"Duluan datang, Gas? Oh iya, panitia harus dateng duluan ketimbang tamu undangan," kekeh Iqbal.
Bagas memukul pelan lengan Iqbal seraya tertawa. Dia menyembunyikan maksudnya, memang sengaja datang lebih awal bukan karena tanggung jawab menjadi panitia, tapi hanya ingin memastikan bahwa Delisa akan datang hari itu."Kursi VIP buat donatur udah jadi disiapin, kan?" tanya Bagas pada Iqbal.Iqbal mendesah mendengar pertanyaan Bagas."Aku nggak siapin. Apa nggak berlebihan kalo musti dikasih kursi VIP buat donatur, Gas? Nanti kerasa ada ketimpangan dalam hal ekonomi. Yang nggak jadi donatur ngerasa tersingkir."Bagas mencebik. Dia hanya bermaksud mengistimewakan Delisa, itu saja. Namun, sepertinya niat Bagas tidak terkabulkan."Oke, nggak masalah. Asal para donatur datang. Kita juga harus menghargai sumbangan mereka. Apalagi Delisa, dia menyumbang lima puluh juta buat acara reuni ini. Itu sebuah kehormatan bagi panitia, Bal."Iqbal mengangguk-angguk. Dia juga tidak menyangka jika Delisa akan seantusias itu menjadi donatur. Lima puluh juta adalah nominal yang sangat banyak baginya. Namun, Delisa memberikannya untuk acara reuni akbar sekolahan yang diadakan di hotel itu."Iya bener, nanti Delisa suruh kasih sambutan. Itu udah masuk ke susunan acara, kan?" tanya Bagas."Iya, udah, Gas. Gimana sama donatur yang lain? Masa cuma Delisa doang yang suruh kasih sambutan?" tanya Iqbal."Halah, kalo semua suruh kasih sambutan, donatur yang jumlahnya puluhan itu naik ke panggung semua, bakalan habis waktunya, Bal. Udah, perwakilan aja," sahut Bagas."Ya udah deh, walau nanti aku juga yang repot kasih tau para donatur kalo memang Delisa yng ditunjuk mewakili, bukan hanya karena dia paling banyak nyumbang jadi dianak-emaskan," sahut Iqbal agak bersungut."Nah, gitu dong. Kalo toh nanti ada omongan orang, setiap acara itu pasti ada aja omongan jeleknya, Bal. Nggak usah terlalu dipikirin. Nanti kamu jelasin aja, kita tunjuk perwakilan donatur secara acak," ujar Bagas."Iya, deh. Eh, itu udah ada yang dateng. Aku sambut dulu ya, Gas?" pamit Iqbal."Iya, nanti aku yang urus soal Delisa. Dia kan harus persiapan juga buat kasih sambutan. Soal briefing Delisa, serahin sama aku. Nanti kalo dia datang, suruh temuin aku, ya?""Oke," sahut Iqbal.Bagas menyeringai. Dia segera menyiapkan tempat untuk Delisa. Acara reuni itu diadakan di ballroom hotel ternama. Bagas sudah menyiapkan sebuah ruang hotel dan baju untuk Delisa. Dia memang bilang pada semua panitia untuk memakai dresacode berwarna putih. Warna yang jarang dipakai oleh Delisa. Dia yakin bahwa hari itu Delisa tidak akan memakai baju putih yang dulu menurut gadis itu akan cepat kotor.Ponsel Bagas tiba-tiba berbunyi. Dia cepat-cepat mengangkat panggilan dari Iqbal."Gas, Delisa udah ke situ, ya?""Siap."Bagas menutup panggilan itu dengan hati berdebar-debar. Dia berdiri di belakang ballroom menunggu Delisa. Beberapa menit kemudian, datanglah seorang gadis yang sangat cantik dengan gaun berwarna merah dengan rambut diikal. Wajahnya dirias simple, tapi tetap menunjukkan keeleganan. Bagas nyaris tidak dapat berbicara melihat gadis itu."Delisa, memang nyatanya kamu cantik.""Apa, Gas?" tanya Delisa mendengar gumaman Bagas yang tidak jelas seperti dengungan lebah."Eh, gini Sa. Kami dari panitia mau kamu mewakili untuk memberi sambutan di acara ini."Delisa terbelalak. Memang dulu dia ikut OSIS sewaktu sekolah dan terbiasa menghadapi orang banyak, tapi sekarang dia bekerja di balik layar."T-tapi, Gas. Aku udah lama nggak bicara di depan orang banyak.""Tenang aja, Sa. Aku udah siapin naskah sambutannya. Kamu tinggal baca."Delisa tampaknya agak lega meski wajahnya agak cemberut."Kenapa musti aku, Gas?" protesnya."Kami cuma nunjuk acak aja, Sa. Lagian, kalo ditunjuk, pasti semua orang bakalan nolak kayak kamu ini. Nah, karena kamu dulu berpengalaman di organisasi, maka kami putuskan buat nunjuk kamu. Mau, ya?" desak Bagas.Akhirnya, dengan bujukan Bagas, Delisa menganggukkan kepala."Nah, gitu dong! Terus, karena bajunya disepakati nuansa putih, maka kami udah nyiapin baju buat kamu. Yuk, ikut aku ke kamar hotel. Eh, jangan khawatir aku nggak bakal ikut masuk!" kelakar Bagas.Delisa tertawa mendengarnya. Dia mengikuti langkah Bagas. Setelah berjalan sebentar, mereka sampai di depan sebuah kamar."Silakan," ucap Bagas membukakan pintu kamar hotel dengan sebuah access card.Delisa tersenyum manis, berterima kasih pada Bagas lalu masuk ke dalam. Bagas menutup pintunya, lalu menunggui Delisa di luar. Dia mengelus dadanya. Di dalam dada berdebar sangat kencang. Bagas malah seperti menunggui kekasihnya berganti pakaian."Aku nanti bisa ganti lagi, kan?" tanya Delisa saat keluar dari kamar hotel."Iya, boleh. Baju itu untuk sementara kamu pakai pas acara. Maaf kalo kekecilan atau kebesaran," ujar Bagas."Nggak, cukup kok. Heran banget aku, kenapa bisa dipilihin baju yang ukurannya sangat pas gini, cantik lagi?" puji Delisa.Bagas tersenyum. Apa yang tidak dia ketahui dari Delisa? Ukuran baju saja dia bisa tahu detail dengan mencari di akun sosial media Delisa. Mencari butik favorit gadis itu dan bertanya kepada pegawai di sana. Cukup mudah dengan stalking akun Delisa, karena Bagas sudah menanyai nama akun unik milik Delisa.Namun, Bagas harus menahan kecewa karena Delisa menolak untuk dia gandeng menuju ke ballroom. Bagas harus bersabar. Hanya menunggu beberapa saat lagi, dia bisa menyentuh Delisa.Sementara itu, Anita menggigit bibir kecewa karena Wina memberinya kabar tentang keberadaan suaminya."Mas Bagas ikut reuni, padahal biasanya juga nggak," gumamnya dengan gurat agak kecewa.Anita mengetik lagi pesan balasan untuk Wina. Kata Wina, Bagas malah menjadi salah satu panitia reuni akbar itu.Sakit hati rasanya Anita. Meski tidak berminat ikut setidaknya dia berharap Bagas memberitahunya, tapi kenapa sedikitpun dia tidak mendengar informasi dari Bagas? Malahan, dia mendengar dari temannya tentang reuni."Aku ngerasa ada yang aneh dari Mas Bagas," gumam Anita.Meski begitu, tidak ada yang bisa Anita lakukan. Dia harus menjaga anaknya. Apa yang Bagas lakukan, dia harap Bagas hanya ingin bersilaturahmi dengan teman-temannya saja, bukan aneh-aneh. Anita menepis segala pikiran buruk tentang suaminya karena ketidak-jujuran Bagas."Aku akan menunggu Mas Bagas pulang dan bertanya padanya. Kenapa dia nggak bilang kalo dia jadi panitia reuni akbar. Kalau saja dia tidak mau mengajakku, harusnya dia bilang apa alasannya."Namun, sayangnya meski Anita menunggu sampai jam dua belas malam, Bagas belum juga pulang. Sampai Anita terkantuk-kantuk di depan televisi, tapi yang ditunggu tak kunjung datang juga. Rasanya semakin cemas menunggu. Bahkan, panggilannya pun dialihkan."Apa yang sedang dia lakukan?" desah Anita, meletakkan ponselnya di atas nakas dengan gelisah.***Bagas berdiri di belakang ballroom. Delisa menemuinya saat acara hampir berakhir."Gas, aku mau ganti pakaian. Boleh pinjam access card kamarnya?" tanya Delisa."Oh, boleh. Eh, kita belum bersulang, Sa. Ini rasa terima kasih karena kamu sudah membantuku, Sa."Bagas menyerahkan sebuah gelas berisi air berwarna merah. Delisa menerima gelas itu tanpa rasa curiga."Cuma soda, bukan whisk," canda Bagas."Iya," sahut Delisa, mengetukkan ujung gelasnya ke gelas Bagas."Mari bersulang, makasih ya, Sa? Karena kamu juga, acara ini berjalan dengan lancar. Makasih atas segalanya."Mereka berdua meneguk minuman itu. Lalu, Bagas mengambil gelas kosong di tangan Delisa dan mengantar Delisa ke kamar hotel."Karena kamu tamu, maka aku bukain ya? Kayak tadi? Access cardnya aku pegang. Kamu kan tamu?" ujar Bagas."Oh, ada-ada aja. Mana ada kayak gitu, Gas? Oh iya, kamu sama istri kamu? Kok aku nggak lihat," tanya Delisa karena ada yang mengganjal perasaannya dari tadi. Dia tidak melihat istri Bagas."Ada kok, tadi dia sama temen-temennya. Biasa, kalo udah gabung sama temen-temennya, dia lupa sama suaminya," jawab Bagas berkilah agar Delisa tidak memperpanjang pertanyaannya."Oh, gitu. Ya udah, aku ganti baju dulu ya, Gas?" ucap Delisa."Iya," sahut Bagas.Delisa memasuki ruangan tadi. Dia segera membuka baju putih yang disediakan untuknya tadi. Namun, ternyata dia tidak menemukan gaun merahnya tadi. Delisa membuka lemari pakaian, tapi lemari itu dikunci. Delisa mencoba mencari pakaiannya di antara selimut, di atas lantai, di bawah tempat tidur, tapi ternyata tidak ada juga.Agak lama, dia berniat menanyakan pada Bagas, tapi baru saja berdiri, kepalanya terasa berat dan pusing.Anita mendesah, berkali-kali mencoba menghubungi Bagas, tapi tidak ada sambungan. Akhirnya, dia menghubungi Wina. "Win, apa kamu lihat Mas Bagas? Dia masih di tempat reuni, kah?" tanyanya. "Aku udah pulang, Nit. Tadi pas acara udah mau kelar, aku nggak lihat Mas Bagas deh kayaknya. Sorry banget ya, Nit? Ini udah jam dua belas malam, mungkin sebentar lagi Mas Bagasmu itu pulang. Yah, mungkin dia lagi ketemu temen-temen lamanya. Siapa tau dia keasyikan? Kamu juga sih, nggak mau dateng," cerocos Wina. Anita hanya menghela napas. Dia tidak pernah menyesali keputusannya untuk tidak datang ke reuni karena sekarang dia bisa bersama sang anak dan melihat bayinya tertidur dengan tenang. "Hm, ya udah Win. Iya, paling juga dia balik sebentar lagi. Ya udah, maaf udah ganggu kamu. Met istirahat ya, Win?" ucap Anita mengakhiri panggilannya. Meski begitu, dia masih belum bisa memejamkan mata. Sampai kantuk menyerangnya di jam dua pagi setelah menyusui bayinya. Mungkin Anita tidak tahu bahwa pe
Tiga bulan usia Cia hari ini, bayi itu makin pintar karena Anita menstimulasi bayinya dengan baik. Walau hati Anita tidak baik-baik saja dengan sikap suaminya yang makin parah. Pria itu jarang pulang setelah ditanyai soal malam setelah reuni. Bagas marah karena menilai Anita terlalu cerewet dengan urusan pribadinya. Sore itu, Anita sedang menyapu halaman. Seperti biasa, dia sibuk membersihkan rumah saat Cia tidur siang. Sapu lidi itu terhenti di depan dua kaki yang memakai sepatu putih bersih dengan merk yang menunjukkan kelas seseorang. Anita terhenyak melihat sepatu yang dia ketahui harganya bisa mencapai jutaan. Kedua matanya menelusuri ujung kaki hingga ke atas. Dia seorang wanita berwajah sayu, tampak sangat lelah seperti ada yang dia pikirkan dengan berat. Meski begitu, tidak mengurangi kecantikannya. Kulitnya putih terawat, kedua matanya berwarna hazel dengan bibir yang berwarna pink alami. Wanita itu masih tampak cantik meski rambut gelombangnya tergerai acak. Anita mencoba
Anita hanya termangu ketika melihat hari-hari selanjutnya, Bagas dengan semringah menyiapkan pesta pernikahannya dengan Delisa. Dia mengulang dalam ingatan, pernikahannya dulu dengan Bagas tidak semewah itu. Mereka hanya menikah di depan penghulu saja, tidak ada perayaan apapun. "Nita." Anita tersentak merasakan seseorang menyentuh pundaknya. Dia menoleh dan mendapati Tantri sedang ada di belakangnya dengan wajah tak kalah sendu. Anita memaksakan diri untuk tersenyum, tapi gagal. Pada akhirnya, tangis mewakili perasaannya saat itu. Tantri memeluk Anita dengan erat. Tidak banyak kata yang dia ucap untuk menenangkan hati menantu kesayangannya itu. Hanya elusan tangan di punggung Anita yang bisa dia lakukan. "Maaf, maaf atas semua ini," ucap Tantri lirih. Tantri tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mencegah Bagas menikah lagi, tapi tidak mungkin karena janin yang dikandung oleh Delisa juga benih Bagas. Namun, saat membiarkan Bagas menikah, itu pun juga melukai perasaan Anita. Tantri
Satu mangkuk sup telah dihidangkan oleh Anita di atas meja makan. Bagas dan Delisa telah duduk di ruang makan. Bagas memegang tangan Delisa, seolah Anita adalah batu di antara mereka. "Kamu harus makan makanan bergizi, Sayang. Pasti anak kita lahir tampan kalo laki-laki dan cantik seperti ibunya kalo perempuan." Delisa menarik tangannya dari genggaman Bagas saat Anita masuk. Menyadari itu, Bagas melengos pada Anita. Dalam pikirannya, Anita yang membuat Delisa seringkali tidak mau dia perlakukan dengan mesra. "Ngapain kamu lama-lama, Nit? Ada bayi yang harus kamu urus. Kenapa malah diam di situ? Harusnya habis masak kamu mandiin bayi kamu atau apalah ... asal jangan di sini," ujar Bagas ketus. Anita terhenyak mendengarnya. Bagas sudah menyuruhnya memasak dan melarang Delisa untuk menyentuh barang-barang dapur untuk dia gantikan semua pekerjaannya, tapi sekarang pria itu malah mengusirnya tanpa perasaan. Tampak tangan Delisa menarik baju Bagas agar tidak bersikap buruk pada Anita, t
Anita menggendong anaknya seraya menyeret koper melewati jalan-jalan di mana dulu masa kecilnya dia habiskan di situ. Dia menyunggingkan senyum saat melihat suasana yang agak berubah di tempat tinggalnya. Kenangan-kenangan semasa kecilnya terlintas, menari indah dalam benak. "Senangnya masa kecilku. Main boneka, main lompat tali. Ah, masalah beratku hanya PR matematika saat itu. Anita menatap bayinya. Ada sesal, tapi juga ada si kecil yang memercikkan kebahagiaan tersendiri. Cia adalah obat dari segala kegundahannya. Kedua mata Anita berkaca-kaca saat teringat dia nyaris membunuh darah dagingnya sendiri beberapa waktu yang lalu. Sedikit bersyukur karena meski bagaimanapun, Delisa telah menyelamatkannya. Entah apa yang akan dia terima sekarang jika tidak ada yang menyadarkan dirinya. Anita mencium kening Cia. Bayi yang tidur nyenyak dalam pelukannya itu. Tidak ada raut dendam meski ibunya nyaris menghilangkan nyawanya. "Mama nggak akan lagi membiarkan kamu sakit, Nak." Anita melan
Rahma menggendong Cia pagi itu. Anita merasa lebih nyaman berada di rumah ibunya. Meski kadang jika teringat dengan Bagas, rasanya pedih sekali dengan pengkhiatan suaminya. Terkadang, Anita mengintip akun sosial media milik Delisa. Meski yang dia lakukan hanya menabur garam ke lukanya. Namun, dia merasa penasaran dengan wanita yang dipuja-puja oleh Bagas. Anita bisa stalking akun Delisa karena berteman dengan suaminya. Terkadang, bulat tekad Anita untuk berpisah, tapi kadang dia merasa enggan. Rahma membiarkan Anita yang lebih merasa tenang saat hari-hari di rumahnya. Dengan dekat bersama anak dan cucunya, dia sendiri merasa terhibur. Apalagi, Cia sedang berada di usia yang sedang lucu-lucunya. "Bu, apa Ibu kerepotan atau keberatan dengan adanya aku dan Cia?" tanya Anita setelah seminggu dia berada di rumah ibunya. "Kamu kok bilang gitu, mana ada nenek yang kerepotan sama anak dan cucunya? Justru, ibu sangat bahagia kalian ada di rumah ini." Anita memeluk gulingnya sambil memperh
"Bu ... Ibu?" Anita tidak percaya saat pintu terbuka dia melihat wanita paruh baya yang menatapnya penuh kerinduan. Tantri, sudah berdiri di depan pintu dengan wajah sedih. "Nita ... kenapa kamu nggak bilang kalo kamu pergi dari rumah, Nak?" tanya Tantri langsung mendekap tubuh kurus Anita. Rasanya sungkan pada Rahma, besannya. Namun, rasa rindunya pada Anita dan Cia telah mengalahkan itu semua. Dia sampai mengabaikan perasaan sungkannya itu pada sang besan dengan menyusul Anita. "Benar dugaan ibu kalo kamu pulang ke sini, Anita. Maafin kelakuan Bagas ya, Nak?" pinta Tantri. Di tangan Tantri ada sebuah kantong berisi buah tangan yang dia bawakan untuk Anita, Cia dan juga Rahma. "Lho, Bu Tantri, sama siapa, Bu? Mari, silakan masuk." Meski jengkel anaknya diperlakukan dengan tidak baik, tapi Rahma belum pernah mendengar Tantri bersikap buruk pada Anita. Jadi, dia berusaha untuk bersikap netral pada Tantri. Wajah Tantri agak memucat melihat Rahma menyambutnya. Ini bagai wajahnya
Anita berdiri termangu di depan sebuah klinik kecantikan. Sejak kecil, hidupnya sederhana dan dia tidak pernah memasuki tempat perawatan seperti itu. Dia yang sedang menggendong sang anak, menoleh pada ibunya. "Apa Ibu sering ke sini?" tanya Anita, memperhatikan wajah ibunya lebih bersinar. "Iya, bercak-bercak hitam di wajah ibu sangat mengganggu penampilan. Jadi, ibu putuskan untuk merawat diri. Sekarang, hasil dari usaha ibu bisa digunakan untuk itu. Apa lagi sih yang bisa ibu lakukan buat menghibur diri? Kamu tau sendiri kan, ayahmu pergi begitu saja. Dia kecantol wanita lain. Jadi, ibu harus bangkit menjadi lebih baik, bukan malah terpuruk. Membahagiakan diri sendiri dengan hal yang positif lah yang ibu ingin jalani sekarang." Anita tertegun mendengar ucapan ibunya. Baru setelah dirinya menikah, sang ayah pergi dengan perempuan lain. Anita menatap dirinya di pantulan dinding kaca. Dia memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dengan sang ibu. Apakah memang takdir mereka seperti itu
"Lancar, Om. Syukurlah tidak ada hal yang menghambat jalannya sidang tadi." Raut lega tampak dari wajah Laksono. Anita menyapu sekitar dengan pandangannya. Tadi, Anarita ada di depan, tapi sekarang wanita itu tidak ikut serta, padahal jelas-jelas dia menyambut kedatangan Anita tadi. Anita hanya pasrah, mengikuti pembicaraan Kendra dan Laksono dengan berpura-pura ikut tersenyum. Meski dalam hatinya ada yang mengganjal. Lega sekali saat Anita bisa keluar dari rumah itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya kalau menikah sementara waktu dengan Kendra. *** Waktu berlalu. Anita semakin fokus pada perceraian dan usahanya. Hubungannya dengan Rahma sang ibu juga semakin dekat. Dia banyak mendesign baju-baju selama tiga bulan itu. Hingga surat resmi perceraiannya pun tiba. Anita merasa sangat lega, sekaligus merasa cemas akan kehidupan selanjutnya. Masa iddah Anita dihabiskan di rumah dengan mendesign baju. Suatu ketika, seorang perempuan muda mendatangi ruko di mana Rahma sedan
Bagas terhenyak melihat layar ponselnya. Setelah sidang yang cukup menegangkan karena pertama kali Bagas melakoni sidang perceraian, dia sekarang melihat daftar panggilan yang banyak. "Delisa, kenapa ya?" gumamnya, melangkah ke parkiran. Bagas memencet nomor Delisa dengan wajah cemas. Tak lama, panggilan itu diangkat oleh seseorang. "Halo," ucap Bagas mengawali karena di ujung sana memang mengangkat teleponnya, tapi tidak mengucap sepatah kata pun. "Delisa, kamu kenapa? Tadi nelepon aku–" "Bagas! Kamu itu lagi ngapain? Nggak becus jadi suami anak saya? Delisa lagi sakit gara-gara hamil. Dia butuh kamu antar ke dokter, kamu malah lelet angkat teleponnya!" Gerutuan itu, Bagas yakin bukan Delisa, melainkan ibunya. "M-ma, maaf saya nggak tau. Lalu, Delisa ada di mana sekarang, Ma?" tanya Bagas. "Huh, pake nanya. Lagian kalo kamu tau dia ada di mana sekarang, kamu bisa ke sini dalam waktu berapa detik, hah? Untung kamu cuma pegawai. Kalo kamu dokter, apa nggak keburu mati itu pasie
"Kamu nggak kerja, Ken?" tanya Anita. Sejujurnya dia tidak enak hati dengan lelaki itu. Karena dirinya, maka Kendra harus meninggalkan pekerjaannya. "Kerjaanku bisa kutinggalin sebentar. Ada asisten yang menggantikan. Soal perceraian kamu, itu pun penting karena itu akan mempengaruhi masa depanku. Papa juga nyuruh aku mengawal kamu sampai selesai proses perceraian." Anita mengangguk. Dalam hati dia merasa campur aduk karena hari ini dia akan menjalani proses perpisahannya dengan Bagas, lelaki yang sangat dia cintai. "Bulatkan tekad kamu, Anita. Dia bukan lelaki yang pantas buat kamu."Anita menoleh pada Kendra. Dia meringis, kenapa Kendra bisa menebak pikirannya? "Iya," sahut Anita. Kendra mengemudikan mobilnya menuju ke pangadilan agama. Anita terdiam mengikuti alur perjalanan dengan diam, karena banyak pikirannya kala itu. Seorang istri, menggugat cerai suaminya. Antara sedih, kecewa dan kasihan pada anaknya yang nantinya tidak memiliki ayah. Anita melirik ke arah Kendra. Dia
"Kenapa tertawa, Bu? Bukannya normal orang hamil jauh-jauh dari suaminya?" tanya Bagas, mengulang ucapan Rosmini waktu itu."Iya, ada. Tapi, nggak lama seperti ini juga. Ya ... kita lihat aja bulan selanjutnya. Biasanya wanita ngidam di awal bulan. Bisa juga dia menjadi aneh dari awal bulan sampe bulan ke sembilan, sampe pas lahiran. Kamu dikuat-kuatin aja." Bagas terbelalak mendengar ucapan Tantri. Masa dia harus menahan diri sampai sembilan bulan? Bisa gondrong nganggur. "Bu, yang bener aja?" sungutnya, tiba-tiba hilang nafsu makannya. "Udah dibilangin, dilihat aja. Bukan ibu mau bilang pasti, tapi bisa jadi. Ibu cuma mau kamu bersiap untuk menyediakan sabar yang gede menghadapi ibu hamil," terang Tantri. Sebenarnya Tantri malah merasa aneh dengan kepergian Delisa saat ini. Tambah, dia juga merasa jauh dengan keluarga Delisa sejak awal mereka bertemu dalam acara lamaran. Rasanya ada yang tidak rela juga dengan pernikahan Bagas dan Delisa. Waktu itu, Tantri menepis perasaannya. D
Anita dan Kendra pulang ke rumah. Kendra masih saja menggendong Cia yang terlihat nyaman dalam pelukannya sedari di taman tadi. "Yuk, Cia ikut mama," ajak Anita mengulurkan kedua tangan ke arah bayi tiga bulan itu. Namun, Cia bergeming. Dia tetap ingin berada dalam gendongan Kendra. "Ayo, Cia. Om Kendra mau pulang. Dia ada banyak kerjaan," bujuk Anita. Anita mengambil Cia dari gendongan Kendra. Tidak disangka, Cia menunjukkan ekspresi sedih. Hendak mewek dengan bibir melebar dan kedua matanya tampak berkaca. "Udah, sana pulang dulu. Aku bisa atasi," desis Anita pada Kendra. "Beneran nggak apa-apa?" tanya Kendra dengan wajah khawatir karena sedikit lagi dipastikan Cia akan meledakkan tangis. "Iya, nggak apa-apa. Kamu kan banyak kerjaan pastinya. Iya, kan?" tanya Anita mendorong Kendra agar segera masuk ke mobilnya. "O-oke," sahut Kendra yang masih melekatkan pandangan ke Cia yang berharap digendong lagi olehnya. "Udah, buruan," desak Anita. Kendra mengangguk. Sebelum Kendra p
"Oh, jadi kayak gitu. Menuntut cerai, lalu dengan cepat gandeng dengan pria lain. Kamu, lelaki yang waktu itu, kan?" Kendra dan Anita menoleh ke sumber suara. Di sana, berdirilah Bagas yang sedang memakai baju kerjanya. Bagas hendak bertemu dengan klien di sebuah hotel dekat dengan taman, tapi saat berjalan dia melihat sepasang pria dan wanita sedang asyik di dalam taman. Semula, dia mendapat tempat parkir jauh dari hotel hingga harus membuatnya berjalan melintasi taman. Malahan, dia melihat pemandangan di dalam taman. Hati Anita masih bergetar saat melihat Bagas. Dia ingin menggelengkan kepala, tapi Kendra sudah berjalan menjauh, untuk mendekati Bagas. Anita menjadi gelisah melihat itu. "Kalo iya, kenapa?" tanya Kendra. Dua lelaki itu sekarang berdiri berhadapan. Bagas meletakkan kedua tangan di pinggang, tapi Kendra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan santai. "Kamu tau etika, nggak? Dia itu belum cerai. Kenapa kalian berduaan di sini?" tanya Bagas, menunjuk d
Bagas tidak menyahut lagi. Sebagai seorang lelaki, dia tidak ingin banyak berdebat. Selama ini, dengan Anita juga begitu. Jika ada sesuatu yang salah menurutnya, maka Anita hanya diam menurut. Isti memandangnya dengan pandangan aneh, mulutnya komat-kamit mengomeli Bagas yang ternyata di luar ekspektasinya. Bagas berjalan ke warung sore itu. Jarang, bahkan tidak pernah dia pergi ke warung setelah menikah dengan Anita. Karena itu, semua orang menatapnya dengan heran. Termasuk pemilik warung. "Oh, Mas Bagas. Kok tumben?" tanyanya. "Iya, mau beli beras dua kilo, Bu. Sama ayam sekilo aja," ujar Bagas tanpa menunggu pertanyaan lain dari mulut pemilik warung. "Oh, baik, Mas. Dua kilo, ya? Tumben banyak? Ada tamu, kah?" cecar pemilik warung.Bagas memutar kedua bola matanya. Kenapa orang-orang selalu mengurusi urusan orang lain? Dia malas sekali. Andai dia tahu akan jadi seperti itu, dia memilih berbelanja ke supermarket saja. Namun, dengan pertanyaan itu, dia penasaran juga bagaimana k
"Ambilkan nasi dan sayurnya buat Kendra, Nita," titah Rahma saat mereka sudah berada di ruang makan. "Eh, saya bisa ambil sendiri kok, Tante." Kendra meraih sendok nasi, segera mengambil nasi dan sayurnya sendiri. Rahma memperhatikan Kendra yang melakukannya secara mandiri. Anita juga bengong melihat itu. Kendra menatap keduanya dengan tidak mengerti. "Eh, kamu mandiri sekali, Kendra." Rahma takjub dengan pria macam Kendra. Kendra hanya tersenyum. Meski kaya, tapi sedari kecil dia selalu diajari soal kemandirian. Jadi dari kecil dia selalu melakukan hal-hal yang diremehkan lelaki, seperti mencuci piring. "Ya udah, aku ambilkan sayurnya aja," sahut Anita. Tangannya langsung mengambilkan sayur untuk Kendra yang menyodorkan piring berisi nasinya. Rahma melihat itu seraya tersenyum-senyum. Begitulah yang dia ingin lihat dari rumah tangga anaknya. Selama ini, dia belum pernah melihat pemandangan harmonis di rumah tangga Anita. Makan di rumahnya saja Bagas tidak pernah, apalagi meliha
Anita menyuapi dirinya sendiri dengan bubur yang dibawakan oleh Kendra. Mereka berdua makan sambil duduk di atas rerumputan. "Kamu nggak risih duduk di bawah sini?" tanya Anita sambil usai menelan buburnya. Kendra menoleh ke Anita dan terkekeh. "Risih kenapa? Manusia asalnya dari tanah kan? Nantinya juga pulang ke tanah. Rerumputan malah berada di atas tanah," sahut Kendra, merasakan segarnya rumput yang bersemi di musim hujan itu. Apalagi, mereka sekarang berada di bawah pohon besar dan teduh. Cia tertidur pulas di dalam strollernya. Nikmat sekali merasakan segarnya angin sepoi-sepoi di taman itu. Anita tersenyum mendengar sahutan Kendra. Rumah Kendra besar dan mewah untuk ukurannya. Tambah juga Kendra memiliki posisi tinggi di perusahaannya, tapi dia kagum pada kata-kata yang diucapkan oleh Kendra. Dia selalu merendah. Bahkan, mungkin orang-orang tidak tahu bahwa pria yang duduk di atas rumput itu adalah seorang pemilik sebuah perusahaan. "Kamu seharusnya bisa sombong dengan a