua pagi, dia memutuskan untuk pulang.Para wanita sudah dibawa oleh beberapa pria dan Bagas hanya menertawakannya saja. Meski sempoyongan, dia masih mampu mengemudi mobilnya pulang.Sepanjang jalan, beruntung jalanan lengang. Sesekali mobil yang dikemudikan oleh Bagas oleng, tapi dia selamat sampai di rumah."Mana bisa aku menabrak, pendekar seperti ini nggak bisa mampus di jalan," racaunya perlahan dan menyeringai.Dia memarkir mobil tidak teratur di depan rumah. Namun, dia tidak perduli. Dia bergerak masuk dengan sempoyongan. Namun, pintu ternyata dikunci dari dalam. Bagas menggedornya dengan sekuat tenaga."Heh! Nita! Bukain pintunya!" bentak Bagas, sambil tangannya terkepal menggedor pintu.Anita, mendengar suara suaminya dengan jelas hingga kembali membuatnya terbangun. Dia mengucek kedua matanya yang berat karena lima menit yang lalu dia baru saja menyusui anaknya dan baru tertidur saja."Iya, Mas. Sebentar," sahut Anita.Nyaris kepalanya terantuk tembok karena pandangannya belum jelas. Kepalanya juga pusing. Namun, karena teriakan Bagas dia harus segera bangun dan membukakan pintu."Cepetan!" teriak Bagas jengkel."Iya," sahut Anita lirih, meraih kunci yang terpasang di pintu.Anita baru saja membuka, Bagas sudah menghambur ke dalam. Bau alkohol membuat Anita melebarkan kedua mata. Dia kembali mengunci pintu utama. Bagas merasakan tubuhnya panas, tiba-tiba terbayang tubuh wanita-wanita di klub malam tadi.Ketika Anita berbalik, Bagas sudah mendorongnya ke pintu, dengan satu tangan mencengkeram dagunya dengan kencang. Punggungnya sakit terhempas ke pintu."M-mas, sakit!" rintih Anita yang kaget juga diperlakukan Bagas seperti itu."Sakit? Kamu suka kan, kalo aku sakiti?" tanya Bagas, mendekatkan bibirnya ke dagu Anita. Bau alkohol makin tercium di hidung Anita. Dia meringis kesakitan karena kuku-kuku Bagas seolah menancap ke dagu bagian bawahnya."Lepasin, Mas.""Apa? Apanya yang dilepasin? Kamu minta aku melakukannya lagi? Dasar wanita murah!"Bagas mendorong Anita hingga tersungkur di lantai. Anita terbatuk-batuk karena saluran napasnya lancar seketika saat cengkeraman Bagas dilepaskan.Baru saja dia mengatur napas dengan ketakutan, Bagas sudah berdiri lagi di hadapannya dengan pandangan aneh.Seketika darah Anita berdesir karena rasa takut yang menjadi. Kenapa lelaki itu? Setelah dia membentaknya tadi, sekarang dia melepaskan bajunya di hadapan Anita. Suatu hal yang aneh karena selama satu tahun setelah malam panas di hotel itu, Bagas tidak pernah menyentuh tubuhnya."M-mas, kamu kenapa?" tanya Anita takut.Namun, tanpa menjawabnya, Bagas mendekat dan menyobek daster Anita begitu saja. Dia membekap mulut Anita dengan mulutnya sampai wanita itu menggelengkan kepala dengan sekuat tenaga.Ini seperti sebuah kejahatan, bukan rasa cinta sepasang suami istri. Anita merasa aneh dengan perilaku Bagas. Dengan brutal, Bagas memasukkan jarinya ke bagian intim Anita. Anita memekik. Rasanya sangat sakit. Bagas memasukkan juga jarinya ke mulut Anita hingga membuat wanita itu tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Kedua matanya terasa menghangat. Dua bulir air mata keluar, meluncur sampai ke dagunya yang terluka."Ini kan yang kamu inginkan, hah?" desis Bagas di telinga Anita.Suara tangis bayi membuat Bagas menghentikan aksi brutalnya. Tangannya melepas begitu saja semua yang dia sentuh. Anita masih tersungkur di lantai yang dingin. Rasanya sangat terhina ketika Bagas melepaskan Anita dengan satu sentakan ke lantai. Bagas tampak meraup wajah, tapi kemudian memakai kembali bajunya. "Urus bayimu." Anita bergeming. Dia terisak menelungkup di atas lantai dengan daster robek, persis seperti korban pemerkosaan. Mengabaikan bayinya yang menangis seolah merasakan apa yang dia rasakan. Ketika tersadar, Anita segera berdiri dengan susah payah, merasakan perih di daerah kemaluannya. Sakit fisik juga sakit hatinya. Anita berjalan tertatih ke kamarnya dan melihat sang bayi menendang-nendang sambil memejamkan kedua mata menangis kencang. "Iya, ibu nggak apa-apa, Nak. Sini, ibu gendong. Minum susu, ya?" Dengan suara tersendat, Anita mencoba menenangkan sang bayi. Meski tangannya masih bergetar karena kelakuan Bagas tadi, tapi dia berusaha untuk menggendong anaknya de
"Kamu yang baik dong sama Nita. Kasihan dia, udah capek ngurusin rumah, tapi sikap kamu udah kayak nggak pernah diajarin akhlak di rumah," omel Tantri. "Akhlak? Ibu ngomongin akhlak? Tanya tuh sama menantu kesayangan Ibu. Akhlak dia masuk ke kamar hotelku waktu itu! Apa dia nggak sengaja? Menurut Ibu, dia nggak sengaja kayak gitu?" balas Bagas. Tantri mendesah mendengar ucapan Bagas. Menurutnya memang itu sebuah kesalahan, tapi selama ini Anita adalah menantu yang penurut. Jadi, dia sudah suka dengan Anita. "Kamu juga mabuk kan? Andai kamu nggak mabuk, pasti juga nggak kejadian kayak gini. Yang jelas Cia juga anak kamu. Udah kamu tes juga DNA-nya. Jadi, apa lagi? Masih mau bersikap buruk sama dia? Nih, gendong Cia! Ibu belum pernah lihat kamu gendong Cia!" sungut Tantri, menyerahkan bayi dalam gendongannya ke tangan Bagas. Bagas gelagapan menerima bayi itu. "Bu, Bu! Ini berat, Bu." "Laki-laki kok gendong bayi aja berat. Masih berat tabung gas yang setiap hari ditenteng sama Nita
"Duluan datang, Gas? Oh iya, panitia harus dateng duluan ketimbang tamu undangan," kekeh Iqbal.Bagas memukul pelan lengan Iqbal seraya tertawa. Dia menyembunyikan maksudnya, memang sengaja datang lebih awal bukan karena tanggung jawab menjadi panitia, tapi hanya ingin memastikan bahwa Delisa akan datang hari itu. "Kursi VIP buat donatur udah jadi disiapin, kan?" tanya Bagas pada Iqbal. Iqbal mendesah mendengar pertanyaan Bagas. "Aku nggak siapin. Apa nggak berlebihan kalo musti dikasih kursi VIP buat donatur, Gas? Nanti kerasa ada ketimpangan dalam hal ekonomi. Yang nggak jadi donatur ngerasa tersingkir." Bagas mencebik. Dia hanya bermaksud mengistimewakan Delisa, itu saja. Namun, sepertinya niat Bagas tidak terkabulkan. "Oke, nggak masalah. Asal para donatur datang. Kita juga harus menghargai sumbangan mereka. Apalagi Delisa, dia menyumbang lima puluh juta buat acara reuni ini. Itu sebuah kehormatan bagi panitia, Bal."Iqbal mengangguk-angguk. Dia juga tidak menyangka jika Deli
Anita mendesah, berkali-kali mencoba menghubungi Bagas, tapi tidak ada sambungan. Akhirnya, dia menghubungi Wina. "Win, apa kamu lihat Mas Bagas? Dia masih di tempat reuni, kah?" tanyanya. "Aku udah pulang, Nit. Tadi pas acara udah mau kelar, aku nggak lihat Mas Bagas deh kayaknya. Sorry banget ya, Nit? Ini udah jam dua belas malam, mungkin sebentar lagi Mas Bagasmu itu pulang. Yah, mungkin dia lagi ketemu temen-temen lamanya. Siapa tau dia keasyikan? Kamu juga sih, nggak mau dateng," cerocos Wina. Anita hanya menghela napas. Dia tidak pernah menyesali keputusannya untuk tidak datang ke reuni karena sekarang dia bisa bersama sang anak dan melihat bayinya tertidur dengan tenang. "Hm, ya udah Win. Iya, paling juga dia balik sebentar lagi. Ya udah, maaf udah ganggu kamu. Met istirahat ya, Win?" ucap Anita mengakhiri panggilannya. Meski begitu, dia masih belum bisa memejamkan mata. Sampai kantuk menyerangnya di jam dua pagi setelah menyusui bayinya. Mungkin Anita tidak tahu bahwa pe
Tiga bulan usia Cia hari ini, bayi itu makin pintar karena Anita menstimulasi bayinya dengan baik. Walau hati Anita tidak baik-baik saja dengan sikap suaminya yang makin parah. Pria itu jarang pulang setelah ditanyai soal malam setelah reuni. Bagas marah karena menilai Anita terlalu cerewet dengan urusan pribadinya. Sore itu, Anita sedang menyapu halaman. Seperti biasa, dia sibuk membersihkan rumah saat Cia tidur siang. Sapu lidi itu terhenti di depan dua kaki yang memakai sepatu putih bersih dengan merk yang menunjukkan kelas seseorang. Anita terhenyak melihat sepatu yang dia ketahui harganya bisa mencapai jutaan. Kedua matanya menelusuri ujung kaki hingga ke atas. Dia seorang wanita berwajah sayu, tampak sangat lelah seperti ada yang dia pikirkan dengan berat. Meski begitu, tidak mengurangi kecantikannya. Kulitnya putih terawat, kedua matanya berwarna hazel dengan bibir yang berwarna pink alami. Wanita itu masih tampak cantik meski rambut gelombangnya tergerai acak. Anita mencoba
Anita hanya termangu ketika melihat hari-hari selanjutnya, Bagas dengan semringah menyiapkan pesta pernikahannya dengan Delisa. Dia mengulang dalam ingatan, pernikahannya dulu dengan Bagas tidak semewah itu. Mereka hanya menikah di depan penghulu saja, tidak ada perayaan apapun. "Nita." Anita tersentak merasakan seseorang menyentuh pundaknya. Dia menoleh dan mendapati Tantri sedang ada di belakangnya dengan wajah tak kalah sendu. Anita memaksakan diri untuk tersenyum, tapi gagal. Pada akhirnya, tangis mewakili perasaannya saat itu. Tantri memeluk Anita dengan erat. Tidak banyak kata yang dia ucap untuk menenangkan hati menantu kesayangannya itu. Hanya elusan tangan di punggung Anita yang bisa dia lakukan. "Maaf, maaf atas semua ini," ucap Tantri lirih. Tantri tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mencegah Bagas menikah lagi, tapi tidak mungkin karena janin yang dikandung oleh Delisa juga benih Bagas. Namun, saat membiarkan Bagas menikah, itu pun juga melukai perasaan Anita. Tantri
Satu mangkuk sup telah dihidangkan oleh Anita di atas meja makan. Bagas dan Delisa telah duduk di ruang makan. Bagas memegang tangan Delisa, seolah Anita adalah batu di antara mereka. "Kamu harus makan makanan bergizi, Sayang. Pasti anak kita lahir tampan kalo laki-laki dan cantik seperti ibunya kalo perempuan." Delisa menarik tangannya dari genggaman Bagas saat Anita masuk. Menyadari itu, Bagas melengos pada Anita. Dalam pikirannya, Anita yang membuat Delisa seringkali tidak mau dia perlakukan dengan mesra. "Ngapain kamu lama-lama, Nit? Ada bayi yang harus kamu urus. Kenapa malah diam di situ? Harusnya habis masak kamu mandiin bayi kamu atau apalah ... asal jangan di sini," ujar Bagas ketus. Anita terhenyak mendengarnya. Bagas sudah menyuruhnya memasak dan melarang Delisa untuk menyentuh barang-barang dapur untuk dia gantikan semua pekerjaannya, tapi sekarang pria itu malah mengusirnya tanpa perasaan. Tampak tangan Delisa menarik baju Bagas agar tidak bersikap buruk pada Anita, t
Anita menggendong anaknya seraya menyeret koper melewati jalan-jalan di mana dulu masa kecilnya dia habiskan di situ. Dia menyunggingkan senyum saat melihat suasana yang agak berubah di tempat tinggalnya. Kenangan-kenangan semasa kecilnya terlintas, menari indah dalam benak. "Senangnya masa kecilku. Main boneka, main lompat tali. Ah, masalah beratku hanya PR matematika saat itu. Anita menatap bayinya. Ada sesal, tapi juga ada si kecil yang memercikkan kebahagiaan tersendiri. Cia adalah obat dari segala kegundahannya. Kedua mata Anita berkaca-kaca saat teringat dia nyaris membunuh darah dagingnya sendiri beberapa waktu yang lalu. Sedikit bersyukur karena meski bagaimanapun, Delisa telah menyelamatkannya. Entah apa yang akan dia terima sekarang jika tidak ada yang menyadarkan dirinya. Anita mencium kening Cia. Bayi yang tidur nyenyak dalam pelukannya itu. Tidak ada raut dendam meski ibunya nyaris menghilangkan nyawanya. "Mama nggak akan lagi membiarkan kamu sakit, Nak." Anita melan
"Lancar, Om. Syukurlah tidak ada hal yang menghambat jalannya sidang tadi." Raut lega tampak dari wajah Laksono. Anita menyapu sekitar dengan pandangannya. Tadi, Anarita ada di depan, tapi sekarang wanita itu tidak ikut serta, padahal jelas-jelas dia menyambut kedatangan Anita tadi. Anita hanya pasrah, mengikuti pembicaraan Kendra dan Laksono dengan berpura-pura ikut tersenyum. Meski dalam hatinya ada yang mengganjal. Lega sekali saat Anita bisa keluar dari rumah itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya kalau menikah sementara waktu dengan Kendra. *** Waktu berlalu. Anita semakin fokus pada perceraian dan usahanya. Hubungannya dengan Rahma sang ibu juga semakin dekat. Dia banyak mendesign baju-baju selama tiga bulan itu. Hingga surat resmi perceraiannya pun tiba. Anita merasa sangat lega, sekaligus merasa cemas akan kehidupan selanjutnya. Masa iddah Anita dihabiskan di rumah dengan mendesign baju. Suatu ketika, seorang perempuan muda mendatangi ruko di mana Rahma sedan
Bagas terhenyak melihat layar ponselnya. Setelah sidang yang cukup menegangkan karena pertama kali Bagas melakoni sidang perceraian, dia sekarang melihat daftar panggilan yang banyak. "Delisa, kenapa ya?" gumamnya, melangkah ke parkiran. Bagas memencet nomor Delisa dengan wajah cemas. Tak lama, panggilan itu diangkat oleh seseorang. "Halo," ucap Bagas mengawali karena di ujung sana memang mengangkat teleponnya, tapi tidak mengucap sepatah kata pun. "Delisa, kamu kenapa? Tadi nelepon aku–" "Bagas! Kamu itu lagi ngapain? Nggak becus jadi suami anak saya? Delisa lagi sakit gara-gara hamil. Dia butuh kamu antar ke dokter, kamu malah lelet angkat teleponnya!" Gerutuan itu, Bagas yakin bukan Delisa, melainkan ibunya. "M-ma, maaf saya nggak tau. Lalu, Delisa ada di mana sekarang, Ma?" tanya Bagas. "Huh, pake nanya. Lagian kalo kamu tau dia ada di mana sekarang, kamu bisa ke sini dalam waktu berapa detik, hah? Untung kamu cuma pegawai. Kalo kamu dokter, apa nggak keburu mati itu pasie
"Kamu nggak kerja, Ken?" tanya Anita. Sejujurnya dia tidak enak hati dengan lelaki itu. Karena dirinya, maka Kendra harus meninggalkan pekerjaannya. "Kerjaanku bisa kutinggalin sebentar. Ada asisten yang menggantikan. Soal perceraian kamu, itu pun penting karena itu akan mempengaruhi masa depanku. Papa juga nyuruh aku mengawal kamu sampai selesai proses perceraian." Anita mengangguk. Dalam hati dia merasa campur aduk karena hari ini dia akan menjalani proses perpisahannya dengan Bagas, lelaki yang sangat dia cintai. "Bulatkan tekad kamu, Anita. Dia bukan lelaki yang pantas buat kamu."Anita menoleh pada Kendra. Dia meringis, kenapa Kendra bisa menebak pikirannya? "Iya," sahut Anita. Kendra mengemudikan mobilnya menuju ke pangadilan agama. Anita terdiam mengikuti alur perjalanan dengan diam, karena banyak pikirannya kala itu. Seorang istri, menggugat cerai suaminya. Antara sedih, kecewa dan kasihan pada anaknya yang nantinya tidak memiliki ayah. Anita melirik ke arah Kendra. Dia
"Kenapa tertawa, Bu? Bukannya normal orang hamil jauh-jauh dari suaminya?" tanya Bagas, mengulang ucapan Rosmini waktu itu."Iya, ada. Tapi, nggak lama seperti ini juga. Ya ... kita lihat aja bulan selanjutnya. Biasanya wanita ngidam di awal bulan. Bisa juga dia menjadi aneh dari awal bulan sampe bulan ke sembilan, sampe pas lahiran. Kamu dikuat-kuatin aja." Bagas terbelalak mendengar ucapan Tantri. Masa dia harus menahan diri sampai sembilan bulan? Bisa gondrong nganggur. "Bu, yang bener aja?" sungutnya, tiba-tiba hilang nafsu makannya. "Udah dibilangin, dilihat aja. Bukan ibu mau bilang pasti, tapi bisa jadi. Ibu cuma mau kamu bersiap untuk menyediakan sabar yang gede menghadapi ibu hamil," terang Tantri. Sebenarnya Tantri malah merasa aneh dengan kepergian Delisa saat ini. Tambah, dia juga merasa jauh dengan keluarga Delisa sejak awal mereka bertemu dalam acara lamaran. Rasanya ada yang tidak rela juga dengan pernikahan Bagas dan Delisa. Waktu itu, Tantri menepis perasaannya. D
Anita dan Kendra pulang ke rumah. Kendra masih saja menggendong Cia yang terlihat nyaman dalam pelukannya sedari di taman tadi. "Yuk, Cia ikut mama," ajak Anita mengulurkan kedua tangan ke arah bayi tiga bulan itu. Namun, Cia bergeming. Dia tetap ingin berada dalam gendongan Kendra. "Ayo, Cia. Om Kendra mau pulang. Dia ada banyak kerjaan," bujuk Anita. Anita mengambil Cia dari gendongan Kendra. Tidak disangka, Cia menunjukkan ekspresi sedih. Hendak mewek dengan bibir melebar dan kedua matanya tampak berkaca. "Udah, sana pulang dulu. Aku bisa atasi," desis Anita pada Kendra. "Beneran nggak apa-apa?" tanya Kendra dengan wajah khawatir karena sedikit lagi dipastikan Cia akan meledakkan tangis. "Iya, nggak apa-apa. Kamu kan banyak kerjaan pastinya. Iya, kan?" tanya Anita mendorong Kendra agar segera masuk ke mobilnya. "O-oke," sahut Kendra yang masih melekatkan pandangan ke Cia yang berharap digendong lagi olehnya. "Udah, buruan," desak Anita. Kendra mengangguk. Sebelum Kendra p
"Oh, jadi kayak gitu. Menuntut cerai, lalu dengan cepat gandeng dengan pria lain. Kamu, lelaki yang waktu itu, kan?" Kendra dan Anita menoleh ke sumber suara. Di sana, berdirilah Bagas yang sedang memakai baju kerjanya. Bagas hendak bertemu dengan klien di sebuah hotel dekat dengan taman, tapi saat berjalan dia melihat sepasang pria dan wanita sedang asyik di dalam taman. Semula, dia mendapat tempat parkir jauh dari hotel hingga harus membuatnya berjalan melintasi taman. Malahan, dia melihat pemandangan di dalam taman. Hati Anita masih bergetar saat melihat Bagas. Dia ingin menggelengkan kepala, tapi Kendra sudah berjalan menjauh, untuk mendekati Bagas. Anita menjadi gelisah melihat itu. "Kalo iya, kenapa?" tanya Kendra. Dua lelaki itu sekarang berdiri berhadapan. Bagas meletakkan kedua tangan di pinggang, tapi Kendra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan santai. "Kamu tau etika, nggak? Dia itu belum cerai. Kenapa kalian berduaan di sini?" tanya Bagas, menunjuk d
Bagas tidak menyahut lagi. Sebagai seorang lelaki, dia tidak ingin banyak berdebat. Selama ini, dengan Anita juga begitu. Jika ada sesuatu yang salah menurutnya, maka Anita hanya diam menurut. Isti memandangnya dengan pandangan aneh, mulutnya komat-kamit mengomeli Bagas yang ternyata di luar ekspektasinya. Bagas berjalan ke warung sore itu. Jarang, bahkan tidak pernah dia pergi ke warung setelah menikah dengan Anita. Karena itu, semua orang menatapnya dengan heran. Termasuk pemilik warung. "Oh, Mas Bagas. Kok tumben?" tanyanya. "Iya, mau beli beras dua kilo, Bu. Sama ayam sekilo aja," ujar Bagas tanpa menunggu pertanyaan lain dari mulut pemilik warung. "Oh, baik, Mas. Dua kilo, ya? Tumben banyak? Ada tamu, kah?" cecar pemilik warung.Bagas memutar kedua bola matanya. Kenapa orang-orang selalu mengurusi urusan orang lain? Dia malas sekali. Andai dia tahu akan jadi seperti itu, dia memilih berbelanja ke supermarket saja. Namun, dengan pertanyaan itu, dia penasaran juga bagaimana k
"Ambilkan nasi dan sayurnya buat Kendra, Nita," titah Rahma saat mereka sudah berada di ruang makan. "Eh, saya bisa ambil sendiri kok, Tante." Kendra meraih sendok nasi, segera mengambil nasi dan sayurnya sendiri. Rahma memperhatikan Kendra yang melakukannya secara mandiri. Anita juga bengong melihat itu. Kendra menatap keduanya dengan tidak mengerti. "Eh, kamu mandiri sekali, Kendra." Rahma takjub dengan pria macam Kendra. Kendra hanya tersenyum. Meski kaya, tapi sedari kecil dia selalu diajari soal kemandirian. Jadi dari kecil dia selalu melakukan hal-hal yang diremehkan lelaki, seperti mencuci piring. "Ya udah, aku ambilkan sayurnya aja," sahut Anita. Tangannya langsung mengambilkan sayur untuk Kendra yang menyodorkan piring berisi nasinya. Rahma melihat itu seraya tersenyum-senyum. Begitulah yang dia ingin lihat dari rumah tangga anaknya. Selama ini, dia belum pernah melihat pemandangan harmonis di rumah tangga Anita. Makan di rumahnya saja Bagas tidak pernah, apalagi meliha
Anita menyuapi dirinya sendiri dengan bubur yang dibawakan oleh Kendra. Mereka berdua makan sambil duduk di atas rerumputan. "Kamu nggak risih duduk di bawah sini?" tanya Anita sambil usai menelan buburnya. Kendra menoleh ke Anita dan terkekeh. "Risih kenapa? Manusia asalnya dari tanah kan? Nantinya juga pulang ke tanah. Rerumputan malah berada di atas tanah," sahut Kendra, merasakan segarnya rumput yang bersemi di musim hujan itu. Apalagi, mereka sekarang berada di bawah pohon besar dan teduh. Cia tertidur pulas di dalam strollernya. Nikmat sekali merasakan segarnya angin sepoi-sepoi di taman itu. Anita tersenyum mendengar sahutan Kendra. Rumah Kendra besar dan mewah untuk ukurannya. Tambah juga Kendra memiliki posisi tinggi di perusahaannya, tapi dia kagum pada kata-kata yang diucapkan oleh Kendra. Dia selalu merendah. Bahkan, mungkin orang-orang tidak tahu bahwa pria yang duduk di atas rumput itu adalah seorang pemilik sebuah perusahaan. "Kamu seharusnya bisa sombong dengan a