"Aku punya istri."
Bagas menemukan gurat kecewa di wajah Delisa. Rasanya ada sedikit kerisauan untuk mengakui keadaan sebenarnya, tapi melihat raut wajah Delisa, dia berubah menjadi agak gembira. Seseorang bisa merasa senang ketika orang yang disukai dia kira menaruh rasa cemburu dan Bagas berharap itu."Oh, maaf. Jadi, aku sekarang duduk bersama dengan pria beristri."Delisa tersenyum getir. Dia rasa, menemukan orang yang sama-sama single di usianya sekarang tidaklah mudah. Bahkan teman-teman prianya banyak yang sudah menikah. Delisa merasa sendirian lagi. Hal yang selalu disesalinya, kenapa dia pilih-pilih kekasih di masa lalu. Itu membuat para pria menjauh darinya dan makin merasa kecil hati di hadapan seorang Delisa yang pintar dan cantik."Nggak apa-apa. Kamu nggak usah ngerasa sungkan. Nggak usah kamu pikirkan statusku. Toh, di sini nggak ada yang kita kenal. Teman-teman kita banyak yang sudah pergi dari kota ini.""Tapi, kan ada teman istrimu–"Bagas tersenyum mendengar kegalauan Delisa. Sampai seorang pelayan datang menghentikan pembicaraan itu."Mendingan aku pindah tempat duduk, Gas. Di sana, baru saja orang yang menempatinya pergi."Delisa menatap ke sudut. Mungkin tempat duduk di dekat jendela lebih baik dari pada duduk bersama dengan seorang pria yang sudah beristri. Dia mulai berdiri."Sa, serius. Jangan kekanakkan. Kita hanya makan di cafe, bukan nginep di hotel. Duduklah di sini."Tangan Bagas memegang pergelangan tangan Delisa dan menahannya agar tidak pergi."Aku nggak enak–""Kita cuma ngobrol, bukan mau ciuman, Sa. Kamu santai dong. Teman istriku nggak banyak, kamu nggak perlu khawatir," ucap Bagas agaknya lega melihat Delisa kembali duduk. Dia melepas pegangan tangannya."Kakak, jadi pesan apa?" tanya pelayan pria. Sejenak dia mengagumi kecantikan Delisa. Namun, enggan juga berdiri terlalu lama di samping dua orang yang berdebat halus itu."Oh, iya. Saya mau pesan steak tenderloin, medium rare ya? Minumnya teh hangat aja."Delisa melempar senyum ke arah pelayan. Bagas merasa tidak ikhlas melihat senyum itu harus dibagi dengan pria lain. Padahal, dia bukan siapa-siapa Delisa."Kamu masih suka steak?" tanya Bagas. Percakapan itu sebenarnya untuk menahan matanya menatap wajah cantik yang tersedia di hadapannya."Kadang," sahut Delisa menautkan kedua alisnya, menganggukkan kepala. Dia sebenarnya kikuk ditatap oleh Bagas seperti itu."Kalo kamu suka steak, ada tempat makan steak yang terbaik di perbatasan kota. Itu tempat langganan kantorku, jika teman-temanku merayakan apapun."Delisa hanya mengangguk kecil dan tersenyum. Namun, di mata Bagas itu adalah sesuatu yang istimewa. Bagaimana tidak luar biasa rasanya ketika bertemu dengan sang idola setelah bertahun-tahun lamanya berpisah. Ditambah lagi idolanya masih single."Kamu kerja di mana, Delisa?" tanya Bagas."Aku ... cuma bikin konten masak."Bagas terpana setiap apa yang dikerjakan oleh Delisa. Seolah secuil keburukan tidak pernah ada dalam gadis itu."Beda bener sama jurusan kamu dulu. Kamu IPA, kan?"Delisa tergelak mendengarnya. Dia sendiri merasa Bagas benar."Iya, aku dulu senang sains, tapi entah kenapa aku malah sekarang lebih memilih membuat konten memasak dari pada kerja di rumah sakit, padahal aku sempat kuliah di akbid.""Akbid? Bu bidan, dong."Kembali, Delisa tergelak malu mendengar celetukan Bagas."Iya, bidan ngadat karena malah banting haluan ke masak-masak," tukas Delisa, merendahkan diri.Bagas tertawa renyah. Gadis di depannya itu, selain good looking juga bisa joking. Kadar terpananya bertambah ratusan kali lipat."Sayang banget, ya?" celetuk Bagas.Kedua mata Delisa membulat sempurna mendengar celetukan singkat yang tidak nyambung dengan pembicaraan sebelumnya."Sayang ... maksudnya?" tanya Delisa, memasang wajah tidak paham."Nggak apa-apa," sahut Bagas, menyisakan teka-teki. Namun, Delisa hanya menyunggingkan senyum tanpa tahu maksud Bagas.Sayang sekali para pria tidak ada yang bisa memikat hatinya.Pelayan tadi datang lagi, mengantarkan steak dan teh hangat sesuai dengan keinginan Delisa."Makasih," ucap Delisa.Pelayan itu membungkuk dan kelihatan langsung pergi karena bergidik dengan lirikan sebal Bagas padanya."Kamu nggak nambah?" tanya Delisa melihat piring Bagas hanya tersisa remahan kentang goreng."Nggak, takut gemuk. Pria dengan perut buncit, susah ngempesinnya. Eh, tapi ada bu bidan yang nanti bisa kasih tips kalo suatu saat nanti perutku bisa buncit," kekeh Bagas, agak mencondongkan badan ke arah Delisa.Delisa kembali tertawa mendengarnya. Suara tawa Delisa bagai alunan merdu di telinga Bagas. Puas rasanya bisa membuat Delisa tertawa seperti itu, seperti ketika dia memboncengkannya di jaman sekolah dulu."Bisa aja," sahut Delisa, lalu sepotong steak mulai masuk ke mulutnya.Bagas menatap lekat wajah Delisa. Bahkan saat makan pun, gadis itu tampak cantik. Segalanya tentang Delisa tampak cantik di mata Bagas.Obrolan mereka berlanjut, mengenang masa-masa sekolah dulu. Sementara itu, Roni memperhatikan Bagas dan menggelengkan kepala karena pria itu berubah total begitu kedatangan seorang gadis cantik yang dia sendiri juga tidak mengenalnya. Namun, karena mood Bagas sudah membaik, Roni tidak lagi mengusiknya. Dia fokus pada pekerjaannya saja.***Anita terbangun pada pukul sebelas malam. Dia bangun untuk menyusui sang bayi. Bidan mengatakan bahwa bayi harus menyusu setiap dua jam sekali. Jadi, Anita selalu terbiasa bangun setiap dua jam agar bayinya tidak dehidrasi. Bayinya tergolong lahir kecil. Anita adalah wanita yang lemah terbalut dengan wajah sok tegarnya.Sebenarnya hatinya rapuh karena sikap Bagas, tapi dia kuat-kuatkan saja. Alhasil, semua itu berdampak ke bayinya. Awalnya, bidan bilang bayinya kurang gizi atau stunting meski penambahan berat badannya sudah mulai lumayan. ASI Anita juga lumayan karena ibu mertuanya selalu mengirimkan jamu dan daun katuk untuk memperlancar ASI-nya.Kebaikan ibu mertuanya juga termasuk salah satu hal yang membuatnya bersyukur karena bukan seperti ibu mertua lain yang dibilang julid atau mau menguasai anak lelakinya. Justru ketika Anita tidak diperhatikan oleh Bagas, wanita paruh baya itu acapkali memarahi putranya. Itulah yang membuat Anita patuh terhadap mertuanya. Ibunya jauh dari kota itu, jadi mertuanya menjadi pengganti ibu Anita.Anita menyusui bayinya. Bayi itu mulai lahap menyusu. Tidak pernah Anita membiarkannya kelaparan, terlebih di malam hari. Malahan, Bagas tidak pernah bangun untuk menemaninya. Tidur pun terpisah, tidak pernah menyentuh bayinya, mana mau menemani istrinya menyusui?Setelah bayinya puas menyusu dan kembali terlelap, Anita beranjak dari tempat tidur. Dia keluar untuk minum. Dahinya berkerut melihat ruangan masih dalam keadaan terang. Anita mencoba memberanikan diri untuk membuka kamar tamu di mana biasanya Bagas tidur.. Namun, ruangan itu juga masih terang dan tidak dia dapati sang suami di sana."Udah jam sebelas, kenapa belum pulang?" gumam Anita.Wanita itu meraih ponsel, lalu berjalan ke dapur sambil memencet nomor Bagas. Dia menempelkan ponselnya di telinga, sambil menuang air putih hangat ke dalam gelas. Mengambil susu ibu menyusui dan menaruhnya ke gelas tadi dan diaduknya. Sampai dia teguk habis, Bagas tidak juga mengangkat panggilannya.***"Kenapa nggak kamu angkat, Gas?" tanya Delisa, ketika mereka masih mengobrol.Delisa melihat sinar dari layar ponsel Bagas. Sekali meredup, sinar itu kembali lagi menyala-nyala. Dia yakin, itu panggilan dari seseorang."Nggak penting," sahut Bagas."Istrimu?" tanya Delisa."Iya, udah aku bilang sama kamu tadi. Dia cuma menjebakku sampai hamil dan membuatku menikah dengannya. Aku tidak mencintainya, Delisa.""Tapi kamu bersedia menikahinya. Setidaknya, dia bisa menjadi pendamping hidup kamu. Lihat hidupku, kesepian tanpa seorang pendamping."Bagas tertawa kering mendengar ucapan Delisa. Bagaimana bisa dia hidup bahagia sedangkan dia sendiri tidak pernah memiliki cinta untuk Anita? "Pernah dengar tidak, lebih baik hidup sendiri dari pada harus hidup dengan orang yang tidak pernah kita cintai." Delisa meringis, menggelengkan kepalanya perlahan. "Tapi ada juga yang bilang kalo cinta bisa tumbuh dari kebiasaan. Iya kan, Gas?" Bagas tertawa miris. Memang ada kisah seperti itu, tapi entah kenapa dalam hatinya tidak pernah ada rasa cinta yang tumbuh secuil pun untuk Anita. Malahan, ketika melihat Delisa, rasa cinta itu mekar tak tertahankan dalam beberapa menit saja. "Mungkin ada beberapa, tapi bukan aku salah satunya, Delisa." Delisa tertegun mendengarnya, melanjutkan makan tanpa berkomentar lagi. Betapa rumit kehidupan berumah tangga ternyata. Bukan sekadar jatuh cinta, menikah memiliki
Bagas mengeluarkan mobilnya dengan menekan pedal gas kasar malam itu. Dia melajukan mobil ke rumah ibunya. Setiap kali merasa kesal, dia selalu pergi ke rumah sang ibu. Rumah ibunya berjarak beberapa kilometer. Meski seringkali saat curhat ibunya malah memarahinya seperti hari ini. "Kenapa malam-malam kamu datang ke sini, Gas? Apalagi nggak sama Nita." Sambutan sang ibu membuat Bagas kesal. Kenapa ibunya tidak mendukungnya seperti perempuan lain yang mendukung anak lelakinya mati-matian? Bagas menyelonong masuk dan merebahkan diri di sofa tanpa menjawab pertanyaan ibunya. "Aku mau tidur di sini, Bu. Malam ini aku sumpek di rumah." Tengah malam, sudah terganggu tidurnya oleh Bagas, ditambah lagi anak lelakinya malah meninggalkan sang istri sendirian di rumah. "Kenapa, Gas!" bentak sang ibu. "Bu, aku capek! Aku cuma lagi sumpek di rumah! Tadi, bayi itu merengek terus. Ibunya nggak bisa diemin. Barusan, haus aja nggak dibikinin minuman kalo nggak dibangunin. Istri macam apa itu, B
Suara tangis bayi membuat Bagas menghentikan aksi brutalnya. Tangannya melepas begitu saja semua yang dia sentuh. Anita masih tersungkur di lantai yang dingin. Rasanya sangat terhina ketika Bagas melepaskan Anita dengan satu sentakan ke lantai. Bagas tampak meraup wajah, tapi kemudian memakai kembali bajunya. "Urus bayimu." Anita bergeming. Dia terisak menelungkup di atas lantai dengan daster robek, persis seperti korban pemerkosaan. Mengabaikan bayinya yang menangis seolah merasakan apa yang dia rasakan. Ketika tersadar, Anita segera berdiri dengan susah payah, merasakan perih di daerah kemaluannya. Sakit fisik juga sakit hatinya. Anita berjalan tertatih ke kamarnya dan melihat sang bayi menendang-nendang sambil memejamkan kedua mata menangis kencang. "Iya, ibu nggak apa-apa, Nak. Sini, ibu gendong. Minum susu, ya?" Dengan suara tersendat, Anita mencoba menenangkan sang bayi. Meski tangannya masih bergetar karena kelakuan Bagas tadi, tapi dia berusaha untuk menggendong anaknya de
"Kamu yang baik dong sama Nita. Kasihan dia, udah capek ngurusin rumah, tapi sikap kamu udah kayak nggak pernah diajarin akhlak di rumah," omel Tantri. "Akhlak? Ibu ngomongin akhlak? Tanya tuh sama menantu kesayangan Ibu. Akhlak dia masuk ke kamar hotelku waktu itu! Apa dia nggak sengaja? Menurut Ibu, dia nggak sengaja kayak gitu?" balas Bagas. Tantri mendesah mendengar ucapan Bagas. Menurutnya memang itu sebuah kesalahan, tapi selama ini Anita adalah menantu yang penurut. Jadi, dia sudah suka dengan Anita. "Kamu juga mabuk kan? Andai kamu nggak mabuk, pasti juga nggak kejadian kayak gini. Yang jelas Cia juga anak kamu. Udah kamu tes juga DNA-nya. Jadi, apa lagi? Masih mau bersikap buruk sama dia? Nih, gendong Cia! Ibu belum pernah lihat kamu gendong Cia!" sungut Tantri, menyerahkan bayi dalam gendongannya ke tangan Bagas. Bagas gelagapan menerima bayi itu. "Bu, Bu! Ini berat, Bu." "Laki-laki kok gendong bayi aja berat. Masih berat tabung gas yang setiap hari ditenteng sama Nita
"Duluan datang, Gas? Oh iya, panitia harus dateng duluan ketimbang tamu undangan," kekeh Iqbal.Bagas memukul pelan lengan Iqbal seraya tertawa. Dia menyembunyikan maksudnya, memang sengaja datang lebih awal bukan karena tanggung jawab menjadi panitia, tapi hanya ingin memastikan bahwa Delisa akan datang hari itu. "Kursi VIP buat donatur udah jadi disiapin, kan?" tanya Bagas pada Iqbal. Iqbal mendesah mendengar pertanyaan Bagas. "Aku nggak siapin. Apa nggak berlebihan kalo musti dikasih kursi VIP buat donatur, Gas? Nanti kerasa ada ketimpangan dalam hal ekonomi. Yang nggak jadi donatur ngerasa tersingkir." Bagas mencebik. Dia hanya bermaksud mengistimewakan Delisa, itu saja. Namun, sepertinya niat Bagas tidak terkabulkan. "Oke, nggak masalah. Asal para donatur datang. Kita juga harus menghargai sumbangan mereka. Apalagi Delisa, dia menyumbang lima puluh juta buat acara reuni ini. Itu sebuah kehormatan bagi panitia, Bal."Iqbal mengangguk-angguk. Dia juga tidak menyangka jika Deli
Anita mendesah, berkali-kali mencoba menghubungi Bagas, tapi tidak ada sambungan. Akhirnya, dia menghubungi Wina. "Win, apa kamu lihat Mas Bagas? Dia masih di tempat reuni, kah?" tanyanya. "Aku udah pulang, Nit. Tadi pas acara udah mau kelar, aku nggak lihat Mas Bagas deh kayaknya. Sorry banget ya, Nit? Ini udah jam dua belas malam, mungkin sebentar lagi Mas Bagasmu itu pulang. Yah, mungkin dia lagi ketemu temen-temen lamanya. Siapa tau dia keasyikan? Kamu juga sih, nggak mau dateng," cerocos Wina. Anita hanya menghela napas. Dia tidak pernah menyesali keputusannya untuk tidak datang ke reuni karena sekarang dia bisa bersama sang anak dan melihat bayinya tertidur dengan tenang. "Hm, ya udah Win. Iya, paling juga dia balik sebentar lagi. Ya udah, maaf udah ganggu kamu. Met istirahat ya, Win?" ucap Anita mengakhiri panggilannya. Meski begitu, dia masih belum bisa memejamkan mata. Sampai kantuk menyerangnya di jam dua pagi setelah menyusui bayinya. Mungkin Anita tidak tahu bahwa pe
Tiga bulan usia Cia hari ini, bayi itu makin pintar karena Anita menstimulasi bayinya dengan baik. Walau hati Anita tidak baik-baik saja dengan sikap suaminya yang makin parah. Pria itu jarang pulang setelah ditanyai soal malam setelah reuni. Bagas marah karena menilai Anita terlalu cerewet dengan urusan pribadinya. Sore itu, Anita sedang menyapu halaman. Seperti biasa, dia sibuk membersihkan rumah saat Cia tidur siang. Sapu lidi itu terhenti di depan dua kaki yang memakai sepatu putih bersih dengan merk yang menunjukkan kelas seseorang. Anita terhenyak melihat sepatu yang dia ketahui harganya bisa mencapai jutaan. Kedua matanya menelusuri ujung kaki hingga ke atas. Dia seorang wanita berwajah sayu, tampak sangat lelah seperti ada yang dia pikirkan dengan berat. Meski begitu, tidak mengurangi kecantikannya. Kulitnya putih terawat, kedua matanya berwarna hazel dengan bibir yang berwarna pink alami. Wanita itu masih tampak cantik meski rambut gelombangnya tergerai acak. Anita mencoba
Anita hanya termangu ketika melihat hari-hari selanjutnya, Bagas dengan semringah menyiapkan pesta pernikahannya dengan Delisa. Dia mengulang dalam ingatan, pernikahannya dulu dengan Bagas tidak semewah itu. Mereka hanya menikah di depan penghulu saja, tidak ada perayaan apapun. "Nita." Anita tersentak merasakan seseorang menyentuh pundaknya. Dia menoleh dan mendapati Tantri sedang ada di belakangnya dengan wajah tak kalah sendu. Anita memaksakan diri untuk tersenyum, tapi gagal. Pada akhirnya, tangis mewakili perasaannya saat itu. Tantri memeluk Anita dengan erat. Tidak banyak kata yang dia ucap untuk menenangkan hati menantu kesayangannya itu. Hanya elusan tangan di punggung Anita yang bisa dia lakukan. "Maaf, maaf atas semua ini," ucap Tantri lirih. Tantri tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mencegah Bagas menikah lagi, tapi tidak mungkin karena janin yang dikandung oleh Delisa juga benih Bagas. Namun, saat membiarkan Bagas menikah, itu pun juga melukai perasaan Anita. Tantri
"Lancar, Om. Syukurlah tidak ada hal yang menghambat jalannya sidang tadi." Raut lega tampak dari wajah Laksono. Anita menyapu sekitar dengan pandangannya. Tadi, Anarita ada di depan, tapi sekarang wanita itu tidak ikut serta, padahal jelas-jelas dia menyambut kedatangan Anita tadi. Anita hanya pasrah, mengikuti pembicaraan Kendra dan Laksono dengan berpura-pura ikut tersenyum. Meski dalam hatinya ada yang mengganjal. Lega sekali saat Anita bisa keluar dari rumah itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya kalau menikah sementara waktu dengan Kendra. *** Waktu berlalu. Anita semakin fokus pada perceraian dan usahanya. Hubungannya dengan Rahma sang ibu juga semakin dekat. Dia banyak mendesign baju-baju selama tiga bulan itu. Hingga surat resmi perceraiannya pun tiba. Anita merasa sangat lega, sekaligus merasa cemas akan kehidupan selanjutnya. Masa iddah Anita dihabiskan di rumah dengan mendesign baju. Suatu ketika, seorang perempuan muda mendatangi ruko di mana Rahma sedan
Bagas terhenyak melihat layar ponselnya. Setelah sidang yang cukup menegangkan karena pertama kali Bagas melakoni sidang perceraian, dia sekarang melihat daftar panggilan yang banyak. "Delisa, kenapa ya?" gumamnya, melangkah ke parkiran. Bagas memencet nomor Delisa dengan wajah cemas. Tak lama, panggilan itu diangkat oleh seseorang. "Halo," ucap Bagas mengawali karena di ujung sana memang mengangkat teleponnya, tapi tidak mengucap sepatah kata pun. "Delisa, kamu kenapa? Tadi nelepon aku–" "Bagas! Kamu itu lagi ngapain? Nggak becus jadi suami anak saya? Delisa lagi sakit gara-gara hamil. Dia butuh kamu antar ke dokter, kamu malah lelet angkat teleponnya!" Gerutuan itu, Bagas yakin bukan Delisa, melainkan ibunya. "M-ma, maaf saya nggak tau. Lalu, Delisa ada di mana sekarang, Ma?" tanya Bagas. "Huh, pake nanya. Lagian kalo kamu tau dia ada di mana sekarang, kamu bisa ke sini dalam waktu berapa detik, hah? Untung kamu cuma pegawai. Kalo kamu dokter, apa nggak keburu mati itu pasie
"Kamu nggak kerja, Ken?" tanya Anita. Sejujurnya dia tidak enak hati dengan lelaki itu. Karena dirinya, maka Kendra harus meninggalkan pekerjaannya. "Kerjaanku bisa kutinggalin sebentar. Ada asisten yang menggantikan. Soal perceraian kamu, itu pun penting karena itu akan mempengaruhi masa depanku. Papa juga nyuruh aku mengawal kamu sampai selesai proses perceraian." Anita mengangguk. Dalam hati dia merasa campur aduk karena hari ini dia akan menjalani proses perpisahannya dengan Bagas, lelaki yang sangat dia cintai. "Bulatkan tekad kamu, Anita. Dia bukan lelaki yang pantas buat kamu."Anita menoleh pada Kendra. Dia meringis, kenapa Kendra bisa menebak pikirannya? "Iya," sahut Anita. Kendra mengemudikan mobilnya menuju ke pangadilan agama. Anita terdiam mengikuti alur perjalanan dengan diam, karena banyak pikirannya kala itu. Seorang istri, menggugat cerai suaminya. Antara sedih, kecewa dan kasihan pada anaknya yang nantinya tidak memiliki ayah. Anita melirik ke arah Kendra. Dia
"Kenapa tertawa, Bu? Bukannya normal orang hamil jauh-jauh dari suaminya?" tanya Bagas, mengulang ucapan Rosmini waktu itu."Iya, ada. Tapi, nggak lama seperti ini juga. Ya ... kita lihat aja bulan selanjutnya. Biasanya wanita ngidam di awal bulan. Bisa juga dia menjadi aneh dari awal bulan sampe bulan ke sembilan, sampe pas lahiran. Kamu dikuat-kuatin aja." Bagas terbelalak mendengar ucapan Tantri. Masa dia harus menahan diri sampai sembilan bulan? Bisa gondrong nganggur. "Bu, yang bener aja?" sungutnya, tiba-tiba hilang nafsu makannya. "Udah dibilangin, dilihat aja. Bukan ibu mau bilang pasti, tapi bisa jadi. Ibu cuma mau kamu bersiap untuk menyediakan sabar yang gede menghadapi ibu hamil," terang Tantri. Sebenarnya Tantri malah merasa aneh dengan kepergian Delisa saat ini. Tambah, dia juga merasa jauh dengan keluarga Delisa sejak awal mereka bertemu dalam acara lamaran. Rasanya ada yang tidak rela juga dengan pernikahan Bagas dan Delisa. Waktu itu, Tantri menepis perasaannya. D
Anita dan Kendra pulang ke rumah. Kendra masih saja menggendong Cia yang terlihat nyaman dalam pelukannya sedari di taman tadi. "Yuk, Cia ikut mama," ajak Anita mengulurkan kedua tangan ke arah bayi tiga bulan itu. Namun, Cia bergeming. Dia tetap ingin berada dalam gendongan Kendra. "Ayo, Cia. Om Kendra mau pulang. Dia ada banyak kerjaan," bujuk Anita. Anita mengambil Cia dari gendongan Kendra. Tidak disangka, Cia menunjukkan ekspresi sedih. Hendak mewek dengan bibir melebar dan kedua matanya tampak berkaca. "Udah, sana pulang dulu. Aku bisa atasi," desis Anita pada Kendra. "Beneran nggak apa-apa?" tanya Kendra dengan wajah khawatir karena sedikit lagi dipastikan Cia akan meledakkan tangis. "Iya, nggak apa-apa. Kamu kan banyak kerjaan pastinya. Iya, kan?" tanya Anita mendorong Kendra agar segera masuk ke mobilnya. "O-oke," sahut Kendra yang masih melekatkan pandangan ke Cia yang berharap digendong lagi olehnya. "Udah, buruan," desak Anita. Kendra mengangguk. Sebelum Kendra p
"Oh, jadi kayak gitu. Menuntut cerai, lalu dengan cepat gandeng dengan pria lain. Kamu, lelaki yang waktu itu, kan?" Kendra dan Anita menoleh ke sumber suara. Di sana, berdirilah Bagas yang sedang memakai baju kerjanya. Bagas hendak bertemu dengan klien di sebuah hotel dekat dengan taman, tapi saat berjalan dia melihat sepasang pria dan wanita sedang asyik di dalam taman. Semula, dia mendapat tempat parkir jauh dari hotel hingga harus membuatnya berjalan melintasi taman. Malahan, dia melihat pemandangan di dalam taman. Hati Anita masih bergetar saat melihat Bagas. Dia ingin menggelengkan kepala, tapi Kendra sudah berjalan menjauh, untuk mendekati Bagas. Anita menjadi gelisah melihat itu. "Kalo iya, kenapa?" tanya Kendra. Dua lelaki itu sekarang berdiri berhadapan. Bagas meletakkan kedua tangan di pinggang, tapi Kendra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan santai. "Kamu tau etika, nggak? Dia itu belum cerai. Kenapa kalian berduaan di sini?" tanya Bagas, menunjuk d
Bagas tidak menyahut lagi. Sebagai seorang lelaki, dia tidak ingin banyak berdebat. Selama ini, dengan Anita juga begitu. Jika ada sesuatu yang salah menurutnya, maka Anita hanya diam menurut. Isti memandangnya dengan pandangan aneh, mulutnya komat-kamit mengomeli Bagas yang ternyata di luar ekspektasinya. Bagas berjalan ke warung sore itu. Jarang, bahkan tidak pernah dia pergi ke warung setelah menikah dengan Anita. Karena itu, semua orang menatapnya dengan heran. Termasuk pemilik warung. "Oh, Mas Bagas. Kok tumben?" tanyanya. "Iya, mau beli beras dua kilo, Bu. Sama ayam sekilo aja," ujar Bagas tanpa menunggu pertanyaan lain dari mulut pemilik warung. "Oh, baik, Mas. Dua kilo, ya? Tumben banyak? Ada tamu, kah?" cecar pemilik warung.Bagas memutar kedua bola matanya. Kenapa orang-orang selalu mengurusi urusan orang lain? Dia malas sekali. Andai dia tahu akan jadi seperti itu, dia memilih berbelanja ke supermarket saja. Namun, dengan pertanyaan itu, dia penasaran juga bagaimana k
"Ambilkan nasi dan sayurnya buat Kendra, Nita," titah Rahma saat mereka sudah berada di ruang makan. "Eh, saya bisa ambil sendiri kok, Tante." Kendra meraih sendok nasi, segera mengambil nasi dan sayurnya sendiri. Rahma memperhatikan Kendra yang melakukannya secara mandiri. Anita juga bengong melihat itu. Kendra menatap keduanya dengan tidak mengerti. "Eh, kamu mandiri sekali, Kendra." Rahma takjub dengan pria macam Kendra. Kendra hanya tersenyum. Meski kaya, tapi sedari kecil dia selalu diajari soal kemandirian. Jadi dari kecil dia selalu melakukan hal-hal yang diremehkan lelaki, seperti mencuci piring. "Ya udah, aku ambilkan sayurnya aja," sahut Anita. Tangannya langsung mengambilkan sayur untuk Kendra yang menyodorkan piring berisi nasinya. Rahma melihat itu seraya tersenyum-senyum. Begitulah yang dia ingin lihat dari rumah tangga anaknya. Selama ini, dia belum pernah melihat pemandangan harmonis di rumah tangga Anita. Makan di rumahnya saja Bagas tidak pernah, apalagi meliha
Anita menyuapi dirinya sendiri dengan bubur yang dibawakan oleh Kendra. Mereka berdua makan sambil duduk di atas rerumputan. "Kamu nggak risih duduk di bawah sini?" tanya Anita sambil usai menelan buburnya. Kendra menoleh ke Anita dan terkekeh. "Risih kenapa? Manusia asalnya dari tanah kan? Nantinya juga pulang ke tanah. Rerumputan malah berada di atas tanah," sahut Kendra, merasakan segarnya rumput yang bersemi di musim hujan itu. Apalagi, mereka sekarang berada di bawah pohon besar dan teduh. Cia tertidur pulas di dalam strollernya. Nikmat sekali merasakan segarnya angin sepoi-sepoi di taman itu. Anita tersenyum mendengar sahutan Kendra. Rumah Kendra besar dan mewah untuk ukurannya. Tambah juga Kendra memiliki posisi tinggi di perusahaannya, tapi dia kagum pada kata-kata yang diucapkan oleh Kendra. Dia selalu merendah. Bahkan, mungkin orang-orang tidak tahu bahwa pria yang duduk di atas rumput itu adalah seorang pemilik sebuah perusahaan. "Kamu seharusnya bisa sombong dengan a