Bagas menghela napas mendengar sahutan Delisa. Beberapa hari menjadi istrinya, Delisa belum memanggil Tantri dengan sebutan ibu. Hubungan keduanya juga belum bisa dekat. Bagas kira, itu hanya awal-awal saja, tapi ternyata beberapa hari belum juga berubah. Akhirnya dia hanya diam dan pasrah saja dengan keadaan itu. Asal Delisa tetap bersamanya, dia tidak akan mempermasalahkan. Mungkin juga karena baru beberapa hari."Kamu mau beli apa buat oleh-oleh?" tanya Bagas. Delisa menoleh ke samping. Menatap ke sepanjang jalan yang mereka lalui. "Nanti kalo ada toko oleh-oleh, aku minta berhenti," sahut Delisa. Bagas mengangguk. Betapa sulit menawari Delisa. Tiba-tiba dia ingat dengan Anita yang selalu mengoceh sepanjang perjalanan ketika dia pernah mengantarnya ke pasar. "Mas Bagas, nanti mampir ke toko buah ya, aku kepengen anggur." "Mas Bagas, kayaknya seblak enak ya?" "Mas, boleh nggak aku beli dawet di sana itu. Nanti sekitar seratus meter lagi berhenti ya?" Berbagai pertanyaan Anit
Anita duduk di tepi ranjangnya setelah mandi. Meski wajahnya masih kemerahan akibat perawatan di klinik kecantikan, tapi Anita tidak begitu perduli. Dia melihat ke tempat tidur. Cia sedang tidur dengan pulas. Rasanya ingin kembali seperti Cia yang belum memikirkan urusan kehidupan ini. Namun, ada juga rasa iba melihat sang anak yang akan tumbuh tanpa ayah jika dia benar-benar berpisah dengan Bagas. Anita ingat akan perkataan Kendra tadi. Dia kemudian mengambil tas dan merogoh dompetnya untuk menemukan sebuah kartu yang diberikan oleh Kendra. "Kendra Bakti Wirabhuana. Kenapa dia langsung menawariku menikah? Aku juga nggak ngerti dia itu normal apa sinting? Kenapa aku langsung mau janji untuk nikah sama dia setelah cerai? Jangan-jangan aku yang sinting," gumam Anita, menempelkan telapak tangan ke dahinya. Anita berdecak, menggelengkan kepala, tapi tangannya tetap mengetik nomor Kendra di layar ponsel. Dari aplikasi hijau, tampak foto profil Kendra yang terlihat jelas sekarang. "Gant
Beberapa hari kemudian, Anita ditemani oleh Rahma mendatangi kantor urusan agama. Anita mendaftarkan gugatan cerai. "Kamu sudah yakin, kan?" tanya Rahma. "Iya, Bu. Sebenarnya sayang sama pernikahan ini, tapi ... ah, sudahlah. Seorang pria yang memang mencintai istrinya tidak akan melukai istrinya sedalam ini," pupus Anita. "Nita, memang benar. Sejak awal ibu nggak pernah suka kamu menikah dengan Bagas. Entah kenapa insting ibu mengatakan demikian, padahal belum juga kenal sama Bagas waktu itu. Tapi, kamu keburu hamil duluan, jadi–" Rahma mendesah perlahan, berhenti untuk melanjutkan kalimatnya. Miris sekali dengan kejadian dua tahun yang lalu ketika Anita menunduk mengakui segala yang terjadi di hadapannya. Kala itu, Rahma menjadi seorang ibu yang gagal mendidik anaknya. "Maafin Nita, Bu," sesal Anita, menggenggam tangan ibunya. Dia merasakan kekecewaan yang mendalam dari wajah sang ibu. "Iya, ibu selalu memaafkan kamu, Nak. Tapi, ibu nggak terima kamu diperlakukan seperti ini.
"Mbak Anita, kalau ada apa-apa bisa tanya saya," ujar Khansa, orang yang dipercaya sebagai tangan kanan Rahma. "Baik, makasih Mbak Khansa." Anita merasa nyaman berada di ruko yang disewa oleh ibunya. Orang-orang yang bekerja di sana juga ramah padanya. Selain itu, mereka terampil sekali dalam menyelesaikan pesanan jahitan. Rahma pandai memilih tenaga kerja. Anita kagum pada ibunya. Dia harus banyak belajar dari Rahma. Ponsel Anita berbunyi di saat melihat pekerjaan para pekerja. Dia menarik benda pipih itu dari tasnya, lalu membaca pesan yang membuatnya ternganga. "Astaga," desis Anita, menutup mulutnya. "Kenapa, Nit?" tanya Rahma, menangkap keganjilan sikap anaknya. "Eh, nggak apa-apa kok, Bu. Aku permisi sebentar ya, ke belakang?" pamit Anita. Meski merasa aneh, tapi Rahma membiarkan Anita berpindah ke belakang. Di belakang ada sebuah tempat kosong untuk ventilasi udara. Anita tidak sabar menghubungi Kendra. Dia kaget karena Kendra mengundangnya ke rumah bulan depan. Padahal
Anita sangat canggung karena sejak pulang dari ruko, Rahma belum berbincang dengannya. Malah mereka tampak seperti diam-diaman. Rahma menggendong Cia seperlunya, lalu berangkat ke ruko dan tidak juga mengajak Anita. Anita menghela napas. Dia sekarang berdua dengan Cia di rumah, tapi rasanya masih tidak nyaman jika terjadi perang dingin antara dirinya dan ibunya. Kedua bola mata Anita menyapu sekeliling. Rumah itu, adalah rumah ternyaman yang dia tuju. Namun, jika didiamkan oleh ibunya, dia pun jadi tidak nyaman. "Cia, nenek akan mendiamkan mama seperti ini terus, ya? Sampai kapan ya, Nak? Mama bingung harus apa. Kenapa mama menyanggupi menikah lagi? Bodoh sekali," sungutnya sendiri, sedangkan Cia hanya merespon gumaman Anita dengan celotehan ala bayi yang belum jelas. Bayi kecil itu mengira bahwa ibunya sedang mengajaknya bicara. Anita cukup terhibur dengan celotehan Cia. Setiap hari selalu ada saja kemajuan Cia yang membuatnya takjub sebagai ibu muda untuk pertama kalinya. Rasa ba
Bagas menatap sekitar. Di dalam ruangan, terasa ada sesuatu yang berbeda. Bagas menyentuhkan telunjuknya ke meja kaca. Debunya menempel ke jarinya. Bagas mengambil tissue, lalu membersihkan telunjuknya. Saat melempar tissue kotor ke dalam tong sampah, tissue kotor itu tidak bisa masuk karena tong sampah sudah sangat penuh. Bagas menghela napas. Dia kemudian terpaksa bangkit dan memungut tissue itu untuk dia letakkan di tong sampah yang lebih besar di belakang. Namun, ternyata tempat sampah yang lebih besar pun, sudah penuh dan sudah dikerubuti dengan hewan kecil-kecil berterbangan mengitari kulit buah mangga. Bagas menggelengkan kepala. Akhirnya, dia harus berdiri mengambil kresek besar untuk menempatkan sampah-sampah yang menumpuk itu. Setelah membuang sampah-sampah di depan, dia masuk hendak mencuci tangan di wastafel, tapi saat menoleh ke kitchen sink, dia melihat tumpukan piring kotor yang sudah menjamur di dalamnya. Bagas menghela napas. Selain melihat itu, dia pun melihat tump
"Anita, kenapa kamu nggak bikin minum buat Kendra?" Kecemasan Anita serasa mengendor mendengar pertanyaan Rahma. Anita memasang telinga dengan baik-baik. Siapa tahu, dia salah pendengaran. "Ya, Bu?" tanya Anita lagi, melihat Kendra sudah menyusul Rahma mendekat ke arahnya yang berdiri di depan pintu. "Bikinin teh buat Kendra, calon suami kamu," titah Rahma dengan jelas. Anita sekarang yakin dengan perintah ibunya. Apa yang dia bayangkan akan terjadi, sekarang musnah dari kepalanya. Amukan dan amarah ibunya tidak terjadi. "O-oh, baik, Bu." Anita hanya melirik ke arah Kendra yang memasang wajah biasa, mengikutinya untuk masuk. Anita mengernyitkan dahi, bertanya-tanya dalam hati. "Apa yang dia katakan sama ibu?" desisnya sambil berjalan ke dapur guna membuatkan teh hangat untuk Kendra dan Rahma. Dia menoleh sebentar ke ruang tamu dan melihat Kendra duduk bersama dengan Rahma. Sesuatu yang sangat jarang dia lihat ketika bersuamikan Bagas. "Ya Allah, apa mataku masih normal?" guma
Tiba-tiba Kendra mendekat. Tangan Anita otomatis memukul bahu Kendra yang mendekat padanya saat mereka telah duduk di dalam mobil. Kendra menatap heran pada Anita, tapi kemudian menyadari kesalahannya. Dia condong ke samping tanpa memberitahu Anita. "Aku cuma mau benerin seatbelt. Kamu nggak perlu khawatir," ujar Kendra setelah terdengar bunyi klik pada pengait. Wajah Anita memerah seketika. Sempat dia pikir Kendra akan macam-macam, belum juga sampai ke rumahnya. Itu membuatnya sangat malu, GR sekali. Anita hanya diam membuang pandangan ke samping dan merutuki dirinya sendiri betapa bodoh telah berburuk sangka. "Tapi, pukulan kamu lumayan juga, sakit ini lengan," ucap Kendra, membuat Anita meringis. Tentu saja pukulan dadakan tidak dia kira, malah mengeluarkan kekuatan penuh meski tidak seberapa untuk Kendra. "Maaf," sahut Anita lirih, masih dengan memalingkan muka, malu sekali. Kendra menggelengkan kepala tersenyum, lalu mulai menyalakan mesin mobil dan melaju di kecepatan perla
"Lancar, Om. Syukurlah tidak ada hal yang menghambat jalannya sidang tadi." Raut lega tampak dari wajah Laksono. Anita menyapu sekitar dengan pandangannya. Tadi, Anarita ada di depan, tapi sekarang wanita itu tidak ikut serta, padahal jelas-jelas dia menyambut kedatangan Anita tadi. Anita hanya pasrah, mengikuti pembicaraan Kendra dan Laksono dengan berpura-pura ikut tersenyum. Meski dalam hatinya ada yang mengganjal. Lega sekali saat Anita bisa keluar dari rumah itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya kalau menikah sementara waktu dengan Kendra. *** Waktu berlalu. Anita semakin fokus pada perceraian dan usahanya. Hubungannya dengan Rahma sang ibu juga semakin dekat. Dia banyak mendesign baju-baju selama tiga bulan itu. Hingga surat resmi perceraiannya pun tiba. Anita merasa sangat lega, sekaligus merasa cemas akan kehidupan selanjutnya. Masa iddah Anita dihabiskan di rumah dengan mendesign baju. Suatu ketika, seorang perempuan muda mendatangi ruko di mana Rahma sedan
Bagas terhenyak melihat layar ponselnya. Setelah sidang yang cukup menegangkan karena pertama kali Bagas melakoni sidang perceraian, dia sekarang melihat daftar panggilan yang banyak. "Delisa, kenapa ya?" gumamnya, melangkah ke parkiran. Bagas memencet nomor Delisa dengan wajah cemas. Tak lama, panggilan itu diangkat oleh seseorang. "Halo," ucap Bagas mengawali karena di ujung sana memang mengangkat teleponnya, tapi tidak mengucap sepatah kata pun. "Delisa, kamu kenapa? Tadi nelepon aku–" "Bagas! Kamu itu lagi ngapain? Nggak becus jadi suami anak saya? Delisa lagi sakit gara-gara hamil. Dia butuh kamu antar ke dokter, kamu malah lelet angkat teleponnya!" Gerutuan itu, Bagas yakin bukan Delisa, melainkan ibunya. "M-ma, maaf saya nggak tau. Lalu, Delisa ada di mana sekarang, Ma?" tanya Bagas. "Huh, pake nanya. Lagian kalo kamu tau dia ada di mana sekarang, kamu bisa ke sini dalam waktu berapa detik, hah? Untung kamu cuma pegawai. Kalo kamu dokter, apa nggak keburu mati itu pasie
"Kamu nggak kerja, Ken?" tanya Anita. Sejujurnya dia tidak enak hati dengan lelaki itu. Karena dirinya, maka Kendra harus meninggalkan pekerjaannya. "Kerjaanku bisa kutinggalin sebentar. Ada asisten yang menggantikan. Soal perceraian kamu, itu pun penting karena itu akan mempengaruhi masa depanku. Papa juga nyuruh aku mengawal kamu sampai selesai proses perceraian." Anita mengangguk. Dalam hati dia merasa campur aduk karena hari ini dia akan menjalani proses perpisahannya dengan Bagas, lelaki yang sangat dia cintai. "Bulatkan tekad kamu, Anita. Dia bukan lelaki yang pantas buat kamu."Anita menoleh pada Kendra. Dia meringis, kenapa Kendra bisa menebak pikirannya? "Iya," sahut Anita. Kendra mengemudikan mobilnya menuju ke pangadilan agama. Anita terdiam mengikuti alur perjalanan dengan diam, karena banyak pikirannya kala itu. Seorang istri, menggugat cerai suaminya. Antara sedih, kecewa dan kasihan pada anaknya yang nantinya tidak memiliki ayah. Anita melirik ke arah Kendra. Dia
"Kenapa tertawa, Bu? Bukannya normal orang hamil jauh-jauh dari suaminya?" tanya Bagas, mengulang ucapan Rosmini waktu itu."Iya, ada. Tapi, nggak lama seperti ini juga. Ya ... kita lihat aja bulan selanjutnya. Biasanya wanita ngidam di awal bulan. Bisa juga dia menjadi aneh dari awal bulan sampe bulan ke sembilan, sampe pas lahiran. Kamu dikuat-kuatin aja." Bagas terbelalak mendengar ucapan Tantri. Masa dia harus menahan diri sampai sembilan bulan? Bisa gondrong nganggur. "Bu, yang bener aja?" sungutnya, tiba-tiba hilang nafsu makannya. "Udah dibilangin, dilihat aja. Bukan ibu mau bilang pasti, tapi bisa jadi. Ibu cuma mau kamu bersiap untuk menyediakan sabar yang gede menghadapi ibu hamil," terang Tantri. Sebenarnya Tantri malah merasa aneh dengan kepergian Delisa saat ini. Tambah, dia juga merasa jauh dengan keluarga Delisa sejak awal mereka bertemu dalam acara lamaran. Rasanya ada yang tidak rela juga dengan pernikahan Bagas dan Delisa. Waktu itu, Tantri menepis perasaannya. D
Anita dan Kendra pulang ke rumah. Kendra masih saja menggendong Cia yang terlihat nyaman dalam pelukannya sedari di taman tadi. "Yuk, Cia ikut mama," ajak Anita mengulurkan kedua tangan ke arah bayi tiga bulan itu. Namun, Cia bergeming. Dia tetap ingin berada dalam gendongan Kendra. "Ayo, Cia. Om Kendra mau pulang. Dia ada banyak kerjaan," bujuk Anita. Anita mengambil Cia dari gendongan Kendra. Tidak disangka, Cia menunjukkan ekspresi sedih. Hendak mewek dengan bibir melebar dan kedua matanya tampak berkaca. "Udah, sana pulang dulu. Aku bisa atasi," desis Anita pada Kendra. "Beneran nggak apa-apa?" tanya Kendra dengan wajah khawatir karena sedikit lagi dipastikan Cia akan meledakkan tangis. "Iya, nggak apa-apa. Kamu kan banyak kerjaan pastinya. Iya, kan?" tanya Anita mendorong Kendra agar segera masuk ke mobilnya. "O-oke," sahut Kendra yang masih melekatkan pandangan ke Cia yang berharap digendong lagi olehnya. "Udah, buruan," desak Anita. Kendra mengangguk. Sebelum Kendra p
"Oh, jadi kayak gitu. Menuntut cerai, lalu dengan cepat gandeng dengan pria lain. Kamu, lelaki yang waktu itu, kan?" Kendra dan Anita menoleh ke sumber suara. Di sana, berdirilah Bagas yang sedang memakai baju kerjanya. Bagas hendak bertemu dengan klien di sebuah hotel dekat dengan taman, tapi saat berjalan dia melihat sepasang pria dan wanita sedang asyik di dalam taman. Semula, dia mendapat tempat parkir jauh dari hotel hingga harus membuatnya berjalan melintasi taman. Malahan, dia melihat pemandangan di dalam taman. Hati Anita masih bergetar saat melihat Bagas. Dia ingin menggelengkan kepala, tapi Kendra sudah berjalan menjauh, untuk mendekati Bagas. Anita menjadi gelisah melihat itu. "Kalo iya, kenapa?" tanya Kendra. Dua lelaki itu sekarang berdiri berhadapan. Bagas meletakkan kedua tangan di pinggang, tapi Kendra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan santai. "Kamu tau etika, nggak? Dia itu belum cerai. Kenapa kalian berduaan di sini?" tanya Bagas, menunjuk d
Bagas tidak menyahut lagi. Sebagai seorang lelaki, dia tidak ingin banyak berdebat. Selama ini, dengan Anita juga begitu. Jika ada sesuatu yang salah menurutnya, maka Anita hanya diam menurut. Isti memandangnya dengan pandangan aneh, mulutnya komat-kamit mengomeli Bagas yang ternyata di luar ekspektasinya. Bagas berjalan ke warung sore itu. Jarang, bahkan tidak pernah dia pergi ke warung setelah menikah dengan Anita. Karena itu, semua orang menatapnya dengan heran. Termasuk pemilik warung. "Oh, Mas Bagas. Kok tumben?" tanyanya. "Iya, mau beli beras dua kilo, Bu. Sama ayam sekilo aja," ujar Bagas tanpa menunggu pertanyaan lain dari mulut pemilik warung. "Oh, baik, Mas. Dua kilo, ya? Tumben banyak? Ada tamu, kah?" cecar pemilik warung.Bagas memutar kedua bola matanya. Kenapa orang-orang selalu mengurusi urusan orang lain? Dia malas sekali. Andai dia tahu akan jadi seperti itu, dia memilih berbelanja ke supermarket saja. Namun, dengan pertanyaan itu, dia penasaran juga bagaimana k
"Ambilkan nasi dan sayurnya buat Kendra, Nita," titah Rahma saat mereka sudah berada di ruang makan. "Eh, saya bisa ambil sendiri kok, Tante." Kendra meraih sendok nasi, segera mengambil nasi dan sayurnya sendiri. Rahma memperhatikan Kendra yang melakukannya secara mandiri. Anita juga bengong melihat itu. Kendra menatap keduanya dengan tidak mengerti. "Eh, kamu mandiri sekali, Kendra." Rahma takjub dengan pria macam Kendra. Kendra hanya tersenyum. Meski kaya, tapi sedari kecil dia selalu diajari soal kemandirian. Jadi dari kecil dia selalu melakukan hal-hal yang diremehkan lelaki, seperti mencuci piring. "Ya udah, aku ambilkan sayurnya aja," sahut Anita. Tangannya langsung mengambilkan sayur untuk Kendra yang menyodorkan piring berisi nasinya. Rahma melihat itu seraya tersenyum-senyum. Begitulah yang dia ingin lihat dari rumah tangga anaknya. Selama ini, dia belum pernah melihat pemandangan harmonis di rumah tangga Anita. Makan di rumahnya saja Bagas tidak pernah, apalagi meliha
Anita menyuapi dirinya sendiri dengan bubur yang dibawakan oleh Kendra. Mereka berdua makan sambil duduk di atas rerumputan. "Kamu nggak risih duduk di bawah sini?" tanya Anita sambil usai menelan buburnya. Kendra menoleh ke Anita dan terkekeh. "Risih kenapa? Manusia asalnya dari tanah kan? Nantinya juga pulang ke tanah. Rerumputan malah berada di atas tanah," sahut Kendra, merasakan segarnya rumput yang bersemi di musim hujan itu. Apalagi, mereka sekarang berada di bawah pohon besar dan teduh. Cia tertidur pulas di dalam strollernya. Nikmat sekali merasakan segarnya angin sepoi-sepoi di taman itu. Anita tersenyum mendengar sahutan Kendra. Rumah Kendra besar dan mewah untuk ukurannya. Tambah juga Kendra memiliki posisi tinggi di perusahaannya, tapi dia kagum pada kata-kata yang diucapkan oleh Kendra. Dia selalu merendah. Bahkan, mungkin orang-orang tidak tahu bahwa pria yang duduk di atas rumput itu adalah seorang pemilik sebuah perusahaan. "Kamu seharusnya bisa sombong dengan a