"Kenapa muka kamu? Kusut bener?" tanya Roni pada Bagas yang kala itu duduk di cafenya.
Datang dengan wajah kesal, Bagas menghempaskan pantatnya begitu saja ke kursi di pojokan. Untungnya, pengunjung belum berdatangan petang itu. Jadi, Roni bisa menemui temannya itu dulu."Kesel.""Kenapa, kenapa?" cecar Roni.Bagas menghela napas kesal."Punya istri yang kucel kayak Nita. Mamaku ngidam apaan dulu sampe aku kudu nikahin adek kelas yang dari dulu memang nggak terkenal itu."Roni terkekeh mendengarnya. Meski dia berasal dari sekolah yang berbeda, tapi dia tau bagaimana Bagas bisa menikahi Anita."Walau bagaimanapun, itu istri kamu. Apa kamu udah kasih dia pelayanan maksimal? Perawatan di salon atau kasih dia baju-baju bagus gitu?" tanya Roni, mencoba mencarikan solusi terselubung."Heleh, ngapain dikasih kayak gituan. Udah boros, nanti nggak ada perubahan. Aslinya jelek ya jelek aja," sahut Bagas. Nadanya memang sudah eneg. Tidak mau mendengar saran Roni. Baginya, sosok Anita bukan typenya sejak dulu, sejak jaman SMU.Roni menggelengkan kepala mendengar keluhan temannya itu."Udah, udah. Sekarang kamu mau minum apa? Buat kamu, free minuman. Makanannya bayar ya?""Iya, aku bayar makanannya. French fries aja, udah kenyang tadi. Terus minumnya lemon tea aja. Makasih Bro.""Santai. Mau bungkusin istri kamu juga aku layanin.""Nggak."Roni terkekeh. Lalu beranjak untuk membuatkan pesanan temannya. Apalagi, pengunjung cafe sudah mulai berdatangan. Dia harus memulai pekerjaannya. Menemani Bagas tidak akan ada habisnya, mengumpat sang istri yang dia nikahi tanpa cinta itu.Seorang pelayan membawakan pesanan Bagas. Pria itu, menerimanya lalu mulai melahap makanan dan menyesap minumannya dengan malas. Jika ingat Anita, hilang sudah semangatnya. Padahal tadi, dia akan dipromosikan naik jabatan menjadi manager di perusahaan tempatnya bekerja. Senang, tapi rasanya sia-sia beristrikan Anita.Beberapa orang membawa pasangannya, membuat rasa iri dalam hati Bagas. Kenapa penampilan para wanita bisa semanis itu? Sementara istrinya di rumah tidak bisa seperti wanita-wanita yang dia temui, baik di kantor maupun di restoran.***Anita duduk dengan kedua mata berkaca-kaca di depan cermin. Betapa lelah dirinya. Kedua mata sudah laksana mata panda karena setiap malam harus bergadang demi si bayi. Terlebih, di siang hari ketika bayinya tidur, dia tidak bisa istirahat untuk mengganti semalam. Begitu banyak cucian, makin banyak saat melahirkan. Belum lagi membersihkan rumah, memasak, menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam.Bagas tipe orang yang tidak mau makanan yang dihangatkan. Dia selalu ingin menu baru setiap makan. Jadi, Anita harus menyiapkan masakan tiga kali sehari. Namun, semua itu dia lakukan dengan ikhlas. Meski raganya seringkali merasakan lelah, tapi hatinya senang ketika Bagas menikmati masakannya.Akan tetapi, petang itu hatinya berdenyut sakit. Menatap bayi yang dia letakkan di atas tempat tidur. Tempat tidur yang dia rebahi sendirian bersama sang bayi, karena sang suami memilih untuk tidur di sofa atau di kamar tamu."Dia juga anakmu, Mas. Aku tidak membuatnya sendirian."Tangan Anita membelai pipi bayi yang sudah tertidur pulas itu. Sempat kejengkelannya pada si bayi yang tidak berdosa membuat kesadarannya terkikis. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang karena rasa cintanya pada keluarga."Tenanglah, Nak. Papa mencintaimu, pasti dia mencintai kita. Jangan menangis lagi ya? Dia hanya kesal pada mama. Dia kesal karena malam itu mama masuk kamarnya dengan sengaja. Nak, jangan benci sama papa, ya? Dia adalah pria terbaik di mata mama. Pasti juga di matamu, Nak. Percayalah."Senyum mulai terbit di wajah Anita saat membelai bayi dua bulan itu. Hidungnya mirip sekali dengan Bagas. Mancung. Lalu, kedua matanya dan bibirnya juga. Dia sangat bersyukur dan bahagia sekali bisa mendapatkan seorang anak dari pria yang sangat dicintai."Mama juga mencintaimu, Nak. Sangat mencintaimu."Sebuah kecupan mendarat di kening si bayi, membuat bayi itu sedikit menggeliat gemas, lalu kembali tertidur pulas.Tanpa terasa, kedua mata Anita terlelap sambil telunjuknya digenggam oleh bayinya. Bayi mungil itu merasakan damai di sebelah ibunya.***Tangan Bagas nyaris melepas gelas berisi lemon tea saat seseorang menepuk lengannya. Lembut, tapi cukup membuat kaget Bagas yang sedang merenungi nasibnya.Dia menoleh dan inilah awal dari segalanya. Seorang gadis cantik luar biasa, berdiri di belakangnya dengan senyuman yang sangat manis menawan."Delisa? Kamu bener Putri Delisa?"Secara tidak sadar, Bagas berdiri menatap gadis itu dari atas ke bawah. Sejenak, ingatannya kembali ke masa putih abu-abu. Gadis yang mengangguk di depannya adalah gadis yang berprestasi di bidang akademik sekolahnya dulu. Dia menjadi rebutan banyak lelaki masa itu. Dan konon katanya, gadis itu sangat idealis memilih kekasih. Bagas adalah salah satu dari sekian banyak pria yang mengidolakan dan sampai mimpi basah karena sosok Delisa yang datang ke dalam mimpinya, padahal gadis itu hanya sekali dia boncengkan di saat hujan. Saat itu, usai pengajian kelas, dia beruntung sekali karena berkesempatan mengantarkan seorang Putri Delisa ka rumahnya.Sayang, hanya satu kesempatan itu saja yang dimiliki oleh Bagas dan gadis itu tidak pernah lagi menatapnya setelah hujan kala itu."Bagas, ya? Wah, udah sukses sekarang?" sapanya, memudarkan angan Bagas yang melayang-layang ke waktu lampau."Nggak juga. Kamu pasti yang sukses, Sa. Lihat penampilan kamu. Menawan," puji Bagas terang-terangan.Senyum Delisa terbit saat mendengar pujian itu. Sebenarnya, pujian yang biasa dia dengar dari mulut orang-orang, tapi kali ini entah mengapa dia sangat terkesan."Boleh aku duduk di sini?" tanya Delisa, menunjuk ke kursi di depan Bagas."Boleh, tentu saja boleh.""Mau makan apa? Pesen aja. Aku yang bayar," tawar Bagas.Tiba-tiba, serasa level semangatnya naik drastis begitu melihat sosok Delisa. Gadis itu, tidak banyak berbeda dari dulu ketika masih berseragam putih abu-abu. Malah makin cantik saja. Ah, andaikan. Bagas mulai berandai-andai."Tuh kan, kamu sekarang sukses. Buktinya kamu mau bayarin makan aku," celoteh Delisa, memperbaiki posisi duduknya, lalu meraih daftar menu di atas meja.Bagas tergelak mendengar ucapan itu."Kamu konyol. Apa takaran sukses itu cuma soal bayar membayar makanan temen? Nggak juga, kali!" sahut Bagas."Nggak banyak orang bisa mentraktir temennya, Gas. Aku udah bertemu banyak mantan temen, tapi di antara mereka banyak juga yang susah keluar duit. Ya ... nggak komen sih, karena mereka udah berkeluarga. Eh, kalo kamu? Apa kamu udah berkeluarga?" tanya Delisa.Pertanyaan itu, seharusnya pertanyaan yang sangat wajar ditanyakan oleh seorang teman lama. Namun, bagi Bagas terasa berat menjawabnya.Bagas hanya menghela napas berat. Kenapa Anita harus merusak semua mimpinya?"Aku punya istri." Bagas menemukan gurat kecewa di wajah Delisa. Rasanya ada sedikit kerisauan untuk mengakui keadaan sebenarnya, tapi melihat raut wajah Delisa, dia berubah menjadi agak gembira. Seseorang bisa merasa senang ketika orang yang disukai dia kira menaruh rasa cemburu dan Bagas berharap itu. "Oh, maaf. Jadi, aku sekarang duduk bersama dengan pria beristri." Delisa tersenyum getir. Dia rasa, menemukan orang yang sama-sama single di usianya sekarang tidaklah mudah. Bahkan teman-teman prianya banyak yang sudah menikah. Delisa merasa sendirian lagi. Hal yang selalu disesalinya, kenapa dia pilih-pilih kekasih di masa lalu. Itu membuat para pria menjauh darinya dan makin merasa kecil hati di hadapan seorang Delisa yang pintar dan cantik. "Nggak apa-apa. Kamu nggak usah ngerasa sungkan. Nggak usah kamu pikirkan statusku. Toh, di sini nggak ada yang kita kenal. Teman-teman kita banyak yang sudah pergi dari kota ini." "Tapi, kan ada teman istrimu–" Bagas tersenyum mendengar k
"Tapi kamu bersedia menikahinya. Setidaknya, dia bisa menjadi pendamping hidup kamu. Lihat hidupku, kesepian tanpa seorang pendamping."Bagas tertawa kering mendengar ucapan Delisa. Bagaimana bisa dia hidup bahagia sedangkan dia sendiri tidak pernah memiliki cinta untuk Anita? "Pernah dengar tidak, lebih baik hidup sendiri dari pada harus hidup dengan orang yang tidak pernah kita cintai." Delisa meringis, menggelengkan kepalanya perlahan. "Tapi ada juga yang bilang kalo cinta bisa tumbuh dari kebiasaan. Iya kan, Gas?" Bagas tertawa miris. Memang ada kisah seperti itu, tapi entah kenapa dalam hatinya tidak pernah ada rasa cinta yang tumbuh secuil pun untuk Anita. Malahan, ketika melihat Delisa, rasa cinta itu mekar tak tertahankan dalam beberapa menit saja. "Mungkin ada beberapa, tapi bukan aku salah satunya, Delisa." Delisa tertegun mendengarnya, melanjutkan makan tanpa berkomentar lagi. Betapa rumit kehidupan berumah tangga ternyata. Bukan sekadar jatuh cinta, menikah memiliki
Bagas mengeluarkan mobilnya dengan menekan pedal gas kasar malam itu. Dia melajukan mobil ke rumah ibunya. Setiap kali merasa kesal, dia selalu pergi ke rumah sang ibu. Rumah ibunya berjarak beberapa kilometer. Meski seringkali saat curhat ibunya malah memarahinya seperti hari ini. "Kenapa malam-malam kamu datang ke sini, Gas? Apalagi nggak sama Nita." Sambutan sang ibu membuat Bagas kesal. Kenapa ibunya tidak mendukungnya seperti perempuan lain yang mendukung anak lelakinya mati-matian? Bagas menyelonong masuk dan merebahkan diri di sofa tanpa menjawab pertanyaan ibunya. "Aku mau tidur di sini, Bu. Malam ini aku sumpek di rumah." Tengah malam, sudah terganggu tidurnya oleh Bagas, ditambah lagi anak lelakinya malah meninggalkan sang istri sendirian di rumah. "Kenapa, Gas!" bentak sang ibu. "Bu, aku capek! Aku cuma lagi sumpek di rumah! Tadi, bayi itu merengek terus. Ibunya nggak bisa diemin. Barusan, haus aja nggak dibikinin minuman kalo nggak dibangunin. Istri macam apa itu, B
Suara tangis bayi membuat Bagas menghentikan aksi brutalnya. Tangannya melepas begitu saja semua yang dia sentuh. Anita masih tersungkur di lantai yang dingin. Rasanya sangat terhina ketika Bagas melepaskan Anita dengan satu sentakan ke lantai. Bagas tampak meraup wajah, tapi kemudian memakai kembali bajunya. "Urus bayimu." Anita bergeming. Dia terisak menelungkup di atas lantai dengan daster robek, persis seperti korban pemerkosaan. Mengabaikan bayinya yang menangis seolah merasakan apa yang dia rasakan. Ketika tersadar, Anita segera berdiri dengan susah payah, merasakan perih di daerah kemaluannya. Sakit fisik juga sakit hatinya. Anita berjalan tertatih ke kamarnya dan melihat sang bayi menendang-nendang sambil memejamkan kedua mata menangis kencang. "Iya, ibu nggak apa-apa, Nak. Sini, ibu gendong. Minum susu, ya?" Dengan suara tersendat, Anita mencoba menenangkan sang bayi. Meski tangannya masih bergetar karena kelakuan Bagas tadi, tapi dia berusaha untuk menggendong anaknya de
"Kamu yang baik dong sama Nita. Kasihan dia, udah capek ngurusin rumah, tapi sikap kamu udah kayak nggak pernah diajarin akhlak di rumah," omel Tantri. "Akhlak? Ibu ngomongin akhlak? Tanya tuh sama menantu kesayangan Ibu. Akhlak dia masuk ke kamar hotelku waktu itu! Apa dia nggak sengaja? Menurut Ibu, dia nggak sengaja kayak gitu?" balas Bagas. Tantri mendesah mendengar ucapan Bagas. Menurutnya memang itu sebuah kesalahan, tapi selama ini Anita adalah menantu yang penurut. Jadi, dia sudah suka dengan Anita. "Kamu juga mabuk kan? Andai kamu nggak mabuk, pasti juga nggak kejadian kayak gini. Yang jelas Cia juga anak kamu. Udah kamu tes juga DNA-nya. Jadi, apa lagi? Masih mau bersikap buruk sama dia? Nih, gendong Cia! Ibu belum pernah lihat kamu gendong Cia!" sungut Tantri, menyerahkan bayi dalam gendongannya ke tangan Bagas. Bagas gelagapan menerima bayi itu. "Bu, Bu! Ini berat, Bu." "Laki-laki kok gendong bayi aja berat. Masih berat tabung gas yang setiap hari ditenteng sama Nita
"Duluan datang, Gas? Oh iya, panitia harus dateng duluan ketimbang tamu undangan," kekeh Iqbal.Bagas memukul pelan lengan Iqbal seraya tertawa. Dia menyembunyikan maksudnya, memang sengaja datang lebih awal bukan karena tanggung jawab menjadi panitia, tapi hanya ingin memastikan bahwa Delisa akan datang hari itu. "Kursi VIP buat donatur udah jadi disiapin, kan?" tanya Bagas pada Iqbal. Iqbal mendesah mendengar pertanyaan Bagas. "Aku nggak siapin. Apa nggak berlebihan kalo musti dikasih kursi VIP buat donatur, Gas? Nanti kerasa ada ketimpangan dalam hal ekonomi. Yang nggak jadi donatur ngerasa tersingkir." Bagas mencebik. Dia hanya bermaksud mengistimewakan Delisa, itu saja. Namun, sepertinya niat Bagas tidak terkabulkan. "Oke, nggak masalah. Asal para donatur datang. Kita juga harus menghargai sumbangan mereka. Apalagi Delisa, dia menyumbang lima puluh juta buat acara reuni ini. Itu sebuah kehormatan bagi panitia, Bal."Iqbal mengangguk-angguk. Dia juga tidak menyangka jika Deli
Anita mendesah, berkali-kali mencoba menghubungi Bagas, tapi tidak ada sambungan. Akhirnya, dia menghubungi Wina. "Win, apa kamu lihat Mas Bagas? Dia masih di tempat reuni, kah?" tanyanya. "Aku udah pulang, Nit. Tadi pas acara udah mau kelar, aku nggak lihat Mas Bagas deh kayaknya. Sorry banget ya, Nit? Ini udah jam dua belas malam, mungkin sebentar lagi Mas Bagasmu itu pulang. Yah, mungkin dia lagi ketemu temen-temen lamanya. Siapa tau dia keasyikan? Kamu juga sih, nggak mau dateng," cerocos Wina. Anita hanya menghela napas. Dia tidak pernah menyesali keputusannya untuk tidak datang ke reuni karena sekarang dia bisa bersama sang anak dan melihat bayinya tertidur dengan tenang. "Hm, ya udah Win. Iya, paling juga dia balik sebentar lagi. Ya udah, maaf udah ganggu kamu. Met istirahat ya, Win?" ucap Anita mengakhiri panggilannya. Meski begitu, dia masih belum bisa memejamkan mata. Sampai kantuk menyerangnya di jam dua pagi setelah menyusui bayinya. Mungkin Anita tidak tahu bahwa pe
Tiga bulan usia Cia hari ini, bayi itu makin pintar karena Anita menstimulasi bayinya dengan baik. Walau hati Anita tidak baik-baik saja dengan sikap suaminya yang makin parah. Pria itu jarang pulang setelah ditanyai soal malam setelah reuni. Bagas marah karena menilai Anita terlalu cerewet dengan urusan pribadinya. Sore itu, Anita sedang menyapu halaman. Seperti biasa, dia sibuk membersihkan rumah saat Cia tidur siang. Sapu lidi itu terhenti di depan dua kaki yang memakai sepatu putih bersih dengan merk yang menunjukkan kelas seseorang. Anita terhenyak melihat sepatu yang dia ketahui harganya bisa mencapai jutaan. Kedua matanya menelusuri ujung kaki hingga ke atas. Dia seorang wanita berwajah sayu, tampak sangat lelah seperti ada yang dia pikirkan dengan berat. Meski begitu, tidak mengurangi kecantikannya. Kulitnya putih terawat, kedua matanya berwarna hazel dengan bibir yang berwarna pink alami. Wanita itu masih tampak cantik meski rambut gelombangnya tergerai acak. Anita mencoba
"Lancar, Om. Syukurlah tidak ada hal yang menghambat jalannya sidang tadi." Raut lega tampak dari wajah Laksono. Anita menyapu sekitar dengan pandangannya. Tadi, Anarita ada di depan, tapi sekarang wanita itu tidak ikut serta, padahal jelas-jelas dia menyambut kedatangan Anita tadi. Anita hanya pasrah, mengikuti pembicaraan Kendra dan Laksono dengan berpura-pura ikut tersenyum. Meski dalam hatinya ada yang mengganjal. Lega sekali saat Anita bisa keluar dari rumah itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya kalau menikah sementara waktu dengan Kendra. *** Waktu berlalu. Anita semakin fokus pada perceraian dan usahanya. Hubungannya dengan Rahma sang ibu juga semakin dekat. Dia banyak mendesign baju-baju selama tiga bulan itu. Hingga surat resmi perceraiannya pun tiba. Anita merasa sangat lega, sekaligus merasa cemas akan kehidupan selanjutnya. Masa iddah Anita dihabiskan di rumah dengan mendesign baju. Suatu ketika, seorang perempuan muda mendatangi ruko di mana Rahma sedan
Bagas terhenyak melihat layar ponselnya. Setelah sidang yang cukup menegangkan karena pertama kali Bagas melakoni sidang perceraian, dia sekarang melihat daftar panggilan yang banyak. "Delisa, kenapa ya?" gumamnya, melangkah ke parkiran. Bagas memencet nomor Delisa dengan wajah cemas. Tak lama, panggilan itu diangkat oleh seseorang. "Halo," ucap Bagas mengawali karena di ujung sana memang mengangkat teleponnya, tapi tidak mengucap sepatah kata pun. "Delisa, kamu kenapa? Tadi nelepon aku–" "Bagas! Kamu itu lagi ngapain? Nggak becus jadi suami anak saya? Delisa lagi sakit gara-gara hamil. Dia butuh kamu antar ke dokter, kamu malah lelet angkat teleponnya!" Gerutuan itu, Bagas yakin bukan Delisa, melainkan ibunya. "M-ma, maaf saya nggak tau. Lalu, Delisa ada di mana sekarang, Ma?" tanya Bagas. "Huh, pake nanya. Lagian kalo kamu tau dia ada di mana sekarang, kamu bisa ke sini dalam waktu berapa detik, hah? Untung kamu cuma pegawai. Kalo kamu dokter, apa nggak keburu mati itu pasie
"Kamu nggak kerja, Ken?" tanya Anita. Sejujurnya dia tidak enak hati dengan lelaki itu. Karena dirinya, maka Kendra harus meninggalkan pekerjaannya. "Kerjaanku bisa kutinggalin sebentar. Ada asisten yang menggantikan. Soal perceraian kamu, itu pun penting karena itu akan mempengaruhi masa depanku. Papa juga nyuruh aku mengawal kamu sampai selesai proses perceraian." Anita mengangguk. Dalam hati dia merasa campur aduk karena hari ini dia akan menjalani proses perpisahannya dengan Bagas, lelaki yang sangat dia cintai. "Bulatkan tekad kamu, Anita. Dia bukan lelaki yang pantas buat kamu."Anita menoleh pada Kendra. Dia meringis, kenapa Kendra bisa menebak pikirannya? "Iya," sahut Anita. Kendra mengemudikan mobilnya menuju ke pangadilan agama. Anita terdiam mengikuti alur perjalanan dengan diam, karena banyak pikirannya kala itu. Seorang istri, menggugat cerai suaminya. Antara sedih, kecewa dan kasihan pada anaknya yang nantinya tidak memiliki ayah. Anita melirik ke arah Kendra. Dia
"Kenapa tertawa, Bu? Bukannya normal orang hamil jauh-jauh dari suaminya?" tanya Bagas, mengulang ucapan Rosmini waktu itu."Iya, ada. Tapi, nggak lama seperti ini juga. Ya ... kita lihat aja bulan selanjutnya. Biasanya wanita ngidam di awal bulan. Bisa juga dia menjadi aneh dari awal bulan sampe bulan ke sembilan, sampe pas lahiran. Kamu dikuat-kuatin aja." Bagas terbelalak mendengar ucapan Tantri. Masa dia harus menahan diri sampai sembilan bulan? Bisa gondrong nganggur. "Bu, yang bener aja?" sungutnya, tiba-tiba hilang nafsu makannya. "Udah dibilangin, dilihat aja. Bukan ibu mau bilang pasti, tapi bisa jadi. Ibu cuma mau kamu bersiap untuk menyediakan sabar yang gede menghadapi ibu hamil," terang Tantri. Sebenarnya Tantri malah merasa aneh dengan kepergian Delisa saat ini. Tambah, dia juga merasa jauh dengan keluarga Delisa sejak awal mereka bertemu dalam acara lamaran. Rasanya ada yang tidak rela juga dengan pernikahan Bagas dan Delisa. Waktu itu, Tantri menepis perasaannya. D
Anita dan Kendra pulang ke rumah. Kendra masih saja menggendong Cia yang terlihat nyaman dalam pelukannya sedari di taman tadi. "Yuk, Cia ikut mama," ajak Anita mengulurkan kedua tangan ke arah bayi tiga bulan itu. Namun, Cia bergeming. Dia tetap ingin berada dalam gendongan Kendra. "Ayo, Cia. Om Kendra mau pulang. Dia ada banyak kerjaan," bujuk Anita. Anita mengambil Cia dari gendongan Kendra. Tidak disangka, Cia menunjukkan ekspresi sedih. Hendak mewek dengan bibir melebar dan kedua matanya tampak berkaca. "Udah, sana pulang dulu. Aku bisa atasi," desis Anita pada Kendra. "Beneran nggak apa-apa?" tanya Kendra dengan wajah khawatir karena sedikit lagi dipastikan Cia akan meledakkan tangis. "Iya, nggak apa-apa. Kamu kan banyak kerjaan pastinya. Iya, kan?" tanya Anita mendorong Kendra agar segera masuk ke mobilnya. "O-oke," sahut Kendra yang masih melekatkan pandangan ke Cia yang berharap digendong lagi olehnya. "Udah, buruan," desak Anita. Kendra mengangguk. Sebelum Kendra p
"Oh, jadi kayak gitu. Menuntut cerai, lalu dengan cepat gandeng dengan pria lain. Kamu, lelaki yang waktu itu, kan?" Kendra dan Anita menoleh ke sumber suara. Di sana, berdirilah Bagas yang sedang memakai baju kerjanya. Bagas hendak bertemu dengan klien di sebuah hotel dekat dengan taman, tapi saat berjalan dia melihat sepasang pria dan wanita sedang asyik di dalam taman. Semula, dia mendapat tempat parkir jauh dari hotel hingga harus membuatnya berjalan melintasi taman. Malahan, dia melihat pemandangan di dalam taman. Hati Anita masih bergetar saat melihat Bagas. Dia ingin menggelengkan kepala, tapi Kendra sudah berjalan menjauh, untuk mendekati Bagas. Anita menjadi gelisah melihat itu. "Kalo iya, kenapa?" tanya Kendra. Dua lelaki itu sekarang berdiri berhadapan. Bagas meletakkan kedua tangan di pinggang, tapi Kendra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan santai. "Kamu tau etika, nggak? Dia itu belum cerai. Kenapa kalian berduaan di sini?" tanya Bagas, menunjuk d
Bagas tidak menyahut lagi. Sebagai seorang lelaki, dia tidak ingin banyak berdebat. Selama ini, dengan Anita juga begitu. Jika ada sesuatu yang salah menurutnya, maka Anita hanya diam menurut. Isti memandangnya dengan pandangan aneh, mulutnya komat-kamit mengomeli Bagas yang ternyata di luar ekspektasinya. Bagas berjalan ke warung sore itu. Jarang, bahkan tidak pernah dia pergi ke warung setelah menikah dengan Anita. Karena itu, semua orang menatapnya dengan heran. Termasuk pemilik warung. "Oh, Mas Bagas. Kok tumben?" tanyanya. "Iya, mau beli beras dua kilo, Bu. Sama ayam sekilo aja," ujar Bagas tanpa menunggu pertanyaan lain dari mulut pemilik warung. "Oh, baik, Mas. Dua kilo, ya? Tumben banyak? Ada tamu, kah?" cecar pemilik warung.Bagas memutar kedua bola matanya. Kenapa orang-orang selalu mengurusi urusan orang lain? Dia malas sekali. Andai dia tahu akan jadi seperti itu, dia memilih berbelanja ke supermarket saja. Namun, dengan pertanyaan itu, dia penasaran juga bagaimana k
"Ambilkan nasi dan sayurnya buat Kendra, Nita," titah Rahma saat mereka sudah berada di ruang makan. "Eh, saya bisa ambil sendiri kok, Tante." Kendra meraih sendok nasi, segera mengambil nasi dan sayurnya sendiri. Rahma memperhatikan Kendra yang melakukannya secara mandiri. Anita juga bengong melihat itu. Kendra menatap keduanya dengan tidak mengerti. "Eh, kamu mandiri sekali, Kendra." Rahma takjub dengan pria macam Kendra. Kendra hanya tersenyum. Meski kaya, tapi sedari kecil dia selalu diajari soal kemandirian. Jadi dari kecil dia selalu melakukan hal-hal yang diremehkan lelaki, seperti mencuci piring. "Ya udah, aku ambilkan sayurnya aja," sahut Anita. Tangannya langsung mengambilkan sayur untuk Kendra yang menyodorkan piring berisi nasinya. Rahma melihat itu seraya tersenyum-senyum. Begitulah yang dia ingin lihat dari rumah tangga anaknya. Selama ini, dia belum pernah melihat pemandangan harmonis di rumah tangga Anita. Makan di rumahnya saja Bagas tidak pernah, apalagi meliha
Anita menyuapi dirinya sendiri dengan bubur yang dibawakan oleh Kendra. Mereka berdua makan sambil duduk di atas rerumputan. "Kamu nggak risih duduk di bawah sini?" tanya Anita sambil usai menelan buburnya. Kendra menoleh ke Anita dan terkekeh. "Risih kenapa? Manusia asalnya dari tanah kan? Nantinya juga pulang ke tanah. Rerumputan malah berada di atas tanah," sahut Kendra, merasakan segarnya rumput yang bersemi di musim hujan itu. Apalagi, mereka sekarang berada di bawah pohon besar dan teduh. Cia tertidur pulas di dalam strollernya. Nikmat sekali merasakan segarnya angin sepoi-sepoi di taman itu. Anita tersenyum mendengar sahutan Kendra. Rumah Kendra besar dan mewah untuk ukurannya. Tambah juga Kendra memiliki posisi tinggi di perusahaannya, tapi dia kagum pada kata-kata yang diucapkan oleh Kendra. Dia selalu merendah. Bahkan, mungkin orang-orang tidak tahu bahwa pria yang duduk di atas rumput itu adalah seorang pemilik sebuah perusahaan. "Kamu seharusnya bisa sombong dengan a