Bagas terhenyak melihat layar ponselnya. Setelah sidang yang cukup menegangkan karena pertama kali Bagas melakoni sidang perceraian, dia sekarang melihat daftar panggilan yang banyak. "Delisa, kenapa ya?" gumamnya, melangkah ke parkiran. Bagas memencet nomor Delisa dengan wajah cemas. Tak lama, panggilan itu diangkat oleh seseorang. "Halo," ucap Bagas mengawali karena di ujung sana memang mengangkat teleponnya, tapi tidak mengucap sepatah kata pun. "Delisa, kamu kenapa? Tadi nelepon aku–" "Bagas! Kamu itu lagi ngapain? Nggak becus jadi suami anak saya? Delisa lagi sakit gara-gara hamil. Dia butuh kamu antar ke dokter, kamu malah lelet angkat teleponnya!" Gerutuan itu, Bagas yakin bukan Delisa, melainkan ibunya. "M-ma, maaf saya nggak tau. Lalu, Delisa ada di mana sekarang, Ma?" tanya Bagas. "Huh, pake nanya. Lagian kalo kamu tau dia ada di mana sekarang, kamu bisa ke sini dalam waktu berapa detik, hah? Untung kamu cuma pegawai. Kalo kamu dokter, apa nggak keburu mati itu pasie
"Lancar, Om. Syukurlah tidak ada hal yang menghambat jalannya sidang tadi." Raut lega tampak dari wajah Laksono. Anita menyapu sekitar dengan pandangannya. Tadi, Anarita ada di depan, tapi sekarang wanita itu tidak ikut serta, padahal jelas-jelas dia menyambut kedatangan Anita tadi. Anita hanya pasrah, mengikuti pembicaraan Kendra dan Laksono dengan berpura-pura ikut tersenyum. Meski dalam hatinya ada yang mengganjal. Lega sekali saat Anita bisa keluar dari rumah itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya kalau menikah sementara waktu dengan Kendra. *** Waktu berlalu. Anita semakin fokus pada perceraian dan usahanya. Hubungannya dengan Rahma sang ibu juga semakin dekat. Dia banyak mendesign baju-baju selama tiga bulan itu. Hingga surat resmi perceraiannya pun tiba. Anita merasa sangat lega, sekaligus merasa cemas akan kehidupan selanjutnya. Masa iddah Anita dihabiskan di rumah dengan mendesign baju. Suatu ketika, seorang perempuan muda mendatangi ruko di mana Rahma sedan
Bagas memarkir mobilnya di garasi rumah. Anita, sang istri menyambutnya dengan senyuman cerah. Namun, seberapapun cerah senyuman yang diupayakan, tidak juga membuat Bagas membalas senyumannya. Pria itu menyodorkan tasnya ke tangan Anita, lalu melewati sang istri begitu saja. Anita menatap nanar pada punggung suami yang selalu saja tidak bersikap hangat padanya. Senyumnya pudar, begitu melihat sikap yang biasa dilakukan oleh suaminya. Namun, kesalahan satu tahun yang lalu membuatnya bertahan, karena keyakinannya akan cinta suami yang masih dia harapkan. "Mas, ini taruh sini?" tanya Anita, meletakkan tas Bagas di meja. "Biasanya juga di situ, kan!" balas Bagas. Suara yang terasa agak lebih keras. Namun, bagi Anita sudah biasa diperlakukan seperti itu. Mungkin dia lelah seharian bekerja. "Baik," sahut Anita tanpa menyaingi volume suara suaminya. "Minum kopi apa teh, Mas?" tanyanya lagi saat Bagas melepaskan kemejanya. "Terserah," sahut Bagas masih terasa ketus. "Baik," sahut Anit
"Kenapa muka kamu? Kusut bener?" tanya Roni pada Bagas yang kala itu duduk di cafenya. Datang dengan wajah kesal, Bagas menghempaskan pantatnya begitu saja ke kursi di pojokan. Untungnya, pengunjung belum berdatangan petang itu. Jadi, Roni bisa menemui temannya itu dulu. "Kesel." "Kenapa, kenapa?" cecar Roni.Bagas menghela napas kesal. "Punya istri yang kucel kayak Nita. Mamaku ngidam apaan dulu sampe aku kudu nikahin adek kelas yang dari dulu memang nggak terkenal itu." Roni terkekeh mendengarnya. Meski dia berasal dari sekolah yang berbeda, tapi dia tau bagaimana Bagas bisa menikahi Anita. "Walau bagaimanapun, itu istri kamu. Apa kamu udah kasih dia pelayanan maksimal? Perawatan di salon atau kasih dia baju-baju bagus gitu?" tanya Roni, mencoba mencarikan solusi terselubung. "Heleh, ngapain dikasih kayak gituan. Udah boros, nanti nggak ada perubahan. Aslinya jelek ya jelek aja," sahut Bagas. Nadanya memang sudah eneg. Tidak mau mendengar saran Roni. Baginya, sosok Anita buk
"Aku punya istri." Bagas menemukan gurat kecewa di wajah Delisa. Rasanya ada sedikit kerisauan untuk mengakui keadaan sebenarnya, tapi melihat raut wajah Delisa, dia berubah menjadi agak gembira. Seseorang bisa merasa senang ketika orang yang disukai dia kira menaruh rasa cemburu dan Bagas berharap itu. "Oh, maaf. Jadi, aku sekarang duduk bersama dengan pria beristri." Delisa tersenyum getir. Dia rasa, menemukan orang yang sama-sama single di usianya sekarang tidaklah mudah. Bahkan teman-teman prianya banyak yang sudah menikah. Delisa merasa sendirian lagi. Hal yang selalu disesalinya, kenapa dia pilih-pilih kekasih di masa lalu. Itu membuat para pria menjauh darinya dan makin merasa kecil hati di hadapan seorang Delisa yang pintar dan cantik. "Nggak apa-apa. Kamu nggak usah ngerasa sungkan. Nggak usah kamu pikirkan statusku. Toh, di sini nggak ada yang kita kenal. Teman-teman kita banyak yang sudah pergi dari kota ini." "Tapi, kan ada teman istrimu–" Bagas tersenyum mendengar k
"Tapi kamu bersedia menikahinya. Setidaknya, dia bisa menjadi pendamping hidup kamu. Lihat hidupku, kesepian tanpa seorang pendamping."Bagas tertawa kering mendengar ucapan Delisa. Bagaimana bisa dia hidup bahagia sedangkan dia sendiri tidak pernah memiliki cinta untuk Anita? "Pernah dengar tidak, lebih baik hidup sendiri dari pada harus hidup dengan orang yang tidak pernah kita cintai." Delisa meringis, menggelengkan kepalanya perlahan. "Tapi ada juga yang bilang kalo cinta bisa tumbuh dari kebiasaan. Iya kan, Gas?" Bagas tertawa miris. Memang ada kisah seperti itu, tapi entah kenapa dalam hatinya tidak pernah ada rasa cinta yang tumbuh secuil pun untuk Anita. Malahan, ketika melihat Delisa, rasa cinta itu mekar tak tertahankan dalam beberapa menit saja. "Mungkin ada beberapa, tapi bukan aku salah satunya, Delisa." Delisa tertegun mendengarnya, melanjutkan makan tanpa berkomentar lagi. Betapa rumit kehidupan berumah tangga ternyata. Bukan sekadar jatuh cinta, menikah memiliki
Bagas mengeluarkan mobilnya dengan menekan pedal gas kasar malam itu. Dia melajukan mobil ke rumah ibunya. Setiap kali merasa kesal, dia selalu pergi ke rumah sang ibu. Rumah ibunya berjarak beberapa kilometer. Meski seringkali saat curhat ibunya malah memarahinya seperti hari ini. "Kenapa malam-malam kamu datang ke sini, Gas? Apalagi nggak sama Nita." Sambutan sang ibu membuat Bagas kesal. Kenapa ibunya tidak mendukungnya seperti perempuan lain yang mendukung anak lelakinya mati-matian? Bagas menyelonong masuk dan merebahkan diri di sofa tanpa menjawab pertanyaan ibunya. "Aku mau tidur di sini, Bu. Malam ini aku sumpek di rumah." Tengah malam, sudah terganggu tidurnya oleh Bagas, ditambah lagi anak lelakinya malah meninggalkan sang istri sendirian di rumah. "Kenapa, Gas!" bentak sang ibu. "Bu, aku capek! Aku cuma lagi sumpek di rumah! Tadi, bayi itu merengek terus. Ibunya nggak bisa diemin. Barusan, haus aja nggak dibikinin minuman kalo nggak dibangunin. Istri macam apa itu, B
Suara tangis bayi membuat Bagas menghentikan aksi brutalnya. Tangannya melepas begitu saja semua yang dia sentuh. Anita masih tersungkur di lantai yang dingin. Rasanya sangat terhina ketika Bagas melepaskan Anita dengan satu sentakan ke lantai. Bagas tampak meraup wajah, tapi kemudian memakai kembali bajunya. "Urus bayimu." Anita bergeming. Dia terisak menelungkup di atas lantai dengan daster robek, persis seperti korban pemerkosaan. Mengabaikan bayinya yang menangis seolah merasakan apa yang dia rasakan. Ketika tersadar, Anita segera berdiri dengan susah payah, merasakan perih di daerah kemaluannya. Sakit fisik juga sakit hatinya. Anita berjalan tertatih ke kamarnya dan melihat sang bayi menendang-nendang sambil memejamkan kedua mata menangis kencang. "Iya, ibu nggak apa-apa, Nak. Sini, ibu gendong. Minum susu, ya?" Dengan suara tersendat, Anita mencoba menenangkan sang bayi. Meski tangannya masih bergetar karena kelakuan Bagas tadi, tapi dia berusaha untuk menggendong anaknya de
"Lancar, Om. Syukurlah tidak ada hal yang menghambat jalannya sidang tadi." Raut lega tampak dari wajah Laksono. Anita menyapu sekitar dengan pandangannya. Tadi, Anarita ada di depan, tapi sekarang wanita itu tidak ikut serta, padahal jelas-jelas dia menyambut kedatangan Anita tadi. Anita hanya pasrah, mengikuti pembicaraan Kendra dan Laksono dengan berpura-pura ikut tersenyum. Meski dalam hatinya ada yang mengganjal. Lega sekali saat Anita bisa keluar dari rumah itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya kalau menikah sementara waktu dengan Kendra. *** Waktu berlalu. Anita semakin fokus pada perceraian dan usahanya. Hubungannya dengan Rahma sang ibu juga semakin dekat. Dia banyak mendesign baju-baju selama tiga bulan itu. Hingga surat resmi perceraiannya pun tiba. Anita merasa sangat lega, sekaligus merasa cemas akan kehidupan selanjutnya. Masa iddah Anita dihabiskan di rumah dengan mendesign baju. Suatu ketika, seorang perempuan muda mendatangi ruko di mana Rahma sedan
Bagas terhenyak melihat layar ponselnya. Setelah sidang yang cukup menegangkan karena pertama kali Bagas melakoni sidang perceraian, dia sekarang melihat daftar panggilan yang banyak. "Delisa, kenapa ya?" gumamnya, melangkah ke parkiran. Bagas memencet nomor Delisa dengan wajah cemas. Tak lama, panggilan itu diangkat oleh seseorang. "Halo," ucap Bagas mengawali karena di ujung sana memang mengangkat teleponnya, tapi tidak mengucap sepatah kata pun. "Delisa, kamu kenapa? Tadi nelepon aku–" "Bagas! Kamu itu lagi ngapain? Nggak becus jadi suami anak saya? Delisa lagi sakit gara-gara hamil. Dia butuh kamu antar ke dokter, kamu malah lelet angkat teleponnya!" Gerutuan itu, Bagas yakin bukan Delisa, melainkan ibunya. "M-ma, maaf saya nggak tau. Lalu, Delisa ada di mana sekarang, Ma?" tanya Bagas. "Huh, pake nanya. Lagian kalo kamu tau dia ada di mana sekarang, kamu bisa ke sini dalam waktu berapa detik, hah? Untung kamu cuma pegawai. Kalo kamu dokter, apa nggak keburu mati itu pasie
"Kamu nggak kerja, Ken?" tanya Anita. Sejujurnya dia tidak enak hati dengan lelaki itu. Karena dirinya, maka Kendra harus meninggalkan pekerjaannya. "Kerjaanku bisa kutinggalin sebentar. Ada asisten yang menggantikan. Soal perceraian kamu, itu pun penting karena itu akan mempengaruhi masa depanku. Papa juga nyuruh aku mengawal kamu sampai selesai proses perceraian." Anita mengangguk. Dalam hati dia merasa campur aduk karena hari ini dia akan menjalani proses perpisahannya dengan Bagas, lelaki yang sangat dia cintai. "Bulatkan tekad kamu, Anita. Dia bukan lelaki yang pantas buat kamu."Anita menoleh pada Kendra. Dia meringis, kenapa Kendra bisa menebak pikirannya? "Iya," sahut Anita. Kendra mengemudikan mobilnya menuju ke pangadilan agama. Anita terdiam mengikuti alur perjalanan dengan diam, karena banyak pikirannya kala itu. Seorang istri, menggugat cerai suaminya. Antara sedih, kecewa dan kasihan pada anaknya yang nantinya tidak memiliki ayah. Anita melirik ke arah Kendra. Dia
"Kenapa tertawa, Bu? Bukannya normal orang hamil jauh-jauh dari suaminya?" tanya Bagas, mengulang ucapan Rosmini waktu itu."Iya, ada. Tapi, nggak lama seperti ini juga. Ya ... kita lihat aja bulan selanjutnya. Biasanya wanita ngidam di awal bulan. Bisa juga dia menjadi aneh dari awal bulan sampe bulan ke sembilan, sampe pas lahiran. Kamu dikuat-kuatin aja." Bagas terbelalak mendengar ucapan Tantri. Masa dia harus menahan diri sampai sembilan bulan? Bisa gondrong nganggur. "Bu, yang bener aja?" sungutnya, tiba-tiba hilang nafsu makannya. "Udah dibilangin, dilihat aja. Bukan ibu mau bilang pasti, tapi bisa jadi. Ibu cuma mau kamu bersiap untuk menyediakan sabar yang gede menghadapi ibu hamil," terang Tantri. Sebenarnya Tantri malah merasa aneh dengan kepergian Delisa saat ini. Tambah, dia juga merasa jauh dengan keluarga Delisa sejak awal mereka bertemu dalam acara lamaran. Rasanya ada yang tidak rela juga dengan pernikahan Bagas dan Delisa. Waktu itu, Tantri menepis perasaannya. D
Anita dan Kendra pulang ke rumah. Kendra masih saja menggendong Cia yang terlihat nyaman dalam pelukannya sedari di taman tadi. "Yuk, Cia ikut mama," ajak Anita mengulurkan kedua tangan ke arah bayi tiga bulan itu. Namun, Cia bergeming. Dia tetap ingin berada dalam gendongan Kendra. "Ayo, Cia. Om Kendra mau pulang. Dia ada banyak kerjaan," bujuk Anita. Anita mengambil Cia dari gendongan Kendra. Tidak disangka, Cia menunjukkan ekspresi sedih. Hendak mewek dengan bibir melebar dan kedua matanya tampak berkaca. "Udah, sana pulang dulu. Aku bisa atasi," desis Anita pada Kendra. "Beneran nggak apa-apa?" tanya Kendra dengan wajah khawatir karena sedikit lagi dipastikan Cia akan meledakkan tangis. "Iya, nggak apa-apa. Kamu kan banyak kerjaan pastinya. Iya, kan?" tanya Anita mendorong Kendra agar segera masuk ke mobilnya. "O-oke," sahut Kendra yang masih melekatkan pandangan ke Cia yang berharap digendong lagi olehnya. "Udah, buruan," desak Anita. Kendra mengangguk. Sebelum Kendra p
"Oh, jadi kayak gitu. Menuntut cerai, lalu dengan cepat gandeng dengan pria lain. Kamu, lelaki yang waktu itu, kan?" Kendra dan Anita menoleh ke sumber suara. Di sana, berdirilah Bagas yang sedang memakai baju kerjanya. Bagas hendak bertemu dengan klien di sebuah hotel dekat dengan taman, tapi saat berjalan dia melihat sepasang pria dan wanita sedang asyik di dalam taman. Semula, dia mendapat tempat parkir jauh dari hotel hingga harus membuatnya berjalan melintasi taman. Malahan, dia melihat pemandangan di dalam taman. Hati Anita masih bergetar saat melihat Bagas. Dia ingin menggelengkan kepala, tapi Kendra sudah berjalan menjauh, untuk mendekati Bagas. Anita menjadi gelisah melihat itu. "Kalo iya, kenapa?" tanya Kendra. Dua lelaki itu sekarang berdiri berhadapan. Bagas meletakkan kedua tangan di pinggang, tapi Kendra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan santai. "Kamu tau etika, nggak? Dia itu belum cerai. Kenapa kalian berduaan di sini?" tanya Bagas, menunjuk d
Bagas tidak menyahut lagi. Sebagai seorang lelaki, dia tidak ingin banyak berdebat. Selama ini, dengan Anita juga begitu. Jika ada sesuatu yang salah menurutnya, maka Anita hanya diam menurut. Isti memandangnya dengan pandangan aneh, mulutnya komat-kamit mengomeli Bagas yang ternyata di luar ekspektasinya. Bagas berjalan ke warung sore itu. Jarang, bahkan tidak pernah dia pergi ke warung setelah menikah dengan Anita. Karena itu, semua orang menatapnya dengan heran. Termasuk pemilik warung. "Oh, Mas Bagas. Kok tumben?" tanyanya. "Iya, mau beli beras dua kilo, Bu. Sama ayam sekilo aja," ujar Bagas tanpa menunggu pertanyaan lain dari mulut pemilik warung. "Oh, baik, Mas. Dua kilo, ya? Tumben banyak? Ada tamu, kah?" cecar pemilik warung.Bagas memutar kedua bola matanya. Kenapa orang-orang selalu mengurusi urusan orang lain? Dia malas sekali. Andai dia tahu akan jadi seperti itu, dia memilih berbelanja ke supermarket saja. Namun, dengan pertanyaan itu, dia penasaran juga bagaimana k
"Ambilkan nasi dan sayurnya buat Kendra, Nita," titah Rahma saat mereka sudah berada di ruang makan. "Eh, saya bisa ambil sendiri kok, Tante." Kendra meraih sendok nasi, segera mengambil nasi dan sayurnya sendiri. Rahma memperhatikan Kendra yang melakukannya secara mandiri. Anita juga bengong melihat itu. Kendra menatap keduanya dengan tidak mengerti. "Eh, kamu mandiri sekali, Kendra." Rahma takjub dengan pria macam Kendra. Kendra hanya tersenyum. Meski kaya, tapi sedari kecil dia selalu diajari soal kemandirian. Jadi dari kecil dia selalu melakukan hal-hal yang diremehkan lelaki, seperti mencuci piring. "Ya udah, aku ambilkan sayurnya aja," sahut Anita. Tangannya langsung mengambilkan sayur untuk Kendra yang menyodorkan piring berisi nasinya. Rahma melihat itu seraya tersenyum-senyum. Begitulah yang dia ingin lihat dari rumah tangga anaknya. Selama ini, dia belum pernah melihat pemandangan harmonis di rumah tangga Anita. Makan di rumahnya saja Bagas tidak pernah, apalagi meliha
Anita menyuapi dirinya sendiri dengan bubur yang dibawakan oleh Kendra. Mereka berdua makan sambil duduk di atas rerumputan. "Kamu nggak risih duduk di bawah sini?" tanya Anita sambil usai menelan buburnya. Kendra menoleh ke Anita dan terkekeh. "Risih kenapa? Manusia asalnya dari tanah kan? Nantinya juga pulang ke tanah. Rerumputan malah berada di atas tanah," sahut Kendra, merasakan segarnya rumput yang bersemi di musim hujan itu. Apalagi, mereka sekarang berada di bawah pohon besar dan teduh. Cia tertidur pulas di dalam strollernya. Nikmat sekali merasakan segarnya angin sepoi-sepoi di taman itu. Anita tersenyum mendengar sahutan Kendra. Rumah Kendra besar dan mewah untuk ukurannya. Tambah juga Kendra memiliki posisi tinggi di perusahaannya, tapi dia kagum pada kata-kata yang diucapkan oleh Kendra. Dia selalu merendah. Bahkan, mungkin orang-orang tidak tahu bahwa pria yang duduk di atas rumput itu adalah seorang pemilik sebuah perusahaan. "Kamu seharusnya bisa sombong dengan a